Gambar pinjam dari sini |
Sebuah amplop merah besar
tergeletak di meja kerjaku tadi pagi. Warna merah dan ketiadaan nama pengirim membuatku
penasaran untuk membukanya. Kurobek amplop itu; kutuangkan isinya ke atas meja:
amplop-amplop merah dengan ukuran lebih kecil, mirip seperti angpau, jatuh
berserakan.
Kubuka salah satu amplop. Ada
secarik kertas di dalamnya. Tertulis ‘kupon kebahagiaan’ dengan nominal dua
ribu perak. Ada penjelasan cara pemakaiannya. Kupon itu boleh diberikan kepada
siapa pun yang membutuhkan dan dianggap layak mendapatkan dua ribu perak dari
kantong kita. Kubalik kuponnya, ada tulisan: ‘silakan tulis pesan kebahagiaan
Anda di sini’.
Ada lima amplop merah kecil. Jika
kumasukan masing-masing dua ribu perak, semuanya akan bernilai sepuluh ribu.
Jumlah yang kecil untuk ukuran kantong zaman sekarang. Pesan yang mau
disampaikan si pengirim: Kau harus mencari orang yang benar-benar membutuhkan
dua ribu perak atau layak dihargai dua ribu perak. Kukira masih banyak orang
yang bisa menghargai dua ribu perak, tetapi embel-embel ‘pesan kebahagiaan’
sedikit mempersulit penyampaian misi amplop merah itu.
Menyebalkan juga menerima
kiriman aneh sepagi itu, apalagi belum ada kafein yang mengaliri nadiku juga ada
beberapa transkip wawancara yang belum kupindahkan. Jadi, kutinggalkan saja angpau-angpau
itu di meja, sementara aku menyeduh kopi.
Menjelang makan siang, aku ada
janji bertemu narasumber di sebuah kedai gulai kepala ikan tidak jauh dari
kantorku. Selagi memasukkan barang-barang ke tas, amplop itu seperti memberiku
ide. Kubawa serta amplop merah itu. Nanti akan kutanyakan pada narasumberku
bagaimana pendapatnya soal ‘angpau-angpau’ ini. Apa yang akan ia lakukan jika
menerimanya. Apa ia akan sama hati-hatinya seperti saat menerima amplop gendut
tak bernama.
Tidak tahunya, narasumberku
juga mendapatkan amplop yang sama denganku. Sebelum bertemu denganku, ia sudah memberikan
satu amplop pada tukang rujak yang mangkal di area kantornya.
“Bagaimana dengan pesan
kebahagiannya?” Tanyaku. “Apa Anda juga menuliskan sesuatu selain menyelipkan
dua ribu perak?”
Ia mengangguk. Aku penasaran
apa yang dituliskannya untuk tukang rujak itu, tetapi ia tidak memberitahuku.
Kubayangkan narasumberku menuliskan:
terima kasih sudah melancarkan ‘setoran’ harian saya.
Dengan rasa amis yang masih
tertinggal di pangkal lidah, kutinggalkan kedai itu. Sore hari, kuhubungi beberapa
teman dan kolegaku. Dari penelusuran yang kulakukan, dua dari enam orang yang
kukenal menerima amplop merah yang sama denganku. Siapa sebenarnya pengirim
amplop merah itu, untuk apa dia capek-capek melakukan semua itu?
Kuperiksa lagi amplop merah itu
dengan saksama. Dengan indera perabaanku, kutemukan sesuatu yang bisa menjadi
petunjuk. Bagian belakang amplop itu diembos dengan huruf ‘S’.
Tentu saja ‘S’ bisa berarti apa
saja. Tapi otakku langsung mengaitkan huruf ‘S’ itu dengan logo Superman si superhero.
Zaman sekarang, superhero tidak harus memakai kancut merah di luar dan
memelintir poni rambutnya menjadi huruf ‘S’. Ada banyak cara untuk melampiaskan
waham orang-orang yang ingin jadi superhero. Cara yang dilakukan si ‘S’ adalah
salah satunya. Kupikir cara seperti itu terlalu naif; tidak akan ada orang yang
menanggapinya. Kalau pun ada, orang-orang itu sama naifnya.
Baru kusadari kalau dugaanku
salah ketika melihat tayangan berita di televisi seminggu kemudian: ‘Beredarnya
Amplop Merah Misterius Yang Membuat Orang Kecil Tersenyum Bahagia.’
“Tidak diketahui siapa yang
memulainya terlebih dahulu, namun dalam kurun waktu seminggu telah tersebar sekitar
seratus ribu amplop di seluruh penjuru kota metropolitan. Sebagian orang yang
menerimanya, menyambut positif gerakan yang mereka sebut ‘amplop merah berbagi
kebahagiaan’.
Di layar televisi, kulihat
supir bus, tukang ojek, dan tukang sapu jalanan, berganti-gantian diwawancarai
perihal amplop merah tersebut.
“Ada Mba-Mba yang kasih saya
ini. Eh, di dalamnya ada duit, terus dia juga muji-muji saya. Bilang kalau kota
ini bisa bersih hanya kalau ada orang-orang seperti saya ini.”
Aku hanya bisa memalingkan
muka. Seratus ribu dikali dua ribu perak. Ada dua ratus juta beredar di jalanan
selama seminggu ini, sementara amplop milikku belum bergerak kemana-mana. Aku malah
sibuk mencari siapa pengirim amplop merah itu.
Satu bulan berlalu. Masih kusimpan
kelima buah amplop kecil itu di dalam tas. Di kantor, selain diriku, ada tiga
orang rekan yang juga menerima amplop yang sama. Kelima amplop kecilnya sudah
habis dibagi-bagikan.
Sudah beberapa kali diriku
tergelitik untuk menyelipkan dua ribu perak ke dalam amplop dan memberikannya
pada seseorang. Tapi tidak jadi. Kupikir, tanpa memakai amplop merah itu pun,
aku sudah cukup sering berderma pada orang lain dengan nominal yang lebih besar
pula.
Apa yang diharapkan si pengirim
setelah semua yang terjadi sekarang? Ketika semua orang tiba-tiba minta
dihargai dengan dua ribu perak dan ucapan yang bisa melambungkan mereka ke
langit ke tujuh, apakah dunia akan menjadi tempat yang lebih baik? Apa semua
orang akan saling mengasihi. Kuramalkan, sebentar lagi justru akan muncul
kekacauan baru. Beberapa orang atau organisasi sudah ada yang mengklaim gerakan
angpau itu. Partai tertentu seperti diuntungkan dengan kemunculan angpau itu;
rakyat mengira itu semacam kampanye peduli wong
cilik. Yang lebih buruk adalah ketika juru parkir di depan kantormu
bertanya: Kok, nggak kasih saya amplop merah, Mas? Aku merasa muak dan ingin melemparnya
dengan sepatu.
Aku tidak mau berkontribusi
membuat kekacauan baru.
Seiring waktu, amplop merah itu
mulai kehilangan efeknya. Si pengagas, siapa pun dia, akan menyadari tidak ada
gunanya mencoba jadi superhero di zaman seperti ini. Dunia akan kembali
seimbang. Memakan atau dimakan.
Semua orang kembali pada tabiat
aslinya. Tukang parkir hanya akan mendapatkan uang jika ia menyemprit dan
membantu pengendara memarkir kendaraannya dengan benar. Kapster di salon akan
mendapatkan tip lebih dari dua ribu perak jika pelanggan puas, dan tukang sapu
serta tukang sampah harus puas dengan gaji yang diberikan negara.
Tidak ada ekstra dua ribu plus
pujian yang bisa mendongkrak indeks kebahagiaan seseorang. Hidupku pun sama
seperti itu. Setiap hari aku menulis berita tentang orang-orang yang dari hari
ke hari semakin brutal perilakunya. Orang-orang ini sesungguhnya memiliki rupa
yang lebih baik dibandingkan bangsat-bangsat di dunia pewayangan seperti
banaspati, glundhung pringis, gendruwo, wewe, dan sundel bolong, tetapi
perilaku mereka jauh lebih menyeramkan. Membunuh ibu kandung, mencekik anaknya
sendiri, mencincang orang seperti membuat kornet, menyunat uang rakyat; dan silakan teruskan sendiri.
Kukira si pengirim amplop alias
superhero berinisial ‘S’ sedang berusaha membuat dunia menjadi lebih baik. Tapi
nyatanya hingga hari ini, ia tidak berhasil membuatku pensiun dini.
Di suatu sore, aku baru saja
memburu berita. Sebuah kebakaran di pasar tradisional yang ditenggarai
dilakukan dengan sengaja. Pulang meliput aku kehujanan di jalan. Tubuhku basah
kuyup, jalanan tergenang, dan motorku mogok karena knalpotnya kemasukan air. Aku
sedikit bersyukur karena setidaknya hujan meringankan tugas para pemadam
kebakaran. Aku mengumpat banyak karena kulihat tidak ada cara lain untuk sampai
ke rumah selain dengan mendorong motorku. Kemudian sebuah mobil boks menyalipku
dan berhenti kira-kira lima meter di depanku.
Tidak mungkin supirnya akan
memberiku tumpangan. Kalaupun begitu, pasti punya modus lain. Jadi, aku tetap
mendorong motorku tanpa melirik ke arah pengemudi mobil itu.
“Mas,
mogok, ya?” Teriaknya di tengah derai hujan.
Idiot. Batinku sambil terus
berjalan.
Tiba-tiba, dari kaca spion
motor kulihat si supir turun dan menyusulku.
“Biar
saya bantu angkut. Lima kilo lagi ada bengkel. Kasihan njenengan.”
Kulirik pria tua yang ikut
basah kuyup karena berniat mau menolongku itu. Penampilannya mirip citnonong;
badan, tangan, dan kakinya kecil, tetapi kepalanya besar sekali. Khawatir di
kepalanya yang besar itu banyak tersimpan modus kejahatan, aku terus menolak.
Tapi terbukti citnonong itu jauh lebih lihai ketimbang diriku. Sambil waspada,
kuikuti kemauannya.
Motorku dinaikkannya ke boks
belakang, dan aku menumpang di depan. Ia membuka percakapan. Basa-basi
sederhana. Nama, pekerjaan, sudah kawin apa belum. Aku ganti menanyainya. Sejak
kapan nyupir. Bawa muatan apa saja.
Sudah pernah jadi korban kejahatan apa belum. Saat kutanyai begitu; kuteliti
sorot matanya. Sepertinya, dia memang benar-benar ingin menolongku.
Lima kilometer kemudian, terlihat sebuah
bengkel motor di sisi kiri jalan. Pak Suprapto, nama supir itu, menepikan
mobilnya, lalu membantuku menurunkan motor.
“Ini kartu nama saya Nak Amran.
Kalau-kalau mbesuk butuh jasa angkut
barang,” ujarnya sambil memamerkan kepalanya yang besar. Wajah dan senyumnya tampak
bersinar.
Aku mengangguk. “Terima kasih
banyak atas tumpangannya, Pak,” ucapku sambil membalas lambaian tangannya. Kuamati
kartu nama yang diberikannya kepadaku. Warnanya merah. Saat kuraba, kurasakan
ada huruf ‘S’ di atas kartu nama itu.
Nadi di tanganku berdenyut
lebih kencang. Di benakku berkelebat ingatan tentang suasana di bagian belakang mobil
boksnya saat menurunkan motor. Sekilas kulihat tumpukan kardus yang berisi amplop-amplop berwarna merah.
Jantungku
langsung memompa darah lebih cepat, sementara tungkaiku berlari menembus hujan. Mobil boks yang baru saja melaju itu sudah nyaris hilang di tikungan menuju ke
arah luar kota. Yang tertangkap mata hanya inisial ‘SB’ di pintu boks
belakang.
Citnonong itu!
‘Suprapto Broto. Jasa Angkut Barang. Telp : 444-888-111’
Citnonong itu apa sih, Teh?
BalasHapus