Minggu, 12 Januari 2014

- 1 comment

Dunia Dalam Kepala

oleh: Andina Dwifatma


Sore ini aku tergencet manusia-manusia di bus TransJakarta jurusan Harmoni-Lebak Bulus. Memang salahku sendiri pulang jam lima. Aku sebenarnya juga tidak punya keperluan pulang cepat. Sebagai wartawan aku biasa berangkat siang dan pulang malam. Jalanan sepi. Enak, tidak kena macet.

Tapi kali ini aku ingin buru-buru beranjak dari kantor, juga tidak ingin ada di rumah. Tidak ingin ditanya-tanya "ada apa?", "kok mukamu begitu", "kamu kenapa", dan sejenisnya. Aku ingin jadi wajah tanpa nama, dan aku harap kendaraan umum bisa menjadi tempat yang ideal untuk sebuah pelarian yang sempurna.

Aku merasa seperti sedang melarikan diri. Tak ada yang kukenal dan mengenalku. Semua orang sibuk dengan diri mereka masing-masing. Dengan ponsel. Dengan iPod. Dengan lamunan. Dengan tidur. Dengan apa saja. Aku jadi merasa bebas untuk membiarkan pikiranku berkelana ke mana-mana.

Ditingkahi suara klakson yang bersahut-sahutan dan derum knalpot aneka kendaraan, aku teringat pada surat lamaranku untuk sebuah universitas, yang tidak kunjung mendapat jawaban. Beberapa bulan lalu aku tiba-tiba kepingin jadi dosen. Pikirku, kerja wartawan seperti tukang dan aku terlalu pintar untuk jadi tukang.

"Permisi Pak, boleh geser ke dalam? Saya mau turun," seorang gadis berjilbab menyapaku. Aku bergeser sambil memperhatikan mukanya. Manis. Tapi setelah lima menit aku pasti sudah lupa. Sekarang ini gadis-gadis terbagi menjadi dua jenis: berjilbab dan tidak berjilbab. Dan jilbab itu membuat wajah mereka jadi seperti sama semua.

Aku menyilakan ia turun. Kursi kosong gadis itu langsung ditempati seorang ibu paruh baya membawa tas plastik. Seni naik kendaraan umum. Sigap melihat peluang dapat tempat duduk. Tapi masih berlaku etika: anak-anak dan perempuan tua diistimewakan. Pria dewasa macam aku terancam berdiri sampai terminal.

***

Universitas itu keberatan dengan gaji awalku yang dinilai terlalu tinggi. Aku sendiri menilai gaji awal yang mereka tawarkan terlalu rendah. Seorang kawan bilang aku terlalu rewel. "Jadi dosen itu sama dengan jadi guru. Pengabdian. Kalau perlu, tidak dibayar asal dikasih makan pun kamu harusnya mau," kata dia sok menasihati.

Hmm. Aku mau saja dibayar pakai nasi bungkus kalau sekolah yang mempekerjakanku adalah SD Inpres. Tapi yang kulamar ini kampus mahal. Letaknya saja di pusat kota. Besaran gaji yang kuminta pasti tidak ada apa-apanya dibanding biaya masuk mahasiswa, atau pajak bumi dan bangunan gedungnya. Aku juga tidak minta gaji tinggi-tinggi. Malah di bawah gajiku saat ini.

Sebenarnya aku merasa bodoh. Jangan-jangan aku memang tidak paham industri pendidikan. Aku juga mempertanyakan motifku jadi guru. Kenapa tiba-tiba aku bosan jadi wartawan, profesi yang sudah kucita-citakan dari usia tujuh tahun? Apa yang sebenarnya kucari? Aku ingat pembimbing tesisku, seorang profesor yang dihormati dan dikagumi nyaris seperti nabi. Apa aku ingin seperti dia?

Bus tiba di halte Kebayoran Lama. Aku turun, lalu berjalan kaki sampai Stasiun Kebayoran. Lewat gang yang isinya rumah penduduk sempit-sempit berhadapan. Di depan pintu masuk langgar, aku nyaris menginjak tikus yang tiba-tiba nyelonong.

"Asu!" kataku, padahal yang hampir kuinjak itu bukan anjing.

Apa tikus itu pernah merasa terlalu pintar untuk jadi tikus?

***

Dari Stasiun Kebayoran harusnya aku naik KRL Commuter Line ke arah Serpong. Dari pengeras suara aku mendengar, keretaku akan datang lima menit lagi. Terlalu cepat. Aku sedang ingin sendiri. Maka itu aku menunggu kereta ke arah yang berlawanan, yaitu Tanah Abang, yang nantinya toh akan berjalan juga ke arah Serpong. Sekadar memperpanjang waktuku di jalan. Sudah kubilang, aku tak ingin buru-buru pulang.

Malam ini aku sedang merasa melankolis, suatu jenis perasaan yang sebenarnya kuhindari. Aku selalu ingin hidup dengan ringan. Menerima apa saja yang ditawarkan oleh nasib. Tapi ada kalanya aku merasa kurang kesempatan. Aku punya banyak keahlian dan aku tahu aku akan jadi hebat kalau ada di tempat yang tepat. Atau jangan-jangan itu hanya ilusiku saja. Suatu gambaran yang kuciptakan di kepala karena aku tidak tahan menghadapi kenyataan bahwa aku ini pria umur 35 yang biasa-biasa saja. Takdir tidak akan membawaku jadi orang besar.

Kenapa aku tidak belajar menerima nasib? Lagipula apa sih yang hendak kubuktikan?

Ponselku berbunyi. Amanina menelepon. Istriku yang cantik tidak tahu suaminya sedang mengalami krisis eksistensial seperti remaja.

"Halo, Sayang," kataku semanis mungkin.
"Kamu di mana? Kok belum pulang? Sudah makan? Sup jagungnya sudah dingin tuh. Aku jemput di stasiun ya, soalnya gerimis nih.."

Istriku yang cantik, istriku yang perhatian. Amanina jenis perempuan istimewa yang bisa bekerja dan mengurus rumah tangga dengan sama baiknya. Ia seorang dokter tapi memilih jadi peneliti di Departemen Kesehatan. Kariernya baik. Kadang penghasilan Amanina sebulan lebih tinggi dari gajiku, tapi dia tidak pernah merendahkan suami. Dia selalu jadi partner yang mengagumkan.

Aku mengenang kebaikannya dengan rasa haru. Tapi malam ini aku terlanjur ingin sendiri, selama mungkin, selama yang aku bisa. Padahal tiba di rumah berarti aku harus mendengarkan dia bicara dan menjawab pertanyaannya. Aku mencoba membayangkan bilang padanya, "Kamu diam dulu ya, aku ingin sendiri.." Wah, bisa pecah perang dunia ketiga, keempat, dan seterusnya.

Kuputuskan bilang padanya aku masih menunggu kereta. Aku tidak bohong-bohong amat. Memang aku menunggu kereta, tapi aku tidak bilang ke arah mana. Aku naik kereta ke Tanah Abang dengan perasaan lega. Sambil berdiri aku memandang ke luar jendela.

Jalanan macet seperti pikiranku. Ketika kecil aku selalu harus membuktikan diri berprestasi. Katanya itu sindrom anak tengah. Kakakku perempuan, adikku laki-laki. Kakakku istimewa karena dia satu-satunya perempuan, sedangkan adikku istimewa karena dia anak bungsu. Sedangkan aku seperti ornamen yang tiba-tiba nyempil di tengah. Keberadaanku tidak signifikan. Karena itu aku sibuk di luaran, ikut lomba ini-itu. Hanya piala yang membuatku merasa eksistensiku ada artinya. Hanya piala yang membuat ibu dan ayah menyebut namaku dengan rasa bangga.

Sekarang setelah dewasa, aku kena batunya. Aku masih memperlakukan hidup seperti album koleksi piala. Seolah-olah tanpa mereka aku bukan siapa-siapa. Jadi wartawan kuanggap bukan piala. Aku ingin meniti karier sampai jadi pemegang jabatan publik, jadi orang berpengaruh, jadi seseorang.

Lha sekarang ini apa bukan orang, pikirku geli. Lalu kusadari sesuatu: aku belum pernah belajar menerima diriku apa adanya..

Satu jam kemudian aku sampai di Stasiun Sudimara. Amanina sudah menunggu di atas motor. Gerimis masih turun tipis-tipis. Ia menyambut dengan senyum ketika aku mendekat.

"Banyak pikiran ya?"
Amanina selalu tahu.
"Lumayan, nih."
"Masih mikirin universitas itu?"
Aku malu mengaku. "Enggak. Tadi rapat redaksi sekaligus tiga edisi, aku jadi teler."
Ia tertawa.

Aku mengambil kunci dari tangannya, lalu duduk di muka. Kunyalakan mesin, bersiap menyelip di antara angkot-angkot, mobil dan motor. Sudah lama aku memilih jadi rombongan kereta. Mobil kami terparkir manis di garasi, hanya kukendarai kalau aku akan pulang larut malam karena deadline. Mahal naik taksi.

Amanina melingkarkan tangan di pinggangku, lalu berbisik, "Jangan kuatir. Jadi apapun kamu, aku selalu bangga.."

Di dadaku ada bunga, mengembang dengan indahnya.

Jakarta, 10 Januari 2014

Gambar dari www. rounds.com

1 komentar:

  1. Cerpen ini berhasil membuat saya seakan-akan jadi tokoh utamanya. (y) nice :)

    BalasHapus