Jumat, 11 Juli 2014

- Leave a Comment

All I Am

“All I Am”

Oleh: Dini Afiandri



            Orang-orang di sekitarnya mengenal dia sebagai seorang pria yang tak punya nama belakang. Dia bekerja di sebuah hotel di Nevada, Amerika. Hotel itu punya sebuah bar, Aventurine Bar & Cafe. Di bar itulah ia menghidupi diri. Malam itu, sama seperti malam-malam sebelumnya, ia duduk di belakang piano. Rambut panjangnya diikat sepunggung, berwarna coklat gelap kayu mahogani, dengan helai-helai rambut keemasan terselip bagaikan highlight alami. Cambangnya dibiarkan tumbuh rapi menghiasi pinggiran pipi meski dagunya bersih tak berjanggut. Ia mengenakan tuksedo hitam, di jari manis kanannya ada cincin dengan batu emerald kehijauan. Jemarinya memainkan Smoke Gets in Your Eyes, mengiringi seorang penyanyi wanita berkulit hitam.

            Menjelang akhir lagu, seorang pelayan mengantarkan segelas minuman ke sampingnya.

            “Ini, Cacao. Seperti biasa, segelas Devil’s Chocolate hangat.”
  
          “Terima kasih, Lucas.”

           Pelayan berambut hitam klimis itu meletakkan gelas di meja kecil di samping bangku piano, kemudian berlalu ke balik counter bar. Dulu, sang pianis memperkenalkan diri dengan nama Hazel, tanpa nama belakang. Tapi kini semua penghuni bar memanggilnya dengan nama Cacao karena kegemarannya akan coklat.

            Ia meneguk minumannya sebagian, lalu kembali memainkan piano. Kali ini, terdengar lantunan lagu tema St. Elmo’s Fire, For Just a Moment. Ia memainkan lagu itu secara instrumental tanpa lirik. Di antara denting yang mengalun, pikirannya mengembara ke masa-masa awal ia berada di sana.

           Saat itu akhir pekan. Bar cukup ramai dengan pengunjung, dan sebagian besar merupakan kawan dekat Irina, pemilik bar tersebut yang hari ini menangani sendiri semua pesanan. Irina tampak anggun malam itu, dengan rok rimpel jingga dan lipstik merah dadu.

            “Hei, owner! Nyanyikan satu lagu untuk kami!” Seorang pria menyahut.

            “Boleh, asal kau pesan segelas minuman lagi,” tantang Irina.

           “Beres! Kutraktir semua orang di meja ini!” sambut pria itu.

           Irina meletakkan nampan beserta beberapa gelas bir kosong ke balik meja bar, kemudian naik ke atas panggung. Sambil menyambar mikrofon, ia menyerukan judul lagu dan meminta not yang menghentak dari Cacao. Cacao alias Hazel menurut dan menarikan jemarinya di atas tuts membentuk melodi yang cepat dan bersemangat. Irina mulai bernyanyi.

            For once in my life I have someone who needs me

            Someone I've needed so long
            For once, unafraid, I can go where life leads me
            And somehow I know I'll be strong


             Rok jingga Irina melambai di sisi tubuhnya. Bahu, pinggang, dan tubuh bagian atas perempuan itu bergerak mengikuti irama lagu. Suaranya mantap meski agak serak. Ia tak ragu untuk menyambar nada-nada tinggi, semangatnya terasa pada setiap penekanan di bait-bait yang tepat. Para pengunjung bar bersorak. Mereka berdiri dan berdansa mengelilingi panggung.

            For once, I can say, this is mine, you can't take it!

            As long as I know, I have love, I can make it
            For once in my life.... I have someone who needs me!


            Di akhir lagu, Irina mengangkat mikrofon tinggi-tinggi di atas kepalanya dan meninju udara. Semua orang bertepuk tangan dan bersiul nyaring. Hazel menatap Irina dari balik piano hitam. Di bawah sorotan lampu, Irina tampak begitu hidup, juga cantik. Suaranya yang riang mampu mengenyahkan segala kegundahan. Malam itu, Hazel menatapnya, dan mendadak keberadaannya di sana memiliki arti.
      
     
* * *


            Sore itu, sebelum bar dibuka untuk pengunjung, para karyawan bar berkumpul untuk briefing singkat. Irina berpidato sebentar di depan mereka semua. Dia mengingatkan pada mereka tentang perhelatan malam tahun baru yang akan diadakan beberapa hari lagi.

            “Sebagaimana yang kalian tahu, ini acara yang cukup penting. Maka diputuskan akan ada yang sedikit berbeda tahun ini. Promosi untuk pesan tempat sudah disebarluaskan, dan kejutannya adalah.... Aku mempromosikan bahwa pianis terkenal kita, Cacao, akan tampil solo di akhir acara dan bernyanyi untuk pertama kalinya! Bagaimana, ide yang bagus, kan?”

           Di barisan karyawan, Hazel berdiri terpaku. Ia bisa merasakan jantungnya berhenti berdetak selama beberapa detik.

           “Cacao, kau setuju, kan? Aku akan memberimu bayaran ekstra.”

            Perlu jeda yang agak lama sebelum akhirnya Hazel bisa bersuara.

           “Maaf, Irina. Aku tak bisa.”

           Bosnya, yang tak menyangka akan ditolak, cuma bisa tertawa kaget. “Kenapa? Aku yakin kau bisa menyanyi. Temanku yang tinggal di motel yang sama denganmu bercerita padaku kalau kau suka bernyanyi malam-malam. Dan katanya, suaramu mengagumkan.”

            “Aku tetap keberatan.”

            “Bisakah kau jelaskan alasanmu?”

            Hazel tertunduk, lalu menggeleng. “Tidak bisa. Maaf.”

            Irina melipat tangan di depan dada dan menatap Hazel dengan pandangan tak suka. Tampaknya ia tidak bisa menerima jawaban barusan dan tetap menunggu karyawannya menjelaskan.

           Hazel menghela napas, panjang dan berat. “Baiklah. Tolong ikut bersamaku setelah jam kerja di bar selesai. Aku akan mengatakan alasannya padamu.”


* * * *


            Akhirnya, selewat dini hari, Irina mengikuti Hazel ke tempat dia tinggal. Hazel tinggal di sebuah motel sederhana. Kamarnya adalah kamar paling ujung di lantai dua. Begitu Irina masuk, kesan pertama yang didapatnya adalah aroma ruangan itu, yang berbau seperti anjing basah bercampur kopi moka. Penerangannya remang-remang. Sebuah sofa coklat usang terletak di tengah-tengah. Di depannya ada sebuah meja kopi kecil. Di ujung kiri dekat jendela ada sekat, Irina yakin di situ tempat Hazel tidur. Entah kenapa, pikiran itu membuat pipinya bersemu merah.

            “Duduklah. Kau mau minum apa?” Hazel membuka jas dan menggantungkannya di belakang pintu.

           “Tak usah. Bisakah kau segera jelaskan alasanmu mengundangku kemari? Apa ini sesuatu yang begitu pribadi sampai karyawan yang lain tak boleh tahu?”

           Hazel berdeham. “Bisa dibilang seperti itu.”

           “Jadi?”
  
          Hazel menatap Irina yang kini duduk di sofa. Mata abu-abu itu menyiratkan sesuatu yang asing. “Aku punya rahasia, Irina. Rahasia mengapa aku tak bisa menyanyi di depan publik. Aku memutuskan hanya kau yang akan kuberitahu tentang hal ini.”
  
          “Oh, aku merasa tersanjung.” Irina menukas sinis. “Apa itu?”
   
         “Maukah kau berjanji dulu takkan menceritakannya pada orang lain?”

            “Jangan bertele-tele. Katakan saja!”
    
        “Sebenarnya, aku......”


* * * * *


            “Kau bercanda, kan? Itu konyol!” Irina berdiri dari kursi.

            “Sungguh, percayalah!”

           “Kalau kau tak punya alasan yang lebih bagus dari ini, kau tetap harus menyanyi di acara itu. Aku yang mempekerjakanmu, dan ini cara agar semuanya mendapat bonus tambahan akhir tahun. Cari alasan yang lebih masuk akal, Caca—maksudku, Hazel.”

           Hati Hazel terasa perih mendengar Irina tak lagi menyebut panggilan akrabnya. Irina bangkit dan berjalan cepat ke pintu. Sebelah tangan Hazel menahannya.
  
          “Alasan yang lebih bagus? Oke. Aku mencintaimu.”

            Irina tertegun. Hazel mempererat genggamannya di pergelangan tangan Irina.

            “Aku sudah mencintaimu sejak melihatmu menyanyi untuk pertama kali. Kau begitu penuh dengan semangat hidup. Semangat itu pulalah yang memberiku keberanian untuk terus hidup. Irina, aku—”

           “Bukan waktunya bicara omong kosong.” Irina menepis tangan Hazel dengan kasar. Ada butir-butir penyesalan di matanya.

           “Kau akan tampil solo dan menyanyi di acara itu. Titik!”
   
         Irina keluar dan membanting pintu. Meninggalkan Hazel sendirian dalam ruangan yang gelap.



* * * * * *

                       
            Dua hari berlalu dengan cepat, dan malam tahun baru pun tiba. Bar Aventurine didekorasi dengan kertas perak, merah dan hijau. Terompet dan petasan crackers dibagikan gratis kepada para pengunjung untuk dibunyikan tepat pada tengah malam. Malam itu, Hazel mengenakan setelan terbaiknya dan berdandan lebih rapi dari biasanya. Menjelang puncak acara, ia sempat bicara empat mata dengan Irina.
  
          “Aku hanya ingin memastikan. Kemarin aku sudah mengatakan perasaanku. Kenapa kau tak menjawabnya?” Wajah Hazel hanya berjarak sekian senti dari Irina. Irina membuang muka dan mengalihkan tatapan.

           “Aku tidak bisa, Hazel. Aku... Hmm, aku sudah menjalin hubungan dengan orang lain.”

           Hazel terdiam sesaat. “Apa aku kenal orang itu?”
  
          “Dia... Dia Lucas. Kami merahasiakan ini dari karyawan lain. Aku tak mau ini jadi skandal.”

            Hazel menarik tubuhnya menjauh. Mata abu-abunya berubah dingin. Irina menggerakkan bahu dengan kikuk. “Maaf, Hazel. Aku—”
  
          “Bos, sudah hampir waktunya acara utama.” Tiba-tiba Lucas muncul. Irina buru-buru menjauh dari Hazel. “Tunda acaranya,” jawab Irina. “Katakan bahwa kita akan menampilkan acara lain, dan—”
      
      “Aku akan menyanyi.”
    
        Irina menoleh pada Hazel dengan heran. Lucas menatap mereka berdua penuh tanda tanya.

            “Aku akan menyanyi untuk mereka. Itu kan yang kau mau?” Hazel melangkah menuju panggung. Tapi ini hanya karena kau yang minta, batinnya tanpa kata-kata.
  
          “Ladies and gentlemen, inilah acara utama malam ini. Beri sambutan yang meriah untuk pianis ternama, Cacao!” Hazel membungkuk memberi salut kepada para penonton. Beberapa pengunjung memberikan tepuk tangan sopan sebagai sambutan. Ia duduk di belakang piano. Menyapukan jarinya di sepanjang tuts putih tanpa suara. Setelah merilekskan bahu, ia menekan not pertama. Intro mulai dimainkan. Irama yang lembut dan sedih. Hazel menarik napas panjang, lalu mulai menyanyi:

            Who do you think you see

            When you look at me
            Is it somebody strong
            Somebody you could admire



            And who do you think I am
            When I take your hand
            Are you counting on me
            To fill your dreams and your desires



            Ternyata suara Hazel memang sangat indah. Berat, namun menyentuh. Penghayatannya akan lagu itu luar biasa. Dahinya berkerut. Kepalanya penuh dengan perasaan terhadap Irina dan kilas balik percakapan mereka.

            Well all I am

            Is lonely just like you
            All I wanna do
            Is have one dream come true
            All I am is handing you my heart
            And hoping to be part of you


            Begitu memasuki bait chorus, wujudnya sedikit demi sedikit mulai berubah. Cambang di sisi kiri dan kanan pipinya memanjang. Tumbuh bulu di punggung tangannya, kukunya berubah menjadi cakar kekuningan. Hidung dan mulutnya melebar, membentuk moncong dengan seringai menyeramkan. Dua taring yang panjang muncul dari pinggir bibirnya. Hazel terus menyanyi. Hanya saja kini liriknya berubah.

            Who do you think I am

            Standing in the dark
            I am waiting for you
            Why can't  I eat you from here


            And how do I get to you

            Won't you let me through
            Don't  you think maybe you
            Have blood and flesh to be shed



           Punggung jas Hazel sobek, rambut cokelat mengilap menyeruak dari balik kain. Ikat rambutnya putus, dan kini rambutnya tergerai di sisi wajahnya yang berbulu, sepenuhnya keemasan. Hazel masih terus memainkan piano, tapi kini nada yang dimainkan semakin cepat hingga menyerupai sonata Beethoven. Cakarnya memukul-mukul tuts dengan keras. Beberapa penonton menjerit. Sebagian berlarian, berebut untuk keluar dari bar. Hanya seorang anak muda mabuk dengan dandanan punk yang berteriak: “Spesial efeknya keren!”

            “Siluman anjing?”

           “Ya. Aku berubah jadi bentuk asliku kalau dipicu emosi, terutama ketika menyanyi.”
  
          “Jangan bercanda! Werewolf saja aku tak percaya. Ini malah weredog?”
   
         “Ini sungguhan. Aku tidak bohong!”
  
          “Kau bercanda, kan? Itu konyol!”
    
        “Sungguh! Percayalah!”


           Perubahan wujudnya kini sempurna. Ia seutuhnya menjadi monster. Namun ia tak bergerak dari tempatnya, menyanyikan chorus terakhir dengan suara yang lebih menyerupai geraman. Setelah lagu itu selesai, monster itu melayangkan pandangan. Irina sedang terduduk kaku di sudut karena syok, matanya menatap tak percaya pada monster di hadapannya. Lalu ia bergegas bangkit berdiri dan lari menyusul yang lain ke pintu keluar.
  
          Hazel mendongak dan melolong pedih. Ia memilih untuk merangkul siapa dirinya. Ya, inilah dirinya yang sesungguhnya. All I am.


Penulis: Dini Afiandri

Tulisan lain dari Dini Afiandri

Kenali lebih dekat di sini:

Icon Icon

0 comments:

Posting Komentar