Jumat, 17 April 2015

- Leave a Comment

Bayi yang Menangis di dalam Kardus



Seharusnya pagi ini bisa menjadi pagi yang sunyi. Namun, tidak seperti biasanya, kali ini Warso harus teriak-teriak tak mau kalah dengan ayam yang berkokok.
“Man! Kemari, Man! Cepat, Man! Kemari! Ada bayi!” teriak Warso memanggil Kardiman yang kebetulan sedang tugas jaga pada hari itu.
Sebenarnya Kardiman lebih asyik memilih untuk meluruskan kakinya ke meja jaga ketika ia sedang duduk di pos, namun begitu ia mendengar kata “bayi” dari teriakan Warso, dengan sigap ia berlari mendekati temannya tersebut.
“Apa? Mana bayinya? Ada di mana?” tanya Kardiman kepada Warso begitu sampai di toilet SPBU tempatnya bertugas.
“Itu,” jawab Warso sambil menunjuk ke arah kardus bekas mi instan yang dari dalamnya terdengar tangisan bayi.
Dengan rasa penasaran, Kardiman mendekati kardus itu dan melihat bayi yang tengah menangis tanpa mengenakan sehelai kain pun. Ia kemudian mengangkat kardus itu dan membawanya keluar dari dalam toilet. Diletakkannya kardus itu di depan musala yang berada tidak jauh dari toilet.
“Kita harus laporkan ini ke polisi, So,” kata Kardiman setelah meletakkan kardus berisi bayi itu.
“Jangan, Man. Aku tidak mau kita berurusan dengan polisi. Aku juga tidak punya uang untuk membayar ongkos polisi-polisi itu nanti. Memangnya kau punya uang?” tanya Warso kepada Kardiman. Kardiman hanya menggeleng.
Mereka kemudian terdiam sambil memandangi bayi yang tak kunjung berhenti menangis itu.
“Ah, kita telepon bos saja, So,” kata Kardiman tiba-tiba menawarkan ide.
 “Ya sudah. Mana hape-mu?” tanya  Warso sambil menadahkan tangannya ke arah Kardiman.
 “Kok hape-ku? Ya Pakai hape-mu lah. Aku nggak ada pulsa. Kau kan tahu, lemburan kita telat bulan ini,” kata Kardiman pasrah. Mereka kemudian kembali terdiam.
Di sela-sela kebisuan mereka yang dilatarbelakangi oleh tangisan bayi di dalam kardus itu, datanglah Suriyem, penjual jamu langganan Kardiman dan Warso.
“Bayi siapa itu, Man?” tanya Suriyem yang datang sambil menuntun sepedanya yang berisi jamu.
Kardiman kemudian menjelaskan bahwa tadi Warso menemukan kardus yang berisi bayi ini di dalam toilet. Pria jangkung berbaju seragam hijau daun pisang milik perusahaan gas ternama ini sebelumnya tidak melihat satu orang pun masuk ke toilet SPBU yang memang belum buka.
“Berarti, ini salah kamu, Man. Masak ada orang masuk ke sini kamu nggak liat?” kata Suriyem kemudian.
Kardiman tak terima disalahkan oleh Suriyem. Dengan cepat ia memutar otak untuk mendapatkan beribu alasan agar posisinya benar.
“Enak saja. Orang itu kan masuknya ke toilet, berarti Warso yang lebih berwenang. Kalau orang itu masuk ke kantor, baru aku yang salah,” ucap Kardiman membela diri.
Ribut-ribut saling menyalahkan itu ternyata menarik perhatian tiga orang yang sedang lari pagi di sekitar SPBU. Tiga orang itu lebih dikenal dengan panggilan Pak RT karena dia seorang RT, Pak Ustaz karena dia seorang guru mengaji, dan Pak Guru karena dia adalah seorang guru SD di lingkungan tersebut.
“Ada apa ini? Kok ribut? Ini bayi siapa?” tanya Pak RT begitu mereka mendekat.
Warso kemudian menjelaskan kejadian yang menimpa dirinya hingga akhirnya terjadi keributan saling menyalahkan ini.
“Waduh, sudah kalau begitu,” ucap Pak Guru menenangkan, “kalau begini ini, kalian jelas tidak salah. Lihat itu, masalahnya adalah bayi itu kan? Yang salah ya orang tua bayi itu. Kok tega membuangnya? Orang seperti ini pasti bukan warga yang baik,” lanjut Pak Guru.
“Ah, tapi warga saya semuanya baik kok, Pak,” sanggah Pak RT, “tidak mungkin warga saya melakukan hal semacam ini. Jelas yang salah ini karena mereka tidak punya keimanan yang kuat. Hingga tega membuang darah dagingnya sendiri,” kata Pak RT.
Mendengar pernyataan itu, Pak Ustaz jelas tidak terima. Dia merasa telah mengajarkan agama kepada warga sekitar dengan baik dan yakin keimanan warga di sini sangatlah kuat.
“Buktinya, Pak RT, warga di sini tidak pernah alfa merayakan hari besar Islam. Yang mengisi pun, selalu kiai-kiai besar. Belum lagi, anak muda di sini juga setiap pekan selalu hadir di majelis taklim yang dipimpin oleh habib besar. Anak saya biasanya memimpin rombongan paling depan. Pak RT dan Pak Guru sering lihat kan bendera besar mereka?” tanya Pak Ustaz. Semua orang yang ada di situ mengangguk, tanda setuju dengan apa yang dikatakan Pak Ustaz.
“Ini pasti ulah warga luar, Pak!” kata Kardiman yakin.
“Hus! Jangan asal tuduh kau, Man!” kata Warso.
Namun Kardiman yakin ini pasti ulah warga kampung sebelah. Ia menyimpulkan setelah mendengar yang dikatakan tiga orang yang sedang lari pagi itu.
Setelah semua yang ada di situ yakin bahwa orang tua bayi ini adalah warga kampung sebelah, Pak RT berinisiatif untuk membawanya ke panti asuhan yang berada tak jauh dari tempat tinggalnya. Namun baru saja dia mengangkat kardus itu dengan kedua tangannya, ponselnya berdering keras sekali. Dia meminta Warso untuk mengambilkan ponsel itu di dalam saku bajunya. Selain itu, setelah melihat nama istrinya di layar ponsel, dia meminta Warso menekan tombol speaker agar dia bisa mendengar jelas suara istrinya dengan tetap dipegangi Warso.
Pak, Bapak di mana? Cepat pulang, Pak!” suara Bu RT di seberang sana.
“Ada apa, Bu?” tanya Pak RT terlihat panik.
Anak kita kekurangan darah, Pak. Darah terus mengalir dari kemaluannya. Ternyata dia baru saja melahirkan anak dan membuangnya entah di mana.
Semua orang yang ada di situ saling tatap. Pak RT tak bicara apa pun. Dia kemudian menunduk dan melihat bayi yang ada di dalam kardus yang dipegangnya.
Anak kita dihamili oleh Slamet, Pak! Anak Ustaz,” kata Bu RT yang kemudian diikuti suara tangisan.
Pak RT menatap Pak Ustaz. Pak Ustaz hanya bisa melongo membalas tatapan Pak RT.
“Jadi, ini bayi siapa?” tanya Warso ketika semua terdiam.
“Saya pikir, Wati memang gemukan sekarang. Ealah, saya ketipu. Ayo, Pak, bawa ke rumah Bapak saja,” kata Pak Guru sambil merangkulkan tangan ke bahu Pak RT dan mengajaknya berjalan.


Sumber gambar: http://www.anneahira.com/orang-terkecil-di-dunia.htm

Penulis: Nicky Rosadi

Tulisan lain dari Nicky Rosadi

Kenali lebih dekat di sini:

Icon Icon G+

0 comments:

Posting Komentar