Minggu, 10 Agustus 2014

- Leave a Comment

Membayangkan Hukum Melalui Cerita Pendek

A. Hukum dan Sastra

Di mana ada masyarakat, di situ ada hukum, kata filsuf Romawi Marcus Tullius Cicero. Pendekatan Hukum dan masyarakat sudah berkembang di Indonesia sejak Soerjono Soekanto mengenalkannya melalui sosiologi hukum. Melalui pendekatannya itu, Soekanto mengelaborasi pemikiran Eropa dan Amerika tentang sosiologi hukum dan mengenalkannya ke Indonesia hingga menjadi disiplin keilmuan yang mapan. Sedangkan hukum dan masyarakat melalui pendekatan Antropologi hukum banyak digunakan oleh para ahli hukum adat yang memerlukan antropologi dalam kerja-kerja analisa dan penelitiannya, fokus perhatiannya adalah hubungan perilaku manusia dan budaya hukumnya.

Namun, yang luput dari perhatian para ahli hukum dan sastra di Indonesia adalah gerakan hukum dan sastra. Di Amerika, misalkan, gerakan hukum dan sastra  dikelompokkan ke dalam Law and Humanities. Gerakan hukum dan sastra ini memang berasal dari Amerika, dan mulai dikembangkan sejak tahun 1970an. Pencetusnya yang termahsyur adalah James Boyd White, pemikirannya hadir bersamaan dengan Studi Hukum Kritis. Sedangkan kampus semacam Oxford di Inggris menempatkan Hukum dan Sastra ke dalam Socio-legal Studies.         

Kini adalah saatnya mensejajarkan artikel dan produk hukum dengan tema hukum di dalam sastra. Dua kata kunci yang mendasar dalam interdisipliner hukum dan sastra adalah; hukum di dalam karya sastra, dan memperlakukan hukum sebagai sastra. Studi hukum dan sastra kontemporer menurut Greg D. Crane dapat dibagi ke dalam empat kategori:
1. Bahwa sastra akan mengajarkan pengacara dan hakim tentang pelajaran moral yang sangat penting. Di dalam budaya yang plural, sastra memberikan pemahaman pada para sarjana hukum dan sastra hal penting dari nilai-nilai yang ada di masyarakat. Martha Nussabaum dalam Poetic Justice (1995) mengungkapkan bahwa hukum dan sastra dapat menggerakkan hakim dan pengacara menerapkan doktrin hukum dengan rasa simpati. Robin west menekankan nilai dari teks sastra sebagai perantara dalam memperdebatkan putusan hakim. West disini menggunakan novel The Trial karya Kafka.
2. Hukum dan sastra dengan metode hermeneutik, telah menerapkan pembelajaran sastra dan teori kritik untuk menantang pandangan tradisional dari interpretasi hukum. Stanley Fish melalui gagasan provokatifnya terhadap sengketa bahwa hakim netral dan objektif menafsirkan aturan-aturan hukum. Ketika menginterpretasikan sebuah undang-undang atau puisi, pembaca tak menemukan artinya, malahan, penulisnya menciptakan sebuah makna yang sesuai dengan harapan yang dimiliki pembaca. Owen fiss dan Ronald dworkin menyebutnya sebagai interpretasi nihilisme.    
3. Studi hukum dan sastra yang memfokuskan pada aspek narasi hukum. Melalui argumen Robert Cover, bahwa doktrin hukum memerlukan narasi budaya yang lebih luas untuk memberikan pemaknaan. Robin West dan Patricia Robin Williams, mendesak agar kita mengakui peran penting yang dimainkan oleh cerita dalam membentuk hukum.
4. Menginvestigasi interaksi sejarah melalui hukum dan sastra. Robert Ferguson mengungkapkan bagaimana abolisionis radikal John Brown menggabungkan konvensi dari sastra pada era romantik dengan berbagai narasi dan dramatisasi dari pengadilan kriminal untuk membuat kharisma potret diri pada tokoh utama yang menjadi korban, dan Brook Thomas menggambarkan bahwa bagaimana figur hukum dan sastra pada abad 19 menemukan doktrin kontrak yang berasal dari nilai-nilai sosial yang mendasar.       

Tema hukum dalam sastra di Indonesia sepertinya jarang disentuh dan dikaji oleh kalangan hukum maupun analis sastra, padahal tema hukum dan sastra ini telah berkaitan sejak lama, dan bahkan hadir sudah sejak lama melalui berbagai karya sastra. Meski bukan tema yang secara nyata dan sengaja ditulis sebagai bagian utama dalam kehidupan dan karyanya oleh sastrawan, tetapi ada dan hadirnya arah dan kesadaran dari sastrawan untuk penulisan tema hukum melalui sastra patut untuk ditelaah mendalam dan lebih jauh. Melalui kajian yang mendalam dan menggabungkan teori sastra dan hukum, maka kita akan melihat bagaimana sastra berbicara tentang hukum. Bahkan boleh dikata, antara sastra dan hukum saling mempengaruhi, saling menginspirasikan, saling mengisi satu sama lain.   

Cerpen merupakan bagian dari sastra, disini akan dibahas beberapa cerpen yang bermain dengan tema hukum. Cerita pendek yang berkembang memiliki gaya penulisan khas dari tiap pengarang terkait dengan teknik penulisan dan imajinasi yang ditawarkan, maka kita terkadang perlu membuka dan menafsir pesan yang disampaikan diantara pola permainan bahasa yang disajikan dalam bentuk cerpen . Diantaranya, kita dapat melihat bagaimana hukum digambarkan melalui ruang pengadilan atau penjara dalam karya sastra. Tentu saja bukan hanya terbatas pada dua tema tersebut, dalam cerpen yang menggarap hukum dalam  sajian sastranya, maka akan terbuka gagasan tentang hukum yang diimajinasikan, diharapkan, atau bahkan tidak diinginkan.   

Bahan cerita pendek yang disajikan berikut ini adalah berdasarkan pada kemudahan akses penulis, sehingga belum mewakili periodisasi atau juga wacana hukum yang hadir dan ditawarkan secara komprehensif melalui karya cerita pendek. Dari 3 cerita pendek berikut, 2 mengambil seting di ruang pengadilan, dan gambaran suasana pengadilan yang dirasakannya, sedangkan 1 cerita pendek bertolak belakang dengan 2 cerita tersebut dimana hukuman langsung ditagih oleh masyarakat kepada pelaku yang dianggap melakukan kejahatan, sementara itu pelaku yang dianggap melakukan kejahatan memilih sendiri hukumannya.  

B. Kegelisahan memasuki pengadilan

“Kau tidak percaya bahwa surat ini asli?”
“Bukan demikian,” kata kritikus Adinan, “selama hidup saya tidak pernah berhubungan dengan pengadilan”
“Tapi saya mencurigai caramu memandang, kritikus Adinan.”
“Bukan demikian,” kata kritkus Adinan, “saya mengagumi cap yang melambangkan keadilan ini.” Tamu itu tertawa singkat.
(Budi Darma, Kritikus Adinan, 2008:36)   

Suatu hari kritikus Adinan dipanggil ke pengadilan, hal ini membuatnya kaget sekaligus bingung. Ditambah lagi dengan suasana di gedung pengadilan yang asing. Budi Darma menggambarkan suasananya dengan “alam” yang seakan ikut berbicara di sana. Seperti dari pintu terdapat suara angin. Padahal, itu suara dari dalam ruang sidang.

Ruang tunggu sidang seperti sebuah tempat yang sunyi. Seakan menyimpan keangkeran. Sebuah dunia “ruang sidang” yang seakan tidak manusiawi, karena menawarkan sebuah kesunyian. Tak ada apapun yang bisa dibaca di sana, begitulah kritikus Adinan mengeluhkannya, dan juga tidak ada informasi yang bisa dibaca di ruang tunggu pengadilan, yang ada malahan hanya majalah.  Hal yang terang dan dapat dipahami adalah maksud dipanggilnya kritikus Adinan ke pengadilan untuk mengadili permasalahan identitas kritikus yang melekat pada diri kritikus Adinan. Identitas Kritikus Adinan sebagai kritikus di sini telah di gugat.  

Gambaran tentang pengadilan dalam kritikus Adinan karya Budi Darma ini seperti sebuah kondisi dimana pengadilan di dalam mengadili mempersoalkan sesuatu yang bersifat tidak jelas. Sebuah panggilan dari pengadilan dengan motif mempertanyakan identitas seorang kritikus.  

C. Ruang Pengadilan yang Berdarah-darah Disebabkan ‘Tanpa Mata’

Saksi mata itu datang tanpa mata.
Ia berjalan tertatih-tatih di tengah ruang pengadilan dengan tangan meraba-raba  udara.
Dari lobang pada bekas tempat kedua matanya mengucur darah yang begitu merah bagaikan tiada warna merah yang lebih merah dari merahnya darah yang mengucur perlahan-lahan dan terus menerus dari lobang mata itu.
(Seno Gumira Ajidarma, Saksi Mata, 2010:8)   

Cerita pendek yang berlatar ruang pengadilan karya Seno Gumira Ajidarma ini menawarkan sebuah komedi gelap tentang pengadilan. Sebuah mitos yang beredar di masyarakat tentang hukum adalah hukum itu buta, tidak memandang siapapun jika sudah berhadapan dengan hukum.

Ini berasal dari mitologi Yunani tentang dewi keadilan yang bernama Themis. Themis memegang timbangan di tangan kiri sebagai simbol untuk menimbang kebaikan dan kejahatan, dan memegang pedang keadilan di tangan kanan sebagai simbol untuk menebas ketidakadilan. Mata Themis ditutup dengan kain. Mata yang tertutup inilah yang kemudian menyiratkan sebuah mitos hukum itu buta.

Sehingga mata itu menjadi sebuah tanda dimana “ketidakadaan mata” adalah sebuah tanda untuk menuju hukum yang didambakan, sedangkan dengan adanya mata maka tanda tentang keadilan seakan-akan “tidak tercapai.” “Ketidakadaan mata” adalah sebuah mitos yang menggambarkan sebuah proses pencarian hukum yang ideal.

Mari kita lihat bahwa ketidakadaan mata tokoh saksi mata ini berasal dari mimpi, sedangkan hakim di dalam persidangan ini adalah nyata. Sehingga, antara “tidak ada mata” yang dapat dikatakan adalah mimpi ini mesti hidup di ruang persidangan yang sarat dengan berbagai cara untuk mencapai akses keadilan.

Dalam kisah ini, ketidakadaan ‘mata’ masuk ke pengadilan melalui tokoh saksi mata yang ketidakadaan matanya itu karena dipaksakan oleh orang-orang serupa ninja berbaju hitam-hitam.Tujuannya adalah untuk dijadikan Tengkleng (masakan khas Surakarta, sop tulang belulang kambing).           

Saksi mata yang hadir ke persidangan itu menawarkan sebuah dunia dan kesaksian yang surealisme. Sedangkan hakim sebagai penegak hukum, berupaya untuk menjalin alur dalam kisah tersebut.   

“Lho ini bisa dibuktikan Pak, banyak saksi mata yang tahu kalau sepanjang malam saya cuma tidur Pak, dan selama tidur tidak ada orang mengganggu saya Pak.”           
“Jadi terjadinya pasti di dalam mimpi ya?”           
“Saya Pak.”           
“Tapi waktu terbangun mata saudara sudah tidak ada?”           
“Betul Pak. Itu yang saya bingung. Kejadiannya di dalam mimpi tapi waktu bangun kok ternyata betul-betul ya?”           
Hakim menggeleng-gelengkan kepala tidak bisa mengerti.       
“Absurd,” gumamnya.           
(Seno Gumira Ajidarma, Saksi Mata, 2010:12)  

D. Masyarakat yang Mengadili  

Para penulis memahami hukum sebagai aturan yang berlaku di masyarakat. Namun hukuman tentu tidak bisa dipilih oleh pelaku yang dianggap melakukan kejahatan, seperti contoh Anas Urbaningrum tentu tak bisa dihukum berdasarkan pilihannya untuk digantung di monas jika melakukan tindak pindana korupsi. Begitu juga dengan mantan hakim Mahkamah Konstitusi yaitu Akil Mochtar tentu tak dapat dihukum potong jari sesuai dengan keinginannya jika melakukan korupsi, tetapi sebagai hakim tentu wacana hukuman berat sedang menggentayanginya. Ada hukuman yang telah disediakan di dalam perundangan untuk kejahatan yang dilakukan oleh pelaku kejahatan.

Persoalan memilih hukuman ini bisa terjadi di dalam fiksi, dalam hal ini seperti pelaku kejahatan yang memilih bagaimana cara menghukum dirinya sendiri dan dianggap pantas hukuman yang diberikan untuk dirinya sendiri. Sementara itu di dunia nyata tentu hal ini tidak dapat terjadi.   Cerita pendek ‘Lembu di Dasar Laut, karya Afrizal Malna, mengisahkan bahwa hukuman bagi seorang yang bercinta dengan lembu adalah dibuang ke laut. Pilihan hukum ini dipilih berdasarkan dari kemandekan hukum, atau anggapan tidak adanya hukuman bagi kejahatan yang telah dilakukan karena memang kejahatan tersebut dianggap tidak biasa dan belum pernah terjadi sebelumnya di tengah masyarakat, sehingga hukuman akan diberikan masyarakat kepada pelaku kejahatan. Disini masyarakat telah main hakim sendiri, masyarakat merasa bahwa hukum benar-benar ditentukan oleh rasa keadilan masyarakat. Penduduk di kampung tersebut lebih memilih menenggelamkan orang dan lembu itu ke dasar laut dan membiarkannya. Disini kita tidak disuguhkan pada suasana ruang pengadilan formal dimana terdapat aparat penegak hukumnya. Masyarakat disini yang menuntut keadilan langsung terhadap pelaku yang dianggap melakukan kejahatan. Pelaku kejahatan kemudian menghukum dirinya sendiri dengan hukuman yang dipilih oleh dirinya sendiri.

Demi sebuah ketertiban yang didambakan, kita bisa melihat bahwa masyarakat dalam menyelesaikan sengketa yang timbul di dalam diri dan lingkungannya melalui persetujuan-persetujuan. Kejahatan yang terjadi adalah melakukan hubungan seksual dengan binatang. Dalam cerita tersebut, lembu mulai menjadi binatang yang disayangi sekaligus disucikan. Kemudian tokoh tersebut mulai menodai kesucian hubungan manusia dengan binatang tersebut, meski dirasakan oleh tokoh tersebut perbuatan yang dilakukannya berdasarkan keihklasan dan kenikmatan yang timbal balik.  

E. Penutup

Dari berbagai uraian diatas, melalui cerita pendek kita dapat melihat bagaimana karya sastra memberikan ruang imajinasi tentang hukum. Seperti pertanyaan tentang bagaimana jika antara mimpi dan kesadaran dibawa ke ruang pengadilan, persoalan kejahatan di alam mimpi tentu tak bisa dibawa ke dalam pengadilan jika memang terjadi di dalam kehidupan nyata. Meski kemudian kita teringat pada peristiwa-peristiwa rekayasa yang dibuat oleh pengadilan misalnya, bisa jadi dilakukan oleh oknum aparat penegak hukum, atau malahan sistem peraturan yang malahan memungkinnya untuk berbuat demikian.

Jika pada persoalan rasa keadilan di masyarkat tidak terpenuhi, maka tak jarang memang masyarakat melakukan pengadilan sendiri dengan cara main hakim sendiri. Ini tentu berkaitan dengan adanya jarak antara model hukum dengan masyarakat itu sendiri, persepsi tentang hukum dan hukuman di tengah masyarakat memiliki jarak dengan hukum dan hukuman yang dimiliki oleh aparat penegak hukumnya.  

Sastra melalui cerita pendek menghadirkan juga berbagai persoalan mengenai hukum, sehingga dari bayangan dan imajinasi yang dihadirkan melalui sastra, menjadi bahan renungan tentang bagaimana hukum yang berjalan di tengah masyarakatnya. Bisa jadi memang pemenuhan rasa keadilan terus semakin menempuh jalan yang terjal, seiring dengan sastra yang ikut serta menyertai perjalanannya menuju keadilan itu.   

Penulis: Wahyu Heriyadi

Tulisan lain dari Wahyu Heriyadi

Kenali lebih dekat di sini:

Icon Icon mengumpulkan saja

0 comments:

Posting Komentar