Jumat, 23 Agustus 2013

- 2 comments

Botol Kenangan

gambar dipinjam dari sini

Teluk Kiluan, senja hari.
Kau tertambat di sana; berdiri di bibir pantai yang berpasir putih sambil memandangi gulungan ombak yang menyeret pulang sebuah botol kaca. Di dalamnya ada banyak sekali kenangan; berpendaran seperti kunang-kunang yang terperangkap.

Aku melihatmu membuka sumbatnya. Kautuangkan isinya ke telapak tangan. Kupikir, senja akan berubah gemerlap, tetapi justru pasir yang mengalir dari dalamnya. Rupanya kisah-kisah yang kaukumpulkan telah melapuk dimakan deburan ombak dan hantaman karang. Hancur menjadi butiran pasir.

Kaupandangi butiran pasir yang mulai berterbangan dari telapak tanganmu dengan tatapan kosong. Kau bergeming meskipun langit telah menghitam dan tubuhmu telah beralih menjadi siluet.
***
Stasiun Cikini, pukul sebelas siang.
Seorang lelaki berhenti sesaat di puncak tangga stasiun kereta api sambil membenahi tali ranselnya. Di punggung tegapnya bergantung sebuah ransel besar berwarna merah dan kelabu. Ia kemudian berjalan ke arah kursi tunggu dan menurunkan ranselnya. Digerak-gerakkan bahunya yang terasa nyeri, kemudian dirabanya bagian belakang bahu yang terasa berdenyut-denyut, tepat di atas sebuah bekas luka berbentuk garis sepanjang satu jengkal tangan orang dewasa. Bekas luka itu ada di kiri dan kanan pundaknya; seolah dulu ada sepasang sayap yang tumbuh dari sana dan harus dipotong.

Sambil merenggang-renggangkan tubuhnya, lelaki itu bertanya-tanya; mengapa belakangan ini, kedua bekas lukanya tersebut sering kali terasa nyeri dan berdenyut-denyut. Bisa jadi karena letak bekas lukanya yang dekat dengan tulang belikat dan sudah hampir sebulan terakhir ini dirinya selalu bepergian dengan menggendong ransel besar yang berat. Bisa jadi otot bahunya terkilir.

Sebulan lalu, ia memilih untuk membeli ransel baru yang lebih ergonomis dengan tali pundak yang lebih empuk dengan harga yang lebih mahal. Sayangnya, sebentar lagi ransel yang berharga mahal dan usianya baru sebulan itu harus kembali menghuni lemari penyimpanan. Lelaki itu sudah memutuskan bahwa kunjungannya ke Lampung Selatan akan menjadi perjalanan terakhirnya untuk tahun ini. Sepanjang enam bulan pertama, ia sudah mendatangi banyak tempat di penjuru tanah air, namun di tengah perjalanan tiba-tiba ia ketularan penyakit dari kawan seperjalanannya. Penyakit eksistensialis.

Sepekan sebelum keberangkatannya ke Lampung, ia dan rombongannya berkumpul di Menteng Huis. Salah seorang kawannya, yang hari itu kelihatan ogah-ogahan, menularinya virus tersebut.

“Sebenarnya, aku mulai ndak paham sama yang kulakukan selama ini. Aku mulai merasa ada hal lain yang lebih penting ketimbang semua rencana perjalanan ini?” Ocehan kawannya itu ditingkahi keheningan dari anggota yang lain. Ketua rombongan yang sedang memaparkan rencana perjalanan menatapnya sinis. Suasana saat itu ibarat ada anggota partai yang secara halus bermaksud mengundurkan diri karena teringat pada dosa-dosanya yang sudah berada di ambang kewajaran.

“Memangnya ada yang lebih penting?” Tantang si ketua rombongan.

“Aku mulai takut ndak bisa membahagiakan kedua orangtuaku. Seumur hidup mereka tinggal di kampung, ndak pernah pergi kemana-mana. Mereka menyuruhku kuliah agar jadi orang. Aku takut ndak bisa jadi anak yang berbakti, ndak bisa menghajikan mereka, ndak bisa ada di dekat mereka di masa-masa sepuhnya.”

Tatapan ketua rombongan berubah jadi tak peduli dan memutuskan untuk kembali pada susunan rencana perjalanan. Sementara, si lelaki berpikir bahwa mungkin kawannya itu sedang melankolis. Ia tidak mengira kalau penyakit melankolis itu menularinya beberapa hari kemudian. Saat itu kapal baru saja meninggalkan Pelabuhan Merak, seperti biasa ia menerima SMS dari ayahnya. Biasanya, ia akan menjawab seperlunya. Tapi sampai kapal berlabuh di Bakaheuni, ia terus kepikiran ayahnya. Seperti ada yang berbeda dari nada tulisannya, padahal isinya selalu sama. Sudah menjadi kebiasaan setiap kali hendak bepergian, ia akan memberitahukan posisi dirinya, dan ayahnya akan membalas dengan: ‘Hati-hati di jalan, Nak. Pulang kembali ke rumah dengan selamat dan pengalaman baru, ya’.

Gara-gara tertular penyakit itu, ia seperti kehilangan makna perjalanan dan memutuskan untuk rehat. Pikirnya, mungkin memang ada yang lebih penting ketimbang semua urusan penjelajahan ini. Saat sedang berpikir begitu, seorang perempuan, entah dari mana datangnya, duduk menyebelahi ranselnya. Si lelaki sudah selesai melemaskan bahu dan hendak duduk, namun perhatiannya langsung teralihkan oleh sosok perempuan itu. Tubuh perempuan itu tampak mungil ketika bersanding dengan tas ransel miliknya, pakaian yang dikenakannya tampak tidak biasa: gaun putih tanpa lengan, panjangnya selutut. Wajahnya polos tanpa riasan, dan perempuan itu tidak membawa tas atau benda apa pun di tangannya.

Lelaki itu memandangi si perempuan dengan saksama, menduga-duga dari mana gerangan perempuan ini berasal, dan hendak kemana. Di benaknya, sosok perempuan itu seperti berada di tempat yang salah.

Perempuan itu sadar sedang dipandangi oleh si lelaki, ia menengadahkan wajah dan bicara, “Maaf Bang, kalau mau ke Gandaria dari sini saya harus naik kereta ke mana, ya?”

“Gandaria, ya,” ulang si lelaki. Ingatannya langsung mampir ke tempat di mana dirinya pernah menghabiskan masa kecil. “Oh, kebetulan arah kita sama. Dari sini, nanti turun di Stasiun Manggarai, lanjut naik yang ke Tanah Abang. Dari sana, ganti yang ke arah Serpong, tapi nanti Adek turunnya di Stasiun Kebayoran,” jelas lelaki itu. Dari sana baru sambung pakai angkutan umum yang biru telur asin. Gandarianya di sebelah mana?”

Perempuan itu tidak benar-benar menyimak yang dijelaskan si lelaki. “Maaf Bang, kalau tidak merepotkan. Bisa antar saya sampai ke daerah sana. Saya baru sekali ke sana, itu pun sudah dua puluh tujuh tahun yang lalu.”

Lelaki itu menggaruk-garuk hidungnya. Ia belum bisa memutuskan. “Wah sudah lama sekali, ya. Memang asal Adek dari mana?” tanyanya mencoba mengulur waktu.

Belum sempat pertanyaan itu terjawab, suara gemuruh kereta terdengar, dan orang-orang bergerak lalu berkumpul di depan pintu kereta yang belum terbuka. Tidak lama, lelaki dan perempuan itu pun segera masuk ke dalam kereta, tetapi karena posisi berdiri mereka terpisah, si lelaki tidak bisa menanyakan kembali pertanyaannya tadi.

Lelaki itu hanya bisa memandangi sosok perempuan itu dari kejauhan. Ada sesuatu yang menarik perhatian lelaki itu: bandul kalung yang bergantung di lehernya. Bentuknya menyerupai sebuah botol kecil dengan sumbat di bagian atasnya; mengingatkannya pada sebuah botol yang ditemukannya di pinggir pantai beberapa waktu yang lalu.

Tidak lama, kereta berhenti di Stasiun Manggarai. Mereka berjalan menuju jalur lima. Kemudian kereta menuju ke Tanah Abang datang. Pintu terbuka. Orang-orang berebut tempat. Para penumpang perempuan memilih untuk masuk ke gerbong khusus wanita, tetapi perempuan itu tetap menguntit di belakang si lelaki. Di dalam kereta mereka kembali berdiri berjauhan dan tidak dapat bertukar kata. Rasa penasaran masih bercokol di benak si lelaki setiap kali melihat perempuan mungil itu. Si lelaki mencoba bergeser agar posisinya lebih dekat dengan si perempuan dan bisa bercakap-cakap, namun orang-orang di dekatnya seolah tidak menggubrisnya saat minta diberi jalan.

Kereta berhenti di Stasiun Tanah Abang. Si lelaki turun dan mencari-cari tanda yang menunjukkan jalur kereta ke arah Serpong. Dilihatnya ke belakang, si perempuan masih setia membuntutinya.

“Selanjutnya kita kemana?” tanya perempuan itu.

“Naik kereta ke arah Serpong,” jawab si lelaki. Ia belum memutuskan akan mengantarkan perempuan itu atau meninggalkannya. Rencananya, sebelum pulang ke rumah, ia akan turun di Stasiun Palmerah untuk mampir ke tempat kerjanya.

“Abang bisa mengantar saya?” desak perempuan itu dengan tatapan polos.

Si lelaki masih diam, sampai kemudian ia mendengar pengumuman tentang kereta ke arah Serpong. “Ayok,” ujar si lelaki sambil sedikit berlari. “Keretanya di sana. Harus menyeberangi rel dulu,” tunjuk si lelaki sambil terus berlari. “Cepat sedikit nanti ketinggalan.”

Kereta menuju Serpong tampak lebih lengang sehingga mereka dapat duduk bersebelahan. Si lelaki masih menimbang-nimbang apakah akan mengantar atau tidak. Si perempuan hanya diam. Si lelaki mulai bosan. Dia mengeluarkan buku perjalanannya dari ransel.

Si perempuan tampak tertarik lalu menggeser duduk ke dekat si lelaki. “Buku apa Bang?”

“Oh ini,” si lelaki tampak bangga dengan buku yang dipegangnya. “Ini jurnal perjalanan. Isinya foto-foto perjalanan, catatan-catatan, kumpulan tiket, dan banyak hal yang saya kumpulkan selama bepergian.”

“Boleh lihat?” tanya si perempuan sambil mengulurkan tangan.

Si lelaki ragu, namun diberikan juga buku itu ke si perempuan. Si perempuan mulai melihat lembar demi lembar tanpa berkomentar. Si lelaki diam-diam mengamati si perempuan. Dari dekat, si lelaki melihat bagian dalam botol yang menjadi bandul kalung perempuan itu tiba-tiba mengerlipkan cahaya kecil. Aneh, pikirnya. Tadi sepertinya tidak ada apa-apa di dalam botol kecil itu.

Si perempuan tiba-tiba menoleh ke arah si lelaki dan tersenyum. Si lelaki yang masih meneliti isi di dalam botol itu langsung terkesiap melihat senyum dan tatapan si perempuan.

“Ini,” perempuan itu mengembalikan bukunya, “terima kasih sudah berbagi kenangan,” ucapnya tulus.

Kalimat itu seperti bergaung di udara, membuat si lelaki merenung sebentar “Sama-sama,” balasnya kemudian.

Kereta melambat saat melewati Stasiun Palmerah. Si lelaki bergeming. Ia memutuskan untuk mengantarkan perempuan itu sampai tujuan.

***

“Di mana alamat rumah yang kamu cari itu?” Lelaki itu cukup paham daerah yang didatanginya. Dan sekarang, si perempuan sedang berdiri di depan rumah masa kecilnya. “Apa ini rumah yang kamu cari?” tanya si lelaki itu lagi.

Perempuan itu masih memunggunginya, tampak sedang memerhatikan sebuah bangunan kecil yang menempel pada bangunan tinggi di sebelahnya yang dijadikan sebuah showroom mobil. Lelaki itu mengenal dengan baik bangunan kecil yang tinggal separuh itu. Bangunan itu seperti dibelah di tengah-tengah karena sebagian tanahnya telah dijual oleh keluarganya. Sekarang, yang tersisa hanya separuh bangunan yang dibiarkan kosong dan tidak terawat. Entah kapan yang separuhnya lagi akan dijual. Sudah banyak yang menawar, tetapi menurut orangtuanya rumah itu punya sejarah.

“Bisa Abang ikut menemani saya masuk ke dalam?” tanya si perempuan memecahkan lamunan si lelaki.

Si lelaki tertegun, “Untuk apa...?” Ia bingung mesti menemani kemana, apakah ke showroom atau  ke rumah masa kecilnya yang tinggal separuh itu.

Perempuan itu membalikkan badan, berjalan mendekat, lalu menatap lelaki itu lekat-lekat. “Kita berpamitan dulu dengan rumah ini sebelum pulang,” ucapnya lembut.

“Berpamitan? Pulang?” Si lelaki langsung sadar ada sesuatu yang salah dengan perempuan itu. Tanpa sadar, ia berjalan mundur dan memalingkan muka untuk menghindari tatapan si perempuan.

Tak diduga, si perempuan malah menyambar lengannya, “Abang tidak boleh pergi lagi. Aku ke sini untuk menjemputmu pulang.”

Lelaki itu berusaha melepaskan cengkeraman tangan si perempuan dengan mengibaskannya, tetapi genggaman tangan si perempuan mengikatnya. “Abang tidak ingat?” Pandangan si perempuan tertuju pada rumah masa kecil si lelaki.

“Apa? Ingat apa?” erang si lelaki sambil mencoba melepaskan diri.

“Rumah itu terbelah. Sama seperti kita yang dulu harus dipisahkan.”

Lelaki itu menggeleng masih tidak memahami racauan si perempuan.

“Aku juga punya bekas luka yang sama. Kita dulu adalah satu, tetapi kemudian Abanglah yang memiliki kesempatan untuk melihat dunia, mengumpulkan tawa dan kenangan, sementara...”

Lelaki itu mengalihkan pandangannya pada botol yang tergantung di leher si perempuan yang terlihat semakin berpendar. Si perempuan mengikuti pandangan si lelaki dan tangannya langsung memegang kalungnya. Ia mengangkatnya dan tersenyum. “Tapi terima kasih karena sudah berbagi kenangan denganku. Setelah ini, kita akan sama-sama mengumpulkan kenangan.

Bekas luka di pundak lelaki itu terasa berdenyut-denyut. Ia menatap perempuan di hadapannya itu. Wajahnya tampak tidak asing. Perlahan, ia mulai memahami apa yang telah dialaminya beberapa hari ini. Ia membiarkan perempuan itu menggenggam tangannya.

“Mari, sudah saatnya pulang,” ucap perempuan itu lirih.

Gandaria, 2013

Penulis: Nia Nurdiansyah

Tulisan lain dari Nia Nurdiansyah

Kenali lebih dekat di sini:

Icon Icon Bramasole Menanti Matahari

2 komentar: