Senin, 23 Juli 2018

- Leave a Comment

Memori

Gambar pinjam dari RockChairbook

Karya: Regina Kalosa

Akhirnya aku bertemu juga dengannya. DenganNya. Buku baruNya kubeli kemarin sore dan harus kubawa hari ini untuk dapat terdaftar sebagai peserta acara peluncuran buku baruNya. Setelah sekian lama, berbelas-belas tahun rasanya, tiba-tiba saja terbit buku baruNya. Aku setengah tidak percaya ketika melihat namanya di tumpukan buku-buku yang ada di bagian depan toko buku langganganku. Buku BaruNya. Mungkin aku terlalu berlebihan. Ia bukan Tuhan. Tapi rasa kagumku padanya, padaNya terlalu besar untuk kuungkapkan ke dalam bentuk apapun.
Dulu, dulu sekali, aku tidak tahu persisnya kapan. Hmm, aku tidak sepenuhnya jujur, aku tahu apa yang kumaksud dulu sekali, tapi tidak ada tanggal atau bulan atau tahun pasti kapan persisnya terjadi. Singkatnya, dulu sekali itu terjadi pada awal ketika aku mulai mampu mengingat sesuatu, yang bisa kubawa utuh sampai sekarang ini. Ingatan itu.
Dulu, dulu sekali, aku selalu ditemani buku-buku, kebanyakan buku cerita, bukan buku pelajaran. Ya, ketika itu aku sudah mulai pergi sekolah, belajar bersama orang-orang kecil berukuran seperti aku dengan kombinasi beberapa orang-orang besar, dan pulang dengan banyak buku yang harus kubuka-buka kembali di rumah. Ketika buku pelajaran sudah membuatku bosan, aku selalu beralih ke buku-bukuNya yang membawaku ke dunia yang lebih indah dari sekadar puisi yang kubuat untuk tugas sekolah, yang lebih menantang dari sekadar menghitung luas sebuah lingkaran, dan yang lebih kuinginkan dari sekadar kenyataan-kenyataan sejarah yang harus kuhapal tanpa kumengerti.
“Run, kamu bawa berapa buku?” Maya, temanku yang juga pengagumNya menghampiriku setelah sebelumnya melambai-lambaikan tangannya padaku seperti hendak memberhentikan bis. Terlalu berlebihan. Ruangan ini tidak terlalu besar, siapapun bisa menghampiri siapapun tanpa perlu memberikan isyarat berlebihan untuk dikenali. Sebenarnya aku dan Maya tidak membuat janji untuk bertemu di sini tapi kemarin aku bertemu dengannya di bis kampus dan mendadak kami membicarakan hal yang sama, peluncuran bukuNya di toko buku dekat kampusku.
“Semuanya,” balasku pendek. Aku membetulkan posisi ransel di pundakku yang sudah mulai menyakitkan. Jelas saja, kubawa 43 buku karyaNya.
“Kamu gila!” Maya tertawa sambil memperlihatkan empat atau lima buku dalam genggamannya.
“Yang gila itu orang yang menyia-nyiakan kesempatan untuk tidak membiarkan semua bukunya ditandatangani penulisnya langsung,” Aku menemukan tempat duduk yang kupikir cukup strategis untuk melihatNya langsung sekaligus membuatNya juga bisa melihatku tanpa susah payah. Aku menyapu pandangan ke sekelilingku. Kebanyakan anak-anak dan juga beberapa orang tua. Mungkin hanya aku, dan Maya, dan seorang gadis berambut panjang yang duduk di baris belakangku yang tergolong bukan anak-anak lagi yang datang untuk diri sendiri.
Maya hendak membalas ucapanku tapi terhenti oleh suara perempuan melalui pengeras suara yang mengumumkan acara segera dimulai. Ini dia, antusiasmeku mengalir deras ke kepala dan membuat dadaku berdegup lebih kencang dari sebelumnya.
Tidak lama setelah pengumuman, sosok yang menemaniku di waktu dulu sekali itu masuk ke ruangan dengan langkah perlahan dan hati-hati.
Hatiku membuncah dengan perasaan yang sulit kumengertikan. Kuperhatikan lamat-lamat sosok tubuh yang berjalan pelan-pelan ke tengah panggung dengan tubuh yang tidak lebih dari setengah berat tubuhku, dengan tulang-tulang yang menonjol di sana-sini, dan rambut putih yang tidak disisir terlalu rapi sehingga tampak seperti gula-gula kapas kesukaanku yang diletakkan di atas kepala yang penuh kerut
Aku tercekat, seperti ada sesuatu yang menaiki kerongkonganku. Aku terdiam. Lama.
“Kamu tahu berapa lama lagi ia akan hidup?” Dari banyak rasa yang membuatku dadaku seperti mau meledak, malah kalimat itu yang keluar yang mulutku. Dirinya jelas mengingatkanku pada seseorang.
*
Dulu, nenekku, yang kupanggil Nena, selalu mengingatkanku untuk tidak membaca di kamar. Tepatnya di kamar tidurku. Lampu kamarku sepertinya sengaja dipasang tidak terlalu terang bahkan cenderung remang-remang dengan warna kuning hangat yang membuatku lebih cepat terlelap dari kamar atau ruangan manapun yang aku tumpangi. Ketika aku sudah lebih besar, aku menyadari bahwa nenekku memang memasang lampu kamarku yang lebih redup dari ruangan lainnya supaya aku melakukan kegiatan lainnya di luar kamar.
Sejak dulu, aku tinggal bersama kakek, yang kupanggil Pippa dan Nena yang kuanggap sebagai orang tuaku, sama seperti ketika teman-temanku bercerita mengenai ayah dan ibu mereka, maka aku akan bercerita mengenai Nena dan Pippa. Hanya mereka yang kukenal dari dulu, walaupun memang ada beberapa orang lain yang kadang kutemui yang dengan mereka aku menghabiskan beberapa waktu, tapi itu tidak penting, bagiku sama saja seperti tamu yang sesekali berkunjung, datang, minum teh dan makan kue kecil, lalu pergi. Hanya Nena dan Pippa yang selalu ada dan tidak pernah pergi.
Ada rutinitas bersama Nena yang selalu membuatku senang bahkan di saat aku sedang sedih. Setiap sore, sehabis mandi, Nena selalu mengoleskan minyak rambut di kepalaku dan memijatnya dengan lembut. Harumnya minyak tersebut begitu kusukai. Wanginya seperti campuran bunga melati ditambahkan dengan sesuatu yang manis entah apa itu. Aku pernah menanyakan ke Nena apakah ia mengambilnya dari semak bunga melati di taman belakang, memerasnya, dan memasukkannya ke botol. Nena malah tertawa dan mencium pucuk kepalaku keras-keras. Pertanyaanku tetap tidak terjawab. Sampai sekarang.
*
 “Banyak sekali?” Kau bertanya mengagumi buku-buku karyaMu sendiri yang kubawa.
“Ini semua buku-buku Anda,” balasku kikuk. Jujur aku gugup Kau menyapaku terlebih dahulu.
“Benarkah?” Jari-jemariMu dengan tulang-tulang yang menonjol meraba sampul buku terdepan yang kutaruh di meja tempatMu duduk berhadapan dengan penggemar-penggemarmu yang berbaris rapi. Buku pertamaMu yang pertama kali kubaca.
“Ini buku pertama Anda, buku kesukaanku.” aku menyentuh sedikit buku tipis yang sampulnya sudah cukup lecek. Buku-bukuMu sudah kuurutkan dari buku pertama sampai yang terakhir terbit.
Kau terdiam menatap sampul buku berwarna putih dengan gambar dua anak perempuan yang sedang lompat di atas tempat tidur. Lalu, jelas sekali terlihat pikiranMu meninggalkan aku yang sedang dihadapanMu dan berpuluh-puluh orang yang mengantri di belakangku. Mungkin kau melayang ke hari-hari ketika Kau sedang menulis buku pertamamu atau mungkin ke hari pertama buku pertamaMu diterbitkan atau mungkin ke hari di mana Kau dibuat terkesan oleh dua orang anak perempuan sehingga Kau putuskan untuk Kau tulis ke dalam buku pertamaMu atau… Entahlah, siapa pula yang bisa menyelami pikiran manusia. Tapi aku tahu pikiranmu berkelana jauh sekali.
Diammu terhenti ketika seorang juru potret memanggilMu dan aku untuk difoto bersama. Segera Kau memasang senyum, yang menurutku sangat manis, dan mengingatkanku pada seseorang. Akupun tertular senyummu dan kuberikan senyumku yang paling manis kepada juru potret yang menjepret foto kita beberapa kali.
Kau kembali kepadaku. Aku merasakan ketertarikanMu padaku terlihat jelas karena setumpuk bukuMu yang kubawa.
“Berapa umurmu sekarang?” Jemarimu yang menurutku sangat ramping dan mungil mulai membuka sampul buku pertamaMu dan menggoreskan penaMu di atasnya.
Aku terdiam. Ada dua pilihan, menjawab langsung pertanyaanmu atau menanyakan mengapa Kau bertanya demikian. Aku memilih yang pertama. Rasanya tidak ada alasan aku untuk tidak segera menjawabku. PertanyaanMu sederhana walau membingungkanku.
 “Dua puluh lima,” jawabku dengan suara pelan.
Kau berhenti menorehkan penamu ke bukuku, ah tidak, bukuMu. Dan tersenyum. Kehangatan mengaliri tubuhku perlahan-lahan. Aku balas tersenyum. Malu-malu.
“Sudah berapa lama cerita-ceritaku menemanimu?”
Pelan-pelan senyumku terhenti. Giliran aku yang meninggalkanMu.
*
            Sore itu hanya ada aku dan Nena di teras belakang. Aku sedang duduk bermalas-malasan di kursi goyang milik Nena sedangkan Nena menyirami semak bunga melati kesayanganku dengan teko siram warna merah jambu. Miaw, yang lebih sering kupanggil Mimi, kucing kampung berbulu putih milik Pippa yang katanya usianya sebaya denganku sedang bermanja-manja di pangkuanku, menikmati elusan jemariku yang sesekali mampir ke badannya yang berbulu lebat karena selalu diberi makanan khusus kucing oleh Pippa. Angin sepoi-sepoi menggerakkan dedaunan pada ranting pohon Angsana yang suka kupanjat sepulang sekolah. Hari minggu sore memang paling nyaman untuk bermalas-malasan.
            Aku sudah hampir jatuh tertidur ketika kudengar namaku dipanggil oleh suara yang kurasa belum pernah kudengar sebelumnya.
            “Aruna?” Ada suara yang tidak kukenal memanggil namaku, atau mungkin menanyakan apakah aku benar Aruna yang dimaksud olehnya.
            Aku membuka mata perlahan dan ada sosok perempuan yang tidak kukenal membungkuk berpegangan dengan tangan kursi goyang milik Nena.
            “Melati!”
            Aku kebingungan. Perempuan itu memanggil namaku dan Nena memanggil nama perempuan itu. Ya kupikir Melati adalah namanya karena jelas bukan nama bunga yang sedang disiraminya yang dimaksud Nena. Kalau iya, mengapa Nena sampai berteriak menyebutkan nama Melati.
            Perempuan itu, yang rupanya benar bernama Melati menoleh ke arah Nena yang masih berada di dekat semak bunga yang namanya sama dengan namanya. Ia hanya sebentar menoleh ke Nena lalu ia kembali menatapku. Kali ini lebih dekat karena ia membungkuk dan berpegangan dengan tangan kursi goyangku. Aku sedikit menggeser dudukku ke sudut kursi untuk menjauhinya. Ia meletakkan satu kantong kertas di pangkuanku
            “Halo, Sayang,” Perempuan itu tiba-tiba mengelus kepalaku. “Kau sudah besar sekali sekarang.”
            Aku menatap matanya lekat-lekat berusaha menilai apa yang dilakukannya dan mengapa ia melakukannya.
            “Melati!” Aku belum pernah mendengar Nena bersuara sekeras itu dan ia pun tergopoh-gopoh menghampiri kami lalu mencengkeram lengan perempuan itu.
            Aku dan perempuan itu sama-sama terkejut. Baginya mungkin cengkeraman Nena terlalu keras dan buatku, belum pernah kulihat Nena segusar itu.
            “Sebentar ya, Una,” Nena selalu memanggilku Una, bukan Runa seperti kebanyakan orang-orang. Melati, perempuan itu, terpaksa berdiri dan mengikuti Nena, tapi ia sempat mengelus pipiku sebelum ia terseret mengikuti Nena dan meninggalkanku dalam kebingungan.
            Pintu teras ditutup dengan setengah dibanting dan kemudian terdengar kasak-kusuk dari dalam. Aku tidak bisa mendengar dengan jelas suara dari dalam tapi jelas sekali perempuan itu telah membuat Nena marah. Mengapa Nena sampai begitu geram, itu aku tidak tahu.
            Aku beranjak dari dudukku untuk mendekati pintu kaca teras sampai tiba-tiba ada yang terjatuh dari pangkuanku. Kantong kertas milik perempuan itu.
Aku membungkuk dan kuintip isinya. Ada banyak buku di dalamnya. Satu, dua, … Lima buku, aku menghitungnya. Aku keluarkan semua buku dan kulihat satu per satu.
Buku cerita anak-anak. Aku sedang melihat sampulnya satu per satu ketika Nena memanggilku.  
*
            Sikap Nena tetap tidak berubah sejak hari itu tapi kehidupanku yang damai dan tenang sebelumnya berantakan seketika. Kedatangan perempuan yang tidak kukenal yang tiba-tiba memanggilku “sayang” seakan-akan aku kucing kecil kesayangannya, belaian tangan asing yang masih terasa di pipiku sampai beberapa hari sesudahnya, dan buku-buku cerita yang ditinggalkannya telah memunculkan satu demi satu pertanyaan di kepalaku.
            Siapa perempuan itu, siapa Melati? Mengapa namanya sama dengan semak bunga kesayangan Nena? Mengapa ia memanggilku Sayang? Mengapa ia mengatakan aku sudah besar sekali, apakah aku pernah tampak begitu kecil baginya? Mengapa ia membelaiku? Mengapa belaian tangannya begitu membekas di pipiku? Mengapa Nena tidak menyukai kehadirannya?
Mengapa ia meninggalkan banyak buku dan tidak pernah datang untuk mengambilnya?
Mengapa ia tidak pernah datang lagi?
Aku sempat menanyakan siapa perempuan yang ia panggil Melati itu dan Nena mengatakan ia hanya seorang saudara dari jauh yang kebetulan mampir. Ada sesuatu di nada suara Nena yang membuatku tidak ingin bertanya lebih jauh lagi. Lagipula Nena memutuskan untuk memberikan buku-buku yang ditinggalkan perempuan itu untukku. Hah! Itu bagian yang paling kusukai dari kedatangannya di minggu sore waktu itu. Walaupun aku hanya boleh membacanya di hari Minggu ketika libur dan tugas-tugas sekolahku sudah selesai kukerjakan.
Buku-buku yang ditinggalkannya kubaca dengan khidmat dan segera kubaca ulang begitu habis. Bagaimana tidak, hari Minggu yang kulewatkan menjadi begitu menyenangkan dengan pengalaman dan teman-teman baru. Minggu lalu aku meninggalkan rumah Nena dan pergi ke sebuah bukit hijau di mana aku dan kedua teman baruku bermain seluncuran dengan menggunakan kereta ski yang kami temukan di gudang. Lelah bermain kami beristirahat di pinggir sungai dengan menaruh botol-botol susu yang kami bawa ke dalam air sungai supaya menjadi sejuk ketika kami meminumnya. Kapan waktu, aku memetik buah ceri dan menjualnya kepada orang-orang yang lewat dan setelahnya aku lari ke sungai dan menceburkan diri ke airnya yang dingin untuk menghilangkan rasa panas dan keringat di badanku.
Ah, tentu saja. Pada kenyataannya, aku tidak kemana-mana. Aku tetap duduk di kursi goyang milik Pippa dan menonton Nena menyirami taman belakang rumah.
*
Aku tergagap menjawab pertanyaanmu.
            “Mmm,” Aku kebingungan. Sorot matamu yang lembut menatapku dengan sabar tapi kutahu Kau menantikan jawabanku.
            “Beberapa lama kurasa,” Kurasa itu jawaban yang paling sesuai. Aku memaksa seulas senyum muncul di bibirku.
            “Ah, senangnya bisa menemani hari-harimu,” Kau kembali melanjutkan menggoreskan penamu di buku-bukuMu.
            Butuh waktu beberapa lama untukmu menandatangani semua bukumu milikku. Tentu saja, aku satu-satu yang datang dengan koleksi terlengkap sehingga Kau dan para panitia malah ingin berfoto bersamaku. Jelas mereka terlalu berlebihan. Aku malah tidak habis pikir mengapa mereka yang datang hanya membawa dua tiga bukumu, paling banyak sepuluh, yaitu yang dibawa gadis berambut panjang yang duduk di belakangku. Kupikir orang-orang yang datang tidak terlalu menganggap acara peluncuran buku ini serius. Hanya aku yang memberikan penghargaan tertinggi padaMu.
*


Hari ini sama seperti hari ketika pertama kalinya aku mendapati buku-bukuNya yang ditinggalkan begitu saja oleh seseorang yang namanya sama dengan semak bunga kesayangan Nena, Melati. Sejak pertemuanku denganNya siang tadi, pikiranku terusik menyeretku begitu jauh ke tahun-tahun awal yang bisa kuingat. Kursi goyang Pippa tempatku bermalas-malasan di hari minggu, buku-buku cerita yang menjadi temanku sampai waktu yang cukup lama, dan belaian tangan perempuan bernama Melati yang mendadak kembali kurasakan di pipiku setelah aku bertemu denganNya.
“Sudah berapa lama buku-bukuku menemanimu?” PernyataanNya terus terngiang-ngiang di telingaku. Sudah lama sekali rasanya, selama aku menantikan kedatangan seseorang yang belaian tangannya melekat di pipiku yang rasa hangatnya tak juga pupus sampai detik ini.

***

Penulis: Ronny Mailindra

Tulisan lain dari Ronny Mailindra

Kenali lebih dekat di sini:

Icon Icon G+

0 comments:

Posting Komentar