Jumat, 28 September 2018

- Leave a Comment

Hari Ketika Lenka Melompat

Oleh: Ronny Mailindra
Malam yang sempurna.
Hall Jakarta Art Exhibition Center malam ini mengulangi kejayaannya—kembali menjamu tamu berkelas. Jika dahulu meneer dan noni Belanda serta bangsawan pribumi yang berpesta, kini politikus, musisi papan atas, pengusaha serta para sosialita menggantikannya. Ruangan itu tersenyum ceria dan musik mengalun menemaninya, berebut peran dengan para pelayan untuk membuat nyaman para tamu.

Delapan meter dari pilar barat ruangan itu, dua pria berjas hitam berdiri memandangi sebuah patung kristal. Benda setinggi seratus sentimeter itu berkilap dan memancarkan bias warna merah muda. Cantik. Cahaya lampu sorot yang sesekali menyambar dari sudut-sudut tertentu membuat benda itu beberapa kali lipat lebih menarik. Rambut berombak, garis wajah yang tegas, dan bahu lebar yang terpahat dengan baik pada patung itu, mirip sekali dengan seorang lelaki yang berdiri di kanan sang patung.

Well, Bapak Tiung, bagaimana pendapat Anda?” pria yang berdiri di kiri patung menyunggingkan senyum diplomasinya yang terkenal: bibir kanan tertarik ke atas, dan alis sebelah kiri terangkat. Senyum itulah yang menjadi andalannya jika sedang menghadapi perdebatan, yang selalu berhasil menggiring lawan bicara sekeras apa pun menjadi sependapat dengannya.
Lawan bicaranyanya memiringkan kepala. “Ternyata saya lebih tampan jika berkilap, Pak Amir,” jawab Tiung Sukmadjati—bintang pesta malam ini.
Amir Sambaliung meledak dalam tawa bangga. 
“Saya senang Bapak menyukainya,” kata Amir.
Dari awal Amir sudah punya firasat bahwa “Pustaka Bunyi Indonesia” akan menjadi lebih dari sekadar acara pengumpulan dana biasa. Tidak, Amir Sambaliung yakin benar ada sesuatu yang bisa dikeruk dari acara ini. Sejak tadi ia sudah mendengar lagu keroncong, salawat, lonceng, bahkan Bengawan Solo dengan kicauan burung kepodang sebagai ganti suara Gesang. Pikiran untuk menjadikan Tiung Sukmajati ikon kampanye partai membuat hatinya dipenuhi rasa gembira.
Amir Sambaliung berdeham.
“Bapak tahu, partai kami sangat peduli pada dunia seni. Kami percaya seni memberikan kontribusi bagi pembentukan mental negeri ini. Orang-orang seperti Bapak lah yang menginspirasi kami. Maka itu kami merasa perlu memberikan penghargaan kecil seperti ini, semoga berkenan,” kata Amir.
Tiung Sukmadjati tersenyum. “ Terima kasih. Kedatangan politisi ulung seperti Anda saja sudah membuat saya tersanjung, Pak.”
“Oh, saya memang sangat mendukung acara seperti ini, Pak Tiung.” Amir langsung menyambar. “Siapa yang akan menyadari negeri ini penuh dengan bebunyian unik, kalau Pustaka Bunyi Indonesia tidak memulainya? Orang sering tidak peduli dengan hal-hal kecil dan remeh seperti ini, yang sepintas terkesan tak berguna sama sekali.”
“Saya senang ada yang memahami pentingnya mendokumentasikan bunyi.” Tiung Sukmajati berkata pendek. Matanya menatap Amir Sambaliung.
Amir Sambaliung tertawa gelisah menyadari nada sinis dalam kalimat Tiung barusan.  

Beberapa meter di depan patung dada Tiung Sukmadjati, orang-orang duduk mengitari meja-meja bulat berlapis kain putih bersih. Mereka makan sambil mengumandangkan tawa basa basi pergaulan. Jenis tawa yang harus dikeluarkan setiap kali ada yang melontarkan lelucon, lucu atau tidak. Piring-piring dengan sejuta sendok garpu (masing-masing untuk jenis makanan yang berbeda; bulat untuk sup, cekung untuk pasta, hanya Tuhan yang tahu bagaimana mengingat semuanya) terhampar di hadapan mereka. Bunga-bunga mawar merah dan lili putih, tempayan-tempayan berisi lilin dalam air tersebar dimana-mana. Para pelayan dengan dasi kupu-kupu hitam sibuk meladeni permintaan tambahan anggur, sampanye, dan saus steak. Aroma daging bakar berbaur dengan harum berbagai jenis parfum yang harga per botolnya bisa membuat pedagang sayur Pasar Jumat terserang stroke mendadak. Denting piring, sendok, dan gelas kaca, berpadu dengan suara klak klok klak klok sepatu-sepatu bagus ketika beradu dengan lantai mengilap, terdengar bagai musik melankolik yang rata.

Amir Sambaliung mengamati ini semua sambil masih memikirkan kata-kata yang tepat untuk menggiring Tiung Sukmadjati pada pokok permasalahan yang diincarnya.
“Jadi, Pak Tiung...”
Kalimat itu terputus. Seorang perempuan cantik bergaun dengan kerah cheongsam dan belahan paha tinggi tergopoh-gopoh menghampiri Tiung. Seorang pria berambut setengah gondrong melangkah bersama perempuan itu. Begitu tiba di samping Tiung, si gadis langsung berkata-kata dengan wajah kesal. 
“Orang ini minta sesi wawancara dengan Bapak. Saya sudah bilang ...”
Tiung Sukmadjati memberi isyarat agar gadis itu berhenti bicara. 
“Tidak apa-apa, Galuh,” kata Tiung.
Pria yang datang bersama perempuan itu tersenyum penuh kemenangan, lantas mengulurkan tangannya.
“Jabar Kamus, Koran Metro Baru," kata pria itu dengan mantap, "saya dengar Anda mendokumentasikan berbagai bunyi yang tak biasa dalam proyek ini, Pak Tiung, termasuk ringkik kuda. Benarkah?”
Tiung membiarkan tangan Jabar tergantung di udara.
“Begini, Pak Jabar,” kata Tiung, “seperti Anda lihat, saya sedang berbincang dengan Bapak Amir Sambaliung, dan saya akan sangat senang jika Anda mau menunggu sampai acara selesai jika ingin mewawancarai saya.”
Wajah si wartawan berubah. “Oh...”
“Anda boleh menunggu sambil menikmati hidangan. Galuh akan menemani Anda.”
Tiung tersenyum, menyentuh bahu Galuh, dan berbisik di telinganya, “Kau bisa menceritakan padanya tentang proyek bunyi ini, darling, atau tentang perjalanan musik selomu.”
Si gadis menunduk dengan muka sedikit merona. Kekesalannya menguap bagaikan alkohol di udara bebas.

Tiga belas meter dari tempat Tiung berdiri, Luisa, istri Tiung, sedang menyesap anggur di gelas kristalnya. 
Ai kagum sekali loh dengan Mas Tiung,” kata seorang wanita yang berada di depan Luisa. “Suami Jeng Luisa ini benar-benar jenius, fantastis!”
Danke schön,” jawab Luisa sambil mengangkat gelasnya. Bias kemerahan muncul, meski sekejap, di pipinya. Lalu seperti sodoran minuman di pesta itu, pujian bertubi-tubi menghampiri Luisa—datang dari para sosialita yang mengelilinginya. Di sela-sela buih pujian, suara tawa terdengar.

Pemandangan pesta itu tak lepas dari pengamatan seorang gadis cantik bergaun biru yang berdiri agak di pojok.
Malam yang sempurna, pikir gadis itu.
“Lenka!”
Gadis itu menoleh. Seorang pemuda tampan menenteng kamera mendekati Lenka. Lelaki itu kemudian mengatakan sesuatu kepada Lenka. Lenka tersenyum. Lenka lalu meyakinkan bahwa malam ini adalah malam yang sempurna.
Mendengar perkataan Lenka, Helong mendesah. Karena tak bisa lagi mendebat Lenka yang sudah membulatkan tekadnya, Helong mundur pun mundur lalu meninggalkan Lenka. Wajah Helong memancarkan keresahan. Setelah beberapa langkah, Helong membalikkan badan untuk melihat Lenka. 
Lenka sedang tersenyum.

****
Komposisi kedelapan belas selesai dimainkan. Sempurna. Beberapa tamu memberikan tepuk tangan. Pada saat itulah terdengar jeritan, mengalahkan riuh tawa dan tepukan tangan. Sepotong tubuh meluncur dari railing lantai lima. Gaun biru yang dikenakan sosok yang meluncur itu berkibar. Seberkas rambut panjang kecoklatan melambai dari puncak kepala. Dengan bunyi berdebam dan suara kaca pecah, tubuh itu terhempas.

Ruangan membeku.
Lalu, jeritan histeris berpadu dengan penyebutan nama Tuhan terdengar. Beberapa orang yang punya nyali lebih, maju untuk melihat hal yang terjadi.

Jabar Kamus, wartawan Koran Metro Baru bergerak, menembus kerumunan, langsung ke sumber hiteria. Saat melihatnya, Jabar mengangkat kedua tangan lalu memegang kepalanya.
“Gusti,” desis Jabar.

Di depan Jabar, seorang gadis bergaun biru tergeletak di lantai yang dingin dan keras. Jatuh dari ketinggian membuat kepalanya hancur separuh. Darah menggenang seperti saus vla diberi pewarna merah pekat di sekitar tengkorak yang remuk, berpadu dengan pecahan mengilap kristal dalam berbagai ukuran.

Musik, pesta kaum borjuis dan mayat seorang gadis. Sempurna, berita yang sempurna, rutuk Jabar sambil membayangkan panjangnya malam yang harus ia lalui. []

####
Catatan penulis:
1. Cerita ini tidak dimasukkan ke dalam novel Lenka. Ini masuk salah satu bagian yang dibuang. Cerita yang masuk dalam novel Lenka jauh lebih bagus dari tulisan ini.
2. Review novel Lenka bisa dilihat di goodreads


Penulis: Ronny Mailindra

Tulisan lain dari Ronny Mailindra

Kenali lebih dekat di sini:

Icon Icon G+

0 comments:

Posting Komentar