“All I Am”
Oleh: Dini Afiandri
Orang-orang
di sekitarnya mengenal dia sebagai seorang pria yang tak punya nama belakang. Dia
bekerja di sebuah hotel di Nevada, Amerika. Hotel itu punya sebuah bar,
Aventurine Bar & Cafe. Di bar itulah ia menghidupi diri. Malam itu, sama
seperti malam-malam sebelumnya, ia duduk di belakang piano. Rambut panjangnya
diikat sepunggung, berwarna coklat gelap kayu mahogani, dengan helai-helai
rambut keemasan terselip bagaikan highlight
alami. Cambangnya dibiarkan tumbuh rapi menghiasi pinggiran pipi meski
dagunya bersih tak berjanggut. Ia mengenakan tuksedo hitam, di jari manis
kanannya ada cincin dengan batu emerald kehijauan. Jemarinya memainkan Smoke Gets in Your Eyes, mengiringi
seorang penyanyi wanita berkulit hitam.
Menjelang akhir lagu, seorang
pelayan mengantarkan segelas minuman ke sampingnya.
“Ini, Cacao. Seperti biasa, segelas
Devil’s Chocolate hangat.”
“Terima kasih, Lucas.”
Pelayan berambut hitam klimis itu
meletakkan gelas di meja kecil di samping bangku piano, kemudian berlalu ke
balik counter bar. Dulu, sang pianis
memperkenalkan diri dengan nama Hazel, tanpa nama belakang. Tapi kini semua
penghuni bar memanggilnya dengan nama Cacao karena kegemarannya akan coklat.
Ia meneguk minumannya sebagian, lalu
kembali memainkan piano. Kali ini, terdengar lantunan lagu tema St. Elmo’s
Fire, For Just a Moment. Ia memainkan
lagu itu secara instrumental tanpa lirik. Di antara denting yang mengalun,
pikirannya mengembara ke masa-masa awal ia berada di sana.
Saat itu akhir pekan. Bar cukup
ramai dengan pengunjung, dan sebagian besar merupakan kawan dekat Irina,
pemilik bar tersebut yang hari ini menangani sendiri semua pesanan. Irina
tampak anggun malam itu, dengan rok rimpel jingga dan lipstik merah dadu.
“Hei, owner! Nyanyikan satu lagu untuk kami!” Seorang pria menyahut.
“Boleh, asal kau pesan segelas
minuman lagi,” tantang Irina.
“Beres! Kutraktir semua orang di
meja ini!” sambut pria itu.
Irina meletakkan nampan beserta
beberapa gelas bir kosong ke balik meja bar, kemudian naik ke atas panggung.
Sambil menyambar mikrofon, ia menyerukan judul lagu dan meminta not yang
menghentak dari Cacao. Cacao alias Hazel menurut dan menarikan jemarinya di
atas tuts membentuk melodi yang cepat dan bersemangat. Irina mulai bernyanyi.
For once in my life I have someone who needs me
Someone I've needed so long
For once, unafraid, I can go
where life leads me
And somehow I know I'll be
strong
Rok jingga Irina melambai di sisi tubuhnya.
Bahu, pinggang, dan tubuh bagian atas perempuan itu bergerak mengikuti irama
lagu. Suaranya mantap meski agak serak. Ia tak ragu untuk menyambar nada-nada
tinggi, semangatnya terasa pada setiap penekanan di bait-bait yang tepat. Para
pengunjung bar bersorak. Mereka berdiri dan berdansa mengelilingi panggung.
For
once, I can say, this is mine, you can't take it!
As long as I know, I have
love, I can make it
For once in my life.... I have
someone who needs me!
Di
akhir lagu, Irina mengangkat mikrofon tinggi-tinggi di atas kepalanya dan
meninju udara. Semua orang bertepuk tangan dan bersiul nyaring. Hazel menatap
Irina dari balik piano hitam. Di bawah sorotan lampu, Irina tampak begitu
hidup, juga cantik. Suaranya yang riang mampu mengenyahkan segala kegundahan.
Malam itu, Hazel menatapnya, dan mendadak keberadaannya di sana memiliki arti.
* * *
Sore itu, sebelum bar dibuka untuk
pengunjung, para karyawan bar berkumpul untuk briefing singkat. Irina berpidato sebentar di depan mereka semua.
Dia mengingatkan pada mereka tentang perhelatan malam tahun baru yang akan
diadakan beberapa hari lagi.
“Sebagaimana yang kalian tahu, ini
acara yang cukup penting. Maka diputuskan akan ada yang sedikit berbeda tahun
ini. Promosi untuk pesan tempat sudah disebarluaskan, dan kejutannya adalah....
Aku mempromosikan bahwa pianis terkenal kita, Cacao, akan tampil solo di akhir
acara dan bernyanyi untuk pertama kalinya! Bagaimana, ide yang bagus, kan?”
Di barisan karyawan, Hazel berdiri
terpaku. Ia bisa merasakan jantungnya berhenti berdetak selama beberapa detik.
“Cacao, kau setuju, kan? Aku akan
memberimu bayaran ekstra.”
Perlu jeda yang agak lama sebelum akhirnya
Hazel bisa bersuara.
“Maaf, Irina. Aku tak bisa.”
Bosnya, yang tak menyangka akan
ditolak, cuma bisa tertawa kaget. “Kenapa? Aku yakin kau bisa menyanyi. Temanku
yang tinggal di motel yang sama denganmu bercerita padaku kalau kau suka
bernyanyi malam-malam. Dan katanya, suaramu mengagumkan.”
“Aku tetap keberatan.”
“Bisakah kau jelaskan alasanmu?”
Hazel tertunduk, lalu menggeleng.
“Tidak bisa. Maaf.”
Irina melipat tangan di depan dada
dan menatap Hazel dengan pandangan tak suka. Tampaknya ia tidak bisa menerima
jawaban barusan dan tetap menunggu karyawannya menjelaskan.
Hazel menghela napas, panjang dan
berat. “Baiklah. Tolong ikut bersamaku setelah jam kerja di bar selesai. Aku
akan mengatakan alasannya padamu.”
* * * *
Akhirnya, selewat dini hari, Irina
mengikuti Hazel ke tempat dia tinggal. Hazel tinggal di sebuah motel sederhana.
Kamarnya adalah kamar paling ujung di lantai dua. Begitu Irina masuk, kesan
pertama yang didapatnya adalah aroma ruangan itu, yang berbau seperti anjing
basah bercampur kopi moka. Penerangannya remang-remang. Sebuah sofa coklat
usang terletak di tengah-tengah. Di depannya ada sebuah meja kopi kecil. Di
ujung kiri dekat jendela ada sekat, Irina yakin di situ tempat Hazel tidur.
Entah kenapa, pikiran itu membuat pipinya bersemu merah.
“Duduklah. Kau mau minum apa?” Hazel
membuka jas dan menggantungkannya di belakang pintu.
“Tak usah. Bisakah kau segera
jelaskan alasanmu mengundangku kemari? Apa ini sesuatu yang begitu pribadi
sampai karyawan yang lain tak boleh tahu?”
Hazel berdeham. “Bisa dibilang
seperti itu.”
“Jadi?”
Hazel menatap Irina yang kini duduk
di sofa. Mata abu-abu itu menyiratkan sesuatu yang asing. “Aku punya rahasia,
Irina. Rahasia mengapa aku tak bisa menyanyi di depan publik. Aku memutuskan
hanya kau yang akan kuberitahu tentang hal ini.”
“Oh, aku merasa tersanjung.” Irina
menukas sinis. “Apa itu?”
“Maukah kau berjanji dulu takkan
menceritakannya pada orang lain?”
“Jangan bertele-tele. Katakan saja!”
“Sebenarnya, aku......”
* * * *
*
“Kau bercanda, kan? Itu konyol!”
Irina berdiri dari kursi.
“Sungguh, percayalah!”
“Kalau kau tak punya alasan yang lebih
bagus dari ini, kau tetap harus menyanyi di acara itu. Aku yang
mempekerjakanmu, dan ini cara agar semuanya mendapat bonus tambahan akhir
tahun. Cari alasan yang lebih masuk akal, Caca—maksudku, Hazel.”
Hati Hazel terasa perih mendengar
Irina tak lagi menyebut panggilan akrabnya. Irina bangkit dan berjalan cepat ke
pintu. Sebelah tangan Hazel menahannya.
“Alasan yang lebih bagus? Oke. Aku
mencintaimu.”
Irina tertegun. Hazel mempererat genggamannya di
pergelangan tangan Irina.
“Aku sudah mencintaimu sejak
melihatmu menyanyi untuk pertama kali. Kau begitu penuh dengan semangat hidup.
Semangat itu pulalah yang memberiku keberanian untuk terus hidup. Irina, aku—”
“Bukan waktunya bicara omong
kosong.” Irina menepis tangan Hazel dengan kasar. Ada butir-butir penyesalan di
matanya.
“Kau akan tampil solo dan menyanyi
di acara itu. Titik!”
Irina keluar dan membanting pintu.
Meninggalkan Hazel sendirian dalam ruangan yang gelap.
* * * *
* *
Dua hari berlalu dengan cepat, dan
malam tahun baru pun tiba. Bar Aventurine didekorasi dengan kertas perak, merah
dan hijau. Terompet dan petasan crackers dibagikan
gratis kepada para pengunjung untuk dibunyikan tepat pada tengah malam. Malam
itu, Hazel mengenakan setelan terbaiknya dan berdandan lebih rapi dari biasanya.
Menjelang puncak acara, ia sempat bicara empat mata dengan Irina.
“Aku hanya ingin memastikan. Kemarin
aku sudah mengatakan perasaanku. Kenapa kau tak menjawabnya?” Wajah Hazel hanya
berjarak sekian senti dari Irina. Irina membuang muka dan mengalihkan tatapan.
“Aku tidak bisa, Hazel. Aku... Hmm,
aku sudah menjalin hubungan dengan orang lain.”
Hazel terdiam sesaat. “Apa aku kenal
orang itu?”
“Dia... Dia Lucas. Kami merahasiakan
ini dari karyawan lain. Aku tak mau ini jadi skandal.”
Hazel menarik tubuhnya menjauh. Mata
abu-abunya berubah dingin. Irina menggerakkan bahu dengan kikuk. “Maaf, Hazel.
Aku—”
“Bos, sudah hampir waktunya acara
utama.” Tiba-tiba Lucas muncul. Irina buru-buru menjauh dari Hazel. “Tunda
acaranya,” jawab Irina. “Katakan bahwa kita akan menampilkan acara lain, dan—”
“Aku akan menyanyi.”
Irina menoleh pada Hazel dengan
heran. Lucas menatap mereka berdua penuh tanda tanya.
“Aku akan menyanyi untuk mereka. Itu
kan yang kau mau?” Hazel melangkah menuju panggung. Tapi ini hanya karena kau yang minta, batinnya tanpa kata-kata.
“Ladies
and gentlemen, inilah acara utama malam ini. Beri sambutan yang meriah
untuk pianis ternama, Cacao!” Hazel membungkuk memberi salut kepada para
penonton. Beberapa pengunjung memberikan tepuk tangan sopan sebagai sambutan.
Ia duduk di belakang piano. Menyapukan jarinya di sepanjang tuts putih tanpa
suara. Setelah merilekskan bahu, ia menekan not pertama. Intro mulai dimainkan.
Irama yang lembut dan sedih. Hazel menarik napas panjang, lalu mulai menyanyi:
Who do you think you see
When
you look at me
Is
it somebody strong
Somebody
you could admire
And
who do you think I am
When
I take your hand
Are
you counting on me
To
fill your dreams and your desires
Ternyata suara Hazel memang sangat indah.
Berat, namun menyentuh. Penghayatannya akan lagu itu luar biasa. Dahinya
berkerut. Kepalanya penuh dengan perasaan terhadap Irina dan kilas balik
percakapan mereka.
Well all I am
Is
lonely just like you
All
I wanna do
Is
have one dream come true
All
I am is handing you my heart
And
hoping to be part of you
Begitu memasuki bait chorus,
wujudnya sedikit demi sedikit mulai berubah. Cambang di sisi kiri dan kanan
pipinya memanjang. Tumbuh bulu di punggung tangannya, kukunya berubah menjadi
cakar kekuningan. Hidung dan mulutnya melebar, membentuk moncong dengan
seringai menyeramkan. Dua taring yang panjang muncul dari pinggir bibirnya.
Hazel terus menyanyi. Hanya saja kini liriknya berubah.
Who do you think I am
Standing
in the dark
I
am waiting for you
Why
can't I eat you from here
And how do I get to you
Won't
you let me through
Don't you think maybe you
Have
blood and flesh to be shed
Punggung jas Hazel sobek, rambut
cokelat mengilap menyeruak dari balik kain. Ikat rambutnya putus, dan kini
rambutnya tergerai di sisi wajahnya yang berbulu, sepenuhnya keemasan. Hazel
masih terus memainkan piano, tapi kini nada yang dimainkan semakin cepat hingga
menyerupai sonata Beethoven. Cakarnya memukul-mukul tuts dengan keras. Beberapa
penonton menjerit. Sebagian berlarian, berebut untuk keluar dari bar. Hanya
seorang anak muda mabuk dengan dandanan punk
yang berteriak: “Spesial efeknya keren!”
“Siluman
anjing?”
“Ya.
Aku berubah jadi bentuk asliku kalau dipicu emosi, terutama ketika menyanyi.”
“Jangan
bercanda! Werewolf saja aku tak percaya. Ini malah weredog?”
“Ini
sungguhan. Aku tidak bohong!”
“Kau
bercanda, kan? Itu konyol!”
“Sungguh!
Percayalah!”
Perubahan wujudnya kini sempurna. Ia
seutuhnya menjadi monster. Namun ia tak bergerak dari tempatnya, menyanyikan
chorus terakhir dengan suara yang lebih menyerupai geraman. Setelah lagu itu
selesai, monster itu melayangkan pandangan. Irina sedang terduduk kaku di sudut
karena syok, matanya menatap tak percaya pada monster di hadapannya. Lalu ia
bergegas bangkit berdiri dan lari menyusul yang lain ke pintu keluar.
Hazel mendongak dan melolong pedih.
Ia memilih untuk merangkul siapa dirinya. Ya, inilah dirinya yang sesungguhnya.
All I am.
0 comments:
Posting Komentar