Senin, 16 September 2013

- Leave a Comment

Gorila Sirkus

Aku terus meraung sementara suara benturan logam, klakson, decitan rem, dan jeritan orang-orang ketakutan menyerang telingaku. Satu lagi bangunan hancur oleh sabetan tanganku. Sebuah kendaraan tersapu oleh kakiku, terlempar dan jatuh di atas kendaraan lain yang sedang terkena macet. Mereka tampak seperti mobil-mobil mainan. Dan orang-orang berpencaran menyelamatkan diri seperti seperti rombongan semut disiram air. Udara malam terasa semakin sesak oleh bertambah banyaknya gedung dan kendaraan yang dilalap api. Sebuah helikopter berputar-putar di udara seperti capung. Rasakanlah itu. Kalian merasa hebat, ha? Aku adalah King Kong, raja dari segala binatang. Tubuhku setinggi gedung bertingkat sepuluh. Dan kalian, tidak ada apa-apanya di hadapanku.

Aku sangat puas dengan diriku sendiri bukan hanya karena memiliki tubuh raksasa serta kekuatan sedahsyat ini. Tapi, ini yang membuatku sangat senang, aku memiliki kebebasan.

Di antara gedung-gedung yang terang benderang, aku melenggang sambil terus menghancurkan semua yang ada di bawah kakiku. Sesekali kutengok tubuh kecil gorila yang lunglai di telapak tanganku -- memastikan ia baik-baik saja. Hingga tiba-tiba saja ada rantai-rantai besar melayang dari belakangku, melilit kedua pergelangan tangan dan kakiku. Rantai-rantai itu menarikku dengan cukup kuat. Untuk beberapa lama kami saling adu kekuatan. Tenagaku mulai habis, sedangkan rantai itu sepertinya bertambah kuat. Hingga akhirnya aku kehabisan tenaga dan roboh menimpa sebuah gedung.

 * * *

Pertunjukkan untuk hari ini selesai. Suara tepuk tangan penonton terdengar seperti ratusan petasan yang dibunyikan secara bersamaan hingga telingaku serasa mau pecah. Aku melihat wajah-wajah sumringah, tawa lebar anak-anak dan orang tua di depan panggung. Mereka senang. Ya, mereka terlihat sangat senang, sementara aku hampir mati kehabisan tenaga dan rasa ngilu di tulang seperti ditusuk-tusuk jarum.

Aku membungkukkan tubuh dihadapan mereka, bergandengan tangan dengan pawang sialanku layaknya seorang aktor drama menutup pementasan. Mataku terasa berat dan aku sudah tak memiliki tenaga lagi untuk berdiri. Tapi inilah yang harus kulakukan. Basa-basi omong kosong sebelum aku diperbolehkan kembali ke kandang untuk istirahat.

Kandangku yang jaraknya tidak lebih dari seratus meter di luar panggung tampak berkilo-kilo meter jauhnya. Riuh tepuk tangan mengiringi langkahku (si pawang berjalan di sampingku, berlagak seperti seorang kekasih) menuju tirai hitam di belakang panggung. Aku benar-benar telah menghibur mereka. Aku benar-benar membuat mereka bahagia hari ini. Puih!

Aku melepas lelah di kandang sempit ini, merebahkan tubuh dan menatap langit-langit kandang. Kedua kakiku menyandar di jeruji besi yang dingin. Sementara tangan kananku memijat siku lengan kiriku yang terasa nyeri oleh cedera akibat kecelakaan beberapa minggu lalu (untuk sementara aku menyebutnya kecelakaan, walaupun sebenarnya bukan. Tapi itu akan kuceritakan nanti). Sekarang aku ingin istirahat.

Satu persatu anggota sirkus keluar masuk kandang, naik turun panggung untuk ‘menghibur’ manusia-manusia di sana. Pertunjukan sudah hampir usai, namun tetap saja aku tidak bisa tidur. Mungkin karena pikiranku yang terlalu ruwet dan keinginan untuk melempar tubuh para pawang itu ke kerumunan penonton dan membiarkannya jadi bahan tertawaan.

Sudah sepuluh tahun lebih aku melakukan hal gila ini. Berpindah dari satu kota ke kota lain. Memakai baju seperti manusia hingga terlihat begitu konyol. Bergelantungan dari satu tali ke tali lain di atas panggung, melakukan hal-hal yang hanya dilakukan oleh bangsa manusia: naik sepeda, bermain basket, dan ketika aku berhasil melakukannya, ratusan penonton tertawa. Pawang puas. Namun bagiku, tawa mereka tak lebih dari suatu penghinaan. Aku yakin, seperti itulah yang mereka pikirkan sebenarnya: ejekan. Mereka menganggap apa yang kulakukan sebenarnya tak pantas untuk kulakukan. Aku bukan manusia. Hanya manusia yang boleh melakukan itu. Ini seperti orang yang sedang terkena hukuman dan diganjar dengan dipaksa melakukan aksi perbuatan seperti seekor monyet; berjalan layaknya monyet, pasang muka seperti monyet, gerak tangan seperti monyet. Lalu para penghukum itu terbahak (aku pernah melihat hukuman seperti itu, sumpah!). Ya, seperti itulah aku di atas panggung.

Selama sepuluh tahun itu aku menjalani ‘hukuman’ tersebut, namun tak pernah mengalami amarah sebesar ini. Mungkin karena sebelumnya rasa takutku pada para pawang jauh lebih besar hingga menindih kuat-kuat jiwa memberontakku. Selama itu aku manut apa yang mereka perintahkan. Duniaku hanya sebatas panggung dan kandang. Tidak lebih. Hingga pada satu hari, sekitar tiga minggu lalu, muncul seekor anak gorila. Aku perkirakan usianya baru 5 tahun. Kami sedang tidak ada pertunjukan waktu itu. Aku tengah berleha-leha di dalam kandang sambil menikmati dedaunan. Begitupun dengan binatang-binatang lainnya. Selama tak ada pertunjukan, kami ditempatkan di dalam ruangan luas berjendela besar tanpa kaca sehingga angin bebas keluar masuk. Gorila kecil itu muncul dari balik pintu, di tempatkan dalam kandang besi yang sempit, didorong dengan kereta sorong oleh tiga orang bertubuh kekar. Di dalam kandang, tangan dan kaki gorila muda tersebut diikat dengan rantai besi yang terhubung ke jeruji kandang. Tubuhnya sudah lagi tak punya daya. Ia terbaring, matanya terbuka setengah. Ketika lewat di hadapanku, matanya melekat ke arahku. Sorot yang takkan pernah bisa kulupa. Ia menatap seperti memohon pertolongan. Lalu aku ingat pada diriku sendiri, seperti itu jugalah aku dulu sewaktu pertama kali datang ke tempat jahanam ini.

Entah maksud apa, esok harinya aku dipindahkan. Bersama gorila muda tersebut, kami ditempatkan di belakang bangunan. Di ruang yang terbuka, hanya bagian atas yang tertutup genting. Di situlah kemudian seperti sengaja mereka menyuruhku menyaksikan bagaimana gorila muda itu dilatih (menurut istilah mereka. Tapi bagiku itu adalah penyiksaan).

Aku pernah merasakannya dulu. Bagaimana dunia serasa jungkir balik kala itu. Seperti ada api dalam perut yang panasnya menjalar ke seluruh tubuh. Aku ingin sekali mati. Namun di saat aku sudah hampir sekarat, bajingan-bajingan itu memberiku kehidupan. Sedikit demi sedikit. Daun-daunan yang sangat kubutuhkan selama berhari-hari, akhirnya mereka sodorkan ke mulutku. Tidak banyak. Sekadar supaya aku tetap hidup. Setelah itu, aku kembali tersiksa oleh rasa inginku pada daun-daun itu. Namun kali ini keinginan itu menjadi jauh lebih besar hingga siksaan itu terasa sangat menyakitkan. Aku ketergantungan, sampai akhirnya mau tidak mau aku menuruti apa perintah mereka. Sampai di sini, jangan ditanya mengenai babak belurnya tubuhku oleh cambuk yang mereka lecutkan ke aku. Jangan ditanya lagi apakah sendi-sendi tulangku masih berada di tempatnya.

Namun yang aku rasakan berbeda saat melihat gorila muda ini. Sesakit-sakitnya aku saat disiksa dulu, ternyata jauh lebih tersiksa menjadi penonton drama – menurut bahasa mereka – pelatihan. Mereka mengikat leher gorila muda tersebut dengan rantai, lalu menarik rantainya ke atas dan mengikatkannya di tiang, sampai anak gorila itu harus berjinjit untuk bisa menarik sedikit nafas. Sementara kedua tangannya diikat dengan tali di belakang pinggang. Sekali saja tungkainya menyentuh tanah, oh, aku bisa merasakan, nyawa seperti ditarik ke atas dan tersendat di tenggorokan.

Wajah putus asa, lidah yang terjulur secara refleks saat ujung kakinya kelelahan menahan berat tubuh, gigi-giginya yang mengetat menahan sakit sementara si pawang brengsek menganggap hal tersebut sesuatu yang biasa. Makhluk macam apa sebenarnya manusia itu. Dan, kau tahu, ini semua kami alami demi kebahagiaan orang-orang di depan panggung. Bukan aku saja yang mengalaminya, tapi juga semua hewan yang ada di sini; gajah, singa, jerapah, mereka dirantai, dibiarkan kelaparan, dipukul, dan dicambuk. Hingga sampai sekarang aku masih bisa merasakan trauma itu. Kadang kayu ranting tergeletak di tanah saja membuatku ketakutan.

Marahku sudah tak tertahan lagi ketika gorila muda di hadapanku tengah dipaksa mengangkat kayu di pundak. Pergelangan tangannya masing-masing di pegang oleh satu orang. Dan satu orang lagi memukuli pinggangnya begitu keras. Aku bangkit secara spontan. Kedua tanganku memukuli jeruji besi kandangku, menggoyang-goyangkannya dengan sekuat tenaga berharap bisa menghancurkan besi-besi sialan ini. Namun jeruji ini terlalu kuat. Tanganku lecet, sementara besi kandangku tidak berubah sedikitpun. Aku menggeram dan meraung sekeras-kerasnya hingga hewan-hewan di dalam gedung ikut gaduh.

Tiga orang bajingan itu mendekat ke kandangku. Dalam situasi seperti ini, pastilah mataku sudah merah membara. Kubuka mulutku lebar-lebar di hadapan mereka. Ingin sekali rasanya aku menelan mentah-mentah kepala brengsek mereka satu per satu. Aku melihat wajah tiga orang itu dirundung ketakutan. Dan semakin aku merasakan ciut nyali mereka, semakin besar ambisiku untuk mendobrak kandang.

Kandang mulai bergoyang. Mereka bertambah cemas. Suara hewan di dalam ruangan semakin riuh. Hingga tiba-tiba ada sesuatu menusuk di tengkukku. Tenagaku hilang secara berangsur-angsur. Aku menengok ke belakang dan melihat seorang perempuan berdiri di dekat kandangku, memegang suntikan. Sebelum aku ambruk dan tidak ingat apa-apa lagi, aku masih sempat melihat gorila muda itu terbaring lemas di tanah.

Ketika aku siuman, sontak aku mencoba meraba tubuhku sendiri namun ternyata kedua tanganku diikat rantai. Begitu juga dengan kedua kakiku. Kusapu pandangan ke sekeliling, dan saat itulah aku sadar, 'kurangajar, itu cuma mimpi!' Mimpi yang begitu nyata hingga ketika bangun terasa sangat mengecewakan. Di dalam pingsanku aku sempat bermimpi menjadi seekor gorila raksasa dengan kekuatan yang mampu memporak porandakan seisi kota. Dan bukan hanya itu saja, aku menjadi raja, aku memiliki kebebasan yang selama ini aku inginkan.

Aku terbaring lemas sambil mengingat kembali mimpi itu: rantai-rantai besar mengikat kedua kakiku, dan tubuhku yang ambruk menimpa sebuah gedung. Pegal dan nyeri itu masih terasa sampai aku siuman. Di kandang lain di hadapanku, gorila muda itu sedang terbaring tak berdaya.

Itu terjadi pada tiga hari sebelum pertunjukan yang mengakibatkanku patah tulang lengan.

Selama dua hari itu, tangan dan kakiku tetap terbelenggu dan aku diberi makan sangat sedikit. Ini adalah hukuman atas pemberontakanku.

Sehari menjelang pertunjukan barulah rantai-rantai itu dilepas dan aku diberi makanan yang cukup. Sementara aku menikmati daun-daun segar, aku menyaksikan tubuh gorila muda itu tergeletak di dalam kandang, seperti boneka kain di tempat sampah – lusuh dan tak bernyawa. Kali ini tidak ada rantai di tangan dan kakinya. Meski begitu, tidak aku lihat adanya bekas makanan di sekitar kandangnya.

Setelah hukuman yang menimpaku selama dua hari kemarin, rasa takutku kembali muncul, menghimpit keras keinginanku untuk berontak.

* * *

Aku melakukan atraksi yang sudah beribu-ribu kali kulakoni di depan penonton: berputar-putar dan melompat-lompat di atas sepeda, memasukkan bola basket ke keranjang, bergelantungan dan berjalan di atas tali yang membentang di antara dua tiang tinggi di atas panggung. Pada saat itulah wajah dan sorot mata gorila muda yang memelas itu muncul. Siksaan-siksaan yang ia alami membayang di pikiranku terus menerus. Kemarahanku timbul lagi, di saat aku bergelantungan di tali. Tapi kemudian ketakutan yang amat sangat menguasaiku, membayangkan pukulan demi pukulan, rantai di tangan dan kaki serta rasa haus dan lapar seandainya aku mencoba kembali melakukan pembangkangan. Bayangan tentang diriku yang menjadi seekor gorila raksasa dalam mimpi pun ikut muncul. Andai saja itu bukan mimpi. Aku mengalami keruwetan pikiran yang amat sangat di ketinggian 10 meter di atas panggung. Sampai-sampai aku sudah tak ingin lagi hidup. Kututup mataku saat itu juga lalu menjatuhkan diri. Ada keheningan total saat aku melayang. Aku membayangkan ketegangan di wajah penonton, mereka pastinya mengira ini adalah bagian dari atraksi. Aku membayangkan wajah panik para pawang karena hanya mereka yang tahu bahwa aku benar-benar terjatuh dan akan mati. Satu kali hentakan keras di tubuhku, lalu benturan di kepala. Setelah itu tak ada apa-apa lagi. Sunyi.

Namun ternyata aku tidak mati. Aku terbangun di dalam kandang pada satu siang dengan balutan gips di tangan. Kepalaku pening dan seluruh tubuhku terasa ngilu. Awalnya aku mengira aku sudah berada di alam setelah kematian (oh, aku sering mendengar manusia bicara tentang itu. Aku hanya meniru omongan mereka. Sungguh! Sejujurnya, aku tidak percaya pada kehidupan setelah mati). Namun rasa lapar dan lingkungan yang sangat kukenali, serta gorila muda yang sedang dijemur di bawah panas matahari, menghentak kesadaranku. Aku masih hidup. Brengsek!

Selama tiga minggu lebih setelah itu kerjaku hanya berleha-leha di dalam kandang – makan dan tidur, sambil menyaksikan penyiksaan demi penyiksaan yang masih terus terjadi pada gorila muda itu. Kali ini aku memilih untuk tidak bereaksi apa-apa. Aku menjalani hidupku sendiri seolah tidak ada peristiwa apa-apa di depanku (atau lebih tepatnya, aku menganggap segala hal yang sedang menimpa gorila muda itu hal yang biasa). Aku santai, berbaring dan menikmati dedaunan dan buah-buahan yang mereka beri, sesekali memandangi tangan kananku yang terbungkus gips, sesekali melirik ke arah si gorila muda yang sekarat. Hanya saja, saat itu, aku telah memiliki rencana lain yang akan kujalankan nanti ketika aku sudah kembali ‘manggung’.

Dua minggu kemudian aku dinyatakan pulih. Satu minggu setelah itu aku kembali ke duniaku sebelumnya; atraksi dan panggung. Aku melakukan semua aksi panggung ‘ditemani’ wajah gorila muda di benakku. Aku melihat tubuhnya di tiang basket saat kulempar bola ke keranjang, aku melihat tubuhnya menggantung terkatung-katung dengan rantai di leher saat aku berjalan di titian tali setinggi sepuluh meter. Saat itulah, kembali aku menjatuhkan diri. Aku menyaksikan wajah pawang yang panik dan penonton yang melongo terkesiap menahan nafas. Namun kali ini, ketika hampir tubuhku menubruk landasan panggung, aku meraih tali yang terulur di hadapanku. Aku sudah memikirkan hal ini secara matang jauh-jauh hari. Aku kembali mengayun di udara lalu mendarat dengan selamat. Para pawang dan penonton akhirnya bisa bernafas lega. Namun tidak lama. Belum sempat mereka tersenyum dan bertepuk tangan, aku meloncat ke arah kerumunan penonton. Kepanikan kembali terjadi. Mereka berteriak. Aku mendengar anak-anak kecil menangis. Aku tidak perduli. Orang-orang berlari menghindar sambil memeluk anak-anak mereka. Dua orang laki-laki yang mencoba menghalangiku berhasil kuhajar hingga terpelanting. Aku berlari keluar lewat pintu masuk, sebelum merobohkan penjaga pintu bertubuh kekar dengan memukul selangkangannya. Aku membayangkan diriku sebagai raja gorila yang pernah kuimpikan itu.

Aku terus berlari, mencakar dan memukuli orang-orang di dekatku. Di lapangan parkir tempat sirkus diadakan, aku melompat dari kap mobil satu ke kap yang lain, dan menjatuhkan sederetan sepeda motor. Di trotoar jalanan, aku menjadi tontonan menakutkan para penduduk. Lalu intas yang padat menjadi kacau balau karena aku melompat ke tengah jalan raya dan berloncatan di atas kendaraan. Suara decit rem terdengar mengiris telinga. Tabrakan beruntun pun terjadi. Hingga kemudian aku sampai di atas jalan layang. Aku berdiri di besi pembatas jalan, menghadap matahari sore. Jalanan di bawahku terlihat sibuk. Orang-orang mendongakkan kepala dan kendaraan menghentikan lajunya hanya untuk menyaksikan aksi gorila gila ini.

Aku meraung-raung seperti kesetanan. Aku bebas! Aku adalah raja! Kupukul dadaku keras-keras. Kutarik nafas dalam-dalam, menghirup sepuasnya udara segar lalu meloncat ke jalan raya. Namun belum sampai kakiku menyentuh tanah, terdengar dari arah belakang suara tembakan. Seketika itu juga aku terpental beberapa langkah ke depan. Kaki kiriku serasa terbakar. Dengan sekuat tenaga aku bangkit dan mencoba melanjutkan pelarianku. Seperti menginjak paku tiap kaki kiriku menyentuh tanah dan nyerinya sampai ke ujung kepala. Aku terguling, bangkit lagi, terguling lagi dan bangkit lagi. Aku mulai kehabisan tenaga. Mata berkunang-kunang. Lalu muncul cahaya putih yang sangat menyilaukan. Aku ambruk. Wajah gorila muda malang itu masih sempat muncul sebelum akhirnya semua gelap. Setelah itu aku tidak ingat apa-apa lagi.

Sumber gambar: http://www.markthatcher-design.com/page3.htm


Penulis: Wahyu Heriyadi

Tulisan lain dari Wahyu Heriyadi

Kenali lebih dekat di sini:

Icon Icon mengumpulkan saja

0 comments:

Posting Komentar