Rabu, 29 Oktober 2014

- 2 comments

Konspirasi Membunuh Christopher Nolan

Sumber gambar: Print Screen film Inception
NB: bisa baca sampai selesai? Jika nggak, di kalimat mana kamu berhenti?


   “Mimpi di dalam mimpi, cerita dalam cerita, lukisan di balik lukisan, plot di dalam plot! Sialan, aku sudah tak tahan lagi! Coba katakan, bagaimana bisa kalian hidup di dunia seperti ini?” rutuk Bill, seorang penulis atau calon penulis yang ditulis oleh penulis lainnya.
   (Mengerti, kan?)
   “Ngg, dengan coba untuk tidak memikirkannya?” kata seorang pria yang tampak agak kebingungan dan memiliki bekas cakar di wajahnya. “Ngomong, ngomong dimana aku?”
   “Brengsek, kau ‘mah enak, Lenny! Hidup tanpa beban dan tak usah memikirkan masalah yang tak akan kau ingat lagi dalam sepuluh menit ke depan!”
   “Jangan panggil aku Lenny! Panggil aku Leonard. Apa kita pernah bertemu?”
   “Beberapa hari yang lalu. Aku Bill, dan dia Cobb. Tuh kan, pasti kau sudah lupa rencana kita!”
   Lenny tidak mempedulikan komentar orang yang tidak ia kenal. Ia hanya segera mencari wajah mereka di dalam setumpuk foto yang ia miliki.
   “Aku tidak mengerti apa masalahmu,” kata pria yang disebut sebagai Cobb. “Lenny memiliki masalah lupa ingatan, sementara aku harus memastikan setiap saatnya kalau aku tidak hidup di dunia mimpi. Justru kupikir, kaulah yang tampak tak memiliki masalah. Kerjamu hanya mengikuti orang saja. Pengangguran!”
   Bill naik pitam. “Aku sedang melakukan riset! Kau pikir aku kurang kerjaan apa? Aku sedang mencari inspirasi untuk karakter dalam novel yang akan kutulis. Masalahku justru jauh lebih besar. Dia menjadikanku sebagai penulis, tapi dia sama sekali tidak memberi ide apa-apa untuk kutulis! Aku tak tahan hidup di dunia seperti ini. Karena itu, kita harus membunuhnya!”
   Tiba-tiba Lenny menodongkan pistol ke arah Bill. “Tampaknya kau yang mesti dibunuh. Kau bohong. Kau mengaku sebagai Bill, tapi disini namamu Daniel Llyod,” kata Lenny sambil menunjukkan foto Bill dengan tulisan Daniel Llyod di bawahnya.
   “Astaga, Lenny! Aku tidak bohong. Tenang dulu. Aku memang Bill. Tanya saja dia!”
   “Itu benar, Lenny!” sahut Cobb. “Dia memang brengsek tapi dia tak tak pantas dibunuh.”
   “Jadi kau, Bill?” Lenny agak ragu menarik pelatuk karena verifikasi dari Cobb yang foto dan namanya memang sama dalam catatannya.
   “Ya.”
   “Lalu mengapa disini tertulis Daniel Llyod?”
   “Aku penulis Lenny! Tidak bisakah kau mengerti itu?”
   Calon penulis,” interupsi Cobb dengan santai.
   Bill mendelik pada Cobb. Ia ingin memprotes namun ia harus memprioritaskan nyawanya terlebih dahulu.
   “Memangnya kenapa kalau kau penulis?” tanya Lenny tak paham.
   “Seorang penulis tidak mungkin memberitahu nama aslinya pada orang lain ketika pertama kali bertemu Lenny! Selain itu, seorang (calon, tambah Cobb) penulis kemungkinan besar juga mempunyai nama pena. Kau tidak bisa membunuh orang hanya karena ia satu atau dua kali berbohong padamu!”
   Lenny tampak mempertimbangkannya sesaat. “Jadi kau tidak mengenal John G?”
   “Tentu tidak! Lagipula, kau sudah membunuhnya lusinan kali!” celetuk Bill.
   “Aku sudah membunuhnya?” Lenny tiba-tiba mengalami sakit kepala. Ia mencoba mengingat tapi ingatan terakhir yang dimilikinya adalah kenangan kematian istrinya yang terbunuh di kamar mandi.
   Perlahan-lahan, ia menurunkan pistolnya ke atas meja. Ia melirik ke sekeliling restoran dengan bingung dan mulai mencari catatan di tubuhnya. Apa benar ia sudah membunuh John G? Dimana ia mencatatnya? Hal sepenting ini, pasti sudah ia tatto di tubuhnya. Jika benar dendamnya telah dibalaskan.
   Bill menghela napas lega. “Well, terima kasih telah membantu dengan diam, Cobb!” sindirnya.
   Cobb mengangkat bahu cuek, “Dia punya pistol. Aku bisa apa?”
   “Ngomong-ngomong, kenapa kau juga bernama Cobb? Kau tahu kan, pencuri yang mengajariku mencuri juga namanya Cobb.”
   “Entahlah, mungkin Chris memang mempunyai teman pencuri yang bernama Cobb.”
   “Kalau aku ketemu Cobb lagi. Cobb yang menjebakku, maksudku, aku akan membunuhnya dengan palu ini!”
   Mengapa aku sedang memegang senjata? Dimana aku?
   “Membunuh siapa?” tanya Lenny, setengah sadar.
   Seorang pramusaji menghampiri mereka. “Kalian ingin tambah?” Dia melirik pistol yang dipegang Lenny, tapi tak berkata apa-apa.
   “Eh, tiga cangkir... Lenny kau mau... dua cangkir saja, trims!” ujar Bill, diiringi senyum.
   Pramusaji itu mengangguk, mencatat pesanan mereka dan berbalik pergi.
   “Lenny, kau sudah gila? Sembunyikan itu! Untung saja pelayan itu bukan tipe orang yang ikut campur.”
   “Pistol ini milikku?” tanya Lenny bingung.
   “Oh, Tuhan! Tentu saja itu milikmu. Kau hampir saja menembak —” Bill berhenti. Tiba-tiba ia mendapat inspirasi.
   “Siapa? Siapa yang hampir kutembak?”
   “Christopher Nolan!” tukas Bill. “Kau mengeluarkan pistol itu karena kau ingin membunuhnya. Tadi dia disini. Kesempatan baik. Sayang, sudah lewat. Tapi jangan khawatir, kita akan mendapatkan kesempatan lagi.”
   “Christopher Nolan? Siapa dia? Kenapa aku ingin membunuhnya?” tanya Lenny.
   “Kau tidak tahu siapa Christopher Nolan? Kemana aja kau? Dia otak dibalik semua ini. Dia yang menyuruh John G. untuk membunuh istrimu.”
   “Kau tahu mengenai John G?”
   “Ya. Kau yang menceritakannya padaku Lenny”
   “Jadi kita sudah kenal?”
   “Ya, kita bertiga. Kita semua sama-sama dipermainkan oleh Nolan dan berencana untuk membalas dendam.”
   “Kalau kau sudah kenal aku, seharusnya kau tahu kalau aku tidak suka dipanggil Lenny. Hanya istriku yang memanggilku Lenny. Ngomong-ngomong, siapa namamu?”
   “Aku, B— namaku Daniel Llyod tapi aku lebih suka dipanggil Bill.”
   “Kenapa?”
   “Aku dalam penyamaran. Sudahlah, kau terlalu banyak bertanya. Lebih baik, kau ke toilet, cuci muka, cari fotoku dan Cobb, lihat tatto di tubuhmu, dan kembali ke sini untuk ngebahas cara memancing Nolan keluar dan membunuhnya.”
   Lenny menuruti saran itu, karena ia memang merasa perlu untuk memeriksa tatto di tubuhnya. Ia pun berdiri dan berjalan ke toilet.
   “Itu tadi cerita yang bagus! Kau benar-benar memanfaatkannya. Aku heran kau belum berhasil sebagai penulis,” puji Cobb.
   “Kau tidak keberatan aku membohongi Lenny?” tanya Bill tidak percaya.
   “Tak masalah buatku. Sebentar lagi Lenny juga lupa. Seharusnya kau menyuruhnya menuliskan ‘Bunuh Nolan’ di salah satu catatannya.”
   Bill menggebrak meja, “Sialan, kau benar!”
   “Tapi ingat, jika kau mencoba melakukannya nanti saat Lenny kembali, aku akan mencegahmu. Kita belum mencapai kesepakatan, mengapa aku harus membunuhnya...”
   “Oh, Cobb, ayolah! Apa kau tahan hidup di dalam mimpi? Mimpi di dalam mimpi dalam mimpi dalam mimpi dalam mimpi.... astaga! Kalau aku jadi kamu, aku pasti sudah gila!”
   “Memang,” sahut Cobb setuju. Ia lalu mengeluarkan gasing kecilnya dan memutarnya di atas meja. “Pada awalnya, aku memang tertekan. Tapi lama-lama aku menyadari, siapa yang tidak hidup di dalam mimpi, hah? Bukannya kau sendiri bermimpi menjadi penulis, padahal tidak menulis satu kata pun?”
   “Itu berbeda!” bantah Bill. “Sudah kubilang, Nolan sama sekali tidak memberiku ide! Dia pelit sekali mengenai hal yang satu ini. Seolah-olah, dia menyimpan idenya di kotak rahasia dan menguncinya rapat-rapat.”
   “Kau tidak bisa menunggu ide datang padamu, Bill. Kau harus mencarinya. Atau mencurinya!”
   “Tentu saja, aku mempunyai satu atau dua ide besar untuk novelku, Cobb! Tapi butuh waktu lama untuk mengembangkan dan mewujudkannya. Aku tidak bisa bertahan selama itu. Aku butuh ide yang cepat menghasilkan uang!”
   Cobb mengangkat bahunya dengan cuek, “Untuk sementara, kau bisa bertahan hidup dari mencuri.”
   Bill hendak membalas ketika Cobb memotong kata-katanya, “Hei, Lenny, sebelah sini!”
   Lenny berjalan ke arah mereka dengan ragu-ragu. Ia menatap mereka berdua, lalu melihat catatannya.

   Temui Cobb dan Daniel di restoran..... pukul dua belas siang. Mereka akan membantumu membereskan kasus John Guntuk selamanya.

   “Kalian yang bernama Cobb dan Daniel?” tanya Lenny hati-hati.
   “Ya” sahut Cobb.
   “Oh, God!” gerutu Bill.
   Lenny melihat catatannya, menatap mereka berdua, memeriksa foto hasil jepretannya, dan mengecek jam tangannya.
   “Maaf, aku terlambat!” kata Lenny.
   “Kau tidak terlambat, Lenny. Kau sudah berada disini selama dua jam” gumam Cobb.
   “Oh, ya?”
   “Ya. Dan kita telah sepakat untuk membunuh C. Nolan.” tambah Bill.
   “Dan siapa itu C. Nolan?” tanya Lenny.
   “Dia yang menyuruh John G. untuk membunuh—” tiba-tiba Bill berhenti.
   “Cobb?”
   “Ya?”
   “Totemmu masih berputar!” seru Bill.
   “Oh, baguslah kalau kau sadar. Tadinya aku takut—”
   Bill tiba-tiba merenggut kerah baju Cobb dan membenturkan kepalanya ke atas meja.
   “Hei, tenang Bill! Tenang, ok!?”
   “Katakan, apa maksud semua ini atau aku akan menghajar kepalamu dengan palu!” ancam Bill. Lenny secara refleks menarik senjatanya dan mengarahkannya pada Bill.
   Lepaskan dia! Siapa Bill dan apa itu totem?”
   “Nama dia yang sebenarnya Bill, Lenny. Bukan Daniel,” jawab Cobb.
   “Kau bohong padaku?” tanya Lenny pada Bill. “Mengapa kau bohong padaku? Aku benci pembohong!
   “Lenny, dengar, jangan tembak dia, ok? Percuma, kau tidak akan bisa membunuhnya. Dan dia juga tak bisa membunuhku” ujar Cobb.
   “Mengapa aku tidak bisa membunuhnya?”
   Pertanyaan Lenny dijawab oleh benturan keras ketika palu Bill menghantam meja. Semua pengunjung restoran seketika menoleh, lalu beberapa detik kemudian mereka kembali mengobrol dan menghirup kopi, seolah tidak terjadi apa-apa.
   “Aku tidak bisa membunuhmu, tapi seingatku kau masih bisa merasakan sakit. Benar kan, Tuan Cobb?”
   “Bill, tenanglah! Ok? Akan kujelaskan semuanya, tapi kau harus membiarkanku duduk dulu!”
   “Tidak. Katakan sekarang juga. Apa kau disuruh olehnya?”
   “Apa maksudmu? Disuruh siapa?”
   “Jangan pura-pura. Kau tahu apa yang kumaksud! Kau disuruhnya untuk masuk ke dalam mimpiku dan mencuri ide-ideku. Ide besarku!”
   “Yesus!” seru Cobb tiba-tiba. “Untuk apa Nolan mencuri idemu? Kau dilahirkan dari pikirannya. Demikian juga aku, Lenny dan yang lain. Jadi, katakan padaku, untuk apa mencuri sebuah ide dari boneka yang kita ciptakan sendiri?”
   “Aku tidak mengerti apa yang kalian bicarakan. Kumohon, jelaskan padaku!” pinta Lenny.
   “Jika bukan untuk mencuri ide, untuk apa kau ada di dalam mimpiku?” tanya Bill melunak.
   “Ini bukan mimpimu. Ini mimpinya!”
   Bill tersentak kaget ke belakang, dan ia melepaskan Cobb begitu saja. Cobb memijat lehernya dan merapikan kerah bajunya.
   Bill mencodongkan tubuhnya ke depan dan berbisik, “Mimpinya? Apa yang kita lakukan di dalam mimpinya? Kau gila! Bagaimana kalau Dia tahu?”
   Lenny ikut duduk dan mendengarkan bisik-bisik mereka. Ia memejamkan matanya. Semuanya ini tidak masuk akal. Tapi, yah, tidak ada yang masuk akal kalau kamu tidak bisa mengingat kejadian lima menit yang lalu. Untuk sementara waktu, ia hanya bisa membiarkan dunia di luar dirinya berputar seperti biasanya.
   “Cobb, apa yang kau lakukan di dalam mimpinya?” tanya Bill sekali lagi.
   Cobb tersenyum. “Inception!
   Inception?” Bill terpana. “Kau pikir kau dapat mencurangi Tuhan kita? Yang Mulia, Sir Christopher Nolan?”
   “Dia belum bergelar Sir, Bill.”
   “Oh, sebentar lagi dia akan mendapatkannya. Percayalah...”
   “Jadi apa rencanamu, Cobb? Ide macam apa yang kau coba tanamkan di alam bawah sadarnya?”
   Cobb mengawasi sekitarnya sebelum menjawab. “Aku ingin menyelamatkan Mal, Bill!”
   “Istrimu?”
   Cobb mengangguk.
   “Aku tidak mengerti,” kata Bill. “Nolan sudah membunuh istrimu, dan juga istri Lenny. Dan juga perempuan yang kucintai. Jadi, kenapa kita tidak bunuh saja dia?”
   “Nolan membunuh istriku?” Lenny membuka matanya. “Nolan siapa yang kau maksud? John G. yang membunuh istriku!”
   Bill menoleh, “John G. hanya kaki tangannya! Nolan otaknya. Christopher Nolan! Catat nama itu kalau kau tak ingin lupa.”
   Lenny segera mencari kertas dan pulpen untuk mencatat fakta tersebut. Ia menulis, Chris Nolan menyuruh John G untuk membunuh istrimu. Bunuh dia!
   Karena merasa tak puas, ia mengeluarkan jarum suntik dan berencana untuk mentatto fakta tersebut sebelum ia lupa lagi.
   Whoa, whoa, tunggu sebentar Lenny! Kita tidak akan tahu apa yang akan terjadi pada dunia kita kalau Nolan mati. Lagipula, kalau rencanaku berhasil, istriku dapat hidup kembali begitu pula dengan wanita yang kalian cintai. Kita akan memiliki jalan hidup yang berbeda.”
   “Apa maksudmu?”
   “Aku akan mencoba menanamkan ide pada Chris agar ia mau mengubah jalan cerita Inception. Maksudku, mengapa harus istriku, Mal, yang menjadi tokoh antagonis dalam cerita? Bukannya ada suatu kelompok di awal cerita yang tak mau menerima kegagalan? Harusnya hidupku bercerita tentang diriku melawan kelompok itu. Anggaplah istriku diculik dan aku memasuki mimpi seorang anggota yang penting di dalam kelompok itu, mempengaruhinya dan meyakinkannya bahwa dirinya dianggap tidak berguna dan akan segera dibuang oleh kelompoknya. Agar ia mau membantuku menyelamatkan istriku.”
   Bill mengetukkan jarinya di atas meja. Ia mempertimbangkan gagasan tersebut.
   “Tidak jelek. Tapi jika demikian, hidupmu akan menjadi tipikal film-film Hollywood. Seorang pria berjuang untuk menyelamatkan wanita yang dicintainya. Penonton pasti bosan.”
   Aku tidak peduli, Bill! Ini hidupku! Aku tak butuh penonton. Lagipula, hidupmu juga demikian! Kau mencuri foto untuk memenangkan hati wanita yang kau sukai. Ironisnya, wanita itu ternyata menipumu untuk membantu temannya, yang berujung pada kematiannya sendiri. Apa kau tidak mau mengubah nasibmu itu? Nolan terlalu kejam menuliskan takdir kita!”
   Bill termenung, “Ya. Di antara kita bertiga, mungkin cuma Lenny yang paling beruntung. Walaupun kenyataan hidupnya juga ironis dan dia dimanfaatkan Natalie, setidaknya ia tidak pernah mengingat semua itu.”
   “Siapa Natalie? Aku tak pernah mengenal perempuan yang bernama Natalie.” sahut Lenny seraya menindik lengannya dengan jarum yang telah diisi tinta pulpen.
   Bill melirik sekilas ke arah Lenny, lalu membuang muka. Tak ada gunanya berdebat dengan anterograde amnesia.
   “Ok, Cobb, anggap saja kau dapat mempengaruhi Nolan untuk mengubah jalan hidupmu. Tapi bagaimana caranya?”
   “Kau akan terkejut!” sahut Cobb misterius.
   Bersamaan dengan itu, seorang wanita cantik yang mirip dengan Ellen Page melewati cepat meja Cobb dan menaruh sebuah kotak kayu besar di atasnya. Ia pergi tanpa berkontak mata atau berkata apa-apa.
   “Astaga, apa itu Ellen Page? Demi Tuhan, apa yang ia lakukan disini, Cobb?”
   “Mencuri ini!” sahut Cobb seraya mengusapkan jemarinya ke kotak kayu yang tampaknya telah berusia ratusan tahun. Kotak itu memiliki pola dan simbol ilusi yang mampu menipu mata, seolah-olah tak jelas mana yang awal dan akhirnya. Cobb membolak-balik kotak itu untuk menemukan petunjuk mana arah depan dan belakangnya.
   “Apa itu?” tanya Bill.
   “Kau tahu ini apa,” sahut Cobb sambil mengikuti alur ukiran yang naik-turun bak Tangga Penrose. Cobb menghentikan jarinya. Tampaknya ia menemukan sesuatu.
   “Lenny, pinjam isi pulpenmu.”
   “Tidak... mungkin... Cobb,” kata Bill terbata-bata. “Jangan katakan kalau benda itu kotak rahasia Christopher Nolan!”
   Cobb menusukkan isi pulpen Lenny ke salah satu lubang kecil diantara sekian banyak lubang mur yang ada.
   Tidak terjadi apa-apa.
   Ia lalu memilin isi pulpen itu sedikit ke arah kanan dan seketika kotak itu terjerembab membuka dan menampakkan harta karun di dalamnya. Dadu, koin, kartu As Sekop, buah catur, karet gelang, dan berbagai benda kecil sentimentil lainnya, bertebaran menaburi setumpuk manuskrip tebal yang ada di dalam kotak.
   “Oh, yeah... ini memang kotaknya, Bill!” cetus Cobb dengan penuh kemenangan.
   Cobb meraih tumpukan naskah tersebut dan mulai mencari kisah hidupnya. Bill juga mengambil sebagian, membolak-balik halaman demi halaman, tidak terburu-buru seperti Cobb. Sementara itu, Lenny tertegun menyaksikan kesibukan yang dilakukan dua orang di depannya meskipun ia tak mengerti apa yang terjadi.
   Manuskrip-manuskrip itu berisi draft awal naskah skenario yang ditulis oleh Christopher Nolan. Beberapa diantaranya sudah difilmkan dan lebih banyak lagi berupa ide-ide mentah yang sedikit demi sedikit disempurnakan sampai sedetail-detailnya.
   Bill terkesima ketika membaca premis naskah yang berjudul Anima. Manuskrip itu bercerita tentang potret seorang gadis muda yang keluar dari lukisan dan jatuh cinta pada pelukisnya. Sang pelukis bertemu dengan gadis itu dan seketika itu juga ia jatuh cinta. Si pelukis berkata pada gadis itu kalau ia mirip dengan seseorang yang datang dari mimpi yang sudah dilukisnya.
   Sang gadis tertawa sopan, menanggapi kata-kata itu sebagai rayuan untuk gadis terhormat seperti dirinya dan menjual mahal. Melihat kalau kata-katanya tak dipercaya, sang pelukis secara impulsif menggenggam tangan si gadis dan mengajaknya pergi ke studionya untuk melihat lukisan itu. Tindakan semacam itu bukanlah perilaku seorang lelaki terhormat dan cukup dapat dinilai sebagai bentuk kekurangajaran pada zaman itu.
   Sesampainya di studio, gadis dari lukisan mengekspresikan dengan sempurna keterkejutannya ketika melihat kanvas yang memuat potret dirinya. Setelah itu, tak butuh waktu lama bagi mereka untuk saling merasa belahan jiwa satu sama lain.
   Mereka beberapa kali berkencan, makan di restoran mewah, menonton opera dan teater, dan kemudian menikah. Kehidupan mereka cukup berbahagia meski tak dikaruniai anak. Sang pelukis mulai terkenal dan berkecukupan. Mereka membeli rumah yang lebih besar dengan harapan salah satu dari kamar yang kosong itu akan ditempati anak-anak mereka.
   Namun, tak ada pesta yang tak usai. Suatu hari, studio lama sang pelukis (yang kemudian berubah fungsinya menjadi gudang) kebakaran. Karya-karya perdananya yang dicari oleh banyak kolektor dan berani dibayar mahal, tapi tidak dijual oleh si pelukis, juga tak luput dari kebakaran itu, termasuk Anima.
   Judul sebuah lukisan yang diberikan si pelukis pada gadis yang berasal dari mimpi.
   Lukisan itu terbakar hebat tapi masih menyisakan kanvas lebar dengan sebuah lubang besar di tengahnya. Hanya judul lukisan, ekor rambut, dan tangan kanan sang gadis yang sedang menadah (seolah berkata: ikut aku), yang masih dapat dinikmati oleh mata.
   Sang pelukis merasa sedih. Ia menyalahkan dirinya karena terlalu sibuk dengan pekerjaannya dan selalu lupa untuk memindahkan lukisan itu ke rumah barunya. Tapi, ya sudahlah. Toh, itu cuma lukisan. Ia masih dapat melukis puluhan karya yang lebih baik dari Anima. Mungkin, ia akan meminta istrinya berpose agar lukisannya tampak lebih hidup.
   Sang pelukis membawa pulang lukisan yang terbakar itu, dan bermaksud memberitahu istrinya tentang kejadian yang naas itu. Sang istri tidak ada di rumah, entah pergi ke mana. Si pelukis belum mengkhawatirkannya. Ia membawa masuk sisa lukisan Anima ke salah satu kamar kosong yang dijadikan studio kerjanya, dan menaruhnya dengan hati-hati di pojok dinding.
   Ia melanjutkan pekerjaannya yang tertunda. Waktu bergulir. Tanpa terasa siang telah beganti menjadi malam. Ia melirik jam tangannya. Pukul setengah enam sore. Dimana istrinya? Pada pukul lima sore, istrinya biasanya akan masuk dan membawakan secangkir teh. Perempuan itu lalu akan mundur selangkah dan mengamatinya yang sedang bekerja. Mungkin satu dua patah kata saran perbaikan akan dilontarkan istrinya. Lebih sering, tentunya, sebuah pujian.
   Pelukis itu meletakkan kuasnya. Sebuah kecemasan mulai merayapi hatinya. Ia memanggil nama istrinya dan berkeliling rumah. Pembantu yang dipekerjakannya tidak masuk hari itu karena memang bukan jadwal kerjanya. Ia berjanji pada dirinya sendiri. Setelah hari ini, ia akan menaikkan gaji pembantu itu agar mau menetap di rumahnya yang terpencil. Sedikit pengeluaran ekstra tak jadi masalah. Toh, mereka tak punya anak. Yang penting, harus ada orang yang selalu menjaga dan mengawasi istri yang dicintainya.
   Setelah dua jam mencari di dalam dan di sekitar rumah, akhirnya ia menghubungi polisi. Beberapa bulan kemudian, istrinya masih belum ditemukan. Sang pelukis telah kehilangan semangat hidup. Kerjanya seharian hanya menatap kanvas kosong, membayangkan wajah sang istri. Tanpa anak-anak yang berlarian di dalam rumah, perkawinan mereka bak mimpi di siang bolong. Tak ada jeritan, tak ada hasil yang nyata.
   Perlahan-lahan, wajah istri yang dicintainya mulai memudar dari ingatannya. Ia mulai panik dan mencari foto-foto lama sang istri. Anehnya, tak ditemukan satu pun foto dirinya atau istrinya. Oke, ia memang tidak suka pada kamera. Ia mempercayai takhayul bahwa jiwa manusia akan terperangkap di dalam benda itu jika difoto. Tapi masa iya, ia tidak membuat satu kali pun pengecualian? Di mana foto-foto pernikahan mereka? Sang istri, tentunya, pasti mendesaknya untuk membuat foto pernikahan untuk diperlihatkan kepada anak-cucu mereka kelak, kan?
   Apa ia sudah membuat foto tersebut namun tak pernah ditebus? Atau foto tersebut terbakar habis di studio lamanya? Ia tak tahu. Ia tak ingat....
   Akhirnya, di suatu malam yang sendu, ia memutuskan untuk bunuh diri di sungai Thames.
***
   Air mata Bill menetes dan membasahi manuskrip tersebut, dan seketika hujan turun di luar walaupun matahari masih bersinar cerah. Christopher Nolan yang duduk beberapa meja dari mereka, menoleh sejenak pada hujan yang datang tiba-tiba. Mr. Saito yang sedang menyamar, kembali menarik perhatian Christopher Nolan tentang rencana pembuatan remake film Akira KurosawaSeven Samurai.
   Untuk sementara waktu, Cobb, Bill dan Lenny masih tersembunyi aman.
   “Apa kau sudah gila!?” bentak Cobb pelan. “Mengapa tidak sekalian saja kau menangis dan memanggil guntur ke ruangan ini?”
   “Sorry, sorry... aku terhanyut!” sahut Bill.
   Cobb menggeram pelan. Ia sudah menemukan naskah hidupnya — Inception — dan sedang mencari celah dimana ia bisa membelokkan cerita.
   Bill kembali melanjutkan membaca:

   Saat ingin bunuh diri, si pelukis mendapati dirinya malah menolong seorang wanita muda yang nekat terjun ke sungai Thames. Ia membawa wanita tersebut ke rumah sakit terdekat lalu pulang ke rumah. Niatnya untuk mati telah menguap. Yang ia inginkan sekarang adalah tidur yang nyenyak.
   Esoknya, ia kembali mengunjungi tempat itu dan si wanita telah menunggunya di sana.

   Bill berhenti membaca. Ia tak perlu meneruskan membaca untuk mengetahui endingnya. Si pelukis dan wanita itu tentu akan berdebat dan lalu jatuh cinta. Mereka lalu akan menikah dan si pelukis kembali merasakan gairah hidup dan mulai melukis lagi.
   Seperti biasa, hidup mereka terasa ringan tanpa anak-anak, dan setelah beberapa tahun menikah, si pelukis menemukan kenyataan, bahwa istrinya yang sederhana ternyata mempunyai impian terpendam untuk menjadi penulis. Itulah alasan istrinya nekat menceburkan diri ke sungai Thames beberapa tahun yang lalu ketika naskahnya ditolak dan ia gagal menjadi penulis.
   Sebagai suami yang baik, ia berusaha menyemangati sang istri, tapi yang bersangkutan telah mengubur impiannya itu sejak lama.
   “Yang kuinginkan sekarang adalah melahirkan anakmu, membesarkannya, dan membantunya mengejar mimpinya” jawab sang istri.
   Paradoks
   Bagaimana bisa membantu orang lain untuk mengejar impiannya sementara mimpinya sendiri telah lama dikuburkan?
   Akan tetapi, sang istri memang telah banyak membantunya melewati hari-hari suramnya. Saat-saat kehilangannya. Sehingga ia dapat melukis kembali. Karena itu, meskipun akan dicemooh, ia tetap nekat membuka peti pribadi sang istri yang memuat benda-benda kenangan dari almarhumah ibu dan neneknya.
   Di antara benda kenangan itu, si pelukis tahu ada setumpuk kertas yang diketik dan dijilid rapi. Sang pelukis bermaksud memberikan naskah-naskah tersebut kepada kenalannya yang kebetulan seorang editor. Mungkin satu dari sekian banyak naskah tersebut ada yang layak diterbitkan. Ia ingin mengejutkan istrinya andaikata salah satu dari naskah tersebut lolos dari penilaian editor dan akan diterbitkan. Urusan melanggar privasi, biarlah... nanti saja dibicarakan.
   Rencananya semula, ia akan langsung menyerahkan tumpukan naskah itu kepada editor kenalannya. Tapi nalurinya sebagai seniman merasa tergelitik. Ia mengambil satu judul secara sembarang dan mulai membaca. Setelah membaca beberapa halaman, sang pelukis merasa bosan dan pindah ke naskah lain. Begitu seterusnya....
   Sampai ada satu naskah yang mengejutkannya
   Naskah itu bercerita tentang seorang seniman yang jatuh cinta pada lukisannya. Lalu suatu hari, gadis di lukisannya itu tiba-tiba hidup layaknya Galatea yang diberikan napas kehidupan oleh Aphrodite. Sang gadis menemui si seniman yang tercengang karena menemui orang yang mirip persis dengan lukisannya. Si seniman menganggap kejadian yang dialaminya termasuk langka namun bukan mustahil. Sebuah seni, bagaimanapun juga adalah hasil kumpulan bawah sadar kolektif dari banyak orang yang menghargai nilai estetika. Seorang seniman hanyalah manusia biasa yang peka menangkap nilai estetika itu dan menuangkannya dalam bentuk kreativitas yang dipadatkan entah itu buku, film atau lukisan.
   Sang gadis dan seniman saling jatuh cinta dan mereka menikah hingga suatu hari si gadis menghilang dan lukisannya terbakar.
***
   Itulah yang akan dilakukan Christopher Nolan. Bill yakin itu dan ia pun lalu mulai mengutak-atik karya Nolan yang lainnya.
   “Oh, sial, tulisannya tak bisa dihapus! Tampaknya kita harus turun satu level mimpi ke  bawah lagi, Bill!” gerutu Cobb.
   Bill tidak mendengarkan. Ia menemukan cerita lainnya. Tentang sekelompok manusia yang pindah ke planet Mars karena bencana perang nuklir sehingga Bumi tak layak lagi untuk dihuni. Mereka tinggal di situ, bertahan hidup selama ratusan tahun sampai beberapa generasi. Lingkungan yang keras di Mars membuat bentuk fisiologis mereka berubah sedikit demi sedikit. Tahun 2020, saat generasi keempat mendapati bahwa atmosfer Bumi telah membaik, mereka pun menjalankan misi untuk kembali ke tanah leluhurnya.
   Dan perang planet pertama pun pecah. Para penduduk Bumi mengira dunianya diserang oleh alien yang mirip dengan manusia sehingga negara-negara yang saling berperang menyingkirkan dulu permusuhan yang ada diantara mereka dan bahu-membahu melawan alien.
   Koloni alien berusaha menjelaskan bahwa mereka dulunya adalah manusia dan Bumi adalah tanah leluhurnya. Penduduk Bumi tidak percaya. Lalu, setelah dilakukan beberapa kali penelitian oleh pakar-pakar terkemuka di bidangnya, dengan subjek alien-alien yang diculik (hidup atau mati), penduduk Bumi pun menemukan bahwa fakta tersebut benarlah adanya.
   Akan tetapi para penduduk Bumi yang menetap dan selamat dari perang nuklir, tidak mau berbagi tempat dengan Manusia-Mars tersebut. Dalih mereka adalah: 1) Bumi sudah terlalu penuh sesak, 2) Siapa suruh mereka dulu meninggalkan akar mereka sendiri? — Bumi.
   Manusia-manusia Mars tak dapat menerima alasan itu dan mereka pun mendeklarasikan perang. Demikianlah, sejarah selalu terulang kembali.


   Bill juga menemukan rencana pembuatan remake film Spiderman yang akan memakan waktu cukup lama karena sifat Nolan yang tidak mau memakai komputer grafis dan ingin merekam adegan yang sesungguhnya. Dan proyek terbarunya yang segera muncul di layar lebar ——
   “Interstellar! Cobb, lihat ini screenplay Interstellar! Lihat Cobb, kabarnya film ini akan lebih bagus dari Inception!”
   Cobb mendelik sekilas mendengar perkataan itu. “Aku tidak peduli dengan orang lain, Bill. Aku hanya ingin hidupku. Seharusnya kau merasa malu pada dirimu sendiri! Walaupun hidupmu hanya hitam-putih, bagaimanapun juga itu tetaplah hidupmu. Kau seharusnya tak mengikuti orang asing untuk mengatakan padamu apa yang harus kau lakukan dengan waktu luangmu. Kau tinggal duduk dan menulis jika memang ingin jadi penulis!”
   “Tapi Cobb, ini Interstellar yang November nanti akan—”
   “Lihatlah Lenny! Dia tidak peduli siapa itu Nolan atau Interstellar, Bill. Dia berada dalam dunianya sendiri dan dia berbahagia. Sekarang pegang totemmu, supaya kau tak lupa dan mencoba membunuhku. Kita akan turun ke lapisan ketujuh!”
   Ketujuh!?” Bill ternganga.
***
   Remember Samuel Jankis?
   Lenny sedang berlari bersama Cobb dan Bill di samping kanan dan kirinya.
   Dimana aku? Mengapa aku berlari dan siapa mereka? Apa kami mengejar sesuatu atau
   “Lenny, tiarap!” jerit Cobb.
   Lenny menuruti perintah orang asing itu dan tiba-tiba wussss.......
   Sebuah bayangan hitam yang cukup besar melesat melewati atas kepala mereka.
   Apa itu tadi? Pesawat terbang? Jet tempur?
   “Astaga, apa itu tadi? Kau melihatnya Cobb?” tanya Bill panik
   “Tidak” sahut Cobb sama khawatirnya. “Nolan pasti sudah mengetahui keberadaan kita. Itu proyeksi bawah sadarnya untuk menghalau ekstraktor seperti kita.”
   Malam sangat gelap dan bulan tertutup awan. Penyerang mereka memperhatikan mangsanya di atas ketinggian sebuah gedung.
   “Apa yang harus kita lakukan?” tanya Bill.
   Siapa kalian dan dimana ini?” tanya Lenny lebih bingung dari biasanya. Namun untuk sementara waktu, Lenny tahu kalau kedua orang yang sedang bersamanya bukanlah musuhnya. Sebagai pengidap anterograde amnesia, ia telah belajar untuk mengenali musuh dan teman melalui insting dan situasi.
   Tiba-tiba awan tersibak dari langit dan cahaya bulan menerangi kegelapan malam. Bill dan Cobb terkejut melihat sebuah lambang di atas sana. Mereka terlihat ketakutan dan gugup. Lenny melihat lambang yang sama namun ia tidak mengerti maknanya.
   “Co..Cobb, apa aku tak salah lihat? Apa itu—”
   Lari! Lari!” jerit Cobb lebih panik daripada biasanya.
   Lari kemana?
   Aku tak tahu. Pokoknya lari saja!
   Mereka bertiga pun mulai berlari. Cobb berada paling depan. Bill dan Lenny berada di belakangnya.
   “Ingat Bill, kalau kita mati kita jatuh ke dalam Limbo dan tak akan pernah kembali ke realita sesungguhnya!”
   “Ya, ya, aku tahu! Tapi bagaimana caranya melawan makhluk itu?”
   Cobb menguji keberuntungannya dengan memasuki gang yang berkelok-kelok. Musuh berada di atas sana, melompati atap-atap gedung dan dapat bergerak cepat seperti ninja. Cobb berharap kalau belokan yang dipilihnya bukanlah jalan buntu. Mengandalkan kecepatan untuk lari dari musuh seperti itu sama saja cari mati. Untuk saat ini, ia perlu berlindung di bawah atap-atap gedung. Semoga saja musuhnya belum mempunyai night vision.
   “Ssst...” Cobb menempelkan jari telunjuknya di bibir, mengisyaratkan mereka untuk tenang.
   “Kita lari dari apa? Lambang apa itu tadi?” tanya Lenny pada Bill.
   “Itu...” Bill mencoba menjawab—
   “Ssstt!”
   Sebuah shuriken tiba-tiba tertancap di dinding batu, beberapa sentimeter dari tempat persembunyian Cobb, nyaris mengenai telinganya. Musuh yang sedang dihadapinya tak pernah meleset. Cobb tahu itu. Musuhnya hanya memperingatinya untuk menyerah dan ditangkap hidup-hidup.
   “Tadi itu Bat signal, Lenny! Ayo, lari! Lari!” teriak Cobb. Mereka pun mulai berlari lagi.
   “Apa itu Bat signal?” Pertanyaan Lenny tidak digubris oleh kedua teman barunya yang sibuk berlari.
   Nolan mempunyai Batman sebagai penjaga bawah sadarnya, heh?” Bill mengutuk.
   Ayo, Cobb, lakukan sesuatu!” desak Bill.
   Lakukan apa?
   Aku tak tahu. Kau kan ekstraktornya! Ciptakanlah sesuatu untuk melawan Batman. Ciptakan Joker!
   Aku tidak bisa melakukan itu.”
   Oh, terserah... apa sajalah!”
   Bill, menunduk!
   Shuriken lain beterbangan di atas kepala mereka dan menancap ke tanah. Batman sepertinya sudah kehilangan kesabaran. Jika tadi Bill tidak menunduk, mungkin shuriken itu akan tertanam di belakang lehernya.
   “Aku punya ide. Ayo ikut aku!” kata Cobb seraya bangkit dari tanah.
   Mereka pun keluar dari gang, bergerak menuju keramaian dan pasar malam kota Gotham. Batman tidak akan sembarangan melemparkan shurikennya di sekumpulan massa seperti ini. Cobb melewati badut-badut, pelempar gelang yang berdiri di atas bola, pemakan api dan akrobatik lainnya. Ia memeriksa tenda satu-persatu, mencari yang kosong. Cobb, Bill dan Lenny memasuki tenda itu.
   “Apa yang kita lakukan disini Cobb? Kita tidak akan selamat darinya jika hanya bersembunyi. Kita harus terus bergerak!” tukas Bill.
   “Bill, jika Batman masuk, ulurlah waktu dan bicara padanya! Aku butuh waktu untuk menciptakan jalan keluarnya.”
   Bicara? — pada Batman? Kau mengharapkan aku ngomong apa?
   “Pokoknya ulur saja waktu! Lenny, jangan tembak Batman, oke!? Kau tidak akan dapat mengenainya. Itu hanya akan membuatnya marah.”
   Cobb menaiki panggung yang kosong dan mulai menciptakan berbagai benda dari pikirannya. Topi cokelat yang dapat mengeluarkan kelinci, kartu remi yang tak berhenti berjatuhan dari langit, bejana ikan mas, cincin, gelang, bunga mawar, sapu tangan, burung kenari yang berterbangan diantara kartu remi. Satu ekor, dua ekor, lima, sepuluh, dua puluh...
   Cobb! ini bukan saatnya main sulap!”
   Lalu, akhirnya, setelah Cobb merasa feelingnya sudah tepat, ia pun mulai menciptakan pintu kemana aja Transporter. Selama aksi Cobb, Lenny mengerjapkan matanya berulang kali, meyakini kalau ia tidak sedang bermimpi. Ia juga menampar wajahnya untuk membangunkannya. Rasanya sakit, tapi ia yakin kalau ia masih bermimpi. Soalnya, tato di punggung tangannya telah berubah namanya.
   Remember Samuel Jankis  telah berubah menjadi.... Remember Christopher Nolan. Lenny juga menyadari catatan tambahan yang ada di sepanjang tangan kirinya.

   Chris Nolan menyuruh John G untuk membunuh istrimu. Bunuh dia!
  
   Oke, mimpi ini sudah keterlaluan. Siapa itu Christopher Nolan? Lenny tidak tahu dan tidak peduli. Yang ia pedulikan hanyalah — John G. Tapi jika kejadian ini bukan mimpi, Lenny harus mempertimbangkan mengapa ia mentato tulisan itu di lengan kirinya.....
   Lenny! Lenny!” panggil Cobb. “Lenny, tidak ada waktu untuk bengong! Cepat buka pintu ini, masuk dengan cepat sambil menutupnya kembali.”
   Perintah Cobb, malah membuat Lenny semakin terbengong-bengong. Apa yang diinginkan pesulap ini? Jika ia menuruti si pesulap dan masuk lewat pintu alias sebilah papan di tengah ruangan kosong dari satu sisi, tentunya ia akan tiba di sisi yang lain.
   Lenny merasa harga dirinya tersinggung. Ia memang pelupa tapi bukan berarti bodoh. Namun, harus diakui ada ketulusan di dalam diri pesulap yang bernama Cobb. Jika pesulap itu ingin menyakitinya, tentu sudah ia lakukan sejak tadi. Sebaliknya, mereka bertiga malah senasib sepenanggungan, kabur dari seseorang yang ingin membunuh mereka. Lenny pikir tidak ada salahnya mengikuti permainan pesulap itu untuk mengetahui apakah ia teman atau musuh.
   Lenny pun berlari kencang menuju pintu itu, menarik kenopnya, masuk dan membanting daun pintu. Ia pun lenyap ditelan ruang hampa.
   “Yesus! Apa itu Transporter?” tanya Bill dengan perasaan kagum, terpesona, heran, dan takut.
   “Ya. Sekarang giliranmu, Bill, cepat!”
   “Ba.. bagaimana kau bisa menciptakan sesuatu semacam itu?”
   “Aku tidak tahu Bill. Aku hanya melakukan eksperimen saja. Kita sedang berada di pusat kreatif Christopher Nolan, ingat? Segala macam hal bisa terjadi disini. Ayo, cepat!”
   “Ke mana kita akan menuju?”
   “Aku tidak tahu. Ke pintu satunya lagi, mungkin. Cepatlah, dia di sini!”
   Bill menengok ke belakang dan melihat siluet Batman dari balik tenda diterpa cahaya obor di luar. Ia pun tidak bertanya macam-macam lagi dan segera memasuki pintu Prestige. Lenyap dalam sekejap. Batman memasuki tenda dan bersitatap dengan Cobb, yang tak membuang waktu dan segera menyusul Bill. Ketika pintu menutup di belakangnya, tiga buah shuriken lain menancap pada dinding pintu sebelum pintu itu menghilang.
***
   “Lenny, Bill, Cobb?” tanya sebuah suara. “Apa yang kalian lakukan? Kalian tak seharusnya berada di sini!”
   Bill dan Cobb akhirnya tergugu ketika bertemu dengan pencipta mereka. Lenny masih bingung dan menjadi penonton. Kemudian, Bill meledak marah dan menyerang Christopher Nolan yang sedang memegang segelas anggur merah di tangannya. Bill merenggut kerah kemeja Christopher Nolan dan menyebabkan anggur itu tumpah di atas karpet yang mahal.
   Mereka berempat tampaknya sedang berada di dalam kamar tidur Christopher Nolan, yang juga berfungsi sebagai ruang kerja dadakan. Selain meja kecil di samping tempat tidur, ada juga meja kerja ukuran sedang di tengah ruangan, yang sering digunakan Christopher Nolan untuk mencatat ide-ide dari mimpinya ketika ia terbangun di tengah malam.
   “Kau harus mati! Kau harus mati!” teriak Bill marah, sambil mengancam dengan palu di tangan kanannya. Cobb menghentikan Bill sebelum ia sempat melubangi sel kelabu Chris dan membuat jutaan fansnya menangis.
   “Hentikan, Bill! Kita negosiasikan dulu dengannya!” cegah Cobb seraya menahan lengan kanan Bill.
   “Negosiasi? Negosiasi apa?” tanya Chris dengan tenang.
   Bill menurunkan palunya dan melepaskan Chris. Lenny mengawasi mereka bertiga, mencoba memahami situasi. Cobb menarik napas dalam-dalam dan Chris merapikan kerah bajunya.
   “Kau mencoba membunuhku dengan palu yang kupinjamkan padamu, Bill?” tegur Nolan dengan halus.
   “Mal, Chris! Mal — istriku. Aku ingin ia hidup kembali!” tuntut Cobb tanpa basa-basi.
   “Apa maksudmu?”
   “Aku ingin kau mengubah jalan cerita Inception, Chris! Aku ingin Mal hidup! Mengapa ceritanya bukan tentang aku yang sedang berusaha menyelamatkan Mal yang sedang disekap oleh kelompok yang tidak suka menerima kegagalan karena aku telah gagal dalam menjalankan misi yang telah mereka berikan?”
   Christopher Nolan hanya butuh waktu 0,002 detik dan dua kata untuk menjawab plot yang ditawarkan Cobb.
   “Itu picisan!”
   “Sudah kubilang,” imbuh Bill, nyaris tersenyum.
   “Kalau begitu lakukan sesuatu! Apa pun itu... pokoknya Mal harus hidup kembali Chris!” kata Cobb dengan kalap.
   “Cobb... Cobb, dengarkan aku!” ujar Chris berusaha menenangkan. “Inception telah hidup di benak penonton. Aku tak bisa mengubahnya. Sutradara telah mati ketika filmnya ditonton. Kau paham?”
   Ekspresi Cobb tampak memilukan seperti pertama kali ia menyaksikan istrinya melompat dari gedung hotel.
   “Kau pasti bisa melakukan sesuatu, Chris! Kau genius!” bentak Cobb sambil menunjuk-nunjuk Christopher Nolan. “Maksudku, ayolah... Chris, please! Bukannya film itu belum selesai? Ini masih berputar saat kau mengakhiri duniaku, kan?” Cobb mengeluarkan totemnya. Sebuah gasing kecil yang tidak akan pernah berhenti berputar jika berada di dalam mimpi.
   “Lalu?” tanya Christopher.
   “Buat saja Inception 2, Chris! Ceritakan dalam film berikutnya bahwa semua kejadian yang terjadi atau setidaknya kejadian istriku bunuh diri hanyalah mimpi. Mimpiku, Chris! Mal yang menanamkan ide dalam kepalaku kalau ia sudah mati. Bukannya aku yang menanamkan ide dalam kepalanya kalau dunia yang ditinggalinya tidak nyata!
   Chris terbengong sesaat, “Untuk apa ia melakukan itu?”
   “Untuk menyelamatkanku dan anak-anak! Anggaplah ia terlibat dengan suatu organisasi yang mengancam akan membunuhku dan anak-anak kami. Mal tidak punya pilihan. Ia harus menghilang dan bekerja pada mereka, dan karena itu ia membohongiku kalau ia sudah mati!”
   Christopher Nolan membisu. Terkadang ia bingung mengapa sebuah boneka bisa lebih pintar dari pembuatnya. Rasa frustasi inilah yang... mungkin, pernah dirasakan oleh Arthur Conan Doyle ketika sidang pembaca menuntut agar Holmes dihidupkan kembali. Nolan berusaha mencari pegangan dan terduduk lemas di tempat tidurnya. Ia memegangi kepalanya dengan kedua tangannya.
   Kepalanya terasa berat oleh gempuran ide-ide mengenai sekuel Inception. Bisakah ia membuat sekuel yang sama hebohnya seperti film pertamanya? Dapatkah ia menyelaraskan kedua cerita tersebut? Karena, bagaimanapun juga, ia tidak ingin menghancurkan karya masterpiecenya yang telah dikerjakannya selama sepuluh tahun — tidak peduli berapa pun imbalan finansial yang ditawarkan.
   “Maaf, Cobb, aku tidak bisa!” kata Chris dengan penuh sesal.
   Mengapa?
   “Karena ending film itu sudah sempurna! Penonton berada di antara titik depresi dan harapan ketika mereka bertanya-tanya, apakah kau benar-benar bertemu dengan anak-anakmu lagi atau tidak! Itulah realita hidup Cobb, tidak peduli kita hidup di alam mimpi atau bukan, kita harus berjuang mendapatkan apa yang kita inginkan.”
   Christopher Nolan terdiam. Cobb, Bill, dan Lenny tampak sedang merenungi nasihat dari Godfather mereka.
   “Baiklah. Kau yang bilang sendiri, Chris! Aku sedang berjuang sekarang! Kau mau menghidupkan Mal atau tidak? Kalau tidak, jangan salahkan aku...” ancam Cobb.
   “Ya, jangan salahkan kami!” timbrung Bill, yang sudah siap dengan palunya.
   “Tidak, tidak, Bill! Kita tidak akan membunuhnya. Ada sesuatu yang lebih menyakitkan dibandingkan dengan membunuhnya.” ujar Cobb misterius.
   Tiba-tiba, Cobb mengeluarkan kotak rahasia milik Nolan dari tangan kirinya yang kosong sehingga membuat Chris terperanjat sesaat.
   “Aku sedang bermimpi?” tanya Chris, lalu memperhatikan sekeliling ruangan.
   “Ya, Chris, kau sedang bermimpi dan ini kotak mimpimu! Kau mau tahu apa yang akan kulakukan dengan kotak ini, Chris?” Cobb lalu mengeluarkan segelas alkohol di tangan kanannya, dan menyiramkan isinya ke kotak itu. Ia membuang gelas tersebut dan dengan cepat mengeluarkan korek api gas.
   Chris panik, “Kembalikan! Jangan macam-macam, Cobb! Kubilang kembalikan, sini!”
   “Nah, sekarang kau sudah mengerti betapa seriusnya aku, Chris? Aku hanya memintamu untuk memperbaiki jalan hidupku. Menghidupkan istriku kembali agar kami dapat berkumpul sebagai keluarga! Sekarang pilih mana, Chris? Menghidupkan Mal kembali atau menyaksikan ide-ide brilianmu hangus terbakar sebelum dikagumi penonton?”
   “Aku tak bisa melakukan itu, Cobb!” teriak Chris. “Aku tak bisa menghidupkan semua karakter yang telah kubunuh meskipun dimintai oleh karakter lain atau penonton sekalipun! Bagaimanapun juga harus ada yang mati Cobb. Cerita yang happy ending itu omong kosong!”
   “Kalau begitu, tukar aku Chris! Biar aku yang mati menggantikan Mal! Ceritanya, aku akhirnya menyadari kalau kematian Mal ternyata palsu. Aku mencari, menemukan dan menyelamatkannya. Biarkan aku mati sebagai pahlawan asalkan Mal kembali pada anak-anak. Mereka membutuhkan ibunya! Ceritakan itu di Inception 2!”
   Christopher Nolan tertawa terbahak-bahak. “Cobb, lalu kaupikir... apa yang akan terjadi kalau istrimu datang kepadaku dan menuntut kau dihidupkan?”
   Cobb tersentak sesaat, “Itu... biarkan saja. Jangan dengarkan Mal kalau dia mendatangimu! Pokoknya, Mal dan anak-anak harus hidup!”
   “Jangan membuatku muntah, Cobb!” ejek Nolan. “Aku tak pernah memberimu sifat sok berkorban seperti hero Hollywood lainnya!”
   “Selain itu,” lanjut Chris. “Apa kau pikir Mal tak pernah mendatangiku? Apa kau kira aku tak pernah memikirkan untuk membunuhmu di draft awal Inception? Apa kau tak pernah menduga bahwa Mal pernah memohon dan mengatakan hal yang sama seperti yang kau katakan sekarang? Bahwa ia rela menjadi tokoh antagonis dalam film itu dan mimpi burukmu asalkan kau dan anak-anak tetap hidup dan berkumpul kembali?”
   Cobb terkejut. Tubuhnya tiba-tiba menjadi dingin dan gemetar. Benarkah.... benarkah...
   “Inilah yang kumaksud, Cobb!” cetus Bill tiba-tiba. “Mimpi di dalam mimpi di dalam mimpi. Cerita di dalam cerita di dalam cerita. Kebohongan di dalam kebohongan di dalam kebohongan di dalam akal bulus di dalam kelicikan!”
   “Jangan percaya dia, Cobb!” jerit Bill.  “Nolan hanya mempermainkan pikiranmu! Kau tak bisa mempercayai kata-kata penulis seperti dirinya. Intinya, dia tidak mau menghidupkan istrimu, istri Lenny dan juga perempuan yang kucintai! Dia membunuh mereka semua dan menginginkan kita menderita karenanya! Lihat saja film Interstellar pada tanggal 7 November nanti. Pasti ada karakter yang mati untuk menarik banyak simpati dan uang dari penonton! Lebih baik kau bakar kotak mimpinya itu sekarang. Aku yakin mereka lebih memilih tidak dilahirkan daripada menjalani hidup seperti kita.”
   Christopher Nolan memandangi Bill dengan kecewa. “Aku sedih kau beranggapan seperti itu mengenai diriku, Bill!”
   “Cihh....” Bill membuang muka.
   Remember.....
   “Apa maksudnya... kau membunuh istriku?” tanya Lenny pada Chris.
   “Maksudnya, dialah yang menyuruh John G untuk membunuh istrimu, Lenny!” Bill yang menjawab.
   Chris Nolan menyuruh John G untuk membunuh istrimu. Bunuh dia!
   Lenny meraba tatonya, lalu tiba-tiba ia menodongkan pistol ke arah Chris.
   “Benarkah itu? Kau yang menyuruh John G untuk membunuh istriku?” Lenny berteriak.
   “Lenny, hentikan! Turunkan senjatamu! Aku tak akan membiarkanmu membunuhnya, Lenny. Aku membutuhkannya untuk menghidupkan Mal! Kalau kau membunuhnya, hidup kita semua berakhir Lenny! Chris akan jatuh ke dalam limbo dan tidak akan pernah berkarya lagi. Tidak akan ada Inception 2, Memento 2 atau Following 2! Kita hanya akan terkenang seperti yang diingat penonton. Tapi, jika kita bisa membujuknya untuk membuat film kedua, kita bisa menghidupkan perempuan yang kita cintai, Lenny!”
   Lenny ragu-ragu dan Bill tertawa.
   “Lebih mudah membujuk kucingmu untuk bunuh diri, Lenny!” seloroh Bill.
   “Tutup mulutmu, Bill!” bentak Cobb.
   Christopher Nolan terlihat tenang, “Kau bisa membunuhku Lenny. Tapi ingat, sepuluh menit kemudian kau akan lupa dan kembali mencari John G. Karena itu adalah tujuan hidup yang kuberikan padamu! Nah, lihat, Cobb? Bagaimanapun juga aku tetap menang! Aku telah memberi kalian motivasi untuk hidup. Kehilangan yang kalian rasakan adalah bahan bakar untuk tetap bertahan dan memberi arti pada setiap tindakan yang kalian lakukan. Jadi silakan, tembak aku, Lenny! Kematian (limbo) masih lebih baik daripada terbangun dan menyadari kalau Cobb membinasakan ide-ideku yang seharusnya bisa menjadi besar sama seperti dirinya.”
   “Kami tidak akan membunuhmu, Chris. Kuperingatkan, jika aku bakar kotak ini, kau akan terbangun dan merasakan kekosongan dalam dirimu. Kau akan berharap dapat mati saja karena kau tahu sesuatu yang sangat berharga dalam dirimu telah hilang.” Cobb lalu berpaling pada Lenny, “Lenny, percayalah padaku! Dia tidak akan dapat menulis apa-apa lagi jika kita bakar kotak mimpinya ini. Paling-paling dia hanya bisa mengadaptasi novel-novel dari penulis lain. Tapi lama-kelamaan dia akan bosan dan tak ada pilihan lain selain melanjutkan cerita kita. Memperbaiki hidupku, hidupmu dan hidup Billy. Hanya itu yang bisa Chris lakukan, jika dia mau aku mengembalikan kotak mimpinya!”
   Christopher Nolan membeku. Dia tahu Cobb benar. Sekarang dia merasa menyesal karena telah bermain-main dengan mimpi dan menciptakan karakter yang begitu kuat sehingga dapat menghancurkan hidupnya. Tak ada pilihan lain. Ia harus segera keluar dari mimpi ini. Apa pun taruhannya.
   “Aku tidak mengerti,” celetuk Bill. “Jika kau membakar kotak itu Cobb, bagaimana caramu mengembalikannya?”
   Cobb tersenyum, “Kau pikir bagaimana caraku mencuri mimpi selama ini Bill? Cerita di dalam cerita, ingat?”
   “Oh!” seru Bill.
   “Ya. Ide geniusnya itu akan terkubur dalam mimpiku, jika aku membakar kotaknya ini. Tak ada pilihan lain selain melanjutkan ceritaku dan menghidupkan Mal kembali!”
   Christopher Nolan menghembuskan napas.

   Tak ada pilihan lain
   Harus segera keluar
   Dari mimpi ini
   Apa pun taruhannya

   “Aku yang membunuh istrimu, Lenny! Ayo, tembak aku, sekarang!” Chris memprovokasi.
   “Jangan bodoh, Chris! Ini mimpi lapisan kedelapan. Kau akan terjatuh ke dalam limbo jika mati disini!” hardik Cobb.
   “Limbo adalah ciptaanku! Kau pikir aku tidak dapat mengakalinya, Cobb?” gertak Chris.
   Cobb sejenak ragu-ragu dan Chris memanfaatkan jeda itu untuk menghasut Lenny.
   “Apa yang kau tunggu, Lenny! Aku yang membunuh istrimu, ayo tembak aku!”
   Lenny merasa bingung. Ia tidak tahu harus melakukan apa. Pria dihadapannya mengaku telah membunuh istrinya. Harusnya ia segera membunuhnya untuk membalas dendam kematian istrinya. Tapi apa gunanya balas dendam, jika kau tidak mampu mengingatnya? Balas dendam hanya terasa manis jika kau mampu mengingatnya.
   Di sisi lain, pria yang bernama Chris ini, ada kemungkinan dapat menghidupkan istrinya kembali. Begitu yang dipercayai Cobb — seseorang yang istrinya juga dibunuh oleh Chris. Jika Lenny tidak mampu mengingat apakah ia telah membunuh Chris atau melepaskannya, mengapa ia harus menutup peluang kemungkinan istrinya dapat hidup kembali?
   “Lenny, Lenny! Remember....” Christopher Nolan berdeham. Ini akan menjadi kata-kata terakhirnya di dunia mimpi dan dia tahu itu.
   Kau harus percaya dunia di luar pikiranmu....
   Cobb tersentak, “Jangan macam-macam, Chris!”
   Kau harus percaya bahwa tindakanmu memliki arti....
   “Diam!”
   Walaupun kau tidak mampu mengingatnya...”
   “Hentikan!”
   Kau harus percaya ketika kau menutup mata....”
   Cobb akhirnya membakar kotak itu dan manuskrip-manuskrip di dalamnya terbakar dengan cepat.
   Dunia masih di sini....”
   DORR! DORR! DORR!
***
Epilog

   Christopher Nolan membuka mata. Jantungnya berdegup kencang dan piyamanya basah oleh keringat. Mimpi yang luar biasa....
   Tapi, benarkah hanya mimpi?
   Ia menoleh ke samping dan mendapati istrinya, Emma Thomas, sedang tertidur nyenyak. Christopher Nolan lalu terduduk di ranjangnya. Ia memperhatikan sekelilingnya.
   Tidak ada yang berubah. Semua seperti masih yang diingatnya. Ini kamarnya, istrinya, rumahnya, hidupnya dan dunianya.
   Akan tetapi ia tahu kemampuan Cobb. Karakter ciptaannya itu tidak akan melewati detail sekecil apapun juga.
   Apakah ia benar ada di dunia nyata? Atau terkubur dalam limbo?
   Hanya ada satu cara yang pasti untuk mengetahuinya.
   Christopher Nolan lalu mengambil kunci dan membuka laci. Di dalam sana terdapat kotak mimpinya. Ia memegang kotak itu dengan kedua tangannya. Tentu saja ia hapal judul-judul screenplay yang ada di dalam sana. Tapi yang berusaha diingatnya adalah ide-ide baru yang selalu muncul ketika ia terbangun dari tidur.
   Mimpi apa ia barusan?
   Ia bermimpi Cobb mengancamnya agar ia membuat sekuel film Inception atau Cobb akan....
   Oh, sial! Cobb memang sudah membakar kotak mimpinya di dalam mimpi. Tapi Nolan merasa sudah mati sebelum kotak itu terbakar habis. Jadi seharusnya kotak itu selamat. Samar-samar ia ingat, keinginannya untuk membuat remake film spiderman. Lalu tentang alien dari Mars yang sebenarnya keturunan penduduk asli bumi dari beberapa ribu tahun yang lalu. Mereka akan datang ke Bumi untuk menuntut tanah leluhurnya dari kita.
   Namun ide-ide itu masih sangat samar. Butuh pengembangan lebih lanjut. Satu-satunya ide yang cukup jelas bercerita....
   Bercerita tentang hubungan asmara tentang seorang pelukis dan penulis. Pelukis yang melukis penulis? Atau penulis yang menulis pelukis? Brengsek! Cobb, sialan! Kejadian seperti ini sudah lama tak pernah dialami Christopher Nolan.
   Beberapa tahun yang lalu, ia menyadari pentingnya daya ingat bawah sadar sehingga ia melatih pikirannya agar dapat menangkap ide-ide yang datang dari mimpi. Ia banyak berutang budi pada Jung dan Freud atas penemuan ini.
   Christopher Nolan membuka kotak itu. Di dalamnya terdapat pernak-pernik yang sama seperti yang dilihat Cobb. Buah dadu, koin, kartu remi, buah catur, karet gelang, boneka kayu yang patah sebelah tangannya, totem puter Cobb, bola karet milik Alfred Borden, miniatur pesawat terbang, dan masih banyak lagi. Semua perlengkapan yang dibutuhkan oleh ilusionis sejati untuk menipu kamu, ya.....  kamu. Aditia Yudis.
   Nolan mengambil Raja Putih miliknya yang bertaburan menghiasi naskah-naskah tersebut bersamaan dengan Kuda Hitam, Benteng dan beberapa bidak catur lainnya. Ia lalu menutup kotak itu dan meletakkannya di atas meja tidur. Kemudian, ia meletakkan buah catur itu — Sang Raja di atas kotak rahasianya.
   Ia menarik napas dalam-dalam. Langkah berikutnya akan menentukan hidup dan mati. Lalu dengan kerendahan hati seseorang yang menyadari bahwa dirinya genius, ia menyentil Raja itu hingga terjatuh. Jika adegan ini sebuah film, ia akan membuatnya slow motion — sebuah kemewahan, bisa dibilang, jika kamu dapat menemukannya di film karya-karyanya.
   Dengan sabar ia menunggu. Satu menit. Dua menit. Tiga menit. Lima menit. Tak ada hal istimewa yang terjadi. Christopher Nolan akhirnya menghembuskan napas lega.
   Raja Putih itu adalah totemnya. Jika ia sedang berada di dalam mimpi, Sang Raja akan bangkit kembali dengan sendirinya — tidak peduli berapa kali pun dijatuhkan. Itulah sebabnya, ia selalu menang bermain catur melawan Bobby Fischer. Dan berani menggunakan nama itu untuk karakternya di Inception. Dan rencananya, di salah satu film berikutnya.
   Christopher Nolan merapatkan dirinya dan mencium kening istrinya. Ia lega sudah terbangun. Alam mimpi memang menyenangkan untuk dijelajahi, tapi ia tidak boleh terlelap terlalu lama karena ia sangat mencintai istrinya.
***
Epilog di dalam Epilog

Kau menunggu kereta...
Kereta yang akan membawamu pergi jauh....

   Chris sedang berada di lokasi syuting dan ia sedang mengarahkan Matthew Mcconaughey dalam perannya di Interstellar. Sesekali, ia terlihat sedang bercanda dengan kru film lainnya. Banyak bintang Hollywood terlibat dalam proyek pembuatan film itu. Termasuk Michael Caine, aktor kawakan yang dikagumi dan dihormati Chris.
   Ia sedang memberi arahan pada seorang kameramen ketika pria berjas itu berjalan mendekatinya.
   “Mr. Nolan?” sapa pria berjas itu dengan formal.
   “Ya?” Chris menoleh dan menyahut spontan.
   “Bisa kita bicara empat mata?”
   Chris mengangguk ke arah kameramen, yang kemudian berjalan pergi meninggalkannya.
   “Ada apa?” tanya Chris.
   “Aku tahu ini kedengarannya gila,” kata pria yang terlihat seperti mantan tentara dengan uban tipis di pelipisnya, “Tapi ada sekelompok orang yang mencoba ingin membunuhmu.”
   Chris merasa dunianya berputar dan ia tersedot ke ruang hampa udara.
   “Darimana kau tahu? Siapa kau?”
   Sekarang giliran pria berjas bagus itu yang terkejut. Subjek yang didekatinya, biasanya tidak akan percaya kata-katanya atau menganggapnya sebagai orang yang aneh. Tapi orang ini....
   “Namaku John Reese. Kau bisa memanggilku John!”
   “Kau belum menjawab pertanyaanku, John! Darimana kau tahu kalau mereka akan mencoba membunuhku?”
   Mr. Reese sejenak bergumam sendiri, “Kau yakin tak apa-apa Finch?”
   “Nomor jaminan sosialmu muncul di mesin, Mr. Nolan. Itu artinya kau berada dalam bahaya atau menjadi pelaku dalam tindak kejahatan. Kami cenderung setuju bahwa kau termasuk kategori yang pertama.”
   “Siapa kami? Kau bekerja untuk siapa?” desak Christopher Nolan.
   “Untuk orang kaya penyendiri yang genius, penuh rahasia, dan manipulatif....” sindir John.
   “Si Finch itu?”
   “He-eh...”
   “Dia sedang mendengarkan sekarang?” tanya Chris.
   “Anda memang cerdas, Mr. Nolan!”
   “Dan untuk siapa si genius penyendiri ini bekerja?”
   Mr. Reese tersenyum, “Anda tidak tahu? Tentu saja untuk adik anda — Jonathan Nolan!”
***

  
  
  
















2 komentar:

  1. Bisa selesai:).nyaris berhenti di adegan prtmeuan Cobb, Bill dan Lenny di restoran. Untungnya terbantu cerita pelukis yg dicintai lukisannya itu, lanjut baca lagi.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Syukur deh kalau bisa selesai. Semoga bacanya gak dipaksa :) Dari pengalaman sebagai "penimbun buku", aku baru sadar kalau baca satu buku sampai selesai itu ternyata butuh komitmen juga. hehe...

      Tapi yg gak selesai bacanya gak komen nih, padahal aku mau tahu mereka macet dimana. Dan apa aku sewaktu nulis juga macet di bagian yang sama.

      Hapus