Sumber gambar:
Print Screen film Inception
NB: bisa baca
sampai selesai? Jika nggak, di kalimat mana kamu berhenti?
“Mimpi di dalam mimpi, cerita dalam cerita,
lukisan di balik lukisan, plot di dalam plot! Sialan, aku sudah tak tahan lagi!
Coba katakan, bagaimana bisa kalian hidup di dunia seperti ini?” rutuk Bill,
seorang penulis atau calon penulis yang ditulis oleh penulis lainnya.
(Mengerti, kan?)
“Ngg, dengan coba untuk tidak
memikirkannya?” kata seorang pria yang tampak agak kebingungan dan memiliki
bekas cakar di wajahnya. “Ngomong, ngomong dimana aku?”
“Brengsek, kau ‘mah enak, Lenny! Hidup tanpa beban dan tak usah memikirkan masalah
yang tak akan kau ingat lagi dalam sepuluh menit ke depan!”
“Jangan panggil aku Lenny! Panggil aku
Leonard. Apa kita pernah bertemu?”
“Beberapa hari yang lalu. Aku Bill, dan dia
Cobb. Tuh kan, pasti kau sudah lupa
rencana kita!”
Lenny tidak mempedulikan komentar orang yang
tidak ia kenal. Ia hanya segera mencari wajah mereka di dalam setumpuk foto
yang ia miliki.
“Aku tidak mengerti apa masalahmu,” kata
pria yang disebut sebagai Cobb. “Lenny memiliki masalah lupa ingatan, sementara
aku harus memastikan setiap saatnya kalau aku tidak hidup di dunia mimpi.
Justru kupikir, kaulah yang tampak
tak memiliki masalah. Kerjamu hanya mengikuti orang saja. Pengangguran!”
Bill naik pitam. “Aku sedang melakukan
riset! Kau pikir aku kurang kerjaan apa? Aku sedang mencari inspirasi untuk
karakter dalam novel yang akan kutulis. Masalahku justru jauh lebih besar. Dia menjadikanku sebagai penulis, tapi dia sama sekali tidak memberi ide
apa-apa untuk kutulis! Aku tak tahan hidup di dunia seperti ini. Karena itu,
kita harus membunuhnya!”
Tiba-tiba Lenny menodongkan pistol ke arah
Bill. “Tampaknya kau yang mesti dibunuh. Kau bohong. Kau mengaku sebagai Bill,
tapi disini namamu Daniel Llyod,” kata Lenny sambil menunjukkan foto Bill
dengan tulisan Daniel Llyod di
bawahnya.
“Astaga, Lenny! Aku tidak bohong. Tenang
dulu. Aku memang Bill. Tanya saja dia!”
“Itu benar, Lenny!” sahut Cobb. “Dia memang
brengsek tapi dia tak tak pantas dibunuh.”
“Jadi kau, Bill?” Lenny agak ragu menarik
pelatuk karena verifikasi dari Cobb yang foto dan namanya memang sama dalam
catatannya.
“Ya.”
“Lalu mengapa disini tertulis Daniel Llyod?”
“Aku penulis Lenny! Tidak bisakah kau
mengerti itu?”
“Calon
penulis,” interupsi Cobb dengan santai.
Bill mendelik pada Cobb. Ia ingin memprotes
namun ia harus memprioritaskan nyawanya terlebih dahulu.
“Memangnya kenapa kalau kau penulis?” tanya
Lenny tak paham.
“Seorang penulis tidak mungkin memberitahu
nama aslinya pada orang lain ketika pertama kali bertemu Lenny! Selain itu,
seorang (calon, tambah Cobb) penulis
kemungkinan besar juga mempunyai nama pena. Kau tidak bisa membunuh orang hanya
karena ia satu atau dua kali berbohong padamu!”
Lenny tampak mempertimbangkannya sesaat.
“Jadi kau tidak mengenal John G?”
“Tentu
tidak! Lagipula, kau sudah membunuhnya lusinan kali!” celetuk Bill.
“Aku sudah
membunuhnya?” Lenny tiba-tiba mengalami sakit kepala. Ia mencoba mengingat tapi
ingatan terakhir yang dimilikinya adalah kenangan kematian istrinya yang
terbunuh di kamar mandi.
Perlahan-lahan, ia menurunkan pistolnya ke
atas meja. Ia melirik ke sekeliling restoran dengan bingung dan mulai mencari
catatan di tubuhnya. Apa benar ia sudah membunuh John G? Dimana ia mencatatnya?
Hal sepenting ini, pasti sudah ia tatto di tubuhnya. Jika benar dendamnya telah
dibalaskan.
Bill menghela napas lega. “Well, terima kasih telah membantu dengan
diam, Cobb!” sindirnya.
Cobb mengangkat bahu cuek, “Dia punya
pistol. Aku bisa apa?”
“Ngomong-ngomong, kenapa kau juga bernama Cobb? Kau tahu kan,
pencuri yang mengajariku mencuri juga namanya Cobb.”
“Entahlah, mungkin Chris memang mempunyai
teman pencuri yang bernama Cobb.”
“Kalau aku ketemu Cobb lagi. Cobb yang menjebakku, maksudku, aku akan
membunuhnya dengan palu ini!”
Mengapa
aku sedang memegang senjata? Dimana aku?
“Membunuh siapa?” tanya Lenny, setengah
sadar.
Seorang pramusaji menghampiri mereka.
“Kalian ingin tambah?” Dia melirik pistol yang dipegang Lenny, tapi tak berkata
apa-apa.
“Eh, tiga cangkir... Lenny kau mau... dua
cangkir saja, trims!” ujar Bill, diiringi senyum.
Pramusaji itu mengangguk, mencatat pesanan
mereka dan berbalik pergi.
“Lenny, kau sudah gila? Sembunyikan itu!
Untung saja pelayan itu bukan tipe orang yang ikut campur.”
“Pistol ini milikku?” tanya Lenny bingung.
“Oh, Tuhan! Tentu saja itu milikmu. Kau
hampir saja menembak —” Bill berhenti. Tiba-tiba ia mendapat inspirasi.
“Siapa? Siapa yang hampir kutembak?”
“Christopher Nolan!” tukas Bill. “Kau
mengeluarkan pistol itu karena kau ingin membunuhnya. Tadi dia disini.
Kesempatan baik. Sayang, sudah lewat. Tapi jangan khawatir, kita akan
mendapatkan kesempatan lagi.”
“Christopher Nolan? Siapa dia? Kenapa aku
ingin membunuhnya?” tanya Lenny.
“Kau tidak tahu siapa Christopher Nolan? Kemana aja kau? Dia otak dibalik semua
ini. Dia yang menyuruh John G. untuk membunuh istrimu.”
“Kau tahu mengenai John G?”
“Ya. Kau yang menceritakannya padaku Lenny”
“Jadi kita sudah kenal?”
“Ya, kita bertiga. Kita semua sama-sama
dipermainkan oleh Nolan dan berencana untuk membalas dendam.”
“Kalau kau sudah kenal aku, seharusnya kau
tahu kalau aku tidak suka dipanggil Lenny. Hanya istriku yang memanggilku
Lenny. Ngomong-ngomong, siapa namamu?”
“Aku, B— namaku Daniel Llyod tapi aku lebih
suka dipanggil Bill.”
“Kenapa?”
“Aku dalam penyamaran. Sudahlah, kau terlalu
banyak bertanya. Lebih baik, kau ke toilet, cuci muka, cari fotoku dan Cobb,
lihat tatto di tubuhmu, dan kembali ke sini untuk ngebahas cara memancing Nolan
keluar dan membunuhnya.”
Lenny menuruti saran itu, karena ia memang
merasa perlu untuk memeriksa tatto di tubuhnya. Ia pun berdiri dan berjalan ke
toilet.
“Itu tadi cerita yang bagus! Kau benar-benar
memanfaatkannya. Aku heran kau belum berhasil sebagai penulis,” puji Cobb.
“Kau tidak keberatan aku membohongi Lenny?”
tanya Bill tidak percaya.
“Tak masalah buatku. Sebentar lagi Lenny
juga lupa. Seharusnya kau menyuruhnya menuliskan ‘Bunuh Nolan’ di salah satu
catatannya.”
Bill menggebrak meja, “Sialan, kau benar!”
“Tapi ingat, jika kau mencoba melakukannya
nanti saat Lenny kembali, aku akan mencegahmu. Kita belum mencapai kesepakatan,
mengapa aku harus membunuhnya...”
“Oh, Cobb, ayolah! Apa kau tahan hidup di
dalam mimpi? Mimpi di dalam mimpi dalam mimpi dalam mimpi dalam mimpi....
astaga! Kalau aku jadi kamu, aku pasti sudah gila!”
“Memang,” sahut Cobb setuju. Ia lalu
mengeluarkan gasing kecilnya dan memutarnya di atas meja. “Pada awalnya, aku
memang tertekan. Tapi lama-lama aku menyadari, siapa yang tidak hidup di dalam mimpi, hah? Bukannya kau sendiri bermimpi menjadi penulis, padahal tidak
menulis satu kata pun?”
“Itu berbeda!” bantah Bill. “Sudah kubilang,
Nolan sama sekali tidak memberiku ide! Dia pelit sekali mengenai hal yang satu
ini. Seolah-olah, dia menyimpan idenya di kotak rahasia dan menguncinya
rapat-rapat.”
“Kau tidak bisa menunggu ide datang padamu,
Bill. Kau harus mencarinya. Atau mencurinya!”
“Tentu saja, aku mempunyai satu atau dua ide
besar untuk novelku, Cobb! Tapi butuh waktu lama untuk mengembangkan dan
mewujudkannya. Aku tidak bisa bertahan selama itu. Aku butuh ide yang cepat
menghasilkan uang!”
Cobb mengangkat bahunya dengan cuek, “Untuk
sementara, kau bisa bertahan hidup dari mencuri.”
Bill hendak membalas ketika Cobb memotong
kata-katanya, “Hei, Lenny, sebelah sini!”
Lenny berjalan ke arah mereka dengan
ragu-ragu. Ia menatap mereka berdua, lalu melihat catatannya.
Temui
Cobb dan Daniel di restoran..... pukul
dua belas siang. Mereka akan
membantumu membereskan kasus John G — untuk
selamanya.
“Kalian yang bernama Cobb dan Daniel?” tanya
Lenny hati-hati.
“Ya” sahut Cobb.
“Oh, God!”
gerutu Bill.
Lenny melihat catatannya, menatap mereka
berdua, memeriksa foto hasil jepretannya, dan mengecek jam tangannya.
“Maaf, aku terlambat!” kata Lenny.
“Kau tidak terlambat, Lenny. Kau sudah
berada disini selama dua jam” gumam Cobb.
“Oh, ya?”
“Ya. Dan kita telah sepakat untuk membunuh
C. Nolan.” tambah Bill.
“Dan siapa itu C. Nolan?” tanya Lenny.
“Dia yang menyuruh John G. untuk membunuh—”
tiba-tiba Bill berhenti.
“Cobb?”
“Ya?”
“Totemmu masih berputar!” seru Bill.
“Oh, baguslah kalau kau sadar. Tadinya aku
takut—”
Bill tiba-tiba merenggut kerah baju Cobb dan
membenturkan kepalanya ke atas meja.
“Hei, tenang Bill! Tenang, ok!?”
“Katakan, apa maksud semua ini atau aku akan
menghajar kepalamu dengan palu!” ancam Bill. Lenny secara refleks menarik
senjatanya dan mengarahkannya pada Bill.
“Lepaskan
dia! Siapa Bill dan apa itu totem?”
“Nama dia yang sebenarnya Bill, Lenny. Bukan
Daniel,” jawab Cobb.
“Kau bohong
padaku?” tanya Lenny pada Bill. “Mengapa kau bohong padaku? Aku benci pembohong!”
“Lenny, dengar, jangan tembak dia, ok?
Percuma, kau tidak akan bisa membunuhnya. Dan dia juga tak bisa membunuhku”
ujar Cobb.
“Mengapa aku tidak bisa membunuhnya?”
Pertanyaan Lenny dijawab oleh benturan keras
ketika palu Bill menghantam meja. Semua pengunjung restoran seketika menoleh,
lalu beberapa detik kemudian mereka kembali mengobrol dan menghirup kopi,
seolah tidak terjadi apa-apa.
“Aku tidak bisa membunuhmu, tapi seingatku
kau masih bisa merasakan sakit. Benar kan, Tuan Cobb?”
“Bill, tenanglah! Ok? Akan kujelaskan
semuanya, tapi kau harus membiarkanku duduk dulu!”
“Tidak. Katakan sekarang juga. Apa kau
disuruh olehnya?”
“Apa maksudmu? Disuruh siapa?”
“Jangan pura-pura. Kau tahu apa yang
kumaksud! Kau disuruhnya untuk masuk ke dalam mimpiku dan mencuri ide-ideku.
Ide besarku!”
“Yesus!” seru Cobb tiba-tiba. “Untuk apa
Nolan mencuri idemu? Kau dilahirkan
dari pikirannya. Demikian juga aku, Lenny dan yang lain. Jadi, katakan padaku,
untuk apa mencuri sebuah ide dari boneka yang kita ciptakan sendiri?”
“Aku tidak mengerti apa yang kalian
bicarakan. Kumohon, jelaskan padaku!” pinta Lenny.
“Jika bukan untuk mencuri ide, untuk apa kau
ada di dalam mimpiku?” tanya Bill melunak.
“Ini bukan mimpimu. Ini mimpinya!”
Bill tersentak kaget ke belakang, dan ia
melepaskan Cobb begitu saja. Cobb memijat lehernya dan merapikan kerah bajunya.
Bill mencodongkan tubuhnya ke depan dan
berbisik, “Mimpinya? Apa yang kita
lakukan di dalam mimpinya? Kau gila! Bagaimana kalau Dia tahu?”
Lenny ikut duduk dan mendengarkan
bisik-bisik mereka. Ia memejamkan matanya. Semuanya ini tidak masuk akal. Tapi,
yah, tidak ada yang masuk akal kalau kamu tidak bisa mengingat kejadian lima
menit yang lalu. Untuk sementara waktu, ia hanya bisa membiarkan dunia di luar
dirinya berputar seperti biasanya.
“Cobb, apa yang kau lakukan di dalam
mimpinya?” tanya Bill sekali lagi.
Cobb tersenyum. “Inception!”
“Inception?”
Bill terpana. “Kau pikir kau dapat mencurangi Tuhan kita? Yang Mulia, Sir Christopher
Nolan?”
“Dia belum bergelar Sir, Bill.”
“Oh, sebentar lagi dia akan mendapatkannya.
Percayalah...”
“Jadi apa rencanamu, Cobb? Ide macam apa
yang kau coba tanamkan di alam bawah sadarnya?”
Cobb mengawasi sekitarnya sebelum menjawab.
“Aku ingin menyelamatkan Mal, Bill!”
“Istrimu?”
Cobb mengangguk.
“Aku tidak mengerti,” kata Bill. “Nolan
sudah membunuh istrimu, dan juga istri Lenny. Dan juga perempuan yang kucintai.
Jadi, kenapa kita tidak bunuh saja dia?”
“Nolan membunuh istriku?” Lenny membuka
matanya. “Nolan siapa yang kau maksud? John G. yang membunuh istriku!”
Bill menoleh, “John G. hanya kaki tangannya!
Nolan otaknya. Christopher Nolan! Catat nama itu kalau kau tak ingin lupa.”
Lenny segera mencari kertas dan pulpen untuk
mencatat fakta tersebut. Ia menulis, Chris
Nolan menyuruh John G untuk membunuh istrimu. Bunuh dia!
Karena merasa tak puas, ia mengeluarkan
jarum suntik dan berencana untuk mentatto fakta tersebut sebelum ia lupa lagi.
“Whoa,
whoa, tunggu sebentar Lenny! Kita tidak akan tahu apa yang akan terjadi
pada dunia kita kalau Nolan mati. Lagipula, kalau rencanaku berhasil, istriku dapat hidup kembali begitu pula
dengan wanita yang kalian cintai. Kita akan memiliki jalan hidup yang berbeda.”
“Apa maksudmu?”
“Aku akan mencoba menanamkan ide pada Chris
agar ia mau mengubah jalan cerita Inception.
Maksudku, mengapa harus istriku, Mal, yang menjadi tokoh antagonis dalam
cerita? Bukannya ada suatu kelompok di awal cerita yang tak mau menerima
kegagalan? Harusnya hidupku bercerita tentang diriku melawan kelompok itu.
Anggaplah istriku diculik dan aku memasuki mimpi seorang anggota yang penting
di dalam kelompok itu, mempengaruhinya dan meyakinkannya bahwa dirinya dianggap
tidak berguna dan akan segera dibuang oleh kelompoknya. Agar ia mau membantuku
menyelamatkan istriku.”
Bill mengetukkan jarinya di atas meja. Ia
mempertimbangkan gagasan tersebut.
“Tidak jelek. Tapi jika demikian, hidupmu
akan menjadi tipikal film-film Hollywood. Seorang pria berjuang untuk
menyelamatkan wanita yang dicintainya. Penonton pasti bosan.”
“Aku tidak
peduli, Bill! Ini hidupku! Aku tak butuh penonton. Lagipula, hidupmu juga
demikian! Kau mencuri foto untuk memenangkan hati wanita yang kau sukai.
Ironisnya, wanita itu ternyata menipumu untuk membantu temannya, yang berujung
pada kematiannya sendiri. Apa kau tidak mau mengubah nasibmu itu? Nolan terlalu
kejam menuliskan takdir kita!”
Bill termenung, “Ya. Di antara kita bertiga,
mungkin cuma Lenny yang paling beruntung. Walaupun kenyataan hidupnya juga
ironis dan dia dimanfaatkan Natalie, setidaknya ia tidak pernah mengingat semua
itu.”
“Siapa Natalie? Aku tak pernah mengenal
perempuan yang bernama Natalie.” sahut Lenny seraya menindik lengannya dengan
jarum yang telah diisi tinta pulpen.
Bill melirik sekilas ke arah Lenny, lalu
membuang muka. Tak ada gunanya berdebat dengan anterograde amnesia.
“Ok, Cobb, anggap saja kau dapat
mempengaruhi Nolan untuk mengubah jalan hidupmu. Tapi bagaimana caranya?”
“Kau akan terkejut!” sahut Cobb misterius.
Bersamaan dengan itu, seorang wanita cantik
yang mirip dengan Ellen Page melewati
cepat meja Cobb dan menaruh sebuah kotak kayu besar di atasnya. Ia pergi tanpa
berkontak mata atau berkata apa-apa.
“Astaga, apa itu Ellen Page? Demi Tuhan, apa yang ia lakukan disini, Cobb?”
“Mencuri ini!” sahut Cobb seraya mengusapkan
jemarinya ke kotak kayu yang tampaknya telah berusia ratusan tahun. Kotak itu
memiliki pola dan simbol ilusi yang mampu menipu mata, seolah-olah tak jelas
mana yang awal dan akhirnya. Cobb membolak-balik kotak itu untuk menemukan
petunjuk mana arah depan dan belakangnya.
“Apa itu?” tanya Bill.
“Kau tahu ini apa,” sahut Cobb sambil
mengikuti alur ukiran yang naik-turun bak Tangga Penrose. Cobb menghentikan
jarinya. Tampaknya ia menemukan sesuatu.
“Lenny, pinjam isi pulpenmu.”
“Tidak... mungkin... Cobb,” kata Bill
terbata-bata. “Jangan katakan kalau benda itu kotak rahasia Christopher Nolan!”
Cobb menusukkan isi pulpen Lenny ke salah
satu lubang kecil diantara sekian banyak lubang mur yang ada.
Tidak terjadi
apa-apa.
Ia lalu memilin isi pulpen itu sedikit ke
arah kanan dan seketika kotak itu terjerembab membuka dan menampakkan harta
karun di dalamnya. Dadu, koin, kartu As Sekop, buah catur, karet gelang, dan
berbagai benda kecil sentimentil lainnya, bertebaran menaburi setumpuk
manuskrip tebal yang ada di dalam kotak.
“Oh, yeah... ini memang kotaknya, Bill!” cetus Cobb dengan penuh kemenangan.
Cobb meraih tumpukan naskah tersebut dan
mulai mencari kisah hidupnya. Bill juga mengambil sebagian, membolak-balik
halaman demi halaman, tidak terburu-buru seperti Cobb. Sementara itu, Lenny
tertegun menyaksikan kesibukan yang dilakukan dua orang di depannya meskipun ia
tak mengerti apa yang terjadi.
Manuskrip-manuskrip itu berisi draft awal
naskah skenario yang ditulis oleh Christopher Nolan. Beberapa diantaranya sudah
difilmkan dan lebih banyak lagi berupa ide-ide mentah yang sedikit demi sedikit
disempurnakan sampai sedetail-detailnya.
Bill terkesima ketika membaca premis naskah yang berjudul Anima. Manuskrip itu bercerita tentang
potret seorang gadis muda yang keluar dari lukisan dan jatuh cinta pada pelukisnya.
Sang pelukis bertemu dengan gadis itu dan seketika itu juga ia jatuh cinta. Si
pelukis berkata pada gadis itu kalau ia mirip dengan seseorang yang datang dari
mimpi yang sudah dilukisnya.
Sang gadis tertawa sopan, menanggapi
kata-kata itu sebagai rayuan untuk gadis terhormat seperti dirinya dan menjual
mahal. Melihat kalau kata-katanya tak dipercaya, sang pelukis secara impulsif
menggenggam tangan si gadis dan mengajaknya pergi ke studionya untuk melihat
lukisan itu. Tindakan semacam itu bukanlah perilaku seorang lelaki terhormat
dan cukup dapat dinilai sebagai bentuk kekurangajaran pada zaman itu.
Sesampainya di studio, gadis dari lukisan
mengekspresikan dengan sempurna keterkejutannya ketika melihat kanvas yang
memuat potret dirinya. Setelah itu, tak butuh waktu lama bagi mereka untuk
saling merasa belahan jiwa satu sama lain.
Mereka beberapa kali berkencan, makan di
restoran mewah, menonton opera dan teater, dan kemudian menikah. Kehidupan
mereka cukup berbahagia meski tak dikaruniai anak. Sang pelukis mulai terkenal
dan berkecukupan. Mereka membeli rumah yang lebih besar dengan harapan salah
satu dari kamar yang kosong itu akan ditempati anak-anak mereka.
Namun, tak ada pesta yang tak usai. Suatu
hari, studio lama sang pelukis (yang kemudian berubah fungsinya menjadi gudang)
kebakaran. Karya-karya perdananya yang dicari oleh banyak kolektor dan berani
dibayar mahal, tapi tidak dijual oleh si pelukis, juga tak luput dari kebakaran
itu, termasuk Anima.
Judul sebuah lukisan yang diberikan si
pelukis pada gadis yang berasal dari mimpi.
Lukisan itu terbakar hebat tapi masih
menyisakan kanvas lebar dengan sebuah lubang besar di tengahnya. Hanya judul
lukisan, ekor rambut, dan tangan kanan sang gadis yang sedang menadah (seolah
berkata: ikut aku), yang masih dapat dinikmati
oleh mata.
Sang pelukis merasa sedih. Ia menyalahkan
dirinya karena terlalu sibuk dengan pekerjaannya dan selalu lupa untuk
memindahkan lukisan itu ke rumah barunya. Tapi, ya sudahlah. Toh, itu cuma lukisan. Ia masih dapat
melukis puluhan karya yang lebih baik dari Anima.
Mungkin, ia akan meminta istrinya berpose agar lukisannya tampak lebih hidup.
Sang pelukis membawa pulang lukisan yang
terbakar itu, dan bermaksud memberitahu istrinya tentang kejadian yang naas
itu. Sang istri tidak ada di rumah, entah pergi ke mana. Si pelukis belum
mengkhawatirkannya. Ia membawa masuk sisa lukisan Anima ke salah satu kamar kosong yang dijadikan studio kerjanya, dan
menaruhnya dengan hati-hati di pojok dinding.
Ia melanjutkan pekerjaannya yang tertunda.
Waktu bergulir. Tanpa terasa siang telah beganti menjadi malam. Ia melirik jam
tangannya. Pukul setengah enam sore. Dimana istrinya? Pada pukul lima sore,
istrinya biasanya akan masuk dan membawakan secangkir teh. Perempuan itu lalu
akan mundur selangkah dan mengamatinya yang sedang bekerja. Mungkin satu dua
patah kata saran perbaikan akan dilontarkan istrinya. Lebih sering, tentunya,
sebuah pujian.
Pelukis itu meletakkan kuasnya. Sebuah
kecemasan mulai merayapi hatinya. Ia memanggil nama istrinya dan berkeliling
rumah. Pembantu yang dipekerjakannya tidak masuk hari itu karena memang bukan
jadwal kerjanya. Ia berjanji pada dirinya sendiri. Setelah hari ini, ia akan
menaikkan gaji pembantu itu agar mau menetap di rumahnya yang terpencil.
Sedikit pengeluaran ekstra tak jadi masalah. Toh, mereka tak punya anak. Yang
penting, harus ada orang yang selalu menjaga dan mengawasi istri yang
dicintainya.
Setelah dua jam mencari di dalam dan di
sekitar rumah, akhirnya ia menghubungi polisi. Beberapa bulan kemudian,
istrinya masih belum ditemukan. Sang pelukis telah kehilangan semangat hidup.
Kerjanya seharian hanya menatap kanvas kosong, membayangkan wajah sang istri. Tanpa
anak-anak yang berlarian di dalam rumah, perkawinan mereka bak mimpi di siang
bolong. Tak ada jeritan, tak ada hasil yang nyata.
Perlahan-lahan, wajah istri yang dicintainya
mulai memudar dari ingatannya. Ia mulai panik dan mencari foto-foto lama sang
istri. Anehnya, tak ditemukan satu pun foto dirinya atau istrinya. Oke, ia
memang tidak suka pada kamera. Ia mempercayai takhayul bahwa jiwa manusia akan
terperangkap di dalam benda itu jika difoto. Tapi masa iya, ia tidak membuat
satu kali pun pengecualian? Di mana foto-foto pernikahan mereka? Sang istri,
tentunya, pasti mendesaknya untuk membuat foto pernikahan untuk diperlihatkan kepada
anak-cucu mereka kelak, kan?
Apa ia sudah membuat foto tersebut namun tak
pernah ditebus? Atau foto tersebut terbakar habis di studio lamanya? Ia tak
tahu. Ia tak ingat....
Akhirnya, di suatu malam yang sendu, ia
memutuskan untuk bunuh diri di sungai Thames.
***
Air mata Bill menetes dan membasahi
manuskrip tersebut, dan seketika hujan turun di luar walaupun matahari masih
bersinar cerah. Christopher Nolan yang duduk beberapa meja dari mereka, menoleh
sejenak pada hujan yang datang tiba-tiba. Mr. Saito yang sedang menyamar,
kembali menarik perhatian Christopher Nolan tentang rencana pembuatan remake film Akira Kurosawa — Seven
Samurai.
Untuk sementara waktu, Cobb, Bill dan Lenny
masih tersembunyi aman.
“Apa kau sudah gila!?” bentak Cobb pelan.
“Mengapa tidak sekalian saja kau menangis dan memanggil guntur ke ruangan ini?”
“Sorry, sorry... aku terhanyut!” sahut Bill.
Cobb menggeram pelan. Ia sudah menemukan
naskah hidupnya — Inception — dan
sedang mencari celah dimana ia bisa membelokkan cerita.
Bill kembali melanjutkan membaca:
Saat ingin bunuh diri, si pelukis mendapati
dirinya malah menolong seorang wanita muda yang nekat terjun ke sungai Thames.
Ia membawa wanita tersebut ke rumah sakit terdekat lalu pulang ke rumah.
Niatnya untuk mati telah menguap. Yang ia inginkan sekarang adalah tidur yang
nyenyak.
Esoknya, ia kembali mengunjungi tempat itu
dan si wanita telah menunggunya di sana.
Bill berhenti membaca. Ia tak perlu
meneruskan membaca untuk mengetahui endingnya. Si pelukis dan wanita itu tentu
akan berdebat dan lalu jatuh cinta. Mereka lalu akan menikah dan si pelukis
kembali merasakan gairah hidup dan mulai melukis lagi.
Seperti biasa, hidup mereka terasa ringan
tanpa anak-anak, dan setelah beberapa tahun menikah, si pelukis menemukan
kenyataan, bahwa istrinya yang sederhana ternyata mempunyai impian terpendam
untuk menjadi penulis. Itulah alasan istrinya nekat menceburkan diri ke sungai
Thames beberapa tahun yang lalu ketika naskahnya ditolak dan ia gagal menjadi
penulis.
Sebagai suami yang baik, ia berusaha
menyemangati sang istri, tapi yang bersangkutan telah mengubur impiannya itu
sejak lama.
“Yang kuinginkan sekarang adalah melahirkan
anakmu, membesarkannya, dan membantunya mengejar mimpinya” jawab sang istri.
Paradoks
Bagaimana bisa membantu orang lain untuk
mengejar impiannya sementara mimpinya sendiri telah lama dikuburkan?
Akan tetapi, sang istri memang telah banyak
membantunya melewati hari-hari suramnya. Saat-saat kehilangannya. Sehingga ia
dapat melukis kembali. Karena itu, meskipun akan dicemooh, ia tetap nekat
membuka peti pribadi sang istri yang memuat benda-benda kenangan dari almarhumah
ibu dan neneknya.
Di antara benda kenangan itu, si pelukis
tahu ada setumpuk kertas yang diketik dan dijilid rapi. Sang pelukis bermaksud
memberikan naskah-naskah tersebut kepada kenalannya yang kebetulan seorang
editor. Mungkin satu dari sekian banyak naskah tersebut ada yang layak
diterbitkan. Ia ingin mengejutkan istrinya andaikata salah satu dari naskah
tersebut lolos dari penilaian editor dan akan diterbitkan. Urusan melanggar
privasi, biarlah... nanti saja dibicarakan.
Rencananya semula, ia akan langsung
menyerahkan tumpukan naskah itu kepada editor kenalannya. Tapi nalurinya
sebagai seniman merasa tergelitik. Ia mengambil satu judul secara sembarang dan
mulai membaca. Setelah membaca beberapa halaman, sang pelukis merasa bosan dan
pindah ke naskah lain. Begitu seterusnya....
Sampai
ada satu naskah yang mengejutkannya
Naskah itu bercerita tentang seorang seniman
yang jatuh cinta pada lukisannya. Lalu suatu hari, gadis di lukisannya itu
tiba-tiba hidup layaknya Galatea yang diberikan napas kehidupan oleh Aphrodite.
Sang gadis menemui si seniman yang tercengang karena menemui orang yang mirip
persis dengan lukisannya. Si seniman menganggap kejadian yang dialaminya
termasuk langka namun bukan mustahil. Sebuah seni, bagaimanapun juga adalah
hasil kumpulan bawah sadar kolektif dari banyak orang yang menghargai nilai
estetika. Seorang seniman hanyalah manusia biasa yang peka menangkap nilai
estetika itu dan menuangkannya dalam bentuk kreativitas yang dipadatkan entah
itu buku, film atau lukisan.
Sang gadis dan seniman saling jatuh cinta
dan mereka menikah hingga suatu hari si gadis menghilang dan lukisannya
terbakar.
***
Itulah yang akan dilakukan Christopher
Nolan. Bill yakin itu dan ia pun lalu mulai mengutak-atik karya Nolan yang
lainnya.
“Oh, sial, tulisannya tak bisa dihapus!
Tampaknya kita harus turun satu level mimpi ke bawah lagi, Bill!” gerutu Cobb.
Bill tidak mendengarkan. Ia menemukan cerita
lainnya. Tentang sekelompok manusia yang pindah ke planet Mars karena bencana
perang nuklir sehingga Bumi tak layak lagi untuk dihuni. Mereka tinggal di
situ, bertahan hidup selama ratusan tahun sampai beberapa generasi. Lingkungan
yang keras di Mars membuat bentuk fisiologis mereka berubah sedikit demi
sedikit. Tahun 2020, saat generasi keempat mendapati bahwa atmosfer Bumi telah
membaik, mereka pun menjalankan misi untuk kembali ke tanah leluhurnya.
Dan perang planet pertama pun pecah. Para
penduduk Bumi mengira dunianya diserang oleh alien yang mirip dengan manusia
sehingga negara-negara yang saling berperang menyingkirkan dulu permusuhan yang
ada diantara mereka dan bahu-membahu melawan alien.
Koloni alien berusaha menjelaskan bahwa
mereka dulunya adalah manusia dan Bumi adalah tanah leluhurnya. Penduduk Bumi
tidak percaya. Lalu, setelah dilakukan beberapa kali penelitian oleh
pakar-pakar terkemuka di bidangnya, dengan subjek alien-alien yang diculik
(hidup atau mati), penduduk Bumi pun menemukan bahwa fakta tersebut benarlah
adanya.
Akan tetapi para penduduk Bumi yang menetap
dan selamat dari perang nuklir, tidak mau berbagi tempat dengan Manusia-Mars
tersebut. Dalih mereka adalah: 1) Bumi sudah terlalu penuh sesak, 2) Siapa
suruh mereka dulu meninggalkan akar mereka sendiri? — Bumi.
Manusia-manusia Mars tak dapat menerima
alasan itu dan mereka pun mendeklarasikan perang. Demikianlah, sejarah selalu
terulang kembali.
Bill juga menemukan rencana pembuatan remake
film Spiderman yang akan memakan
waktu cukup lama karena sifat Nolan yang tidak mau memakai komputer grafis dan
ingin merekam adegan yang sesungguhnya. Dan proyek terbarunya yang segera
muncul di layar lebar ——
“Interstellar! Cobb, lihat ini screenplay Interstellar! Lihat Cobb,
kabarnya film ini akan lebih bagus dari Inception!”
Cobb mendelik sekilas mendengar perkataan
itu. “Aku tidak peduli dengan orang lain, Bill. Aku hanya ingin hidupku.
Seharusnya kau merasa malu pada dirimu sendiri! Walaupun hidupmu hanya
hitam-putih, bagaimanapun juga itu tetaplah hidupmu. Kau seharusnya tak
mengikuti orang asing untuk mengatakan padamu apa yang harus kau lakukan dengan
waktu luangmu. Kau tinggal duduk dan menulis jika memang ingin jadi penulis!”
“Tapi Cobb, ini Interstellar yang November nanti akan—”
“Lihatlah Lenny! Dia tidak peduli siapa itu
Nolan atau Interstellar, Bill. Dia berada dalam dunianya sendiri dan dia
berbahagia. Sekarang pegang totemmu, supaya kau tak lupa dan mencoba
membunuhku. Kita akan turun ke lapisan ketujuh!”
“Ketujuh!?”
Bill ternganga.
***
Remember
Samuel Jankis?
Lenny sedang berlari bersama Cobb dan Bill
di samping kanan dan kirinya.
Dimana
aku? Mengapa aku berlari dan siapa mereka? Apa kami mengejar sesuatu atau—
“Lenny, tiarap!” jerit Cobb.
Lenny menuruti perintah orang asing itu dan
tiba-tiba wussss.......
Sebuah bayangan hitam yang cukup besar melesat
melewati atas kepala mereka.
Apa
itu tadi? Pesawat terbang? Jet tempur?
“Astaga, apa itu tadi? Kau melihatnya Cobb?”
tanya Bill panik
“Tidak” sahut Cobb sama khawatirnya. “Nolan pasti sudah mengetahui keberadaan
kita. Itu proyeksi bawah sadarnya untuk menghalau ekstraktor seperti kita.”
Malam sangat gelap dan bulan tertutup awan.
Penyerang mereka memperhatikan mangsanya di atas ketinggian sebuah gedung.
“Apa yang harus kita lakukan?” tanya Bill.
“Siapa
kalian dan dimana ini?” tanya Lenny lebih bingung dari biasanya. Namun
untuk sementara waktu, Lenny tahu kalau kedua orang yang sedang bersamanya
bukanlah musuhnya. Sebagai pengidap anterograde
amnesia, ia telah belajar untuk mengenali musuh dan teman melalui insting
dan situasi.
Tiba-tiba awan tersibak dari langit dan
cahaya bulan menerangi kegelapan malam. Bill dan Cobb terkejut melihat sebuah lambang
di atas sana. Mereka terlihat ketakutan dan gugup. Lenny melihat lambang yang
sama namun ia tidak mengerti maknanya.
“Co..Cobb, apa aku tak salah lihat? Apa
itu—”
“Lari!
Lari!” jerit Cobb lebih panik daripada biasanya.
“Lari
kemana?”
“Aku
tak tahu. Pokoknya lari saja!”
Mereka bertiga pun mulai berlari. Cobb
berada paling depan. Bill dan Lenny berada di belakangnya.
“Ingat Bill, kalau kita mati kita jatuh ke
dalam Limbo dan tak akan pernah kembali ke realita sesungguhnya!”
“Ya, ya, aku tahu! Tapi bagaimana caranya
melawan makhluk itu?”
Cobb menguji keberuntungannya dengan
memasuki gang yang berkelok-kelok. Musuh berada di atas sana, melompati
atap-atap gedung dan dapat bergerak cepat seperti ninja. Cobb berharap kalau
belokan yang dipilihnya bukanlah jalan buntu. Mengandalkan kecepatan untuk lari
dari musuh seperti itu sama saja cari mati. Untuk saat ini, ia perlu berlindung
di bawah atap-atap gedung. Semoga saja musuhnya belum mempunyai night vision.
“Ssst...” Cobb menempelkan jari telunjuknya
di bibir, mengisyaratkan mereka untuk tenang.
“Kita lari dari apa? Lambang apa itu tadi?”
tanya Lenny pada Bill.
“Itu...” Bill mencoba menjawab—
“Ssstt!”
Sebuah shuriken
tiba-tiba tertancap di dinding batu, beberapa sentimeter dari tempat
persembunyian Cobb, nyaris mengenai telinganya. Musuh yang sedang dihadapinya
tak pernah meleset. Cobb tahu itu. Musuhnya hanya memperingatinya untuk
menyerah dan ditangkap hidup-hidup.
“Tadi itu Bat signal, Lenny! Ayo, lari!
Lari!” teriak Cobb. Mereka pun mulai berlari lagi.
“Apa itu Bat
signal?” Pertanyaan Lenny tidak digubris oleh kedua teman barunya yang
sibuk berlari.
“Nolan
mempunyai Batman sebagai penjaga bawah sadarnya, heh?” Bill mengutuk.
“Ayo,
Cobb, lakukan sesuatu!” desak Bill.
“Lakukan
apa?”
“Aku
tak tahu. Kau kan ekstraktornya! Ciptakanlah sesuatu untuk melawan Batman.
Ciptakan Joker!”
“Aku
tidak bisa melakukan itu.”
“Oh,
terserah... apa sajalah!”
“Bill,
menunduk!”
Shuriken
lain beterbangan di atas kepala mereka dan menancap ke tanah. Batman sepertinya
sudah kehilangan kesabaran. Jika tadi Bill tidak menunduk, mungkin shuriken itu akan tertanam di belakang
lehernya.
“Aku punya ide. Ayo ikut aku!” kata Cobb
seraya bangkit dari tanah.
Mereka pun keluar dari gang, bergerak menuju
keramaian dan pasar malam kota Gotham. Batman tidak akan sembarangan
melemparkan shurikennya di sekumpulan
massa seperti ini. Cobb melewati badut-badut, pelempar gelang yang berdiri di
atas bola, pemakan api dan akrobatik lainnya. Ia memeriksa tenda satu-persatu,
mencari yang kosong. Cobb, Bill dan Lenny memasuki tenda itu.
“Apa yang kita lakukan disini Cobb? Kita
tidak akan selamat darinya jika hanya
bersembunyi. Kita harus terus bergerak!” tukas Bill.
“Bill, jika Batman masuk, ulurlah waktu dan
bicara padanya! Aku butuh waktu untuk menciptakan jalan keluarnya.”
“Bicara?
— pada Batman? Kau mengharapkan aku ngomong apa?”
“Pokoknya ulur saja waktu! Lenny, jangan
tembak Batman, oke!? Kau tidak akan dapat mengenainya. Itu hanya akan
membuatnya marah.”
Cobb menaiki panggung yang kosong dan mulai
menciptakan berbagai benda dari pikirannya. Topi cokelat yang dapat
mengeluarkan kelinci, kartu remi yang tak berhenti berjatuhan dari langit,
bejana ikan mas, cincin, gelang, bunga mawar, sapu tangan, burung kenari yang
berterbangan diantara kartu remi. Satu ekor, dua ekor, lima, sepuluh, dua
puluh...
“Cobb!
ini bukan saatnya main sulap!”
Lalu, akhirnya, setelah Cobb merasa feelingnya sudah tepat, ia pun mulai
menciptakan pintu kemana aja Transporter.
Selama aksi Cobb, Lenny mengerjapkan matanya berulang kali, meyakini kalau ia
tidak sedang bermimpi. Ia juga menampar wajahnya untuk membangunkannya. Rasanya
sakit, tapi ia yakin kalau ia masih bermimpi. Soalnya, tato di punggung
tangannya telah berubah namanya.
Remember
Samuel Jankis telah berubah
menjadi.... Remember Christopher Nolan.
Lenny juga menyadari catatan tambahan yang ada di sepanjang tangan kirinya.
Chris
Nolan menyuruh John G untuk membunuh istrimu. Bunuh dia!
Oke, mimpi ini sudah keterlaluan. Siapa itu
Christopher Nolan? Lenny tidak tahu dan tidak peduli. Yang ia pedulikan
hanyalah — John G. Tapi jika kejadian
ini bukan mimpi, Lenny harus mempertimbangkan mengapa ia mentato tulisan itu di
lengan kirinya.....
“Lenny!
Lenny!” panggil Cobb. “Lenny, tidak ada waktu untuk bengong! Cepat buka
pintu ini, masuk dengan cepat sambil menutupnya kembali.”
Perintah Cobb, malah membuat Lenny semakin
terbengong-bengong. Apa yang diinginkan pesulap ini? Jika ia menuruti si
pesulap dan masuk lewat pintu alias sebilah papan di tengah ruangan kosong dari
satu sisi, tentunya ia akan tiba di sisi yang lain.
Lenny merasa harga dirinya tersinggung. Ia
memang pelupa tapi bukan berarti bodoh. Namun, harus diakui ada ketulusan di
dalam diri pesulap yang bernama Cobb. Jika pesulap itu ingin menyakitinya,
tentu sudah ia lakukan sejak tadi. Sebaliknya, mereka bertiga malah senasib sepenanggungan,
kabur dari seseorang yang ingin membunuh mereka. Lenny pikir tidak ada salahnya
mengikuti permainan pesulap itu untuk mengetahui apakah ia teman atau musuh.
Lenny pun berlari kencang menuju pintu itu,
menarik kenopnya, masuk dan membanting daun pintu. Ia pun lenyap ditelan ruang
hampa.
“Yesus! Apa itu Transporter?” tanya Bill dengan perasaan kagum, terpesona, heran,
dan takut.
“Ya. Sekarang giliranmu, Bill, cepat!”
“Ba.. bagaimana kau bisa menciptakan sesuatu semacam itu?”
“Aku tidak tahu Bill. Aku hanya melakukan
eksperimen saja. Kita sedang berada di pusat kreatif Christopher Nolan, ingat?
Segala macam hal bisa terjadi disini. Ayo, cepat!”
“Ke mana kita akan menuju?”
“Aku tidak tahu. Ke pintu satunya lagi,
mungkin. Cepatlah, dia di sini!”
Bill menengok ke belakang dan melihat siluet
Batman dari balik tenda diterpa cahaya obor di luar. Ia pun tidak bertanya
macam-macam lagi dan segera memasuki pintu Prestige.
Lenyap dalam sekejap. Batman memasuki tenda dan bersitatap dengan Cobb, yang
tak membuang waktu dan segera menyusul Bill. Ketika pintu menutup di
belakangnya, tiga buah shuriken lain
menancap pada dinding pintu sebelum pintu itu menghilang.
***
“Lenny, Bill, Cobb?” tanya sebuah suara.
“Apa yang kalian lakukan? Kalian tak seharusnya berada di sini!”
Bill dan Cobb akhirnya tergugu ketika
bertemu dengan pencipta mereka. Lenny masih bingung dan menjadi penonton.
Kemudian, Bill meledak marah dan menyerang Christopher Nolan yang sedang
memegang segelas anggur merah di tangannya. Bill merenggut kerah kemeja
Christopher Nolan dan menyebabkan anggur itu tumpah di atas karpet yang mahal.
Mereka berempat tampaknya sedang berada di
dalam kamar tidur Christopher Nolan, yang juga berfungsi sebagai ruang kerja
dadakan. Selain meja kecil di samping tempat tidur, ada juga meja kerja ukuran
sedang di tengah ruangan, yang sering digunakan Christopher Nolan untuk
mencatat ide-ide dari mimpinya ketika ia terbangun di tengah malam.
“Kau harus mati! Kau harus mati!” teriak Bill marah, sambil mengancam dengan palu di
tangan kanannya. Cobb menghentikan Bill sebelum ia sempat melubangi sel kelabu
Chris dan membuat jutaan fansnya menangis.
“Hentikan, Bill! Kita negosiasikan dulu
dengannya!” cegah Cobb seraya menahan lengan kanan Bill.
“Negosiasi? Negosiasi apa?” tanya Chris
dengan tenang.
Bill menurunkan palunya dan melepaskan
Chris. Lenny mengawasi mereka bertiga, mencoba memahami situasi. Cobb menarik
napas dalam-dalam dan Chris merapikan kerah bajunya.
“Kau mencoba membunuhku dengan palu yang kupinjamkan padamu, Bill?” tegur Nolan
dengan halus.
“Mal, Chris! Mal — istriku. Aku ingin ia hidup kembali!” tuntut Cobb tanpa
basa-basi.
“Apa maksudmu?”
“Aku ingin kau mengubah jalan cerita Inception, Chris! Aku ingin Mal hidup!
Mengapa ceritanya bukan tentang aku yang sedang berusaha menyelamatkan Mal yang
sedang disekap oleh kelompok yang tidak suka menerima kegagalan karena aku
telah gagal dalam menjalankan misi yang telah mereka berikan?”
Christopher Nolan hanya butuh waktu 0,002
detik dan dua kata untuk menjawab plot yang ditawarkan Cobb.
“Itu picisan!”
“Sudah kubilang,” imbuh Bill, nyaris
tersenyum.
“Kalau begitu lakukan sesuatu! Apa pun itu... pokoknya Mal harus hidup kembali Chris!” kata Cobb dengan kalap.
“Cobb... Cobb, dengarkan aku!” ujar Chris
berusaha menenangkan. “Inception telah
hidup di benak penonton. Aku tak bisa mengubahnya. Sutradara telah mati ketika
filmnya ditonton. Kau paham?”
Ekspresi Cobb tampak memilukan seperti
pertama kali ia menyaksikan istrinya melompat dari gedung hotel.
“Kau pasti bisa melakukan sesuatu, Chris! Kau genius!” bentak Cobb sambil
menunjuk-nunjuk Christopher Nolan. “Maksudku,
ayolah... Chris, please! Bukannya
film itu belum selesai? Ini masih
berputar saat kau mengakhiri duniaku, kan?” Cobb mengeluarkan totemnya. Sebuah
gasing kecil yang tidak akan pernah berhenti berputar jika berada di dalam mimpi.
“Lalu?” tanya Christopher.
“Buat saja Inception 2, Chris! Ceritakan dalam film berikutnya bahwa semua
kejadian yang terjadi atau setidaknya kejadian istriku bunuh diri hanyalah mimpi. Mimpiku, Chris! Mal yang
menanamkan ide dalam kepalaku kalau ia sudah mati. Bukannya aku yang menanamkan ide dalam kepalanya kalau dunia yang
ditinggalinya tidak nyata!”
Chris terbengong sesaat, “Untuk apa ia
melakukan itu?”
“Untuk menyelamatkanku dan anak-anak!
Anggaplah ia terlibat dengan suatu organisasi yang mengancam akan membunuhku
dan anak-anak kami. Mal tidak punya pilihan. Ia harus menghilang dan bekerja
pada mereka, dan karena itu ia membohongiku kalau ia sudah mati!”
Christopher Nolan membisu. Terkadang ia
bingung mengapa sebuah boneka bisa lebih pintar dari pembuatnya. Rasa frustasi
inilah yang... mungkin, pernah dirasakan oleh Arthur Conan Doyle ketika sidang
pembaca menuntut agar Holmes dihidupkan kembali. Nolan berusaha mencari
pegangan dan terduduk lemas di tempat tidurnya. Ia memegangi kepalanya dengan
kedua tangannya.
Kepalanya terasa berat oleh gempuran ide-ide
mengenai sekuel Inception. Bisakah ia
membuat sekuel yang sama hebohnya seperti film pertamanya? Dapatkah ia
menyelaraskan kedua cerita tersebut? Karena, bagaimanapun juga, ia tidak ingin
menghancurkan karya masterpiecenya
yang telah dikerjakannya selama sepuluh tahun — tidak peduli berapa pun imbalan
finansial yang ditawarkan.
“Maaf, Cobb, aku tidak bisa!” kata Chris
dengan penuh sesal.
“Mengapa?”
“Karena ending film itu sudah sempurna! Penonton berada di antara
titik depresi dan harapan ketika mereka bertanya-tanya, apakah kau benar-benar bertemu dengan anak-anakmu
lagi atau tidak! Itulah realita hidup Cobb, tidak peduli kita hidup di alam
mimpi atau bukan, kita harus berjuang mendapatkan apa yang kita inginkan.”
Christopher Nolan terdiam. Cobb, Bill, dan
Lenny tampak sedang merenungi nasihat dari Godfather
mereka.
“Baiklah. Kau yang bilang sendiri, Chris!
Aku sedang berjuang sekarang! Kau mau
menghidupkan Mal atau tidak? Kalau tidak, jangan salahkan aku...” ancam Cobb.
“Ya, jangan salahkan kami!” timbrung Bill,
yang sudah siap dengan palunya.
“Tidak, tidak, Bill! Kita tidak akan
membunuhnya. Ada sesuatu yang lebih menyakitkan dibandingkan dengan
membunuhnya.” ujar Cobb misterius.
Tiba-tiba, Cobb mengeluarkan kotak rahasia
milik Nolan dari tangan kirinya yang kosong sehingga membuat Chris terperanjat
sesaat.
“Aku sedang bermimpi?” tanya Chris, lalu
memperhatikan sekeliling ruangan.
“Ya, Chris, kau sedang bermimpi dan ini
kotak mimpimu! Kau mau tahu apa yang akan kulakukan dengan kotak ini, Chris?”
Cobb lalu mengeluarkan segelas alkohol di tangan kanannya, dan menyiramkan
isinya ke kotak itu. Ia membuang gelas tersebut dan dengan cepat mengeluarkan
korek api gas.
Chris panik, “Kembalikan! Jangan
macam-macam, Cobb! Kubilang kembalikan, sini!”
“Nah, sekarang kau sudah mengerti betapa
seriusnya aku, Chris? Aku hanya memintamu untuk memperbaiki jalan hidupku.
Menghidupkan istriku kembali agar kami dapat berkumpul sebagai keluarga!
Sekarang pilih mana, Chris? Menghidupkan Mal kembali atau menyaksikan ide-ide
brilianmu hangus terbakar sebelum dikagumi penonton?”
“Aku tak bisa melakukan itu, Cobb!” teriak
Chris. “Aku tak bisa menghidupkan semua karakter yang telah kubunuh meskipun
dimintai oleh karakter lain atau penonton sekalipun! Bagaimanapun juga harus ada yang mati Cobb. Cerita yang happy ending itu omong kosong!”
“Kalau begitu, tukar aku Chris! Biar aku
yang mati menggantikan Mal! Ceritanya, aku akhirnya menyadari kalau kematian
Mal ternyata palsu. Aku mencari, menemukan dan menyelamatkannya. Biarkan aku
mati sebagai pahlawan asalkan Mal kembali pada anak-anak. Mereka membutuhkan
ibunya! Ceritakan itu di Inception 2!”
Christopher Nolan tertawa terbahak-bahak.
“Cobb, lalu kaupikir... apa yang akan terjadi kalau istrimu datang kepadaku dan
menuntut kau dihidupkan?”
Cobb tersentak sesaat, “Itu... biarkan saja.
Jangan dengarkan Mal kalau dia mendatangimu! Pokoknya, Mal dan anak-anak harus
hidup!”
“Jangan membuatku muntah, Cobb!” ejek Nolan.
“Aku tak pernah memberimu sifat sok berkorban seperti hero Hollywood lainnya!”
“Selain itu,” lanjut Chris. “Apa kau pikir
Mal tak pernah mendatangiku? Apa kau
kira aku tak pernah memikirkan untuk membunuhmu
di draft awal Inception? Apa kau tak
pernah menduga bahwa Mal pernah memohon dan mengatakan hal yang sama seperti
yang kau katakan sekarang? Bahwa ia rela menjadi tokoh antagonis dalam film itu
dan mimpi burukmu asalkan kau dan anak-anak tetap hidup dan berkumpul
kembali?”
Cobb terkejut. Tubuhnya tiba-tiba menjadi
dingin dan gemetar. Benarkah....
benarkah...
“Inilah yang kumaksud, Cobb!” cetus Bill
tiba-tiba. “Mimpi di dalam mimpi di dalam mimpi. Cerita di dalam cerita di
dalam cerita. Kebohongan di dalam kebohongan di dalam kebohongan di dalam akal
bulus di dalam kelicikan!”
“Jangan percaya dia, Cobb!” jerit Bill. “Nolan hanya mempermainkan pikiranmu! Kau tak
bisa mempercayai kata-kata penulis seperti dirinya. Intinya, dia tidak mau menghidupkan istrimu, istri
Lenny dan juga perempuan yang kucintai! Dia membunuh mereka semua dan
menginginkan kita menderita karenanya! Lihat saja film Interstellar pada tanggal 7 November nanti. Pasti ada karakter yang
mati untuk menarik banyak simpati dan uang dari penonton! Lebih baik kau bakar
kotak mimpinya itu sekarang. Aku yakin mereka
lebih memilih tidak dilahirkan daripada menjalani hidup seperti kita.”
Christopher Nolan memandangi Bill dengan
kecewa. “Aku sedih kau beranggapan seperti itu mengenai diriku, Bill!”
“Cihh....” Bill membuang muka.
Remember.....
“Apa maksudnya... kau membunuh istriku?”
tanya Lenny pada Chris.
“Maksudnya, dialah yang menyuruh John G untuk membunuh istrimu, Lenny!” Bill
yang menjawab.
Chris
Nolan menyuruh John G untuk membunuh istrimu. Bunuh dia!
Lenny meraba tatonya, lalu tiba-tiba ia menodongkan
pistol ke arah Chris.
“Benarkah itu? Kau yang menyuruh John G
untuk membunuh istriku?” Lenny berteriak.
“Lenny, hentikan! Turunkan senjatamu! Aku
tak akan membiarkanmu membunuhnya, Lenny. Aku membutuhkannya untuk menghidupkan
Mal! Kalau kau membunuhnya, hidup kita semua berakhir Lenny! Chris akan jatuh
ke dalam limbo dan tidak akan pernah berkarya lagi. Tidak akan ada Inception 2, Memento 2 atau Following 2!
Kita hanya akan terkenang seperti yang diingat penonton. Tapi, jika kita bisa
membujuknya untuk membuat film kedua, kita bisa menghidupkan perempuan yang
kita cintai, Lenny!”
Lenny ragu-ragu dan Bill tertawa.
“Lebih mudah membujuk kucingmu untuk bunuh
diri, Lenny!” seloroh Bill.
“Tutup mulutmu, Bill!” bentak Cobb.
Christopher Nolan terlihat tenang, “Kau bisa
membunuhku Lenny. Tapi ingat, sepuluh
menit kemudian kau akan lupa dan kembali mencari John G. Karena itu adalah
tujuan hidup yang kuberikan padamu! Nah, lihat, Cobb? Bagaimanapun juga aku
tetap menang! Aku telah memberi kalian motivasi untuk hidup. Kehilangan yang
kalian rasakan adalah bahan bakar untuk tetap bertahan dan memberi arti pada
setiap tindakan yang kalian lakukan. Jadi silakan, tembak aku, Lenny! Kematian
(limbo) masih lebih baik daripada terbangun dan menyadari kalau Cobb
membinasakan ide-ideku yang seharusnya bisa menjadi besar sama seperti
dirinya.”
“Kami tidak akan membunuhmu, Chris.
Kuperingatkan, jika aku bakar kotak ini, kau akan terbangun dan merasakan
kekosongan dalam dirimu. Kau akan berharap dapat mati saja karena kau tahu sesuatu yang sangat berharga dalam
dirimu telah hilang.” Cobb lalu berpaling pada Lenny, “Lenny, percayalah
padaku! Dia tidak akan dapat menulis apa-apa lagi jika kita bakar kotak
mimpinya ini. Paling-paling dia hanya bisa mengadaptasi novel-novel dari
penulis lain. Tapi lama-kelamaan dia akan bosan dan tak ada pilihan lain selain
melanjutkan cerita kita. Memperbaiki
hidupku, hidupmu dan hidup Billy. Hanya itu yang bisa Chris lakukan, jika dia
mau aku mengembalikan kotak mimpinya!”
Christopher Nolan membeku. Dia tahu Cobb
benar. Sekarang dia merasa menyesal karena telah bermain-main dengan mimpi dan
menciptakan karakter yang begitu kuat sehingga dapat menghancurkan hidupnya.
Tak ada pilihan lain. Ia harus segera keluar dari mimpi ini. Apa pun
taruhannya.
“Aku tidak mengerti,” celetuk Bill. “Jika
kau membakar kotak itu Cobb, bagaimana caramu mengembalikannya?”
Cobb tersenyum, “Kau pikir bagaimana caraku
mencuri mimpi selama ini Bill? Cerita di
dalam cerita, ingat?”
“Oh!” seru Bill.
“Ya. Ide geniusnya itu akan terkubur dalam mimpiku, jika aku membakar kotaknya ini.
Tak ada pilihan lain selain melanjutkan ceritaku dan menghidupkan Mal kembali!”
Christopher Nolan menghembuskan napas.
Tak
ada pilihan lain
Harus segera
keluar
Dari mimpi
ini
Apa pun
taruhannya
“Aku yang membunuh istrimu, Lenny! Ayo,
tembak aku, sekarang!” Chris memprovokasi.
“Jangan bodoh, Chris! Ini mimpi lapisan
kedelapan. Kau akan terjatuh ke dalam limbo jika mati disini!” hardik Cobb.
“Limbo adalah ciptaanku! Kau pikir aku tidak dapat mengakalinya, Cobb?” gertak
Chris.
Cobb sejenak ragu-ragu dan Chris
memanfaatkan jeda itu untuk menghasut Lenny.
“Apa yang kau tunggu, Lenny! Aku yang
membunuh istrimu, ayo tembak aku!”
Lenny merasa bingung. Ia tidak tahu harus
melakukan apa. Pria dihadapannya mengaku telah membunuh istrinya. Harusnya ia
segera membunuhnya untuk membalas dendam kematian istrinya. Tapi apa gunanya
balas dendam, jika kau tidak mampu mengingatnya? Balas dendam hanya terasa
manis jika kau mampu mengingatnya.
Di sisi lain, pria yang bernama Chris ini,
ada kemungkinan dapat menghidupkan istrinya kembali. Begitu yang dipercayai
Cobb — seseorang yang istrinya juga dibunuh oleh Chris. Jika Lenny tidak mampu
mengingat apakah ia telah membunuh Chris atau melepaskannya, mengapa ia harus menutup peluang kemungkinan
istrinya dapat hidup kembali?
“Lenny, Lenny! Remember....” Christopher Nolan berdeham. Ini akan menjadi
kata-kata terakhirnya di dunia mimpi dan dia tahu itu.
“Kau
harus percaya dunia di luar pikiranmu....”
Cobb tersentak, “Jangan macam-macam, Chris!”
“Kau
harus percaya bahwa tindakanmu memliki arti....”
“Diam!”
“Walaupun
kau tidak mampu mengingatnya...”
“Hentikan!”
“Kau
harus percaya ketika kau menutup mata....”
Cobb akhirnya membakar kotak itu dan
manuskrip-manuskrip di dalamnya terbakar dengan cepat.
“Dunia
masih di sini....”
DORR! DORR! DORR!
***
Epilog
Christopher Nolan membuka mata. Jantungnya
berdegup kencang dan piyamanya basah oleh keringat. Mimpi yang luar biasa....
Tapi, benarkah hanya mimpi?
Ia menoleh ke samping dan mendapati
istrinya, Emma Thomas, sedang tertidur nyenyak. Christopher Nolan lalu terduduk
di ranjangnya. Ia memperhatikan sekelilingnya.
Tidak ada yang berubah. Semua seperti masih
yang diingatnya. Ini kamarnya, istrinya, rumahnya, hidupnya dan dunianya.
Akan tetapi ia tahu kemampuan Cobb. Karakter
ciptaannya itu tidak akan melewati detail sekecil apapun juga.
Apakah ia benar ada di dunia nyata? Atau
terkubur dalam limbo?
Hanya ada satu cara yang pasti untuk
mengetahuinya.
Christopher Nolan lalu mengambil kunci dan
membuka laci. Di dalam sana terdapat kotak mimpinya. Ia memegang kotak itu
dengan kedua tangannya. Tentu saja ia hapal judul-judul screenplay yang ada di dalam sana. Tapi yang berusaha diingatnya
adalah ide-ide baru yang selalu muncul ketika ia terbangun dari tidur.
Mimpi apa ia barusan?
Ia bermimpi Cobb mengancamnya agar ia
membuat sekuel film Inception atau Cobb
akan....
Oh, sial! Cobb memang sudah membakar kotak mimpinya di dalam mimpi. Tapi
Nolan merasa sudah mati sebelum kotak itu terbakar habis. Jadi seharusnya kotak
itu selamat. Samar-samar ia ingat, keinginannya untuk membuat remake film spiderman. Lalu tentang
alien dari Mars yang sebenarnya
keturunan penduduk asli bumi dari beberapa ribu tahun yang lalu. Mereka akan datang ke Bumi untuk menuntut tanah
leluhurnya dari kita.
Namun ide-ide itu masih sangat samar. Butuh
pengembangan lebih lanjut. Satu-satunya ide yang cukup jelas bercerita....
Bercerita tentang hubungan asmara tentang
seorang pelukis dan penulis. Pelukis yang melukis penulis? Atau penulis yang
menulis pelukis? Brengsek! Cobb, sialan! Kejadian seperti ini sudah lama tak
pernah dialami Christopher Nolan.
Beberapa tahun yang lalu, ia menyadari
pentingnya daya ingat bawah sadar sehingga ia melatih pikirannya agar dapat
menangkap ide-ide yang datang dari mimpi. Ia banyak berutang budi pada Jung dan
Freud atas penemuan ini.
Christopher Nolan membuka kotak itu. Di
dalamnya terdapat pernak-pernik yang sama seperti yang dilihat Cobb. Buah dadu,
koin, kartu remi, buah catur, karet gelang, boneka kayu yang patah sebelah
tangannya, totem puter Cobb, bola karet milik Alfred Borden, miniatur pesawat
terbang, dan masih banyak lagi. Semua perlengkapan yang dibutuhkan oleh
ilusionis sejati untuk menipu kamu, ya..... kamu. Aditia Yudis.
Nolan mengambil Raja Putih miliknya yang
bertaburan menghiasi naskah-naskah tersebut bersamaan dengan Kuda Hitam,
Benteng dan beberapa bidak catur lainnya. Ia lalu menutup kotak itu dan
meletakkannya di atas meja tidur. Kemudian, ia meletakkan buah catur itu — Sang
Raja di atas kotak rahasianya.
Ia menarik napas dalam-dalam. Langkah
berikutnya akan menentukan hidup dan mati. Lalu dengan kerendahan hati
seseorang yang menyadari bahwa dirinya genius, ia menyentil Raja itu hingga
terjatuh. Jika adegan ini sebuah film, ia akan membuatnya slow motion — sebuah kemewahan, bisa dibilang, jika kamu dapat
menemukannya di film karya-karyanya.
Dengan sabar ia menunggu. Satu menit. Dua
menit. Tiga menit. Lima menit. Tak ada hal istimewa yang terjadi. Christopher
Nolan akhirnya menghembuskan napas lega.
Raja Putih itu adalah totemnya. Jika ia sedang berada di dalam mimpi, Sang Raja akan
bangkit kembali dengan sendirinya — tidak peduli berapa kali pun dijatuhkan.
Itulah sebabnya, ia selalu menang bermain catur melawan Bobby Fischer. Dan
berani menggunakan nama itu untuk karakternya di Inception. Dan rencananya, di salah satu film berikutnya.
Christopher Nolan merapatkan dirinya dan
mencium kening istrinya. Ia lega sudah
terbangun. Alam mimpi memang menyenangkan untuk dijelajahi, tapi ia tidak
boleh terlelap terlalu lama karena ia sangat mencintai istrinya.
***
Epilog di
dalam Epilog
Kau menunggu kereta...
Kereta yang akan membawamu pergi jauh....
Chris sedang berada di lokasi syuting dan ia
sedang mengarahkan Matthew Mcconaughey dalam perannya di Interstellar. Sesekali, ia terlihat sedang bercanda dengan kru film
lainnya. Banyak bintang Hollywood terlibat dalam proyek pembuatan film itu.
Termasuk Michael Caine, aktor kawakan yang dikagumi dan dihormati Chris.
Ia sedang memberi arahan pada seorang
kameramen ketika pria berjas itu berjalan mendekatinya.
“Mr. Nolan?” sapa pria berjas itu dengan
formal.
“Ya?” Chris menoleh dan menyahut spontan.
“Bisa kita bicara empat mata?”
Chris mengangguk ke arah kameramen, yang
kemudian berjalan pergi meninggalkannya.
“Ada apa?” tanya Chris.
“Aku tahu ini kedengarannya gila,” kata pria
yang terlihat seperti mantan tentara dengan uban tipis di pelipisnya, “Tapi ada
sekelompok orang yang mencoba ingin membunuhmu.”
Chris merasa dunianya berputar dan ia
tersedot ke ruang hampa udara.
“Darimana kau tahu? Siapa kau?”
Sekarang giliran pria berjas bagus itu yang
terkejut. Subjek yang didekatinya, biasanya tidak akan percaya kata-katanya
atau menganggapnya sebagai orang yang aneh. Tapi orang ini....
“Namaku John Reese. Kau bisa memanggilku
John!”
“Kau belum menjawab pertanyaanku, John!
Darimana kau tahu kalau mereka akan mencoba membunuhku?”
Mr. Reese sejenak bergumam sendiri, “Kau
yakin tak apa-apa Finch?”
“Nomor jaminan sosialmu muncul di mesin, Mr. Nolan. Itu artinya kau berada
dalam bahaya atau menjadi pelaku dalam tindak kejahatan. Kami cenderung setuju
bahwa kau termasuk kategori yang pertama.”
“Siapa kami?
Kau bekerja untuk siapa?” desak Christopher Nolan.
“Untuk orang kaya penyendiri yang genius,
penuh rahasia, dan manipulatif....” sindir John.
“Si Finch itu?”
“He-eh...”
“Dia sedang mendengarkan sekarang?” tanya
Chris.
“Anda memang cerdas, Mr. Nolan!”
“Dan untuk siapa si genius penyendiri ini
bekerja?”
Mr. Reese tersenyum, “Anda tidak tahu? Tentu
saja untuk adik anda — Jonathan Nolan!”
***
Bisa selesai:).nyaris berhenti di adegan prtmeuan Cobb, Bill dan Lenny di restoran. Untungnya terbantu cerita pelukis yg dicintai lukisannya itu, lanjut baca lagi.
BalasHapusSyukur deh kalau bisa selesai. Semoga bacanya gak dipaksa :) Dari pengalaman sebagai "penimbun buku", aku baru sadar kalau baca satu buku sampai selesai itu ternyata butuh komitmen juga. hehe...
HapusTapi yg gak selesai bacanya gak komen nih, padahal aku mau tahu mereka macet dimana. Dan apa aku sewaktu nulis juga macet di bagian yang sama.