Rabu, 26 November 2014

- 2 comments

Penunggu Rumah Tua




Oleh: Dini Afiandri


Julukan Kota Kembang mungkin sudah tak layak lagi disematkan pada kota itu. Namun pada daerah tertentu di sana, masih ada tempat yang menggambarkan dengan jelas mengapa julukan tersebut dulu pernah diberikan. Salah satu tempat yang tersisa sebagai saksi sejarah adalah rumah tua itu. 

Rumah besar itu berada di sisi jalan, arsitektur luarnya bergaya klasik dan khas rumah jaman Belanda. Dengan halaman depan yang luas, dan halaman belakang yang bahkan lebih luas lagi. Tanahnya subur dan hitam. Ada hampir sepuluh jenis pohon buah yang ditanam di sana, mulai dari lengkeng, pisang, alpukat, mangga, sukun, belimbing, hingga sawo belanda. Tamannya terawat, kerimbunan pohon dan bebungaan serta langit-langit rumah yang tinggi membuat udara di dalam rumah menjadi adem ayem. Bagian dalam ditata apik, dengan furnitur kayu hitam dan lantai marmer kekuningan.

Sering terlihat burung kolibri, tikus tanah, dan landak yang sekali-sekali muncul di halaman belakang. Namun, rumah ini juga menyimpan sejuta misteri. Selain berbagai hewan itu, banyak juga makhluk gaib yang turut menjadi penghuni. Di antara kupu-kupu yang hinggap di rumpun bunga, kadang ada satu-dua peri bersayap keperakan yang turut bergabung. Spirit yang sangat tua menghuni pohon lengkeng besar di halaman depan yang telah berusia hampir setengah abad. Di gang dalam rumah kadang terlihat sesosok nona Belanda yang membawa lentera di malam hari. Para malaikat kerap kali keluar-masuk rumah ini. Dan aku adalah salah satu di antara mereka semua, tepatnya pemimpin mereka. Kami bukan makhluk pengganggu, melainkan penjaga rumah ini dan pelindung bagi garis keturunan yang telah tinggal dan memiliki rumah ini secara turun temurun.

Tahun-tahun berlalu, dan kini rumah ini ditinggali sepasang suami-istri yang baru saja dikaruniai seorang putra. Mereka memberinya nama yang indah: Adya Samudera Aradhana. Ketika baru berusia beberapa hari, ia dibawa ke rumah ini, dan kami semua langsung tahu bahwa ia bukan anak biasa. Menjelang malam, Madame— si nona Belanda— muncul di dekat boks bayi. Adya menatapnya, lalu mulai menangis. Anak ini bisa melihat kami.

Madame tersenyum. “Jangan menangis, anak manis. Lihat!”

Madame menyalakan lenteranya dan lentera itu berpendar warna warni—biru, hijau dan ungu. Adya berhenti menangis. Ia menatap Madame dan tersenyum lebar. Sepasang mata hitam miliknya berkilauan memantulkan cahaya lentera. Para malaikat menari di sisi tempat ia tidur, bercahaya kelap-kelip. Tentu saja hanya Adya yang bisa melihat itu semua. Bayi itu tertawa.

Ibunya berkata: “Betapa pemberaninya anak kita. Ia tidak menangis walau ditinggal sendirian.”

Waktu bergulir dengan cepat hingga Adya hampir genap satu tahun. Pagi itu ia sedang duduk bermain di lantai ruang tamu. Ayahnya duduk di dekatnya, mengawasi sang anak sambil membaca koran. Aku melongokkan kepalaku dari langit-langit dan mengintip ke bawah. Adya mendongak dan melihatku. Ia tersenyum menggemaskan. Aku jadi ingin menghiburnya, maka aku menjulingkan mata hingga kedua bola mataku keluar, lalu kujulurkan lidahku hingga panjangnya nyaris menyentuh lantai. Adya tertawa tergelak-gelak dan bertepuk tangan. Ayahnya melihat bocah itu tertawa pada langit-langit yang kosong. Bulu kuduknya merinding.

“Apapun yang ia lihat,” pria itu berujar pada dirinya sendiri dalam hati, “semestinya aku bersyukur bahwa kehadiran makhluk tak kasat mata itu menghibur. Bukan menakuti, apalagi menyakiti.”

Tampaknya baik sang ayah maupun sang ibu berusaha meyakini bahwa keberadaan kami di rumah ini tidak akan mengganggu perkembangan putra mereka. Tapi tentu saja mereka tetap khawatir, dan kekhawatiran itu semakin bertambah ketika seiring pertumbuhannya, mereka sering mendapati Adya bicara sendiri. Di ruang kosong, atau pada bunga-bunga di halaman samping. Sekali, mereka betul-betul memergokinya sedang tertawa dan mengoceh pada spirit tua di pohon lengkeng. Adya belum lagi 5 tahun saat itu, dan akhirnya kedua orang tuanya mengambil keputusan, didorong oleh kecemasan dan rasa ingin tahu.


* * * * *


Bel berdering pagi itu. Dari pintu depan yang tertutup berhembus angin semilir yang hangat, seolah yang datang adalah tamu istimewa. Ayah Adya, sang tuan rumah, menyambutnya dan mempersilakan pria paruh baya berkemeja putih itu duduk. Setelah berbasa-basi sesaat, mereka pun masuk ke inti pembicaraan.

“Jadi begini, Pak Iman. Ibu saya yang sudah sepuh baru saja meninggal bulan lalu, dan rumah ini termasuk salah satu harta warisan beliau. Saya memutuskan untuk menjual rumah ini, karena rasanya baik saya maupun istri saya tidak sanggup mengurus rumah sebesar ini. Uang hasil penjualannya akan dibagi-bagi antara saya dan saudara-saudara saya yang tinggal di luar kota. Nah, yang jadi masalah...” Ayah Adya menceritakan secara singkat keanehan-keanehan yang sering mereka rasakan, juga sikap putra mereka yang tak wajar.

“Kami berharap Pak Iman bisa membantu dan memberi tahu, sebetulnya ada apa di rumah ini. Saya takut mereka akan menimbulkan masalah sesudah saya menjualnya nanti.”

Pria yang dipanggil Pak Iman itu mengangguk, ia menyatakan bahwa ia turut berbelasungkawa, sekaligus membenarkan kecurigaan tersebut.

“Saya bisa merasakan keberadaan entitas gaib yang sangat kuat di sini, tapi yang ini terasa agak berbeda dibanding kasus lain yang biasa saya tangani,” ujarnya kalem.

Ayah Adya menatap pria itu dengan sangsi, ia sendiri sesungguhnya ragu apakah keputusannya mengundang orang ini tepat. Pak Iman kemudian minta diantar keliling rumah. Mereka berdua beranjak dari ruang tamu dan beralih ke ruang tengah. Di sofa, sang ibu tengah menimang Adya yang tertidur di pangkuannya. Pak Iman berjongkok dan menyentuh lantai tepat di tengah ruangan.

“Di sini terasa kuat sekali. Ah... ada sesuatu yang dikubur di sini. Mungkin pusaka atau semacamnya. Saya tidak bisa memastikan.” Pak Iman bergumam.

Ibu Adya menatap suaminya. Suaminya memberi isyarat dengan mengangkat bahu. Haruskah mereka berpegang pada kata-kata pria itu? Sejauh ini, kata-katanya belum berarti apa-apa. Pak Iman melihat keraguan mereka berdua. Ia meminta mereka semua, termasuk Adya, untuk keluar ke halaman belakang. Sang ayah menunjukkan jalan pada tamunya, sementara sang istri mengikuti sambil menggendong Adya yang masih terlelap. Di halaman belakang, tepat di tengah-tengah halaman berumput, Pak Iman minta izin untuk membakar kertas koran. Setelah dibolehkan, ia mulai menyalakan api lalu berkomat-kamit merapalkan sesuatu. Ia meminta makhluk apapun yang ada di situ untuk menampakkan diri karena ia ingin mengajak berbicara.

Api dari kertas koran itu berkobar, semakin lama semakin besar. Bersamaan dengan itu, cahaya mulai bermunculan dari pohon-pohon di halaman. Bola-bola cahaya itu berkumpul, lalu masuk ke dalam api yang dibuat Pak Iman. Mereka berempat melangkah mundur. Lebih banyak lagi cahaya muncul dari pintu dan dari ruangan di dalam rumah, melayang keluar dan bergabung menjadi satu. Lalu dari dinding rumah, tampak sebuah wajah yang besar sekali. Wajah itu bertaring panjang hingga dagu. Sosok kehijauan itu melangkah keluar, sepenuhnya menembus dinding dan berjalan ke halaman belakang. 

Ketika ia berdiri di depan api, sosoknya begitu raksasa, tingginya hampir mencapai sepuluh meter. Cahaya-cahaya menari-nari dan berkerlip di sekitar kakinya. Sosok itu menatap ke bawah, ke arah Pak Iman dan pemilik rumah.

Ayah Adya tampak sangat syok, karena tidak hanya Pak Iman seorang yang memiliki kelebihan yang bisa melihat makhluk itu—dia sendiri juga bisa melihat. Hanya istrinya yang masih menggendong Adya yang tampak bingung karena tidak melihat apa-apa. Sementara itu, Adya sama sekali tak terganggu dan melanjutkan tidur di pelukan ibunya.

Sebuah geraman yang sangat dalam memecah keheningan.

Aku memperlihatkan diri padamu karena kau mewarisi darah penghuni sebelumnya.

Ayah Adya berjengit. Suara itu amat asing. Tak ada satu suara pun yang menyerupainya, seolah berasal dari dunia lain. Makhluk raksasa itu yang berbicara. Di sampingnya, Pak Iman berdeham, lalu mendongak menatap makhluk yang tinggi menjulang di hadapannya.

“Kau penjaga rumah ini?” Ia berusaha membuat suaranya setenang mungkin.

Apa maumu?

Selanjutnya, Pak Iman dan makhluk itu berbicara. Pak Iman mengutarakan maksud panggilannya, bahwa penghuni rumah itu merasa terganggu dan ingin para makhluk gaib untuk pergi dan tidak lagi mengganggu Adya—putra mereka. Awalnya makhluk itu menolak. Lalu sang ayah berkata bahwa jika makhluk itu tak mau pindah, maka keluarganyalah yang akan pindah dan rumah itu akan dijual untuk dijadikan restoran. Restoran pastinya akan membutuhkan dapur yang besar, dan karena menggunakan api yang panas, para makhluk itu tentu akan merasa terganggu.

Tapi aku dan kawan-kawanku tidak pernah mengganggu. Sejak dulu kami ditugaskan menjaga rumah ini, melindungi para keturunannya. Jika tak ada lagi pewaris darah yang tinggal di sini, itu berarti tugas kami sudah selesai.

“Jadi kalian setuju untuk pergi?”

Terdengar geraman rendah sebelum  makhluk itu menjawab.

Ini rumah kami juga. Kami semua akan tidur panjang.

Setelah mengatakan itu, makhluk itu mengulurkan tangan dan ujung jarinya perlahan membelai kepala Adya yang digendong si ibu tanpa menyentuhnya. Wanita itu terkesiap merasakan udara dingin di depan wajahnya.

Kemudian, bayangan raksasa itu memudar. Cahaya di sekitarnya semakin redup, lalu satu per satu perlahan menghilang. Api dari kertas koran itu padam, disusul kesunyian dan kesan tenang yang belum pernah ada sebelumnya.


* * * * * *


25 tahun berlalu, dan rumah itu masih berdiri tegar di tempatnya semula.

Pada beberapa bagian rumah terlihat seolah pernah mengalami usaha renovasi, namun tidak selesai. Seorang pemuda bermata cemerlang dan berkulit pualam yang mengenakan kemeja batik bermotif mega mendung berjalan masuk bersama seorang agen properti yang tengah berbicara panjang lebar.

“Pemilik restoran yang memiliki tanah ini, sebelumnya berusaha membangun ulang rumah ini selama bertahun-tahun, tapi selalu mengalami gangguan aneh-aneh sehingga lama kelamaan tempat ini terbengkalai.”

“Gangguan aneh macam apa tepatnya?” tanya pemuda itu halus.

“Yah... Macam-macam. Ada yang melihat penampakan nona Belanda di tengah-tengah gang dalam rumah, bahan-bahan bangunan yang mendadak hilang secara misterius, dan sebagainya. Setelah berganti pemilik beberapa kali, pemilik terakhir ingin kembali menjual tanah ini. Kita kesampingkan saja isu-isu itu. Tapi jika anda teliti, sebetulnya rumah ini cukup nyaman untuk ditinggali,  kan?”

Pemuda itu melihat-lihat ke sekeliling. Banyak kamar-kamar yang masih sama seperti dulu, termasuk kerindangan pohon-pohon di taman yang kini tak terawat. 

Pemuda itu kemudian berjalan menghampiri pohon lengkeng di taman depan, pohon terbesar yang ada di sana, lalu membelai batang kayu kasar itu dengan lembut.

“Anda suka? Pohon ini sudah hampir seabad umurnya, dan katanya masih bisa berbuah sampai sekarang, walau hanya setahun sekali.” Agen itu terus berpromosi.

Pemuda itu diam saja.

“Pak Adya? Apa perlu saya tinggal sebentar?”

Adya Samudera Aradhana mendongak sekilas, menatap wajah renta yang tersenyum di antara cabang pohon. Wajah sahabat lama yang hanya bisa dilihat olehnya. Ia memejamkan mata dan menyandarkan dahi ke pohon lengkeng itu, tanpa mempedulikan tatapan heran sang agen.

“Aku kembali lagi,” bisiknya. 

         Aku sudah pulang. 




Penulis: Dini Afiandri

Tulisan lain dari Dini Afiandri

Kenali lebih dekat di sini:

Icon Icon

2 komentar:

  1. Lamaa banget hibernasi dan nggak mampir ke sini, ternyata udah banyak cerpen baru. Like it, Diniii...cuma agak miss sama usia Adya pas dia digendong ibunya, aku membayangkannya dia masih kecil, di bawah 5 tahun, makanya digendong smbl tidur, tapi ternyata dia udah 5 tahun tho.

    BalasHapus
  2. Terima kasih sudah baca dan berkomentar, Teh Nia. :)
    Iya, tadinya mau dibuat kalau pas pindah rumah usia Adya baru 3 tahun. Tapi dengan pertimbangan bahwa anak usia segitu belum punya memori yang bisa diingat hingga dia dewasa, usianya kuubah jadi 5 tahun.
    Sekali lagi terima kasih komentarnya. Ditungu cerita punya Teh Nia! ;)

    BalasHapus