Sabtu, 07 September 2013

- 1 comment

Citnonong itu!

Gambar pinjam dari sini


Sebuah amplop merah besar tergeletak di meja kerjaku tadi pagi. Warna merah dan ketiadaan nama pengirim membuatku penasaran untuk membukanya. Kurobek amplop itu; kutuangkan isinya ke atas meja: amplop-amplop merah dengan ukuran lebih kecil, mirip seperti angpau, jatuh berserakan. 

Kubuka salah satu amplop. Ada secarik kertas di dalamnya. Tertulis ‘kupon kebahagiaan’ dengan nominal dua ribu perak. Ada penjelasan cara pemakaiannya. Kupon itu boleh diberikan kepada siapa pun yang membutuhkan dan dianggap layak mendapatkan dua ribu perak dari kantong kita. Kubalik kuponnya, ada tulisan: ‘silakan tulis pesan kebahagiaan Anda di sini’.

Ada lima amplop merah kecil. Jika kumasukan masing-masing dua ribu perak, semuanya akan bernilai sepuluh ribu. Jumlah yang kecil untuk ukuran kantong zaman sekarang. Pesan yang mau disampaikan si pengirim: Kau harus mencari orang yang benar-benar membutuhkan dua ribu perak atau layak dihargai dua ribu perak. Kukira masih banyak orang yang bisa menghargai dua ribu perak, tetapi embel-embel ‘pesan kebahagiaan’ sedikit mempersulit penyampaian misi amplop merah itu.

Menyebalkan juga menerima kiriman aneh sepagi itu, apalagi belum ada kafein yang mengaliri nadiku juga ada beberapa transkip wawancara yang belum kupindahkan. Jadi, kutinggalkan saja angpau-angpau itu di meja, sementara aku menyeduh kopi.

Menjelang makan siang, aku ada janji bertemu narasumber di sebuah kedai gulai kepala ikan tidak jauh dari kantorku. Selagi memasukkan barang-barang ke tas, amplop itu seperti memberiku ide. Kubawa serta amplop merah itu. Nanti akan kutanyakan pada narasumberku bagaimana pendapatnya soal ‘angpau-angpau’ ini. Apa yang akan ia lakukan jika menerimanya. Apa ia akan sama hati-hatinya seperti saat menerima amplop gendut tak bernama.

Tidak tahunya, narasumberku juga mendapatkan amplop yang sama denganku. Sebelum bertemu denganku, ia sudah memberikan satu amplop pada tukang rujak yang mangkal di area kantornya.

“Bagaimana dengan pesan kebahagiannya?” Tanyaku. “Apa Anda juga menuliskan sesuatu selain menyelipkan dua ribu perak?”

Ia mengangguk. Aku penasaran apa yang dituliskannya untuk tukang rujak itu, tetapi ia tidak memberitahuku. Kubayangkan narasumberku  menuliskan: terima kasih sudah melancarkan ‘setoran’ harian saya.

Dengan rasa amis yang masih tertinggal di pangkal lidah, kutinggalkan kedai itu. Sore hari, kuhubungi beberapa teman dan kolegaku. Dari penelusuran yang kulakukan, dua dari enam orang yang kukenal menerima amplop merah yang sama denganku. Siapa sebenarnya pengirim amplop merah itu, untuk apa dia capek-capek melakukan semua itu?

Kuperiksa lagi amplop merah itu dengan saksama. Dengan indera perabaanku, kutemukan sesuatu yang bisa menjadi petunjuk. Bagian belakang amplop itu diembos dengan huruf ‘S’.
Tentu saja ‘S’ bisa berarti apa saja. Tapi otakku langsung mengaitkan huruf ‘S’ itu dengan logo Superman si superhero. Zaman sekarang, superhero tidak harus memakai kancut merah di luar dan memelintir poni rambutnya menjadi huruf ‘S’. Ada banyak cara untuk melampiaskan waham orang-orang yang ingin jadi superhero. Cara yang dilakukan si ‘S’ adalah salah satunya. Kupikir cara seperti itu terlalu naif; tidak akan ada orang yang menanggapinya. Kalau pun ada, orang-orang itu sama naifnya.

Baru kusadari kalau dugaanku salah ketika melihat tayangan berita di televisi seminggu kemudian: ‘Beredarnya Amplop Merah Misterius Yang Membuat Orang Kecil Tersenyum Bahagia.’

“Tidak diketahui siapa yang memulainya terlebih dahulu, namun dalam kurun waktu seminggu telah tersebar sekitar seratus ribu amplop di seluruh penjuru kota metropolitan. Sebagian orang yang menerimanya, menyambut positif gerakan yang mereka sebut ‘amplop merah berbagi kebahagiaan’.

Di layar televisi, kulihat supir bus, tukang ojek, dan tukang sapu jalanan, berganti-gantian diwawancarai perihal amplop merah tersebut.

“Ada Mba-Mba yang kasih saya ini. Eh, di dalamnya ada duit, terus dia juga muji-muji saya. Bilang kalau kota ini bisa bersih hanya kalau ada orang-orang seperti saya ini.”

Aku hanya bisa memalingkan muka. Seratus ribu dikali dua ribu perak. Ada dua ratus juta beredar di jalanan selama seminggu ini, sementara amplop milikku belum bergerak kemana-mana. Aku malah sibuk mencari siapa pengirim amplop merah itu.

Satu bulan berlalu. Masih kusimpan kelima buah amplop kecil itu di dalam tas. Di kantor, selain diriku, ada tiga orang rekan yang juga menerima amplop yang sama. Kelima amplop kecilnya sudah habis dibagi-bagikan.  

Sudah beberapa kali diriku tergelitik untuk menyelipkan dua ribu perak ke dalam amplop dan memberikannya pada seseorang. Tapi tidak jadi. Kupikir, tanpa memakai amplop merah itu pun, aku sudah cukup sering berderma pada orang lain dengan nominal yang lebih besar pula.

Apa yang diharapkan si pengirim setelah semua yang terjadi sekarang? Ketika semua orang tiba-tiba minta dihargai dengan dua ribu perak dan ucapan yang bisa melambungkan mereka ke langit ke tujuh, apakah dunia akan menjadi tempat yang lebih baik? Apa semua orang akan saling mengasihi. Kuramalkan, sebentar lagi justru akan muncul kekacauan baru. Beberapa orang atau organisasi sudah ada yang mengklaim gerakan angpau itu. Partai tertentu seperti diuntungkan dengan kemunculan angpau itu; rakyat mengira itu semacam kampanye peduli wong cilik. Yang lebih buruk adalah ketika juru parkir di depan kantormu bertanya: Kok, nggak kasih saya amplop merah, Mas? Aku merasa muak dan ingin melemparnya dengan sepatu.

Aku tidak mau berkontribusi membuat kekacauan baru.  

Seiring waktu, amplop merah itu mulai kehilangan efeknya. Si pengagas, siapa pun dia, akan menyadari tidak ada gunanya mencoba jadi superhero di zaman seperti ini. Dunia akan kembali seimbang. Memakan atau dimakan.

Semua orang kembali pada tabiat aslinya. Tukang parkir hanya akan mendapatkan uang jika ia menyemprit dan membantu pengendara memarkir kendaraannya dengan benar. Kapster di salon akan mendapatkan tip lebih dari dua ribu perak jika pelanggan puas, dan tukang sapu serta tukang sampah harus puas dengan gaji yang diberikan negara.

Tidak ada ekstra dua ribu plus pujian yang bisa mendongkrak indeks kebahagiaan seseorang. Hidupku pun sama seperti itu. Setiap hari aku menulis berita tentang orang-orang yang dari hari ke hari semakin brutal perilakunya. Orang-orang ini sesungguhnya memiliki rupa yang lebih baik dibandingkan bangsat-bangsat di dunia pewayangan seperti banaspati, glundhung pringis, gendruwo, wewe, dan sundel bolong, tetapi perilaku mereka jauh lebih menyeramkan. Membunuh ibu kandung, mencekik anaknya sendiri, mencincang orang seperti membuat kornet, menyunat uang rakyat; dan silakan teruskan sendiri.

Kukira si pengirim amplop alias superhero berinisial ‘S’ sedang berusaha membuat dunia menjadi lebih baik. Tapi nyatanya hingga hari ini, ia tidak berhasil membuatku pensiun dini.

Di suatu sore, aku baru saja memburu berita. Sebuah kebakaran di pasar tradisional yang ditenggarai dilakukan dengan sengaja. Pulang meliput aku kehujanan di jalan. Tubuhku basah kuyup, jalanan tergenang, dan motorku mogok karena knalpotnya kemasukan air. Aku sedikit bersyukur karena setidaknya hujan meringankan tugas para pemadam kebakaran. Aku mengumpat banyak karena kulihat tidak ada cara lain untuk sampai ke rumah selain dengan mendorong motorku. Kemudian sebuah mobil boks menyalipku dan berhenti kira-kira lima meter di depanku.

Tidak mungkin supirnya akan memberiku tumpangan. Kalaupun begitu, pasti punya modus lain. Jadi, aku tetap mendorong motorku tanpa melirik ke arah pengemudi mobil itu.
“Mas, mogok, ya?” Teriaknya di tengah derai hujan.

Idiot. Batinku sambil terus berjalan.

Tiba-tiba, dari kaca spion motor kulihat si supir turun dan menyusulku.
“Biar saya bantu angkut. Lima kilo lagi ada bengkel. Kasihan njenengan.”

Kulirik pria tua yang ikut basah kuyup karena berniat mau menolongku itu. Penampilannya mirip citnonong; badan, tangan, dan kakinya kecil, tetapi kepalanya besar sekali. Khawatir di kepalanya yang besar itu banyak tersimpan modus kejahatan, aku terus menolak. Tapi terbukti citnonong itu jauh lebih lihai ketimbang diriku. Sambil waspada, kuikuti kemauannya.

Motorku dinaikkannya ke boks belakang, dan aku menumpang di depan. Ia membuka percakapan. Basa-basi sederhana. Nama, pekerjaan, sudah kawin apa belum. Aku ganti menanyainya. Sejak kapan nyupir. Bawa muatan apa saja. Sudah pernah jadi korban kejahatan apa belum. Saat kutanyai begitu; kuteliti sorot matanya. Sepertinya, dia memang benar-benar ingin menolongku.
  
Lima kilometer kemudian, terlihat sebuah bengkel motor di sisi kiri jalan. Pak Suprapto, nama supir itu, menepikan mobilnya, lalu membantuku menurunkan motor.

“Ini kartu nama saya Nak Amran. Kalau-kalau mbesuk butuh jasa angkut barang,” ujarnya sambil memamerkan kepalanya yang besar. Wajah dan senyumnya tampak bersinar.

Aku mengangguk. “Terima kasih banyak atas tumpangannya, Pak,” ucapku sambil membalas lambaian tangannya. Kuamati kartu nama yang diberikannya kepadaku. Warnanya merah. Saat kuraba, kurasakan ada huruf ‘S’ di atas kartu nama itu.

Nadi di tanganku berdenyut lebih kencang. Di benakku berkelebat ingatan tentang suasana di bagian belakang mobil boksnya saat menurunkan motor. Sekilas kulihat tumpukan kardus yang berisi amplop-amplop berwarna merah. 

Jantungku langsung memompa darah lebih cepat, sementara tungkaiku berlari menembus hujan. Mobil boks yang baru saja melaju itu sudah nyaris hilang di tikungan menuju ke arah luar kota. Yang tertangkap mata hanya inisial ‘SB’ di pintu boks belakang. 

Citnonong itu!

‘Suprapto Broto. Jasa Angkut Barang. Telp : 444-888-111’

Penulis: Nia Nurdiansyah

Tulisan lain dari Nia Nurdiansyah

Kenali lebih dekat di sini:

Icon Icon Bramasole Menanti Matahari

1 komentar: