Sumber gambar: http://iappsofts.com
Untung Sejati. Barangkali Bapak
terlalu girang saat aku lahir sehingga memberiku nama semuskil itu. Orangtuaku
memang sudah lama merindukan kehadiran seorang anak dan aku datang bertepatan
dengan kenaikan pangkat Bapak. Namun memikirkan kejadian seminggu ini,
permulaan pagi ini, serta antrian mobil di depan, kupikir namaku seharusnya
Sial Sejati.
Entah
mengapa seminggu ini selalu ada masalah dengan tugasku. Asumsi yang salah lah,
anggota tim yang sakit lah, dan hal-hal lain yang tak bisa kulihat sebelumnya. Itu
membuat bosku meradang setiap hari. Seperti masih kurang, kemarin si Firhan
kena tipus. Sebenarnya hal terakhir itu bukanlah kesialanku. Musibah itu murni
milik Firhan. Namun karena ia mendadak terkapar, terpaksalah aku dikirim ke
Surabaya untuk menggantikannya dan memulai kesialanku.
“Proyek itu
sudah delayed dua minggu. Kau gantikan
Firhan meeting besok! Pesawatmu jam
7.30, dan meeting jam 10.30,” kata bosku
semalam, jam tujuh, tepat sebelum aku pulang.
Belum
apa-apa aku sudah punya firasat buruk. Para klien di Surabaya itu memang sangat
cerewet dan bermulut tajam. Aku ingat setahun lalu mereka pernah marah besar
hanya karena beberapa kesalahan kecil pada proyekku. Ingatan itu membuatku
berusaha mempelajari semua keputusan yang sudah mereka sepakati bersama Firhan.
Langkah awal jenius itu segera terbukti
sebagai kesalahan karena aku baru tidur lewat tengah malam dengan masih
setumpuk laporan yang belum selesai kubaca.
Jam lima pagi aku bangun dan
langsung kesurupan karena alarm ponselku tidak menyala tersebab baterainya
habis. Aku lupa memeriksanya semalam. Untunglah aku bisa bersiap dengan cepat,
namun saat akan ke luar mencari taksi, alam mengujiku.
Langit menumpahkan air seperti
sudah berbulan-bulan tak hujan. Dalam cuaca seperti itu, meski memakai payung,
bajuku akan segera kuyup kalau nekat keluar. Jadi kuputuskan untuk menelpon
taksi saja.
Bukan cuma rejeki, rupanya kesialan
juga datang bersama hujan. Lima belas menit berlalu namun tak ada taksi yang
datang. Berapa lama harus kutunggu? Aku tak punya waktu. Saat kulihat hujan
sedikit reda, kuputuskan untuk ke luar kompleks mencari taksi.
Setelah sampai di luar kompleks hujan berhenti. Sayangnya kesialan tidak reda bersama hujan. Di persimpangan itu biasanya banyak taksi yang lewat, namun pagi ini tak tampak satu pun. Justru penggemarnya yang melimpah. Kulihat ada lima orang yang sedang menunggu. Aku baru kebagian tumpangan pukul enam lebih.
“Pak, bisa tolong lebih cepat?” kataku
kepada supir taksi ketika kulihat speedometer-nya
hanya menunjukkan angka 40 km/jam.
Sopir itu mendongak. Dari spion kulihat ia
tersenyum. Mungkin begitulah senyum seorang bapak kepada anaknya
yang merengek minta dipetikkan bulan. Hujan masih turun dengan deras. Airnya
menampar-nampar kaca jendela. Kulihat kaca depan taksi di bagian kiri
mengembun. Di atas dashboard ada tanda
pengenal sopir itu; namanya Untung Santoso.
Tiba-tiba aku terdorong ke
kanan. Seolah masih berusaha mengambilkan bulan, supir itu menekan gas lebih
dalam, berbelok tiba-tiba ke kiri, mencoba menyalip, namun truk minyak di depan
melambat—membuatnya tak mungkin untuk memotong kembali ke kanan. Namanya Untung, namun keberuntungannya
seperti jauh panggang dari kompor.
Setelah beberapa menit mengikuti
rayapan truk minyak itu, keadaan justru membuat hatiku teriris. Mobil-mobil
melambat dan kulihat antrian di depan gerbang tol seperti baru akan habis
ketika Indonesia meraih piala dunia sepak bola. Tampaknya dua orang bernama
Untung di taksi ini tak cukup untuk membuatku sampai ke bandara tepat waktu.
Menurut
ayahku, karena aku lahir tanggal satu Januari, aku membawa keberuntungan. Menurutku,
entah aku lahir di tanggal satu atau tiga puluh satu, diberi nama Untung atau Wiliam,
Bapak tak punya bakat jadi peramal. Bahkan dengan menamaiku Untung, ia mungkin
telah menjerumuskanku dengan menantang nasib buruk untuk terus mengujiku. Apa dia tak pernah dengar banyak
sudah para Untung yang berguguran. Seperti cerita perwira celaka bernama Letkol
Untung. Gerakan 30 September yang ia pimpin gagal total. Ketika melarikan diri,
ia tertangkap secara tidak sengaja. Bayangkan, seorang komandan brilian bisa
tertangkap secara tak sengaja. Yang benar saja. Banci pun harus segaja disergap
satpol PP jika ingin ditangkap.
Cantik Delima, nama perempuan di balik meja
itu. Muda, cantik, dan tentu saja terkutuk. Melihat mimik dan mendengar penjelasannya kupikir delima lah yang membuat Nabi Adam dikeluarkan dari Taman Firdaus.
Tanpa ampun ia bilang tiketku
hangus dan pesawat mereka berikutnya baru akan berangkat ke Surabaya nanti
sore. Ia tega memvonis demikian meski sekarang baru jam tujuh dan peluh bercucuran
di dahiku. Ia tentu saja mengabaikan jutaan kesulitan yang sudah kulewati untuk
sampai ke sini, meski aku berbusa-busa menjelaskannya.
Tadinya aku ingin merobek
kupingnya dengan makian paling orisinil. Beruntung, sebelum sempat melakukannya
aku tersadar. Mendebatnya cuma menambah kesialan saja. Maskapai ini terkenal licin.
Terlambat dan minta maklum adalah hak eksklusif mereka. Dan mereka pernah
mengerjaiku. Saat itu aku terlambat check-in
satu menit dan mereka bilang bagasi tidak boleh masuk lagi sebab pesawat akan
berangkat 44 menit lagi. Terpaksalah aku mendermakan koperku beserta isinya
kepada para kuli. Aku lalu bergegas berlari ke ruang tunggu, berkeringat,
berdebar, hanya untuk mendengarkan mereka memohon maklum karena pesawat akan
terlambat satu jam. Sial! Maklum
mereka ditukar dengan koporku.
Jadi, alih-alih berdebat dengan si Buah
Terkutuk, aku membujuknya untuk mencarikan maskapai lain yang berangkat dalam
waktu dekat.
Aku beruntung—yang setelah kupikir lagi sebenarnya aku buntung karena kantongku dikuras tanpa ampun—ada yang akan terbang satu jam lagi. Takut diterjang kesialan lagi, aku sambar tawaran itu, langsung check-in, lalu pergi ke ruang tunggu.
Aku beruntung—yang setelah kupikir lagi sebenarnya aku buntung karena kantongku dikuras tanpa ampun—ada yang akan terbang satu jam lagi. Takut diterjang kesialan lagi, aku sambar tawaran itu, langsung check-in, lalu pergi ke ruang tunggu.
Tak pernah kubayangkan bisa sedemikan nelangsa melihat sebuah pesawat
terbang. Dari balik kaca ruang tunggu ini kulihat pesawat yang harusnya kunaiki
mulai bergerak. Mungkin saat ini pilotnya sedang menjulurkan lidah kepadaku. Dan
para pramugari sedang melambai-lambaikan tangan. Tak perlu jadi peramal untuk
tahu aku akan terlambat meeting jam
setengah sebelas nanti. Entah makian apa yang harus aku telan karena delayed proyek—padahal itu jatah si Firhan.
Dan saat melapor jam delapan nanti, sebelum pesawat berangkat, aku pasti
didamprat habis-habisan oleh bosku. Gusti, bunuh saja aku sekalian.
Mengapa untuk hal sepele seperti ini aku bisa sial?
Lewat kaca itu
kulihat pesawat melaju kencang, bersiap untuk terbang.
Untung Sejati, Bapak, kurasa kau salah memberiku nama.
Pesawat itu terus melaju dan
beberapa detik kemudian, tepat ketika akan lepas landas, ia menjadi juru bicara
Bapak.
Ketika datang, sabdanya langsung
membuat badanku gemetar, mataku melotot, dan tubuhku lunglai. Orang-orang di
sekitarku berteriak bagai jamaah yang sedang mengamini imam. Bahkan kaca ruang
tunggu bergetar laksana sedang menerima wahyu.
Kudengar sirine berkumandang. Kulihat para petugas berlarian. Di luar perang seolah sedang meletus. Pesawat yang harusnya kutumpangi gagal lepas landas. Asap hitam membumbung bagai cendawan raksasa. Malaikat maut pasti sedang bekerja keras di bawahnya.
Kudengar sirine berkumandang. Kulihat para petugas berlarian. Di luar perang seolah sedang meletus. Pesawat yang harusnya kutumpangi gagal lepas landas. Asap hitam membumbung bagai cendawan raksasa. Malaikat maut pasti sedang bekerja keras di bawahnya.
Untung
Sejati. Campuran rasa takut dan malu menggigitku.
Kupikir sebaiknya kutelepon
Bapak sekarang.
Bandung, Agustus 2013
cerpennya bagus. kayak di koran-koran Minggu.
BalasHapusTerima kasih Pak Benny Ramdani.
HapusWah bisa meletus nih kepala disanjung editor :D
Salam.