Jumat, 28 Februari 2014

- Leave a Comment

Menunggu Akila

Sumber gambar: http://pixabay.com/id/swing-taman-bermain-anak-anak-258236/
Aku masih menunggu Akila, di sini, di tempat ini. Masih sama seperti satu tahun yang lalu, aku duduk memperhatikan setiap jalur masuk yang ada di taman dan berharap Akila datang menghampiriku. Tetapi hingga detik ini, yang kudapat masih sama seperti dua tahun yang lalu, aku hanya melihat anak kecil yang tersenyum riang sebelum akhirnya berlari menghampiri taman bermain. Mungkin, selama tiga tahun menunggu, hanya itulah hiburanku.

Tetapi tenang saja, tidak seluruh masa tiga tahun kuhabiskan di taman ini untuk menunggu. Aku masih waras, Kawan. Aku hanya duduk dan menunggu di sini pada tanggal ini saja. Itu pun tidak seharian, kumulai dari jam setengah empat sore, hingga matahari terbenam saja. Percayalah, Kawan, menunggu itu tidak seromantis apa yang selalu digambarkan film-film di televisi.

Ini memang salahku. Seandainya saja 12 tahun yang lalu aku tidak berkata macam-macam, mungkin sekarang aku tidak perlu repot-repot seperti ini. Dulu, 12 tahun yang lalu, saat itu aku masih kelas satu SMP. Aku mengagumi seorang wanita, adik kelasku di sekolah dasarku. Akila namanya. Beruntung, karena ternyata dia juga mengagumiku.

Masih terlalu muda memang untuk berbicara soal cinta pada waktu itu. Jujur saja, kami tidak tahu apa yang harus kami lakukan begitu kami tahu bahwa kami saling mengagumi. Kami hanya bisa saling tersenyum dan menunduk malu ketika berpapasan, meskipun yang lebih sering terjadi adalah memilih saling menghindari ketika kami hendak berpapasan.

Selepas SD, kudengar Akila akan pindah ke luar kota. Aku resah, walau sebenarnya sehari-hari pun saat itu aku sudah tidak pernah bertemu Akila. Tetapi kata “luar kota” membuatku berpikir bahwa akan ada perpisahan yang jauh dengan Akila. Saat itu juga, aku menuliskan sebuah surat untuk Akila. Melalui surat itu, aku berjanji akan menunggu di hari ulang tahunnya pada 10 hingga 12 tahun mendatang di taman yang sedang kududuki ini.

Aku tidak benar-benar tahu apakah dia membacanya. Aku juga tidak benar-benar tahu apakah perjanjian itu disepakatinya. Yang jelas, bisa kupastikan surat itu sampai padanya. Urusan dia membaca dan menyepakati perjanjian itu, kupasrahkan pada Tuhan saja.
Setelah hampir bosan menunggu, tiba-tiba ada seseorang wanita menghampiri dan menegurku. Aku menengok ke arah suara itu. Aku terdiam memandangi orang yang memanggil namaku.

“Ini aku, Akila,” katanya sambil tersenyum.

Aku tak bisa menahan kebahagiaanku. Jika aku masih berumur lima tahun, mungkin aku sudah melompat kegirangan sambil berteriak, “Akila datang! Akila datang!”

“Hai, kenapa kau terdiam?” katanya menyadarkanku yang terpaku.

“Oh, tidak. Aku hanya…” sial, aku seakan kehabisan kata-kata, “hey, bagaimana kamu tahu aku menunggu di sini?” lanjutku.

“Kerah belakang jaketmu,” kata Akila.

Aku berusaha menggapai kerah belakang jaketku.

“Ada tulisan ‘DIRA’ di situ. Selain itu,” dia menatapku dari atas ke bawah, “kau tidak banyak berubah,” kata Akila melanjutkan. “Oh, iya, sebelum kita ngobrol terlalu jauh, aku ingin ke sana sebentar,” ucap Akila sambil menunjuk ke arah taman bermain.

Aku mempersilakannya. Kemudian, kulihat Akila mendekati dan berbicara pada seorang anak kecil berusia sekitar tiga tahun yang sedang asyik bermain dengan teman-temannya. Setelah itu, Akila kembali menghampiriku.

“Keponakanmu? Lucu. Mirip sekali denganmu,” kataku saat Akila duduk di sebelahku. Akila hanya tersenyum.

“Jadi, apa rencanamu setelah pertemuan ini?” tanya Akila kemudian.

“Rencana? Aku tidak pernah memikirkannya. Apa setiap pertemuan harus memiliki rencana setelahnya?”

“Lalu, apa tujuannya kau ingin menemuiku setelah 12 tahun kita tidak bertemu? Jika memang tidak ada, aku rasa pertemuan kita sudah cukup,” kata Akila yang kemudian berdiri seakan benar-benar akan meninggalkanku.

“Tidak, tunggu. Tunggu sebentar,” kataku sambil menahan dan menggenggam tangan Akila. Aku dan Akila terdiam sejenak. Ini pertama kalinya kami bersentuhan. Percayalah.
Aku menuntunnya untuk duduk kembali.

“Aku memang tidak punya rencana apa-apa. Tapi jika kamu ingin mendengar rencanaku, baiklah. Tunggu sebentar, dan dengarkan baik-baik,” kataku berusaha menahannya agar Akila tak pergi lagi.

Akila melepaskan genggamanku. Kulihat matanya mengarah pada anak yang ditemuinya tadi. Aku berpikir sejadi-jadinya tentang rencana yang diminta Akila. Secepat mungkin, tapi kuharap tidak membuat Akila kecewa.

“Dengar,” kataku sesaat kemudian, “aku tidak ingin kamu pergi lagi. Aku harap kita bisa melanjutkan hubungan kita.”

“Maksudmu?”

“Ya, aku ingin kita bisa menjadi pacar, tunangan, dan selanjutnya menikah.”

“Aku tidak bisa,” kata Akila sambil menggeleng.

Sial. Secepat itu rencanaku dipatahkan Akila.

“Kenapa? 12 tahun aku menunggu, dan kamu hanya membiarkan kita bertemu sehari? Sebenarnya, apa maumu?”

“Dengar, laki-laki selalu menebar harapan, tapi wanita selalu ingin kepastian.”

“Ya, inilah kepastian yang aku berikan padamu.”

Akila malah mengernyitkan keningnya, dan memandangku seakan tak percaya.

“Kenapa? Kamu tidak percaya?”

“Percaya,” katanya sambil tersenyum, “tapi aku tak bisa.”

Belum sempat aku mengatakan sesuatu, tiba-tiba seorang anak yang tadi ditemui Akila datang mendekat. Aku tersenyum kepadanya. Anak itu hanya menatapku tanpa senyum. Dia memeluk Akila.

“Mama, ayo pulang. Papa sudah jemput,” kata anak itu sambil menunjuk seorang lelaki yang berdiri di taman bermain.

Manggarai,
17/10/2013

09:58

Penulis: Nicky Rosadi

Tulisan lain dari Nicky Rosadi

Kenali lebih dekat di sini:

Icon Icon G+

0 comments:

Posting Komentar