Seharusnya pagi ini bisa menjadi pagi yang
sunyi. Namun, tidak seperti biasanya, kali ini Warso harus teriak-teriak tak
mau kalah dengan ayam yang berkokok.
“Man! Kemari, Man! Cepat, Man! Kemari! Ada
bayi!” teriak Warso memanggil Kardiman yang kebetulan sedang tugas jaga pada
hari itu.
Sebenarnya Kardiman lebih asyik memilih
untuk meluruskan kakinya ke meja jaga ketika ia sedang duduk di pos, namun
begitu ia mendengar kata “bayi” dari teriakan Warso, dengan sigap ia berlari
mendekati temannya tersebut.
“Apa? Mana bayinya? Ada di mana?” tanya
Kardiman kepada Warso begitu sampai di toilet SPBU tempatnya bertugas.
“Itu,” jawab Warso sambil menunjuk ke arah
kardus bekas mi instan yang dari dalamnya terdengar tangisan bayi.
Dengan rasa penasaran, Kardiman mendekati
kardus itu dan melihat bayi yang tengah menangis tanpa mengenakan sehelai kain
pun. Ia kemudian mengangkat kardus itu dan membawanya keluar dari dalam toilet.
Diletakkannya kardus itu di depan musala yang berada tidak jauh dari toilet.
“Kita harus laporkan ini ke polisi, So,”
kata Kardiman setelah meletakkan kardus berisi bayi itu.
“Jangan, Man. Aku tidak mau kita berurusan
dengan polisi. Aku juga tidak punya uang untuk membayar ongkos polisi-polisi
itu nanti. Memangnya kau punya uang?” tanya Warso kepada Kardiman. Kardiman
hanya menggeleng.
Mereka kemudian terdiam sambil memandangi
bayi yang tak kunjung berhenti menangis itu.
“Ah, kita telepon bos saja, So,” kata
Kardiman tiba-tiba menawarkan ide.
“Ya
sudah. Mana hape-mu?” tanya Warso sambil menadahkan tangannya ke arah
Kardiman.
“Kok hape-ku?
Ya Pakai hape-mu lah. Aku nggak ada pulsa. Kau kan tahu, lemburan kita telat bulan
ini,” kata Kardiman pasrah. Mereka kemudian kembali terdiam.
Di sela-sela kebisuan mereka yang
dilatarbelakangi oleh tangisan bayi di dalam kardus itu, datanglah Suriyem,
penjual jamu langganan Kardiman dan Warso.
“Bayi siapa itu, Man?” tanya Suriyem yang
datang sambil menuntun sepedanya yang berisi jamu.
Kardiman kemudian menjelaskan bahwa tadi
Warso menemukan kardus yang berisi bayi ini di dalam toilet. Pria jangkung
berbaju seragam hijau daun pisang milik perusahaan gas ternama ini sebelumnya
tidak melihat satu orang pun masuk ke toilet SPBU yang memang belum buka.
“Berarti, ini salah kamu, Man. Masak ada orang masuk ke sini kamu nggak
liat?” kata Suriyem kemudian.
Kardiman tak terima disalahkan oleh
Suriyem. Dengan cepat ia memutar otak untuk mendapatkan beribu alasan agar
posisinya benar.
“Enak saja. Orang itu kan masuknya ke
toilet, berarti Warso yang lebih berwenang. Kalau orang itu masuk ke kantor,
baru aku yang salah,” ucap Kardiman membela diri.
Ribut-ribut saling menyalahkan itu
ternyata menarik perhatian tiga orang yang sedang lari pagi di sekitar SPBU.
Tiga orang itu lebih dikenal dengan panggilan Pak RT karena dia seorang RT, Pak
Ustaz karena dia seorang guru mengaji, dan Pak Guru karena dia adalah seorang
guru SD di lingkungan tersebut.
“Ada apa ini? Kok ribut? Ini bayi siapa?”
tanya Pak RT begitu mereka mendekat.
Warso kemudian menjelaskan kejadian yang
menimpa dirinya hingga akhirnya terjadi keributan saling menyalahkan ini.
“Waduh, sudah kalau begitu,” ucap Pak Guru
menenangkan, “kalau begini ini, kalian jelas tidak salah. Lihat itu, masalahnya
adalah bayi itu kan? Yang salah ya orang tua bayi itu. Kok tega membuangnya?
Orang seperti ini pasti bukan warga yang baik,” lanjut Pak Guru.
“Ah, tapi warga saya semuanya baik kok,
Pak,” sanggah Pak RT, “tidak mungkin warga saya melakukan hal semacam ini.
Jelas yang salah ini karena mereka tidak punya keimanan yang kuat. Hingga tega
membuang darah dagingnya sendiri,” kata Pak RT.
Mendengar pernyataan itu, Pak Ustaz jelas
tidak terima. Dia merasa telah mengajarkan agama kepada warga sekitar dengan
baik dan yakin keimanan warga di sini sangatlah kuat.
“Buktinya, Pak RT, warga di sini tidak
pernah alfa merayakan hari besar Islam. Yang mengisi pun, selalu kiai-kiai
besar. Belum lagi, anak muda di sini juga setiap pekan selalu hadir di majelis
taklim yang dipimpin oleh habib besar. Anak saya biasanya memimpin rombongan
paling depan. Pak RT dan Pak Guru sering lihat kan bendera besar mereka?” tanya
Pak Ustaz. Semua orang yang ada di situ mengangguk, tanda setuju dengan apa
yang dikatakan Pak Ustaz.
“Ini pasti ulah warga luar, Pak!” kata
Kardiman yakin.
“Hus! Jangan asal tuduh kau, Man!” kata
Warso.
Namun Kardiman yakin ini pasti ulah warga
kampung sebelah. Ia menyimpulkan setelah mendengar yang dikatakan tiga orang
yang sedang lari pagi itu.
Setelah semua yang ada di situ yakin bahwa
orang tua bayi ini adalah warga kampung sebelah, Pak RT berinisiatif untuk
membawanya ke panti asuhan yang berada tak jauh dari tempat tinggalnya. Namun
baru saja dia mengangkat kardus itu dengan kedua tangannya, ponselnya berdering
keras sekali. Dia meminta Warso untuk mengambilkan ponsel itu di dalam saku
bajunya. Selain itu, setelah melihat nama istrinya di layar ponsel, dia meminta
Warso menekan tombol speaker agar dia
bisa mendengar jelas suara istrinya dengan tetap dipegangi Warso.
“Pak,
Bapak di mana? Cepat pulang, Pak!” suara Bu RT di seberang sana.
“Ada apa, Bu?” tanya Pak RT terlihat
panik.
“Anak
kita kekurangan darah, Pak. Darah terus mengalir dari kemaluannya. Ternyata dia
baru saja melahirkan anak dan membuangnya entah di mana.”
Semua orang yang ada di situ saling tatap.
Pak RT tak bicara apa pun. Dia kemudian menunduk dan melihat bayi yang ada di
dalam kardus yang dipegangnya.
“Anak
kita dihamili oleh Slamet, Pak! Anak Ustaz,” kata Bu RT yang kemudian
diikuti suara tangisan.
Pak RT menatap Pak Ustaz. Pak Ustaz hanya
bisa melongo membalas tatapan Pak RT.
“Jadi, ini bayi siapa?” tanya Warso ketika
semua terdiam.
“Saya pikir, Wati memang gemukan sekarang.
Ealah, saya ketipu. Ayo, Pak, bawa ke rumah Bapak saja,” kata Pak Guru sambil
merangkulkan tangan ke bahu Pak RT dan mengajaknya berjalan.
Sumber gambar: http://www.anneahira.com/orang-terkecil-di-dunia.htm
0 comments:
Posting Komentar