Selasa, 02 April 2019

- 1 comment

Menghitamkan Cerita



Saat aku menulis cerita ini, chanel youtube tiba-tiba loncat ke video Hugo Ball yang sedang memainkan Cabaret Voltaire, itu tahun berapa Dada, siapa menekan, siapa memindahkan saluran, siapa menukar ingatan. Padahal aku sedang menulis mencorat-coret cerita yang ada di laman kuping hitam, bukan, bukan cerita yang kubuat, tapi cerita dari anggota yang lainnya. Cerita Hanum, Cerita Andin, Cerita Yuki, Cerita Ronny.

Kuping hitam pernah membuat sebuah novel yang dibuat secara keroyokan, anggotanya ya orang-orang yang biasa-biasa saja, termasuk di dalamnya AS Laksono dan Yosi Aveanti, lihat kan dari nama-nama itu biasa saja. Kalo di Italia, membuat novel keroyokan ini sudah masuk ke dalam sastra postmodern dan penulis-penulisnya yang berserikat dengan nama Wu Ming sering dibahas di jurnal-jurnal sastra kampus-kampus terkemuka. Tapi nasib Serikat Kuping Hitam ini biasa-biasa saja, datar-datar saja, sesuatu karya yang tidak penting dalam sastra di sini. 

Apalagi ada si Brengsek yang mengaku-ngaku sebagai anggota serikat, di laman kuping hitam sebenarnya aku belum pernah lihat nama si Brengsek ikut nampang di jajaran penulisnya. Apa kamu pernah lihat? Apa pernah ada nama si Brengsek di dalam laman webnya lalu kemudian terhapus? Siapakah penghapus itu?  

Sudahlah, mari kita masuk ke cerita saja. Jadi seperti ini ceritanya, seperti seperti seperti cerita:

Cahaya keemasan itu menarik perhatian Sakai. Bukan pertanda senja, bukan pula pantulan cahaya matahari dari air laut bening di hadapannya. Cahaya itu berasal dari sesuatu. Angin laut seperti menghembuskan cahaya itu ke matanya. Pandangan Sakai menyipit.
            Sakai meletakkan tali pengait perahunya. Dia berlari ke garis pantai. Ombak tiba-tiba menghempas sangat kencang. Gemuruh angin jadi semakin ribut. Sakai langsung mengambil perahu mesin dan mendorongnya ke air. Ia menyalakan mesin dan berlayar di antara ombak yang tampaknya makin ganas mengempas ke garis pantai.

Dia melambai panik. Topinya diterbangkan angin. Hatinya berdegup takut orang-orang menertawakan karena dia jalan-jalan membawa gelatik di atas kepala. Ia mencoba menangkap topinya tapi sang topi terus saja terbang ke ujung jalan. Meliuk-liuk seperti menunggang angin. Pergi menjauh tanpa menoleh, seperti memang ingin berpisah.

Perempuan itu terdiam di pinggir jalan. Matanya mengawasi orang-orang. Tukang burger. Tukang es. Tukang koran. Tukang ojek. Semua tetap pada aktivitas masing-masing. Dia meraba puncak kepalanya. Gelatik itu ada di sana. Hinggap manis seperti semula. Tapi orang-orang, kenapa mereka diam saja? Perempuan itu mulai berpikir memang hanya dia yang bisa melihat gelatik itu.

Sambil menata debaran jantungnya, perempuan itu memutuskan untuk terus saja berangkat kerja (dia jadi akuntan seperti ibunya). Di depan lift, satpam menyapa seperti biasa. Di lantai tiga, sekretaris bos menanyakan berkas tanpa sedikit pun nyeletuk soal burung. Teman-temannya sesama akuntan sibuk menghadap layar komputer masing-masing, mengobrol sekenanya, tapi tidak ada satu pun yang menjerit melihat kepalanya. Padahal, gelatik itu masih ada di sana. Bayangannya terpantul pada layar monitor komputer saat perempuan itu bekerja. Dia sedikit lega.

Hari itu berjalan wajar saja dan begitulah hari-hari berikutnya, bahkan ketika gelatik mulai membikin sarang. Gelatik pergi terbang keluar jendela. Meskipun perempuan itu kemudian menutupnya, sang gelatik selalu menemukan cara untuk kembali hinggap di tempat yang sama. Gelatik terbang mencari ranting-ranting kering, lalu menyusunnya di atas kepala perempuan itu tanpa minta izin. Perempuan itu akhirnya pasrah. Kini ia tak hanya seorang perempuan dengan seekor gelatik di atas kepala; ia seorang perempuan dengan seekor gelatik bersarang di atas kepala.

Ranting-ranting kering kadang membuat kepala perempuan itu gatal. Kalau sudah begitu, dia terpaksa menggaruk. Dia katakan ‘terpaksa’, karena sekarang sudah tidak terpikir mau mengusir gelatik dan mengobrak-abrik sarangnya. Dia bahkan takut melakukan gerakan-gerakan yang bisa membuat gelatik pergi, meskipun dia tahu bahkan keramas pun tak mempan mengusir si gelatik.

Matilah aku. Di tahun dua ribu tiga belas ini masih ada manusia yang menganut sistem barter. Memangnya ini zaman apa? Kalau di daerah pelosok mungkin saja masih ada masyarakat yang bertransaksi dengan tukar-menukar barang. Tapi, itu pun umumnya untuk hasil-hasil bumi, misalnya singkong ditukar beras. Si Petani A hanya berladang singkong dan jagung. Dia ingin memberi makan anak dan istrinya. Dia pun menukarnya dengan beras hasil bercocok tanam si Petani B. Kalau sarung bantal dan ongkos Metro Mini? Sungguh tidak masuk akal.

Oh, maafkan kelancanganku. Kurasa sebenarnya Ibu Tua itu bermaksud baik. Mungkin dia lupa membawa dompet, lihat saja pembawaannya yang seperti orang linglung. Atau mungkin dia kehabisan uang. Demi tidak menumpang gratis, dia pun menawarkan harta karunnya. Sebuah sarung bantal warna-warni. Aku pun dilanda kebingungan. Kenapa hanya aku? Penumpang lain seperti tidak mau peduli. Mereka langsung buang muka. Ada yang langsung menundukkan kepala hendak molor.
Si kondektur melewati kami lagi sambil
mendengus-dengus seperti banteng kepanasan.

Sepertinya dia benar-benar dongkol.
Si Ibu Tua menengok ke kanan dan kiri, seperti merasa canggung terhadap dirinya sendiri. Seperti merasa bersalah kepada semua orang. Aku membuka kantong depan tasku, meraih dompet kecil. Kutarik uang tiga ribu perak. Tanpa pikir panjang kuserahkan uang itu kepadanya.

"Ini, Bu, untuk ongkos."
Matanya…
"Makasih, Neng. Makasih, ya. Ini untuk Neng." Dia menyodorkan sarung bantal bergambar gajah bermain di awan.
"Tidak, Bu. Tidak usah." Kenapa aku menolaknya?

Tadinya aku ingin merobek kupingnya dengan makian paling orisinil. Beruntung, sebelum sempat melakukannya aku tersadar. Mendebatnya cuma menambah kesialan saja. Maskapai ini terkenal licin. Terlambat dan minta maklum adalah hak eksklusif mereka. Dan mereka pernah mengerjaiku. Saat itu aku terlambat check-in satu menit dan mereka bilang bagasi tidak boleh masuk lagi sebab pesawat akan berangkat 44 menit lagi. Terpaksalah aku mendermakan koperku beserta isinya kepada para kuli. Aku lalu bergegas berlari ke ruang tunggu, berkeringat, berdebar, hanya untuk mendengarkan mereka memohon maklum karena pesawat akan terlambat satu jam. Sial! Maklum mereka ditukar dengan koporku.
Jadi, alih-alih berdebat dengan si Buah Terkutuk, aku membujuknya untuk mencarikan maskapai lain yang berangkat dalam waktu dekat. 

Aku beruntung—yang setelah kupikir lagi sebenarnya aku buntung karena kantongku dikuras tanpa ampun—ada yang akan terbang satu jam lagi. Takut diterjang kesialan lagi, aku sambar tawaran itu, langsung check-in, lalu pergi ke ruang tunggu.

Tak pernah kubayangkan bisa sedemikan nelangsa melihat sebuah pesawat terbang. Dari balik kaca ruang tunggu ini kulihat pesawat yang harusnya kunaiki mulai bergerak. Mungkin saat ini pilotnya sedang menjulurkan lidah kepadaku. Dan para pramugari sedang melambai-lambaikan tangan. Tak perlu jadi peramal untuk tahu aku akan terlambat meeting jam setengah sebelas nanti. Entah makian apa yang harus aku telan karena delayed proyek—padahal itu jatah si Firhan. Dan saat melapor jam delapan nanti, sebelum pesawat berangkat, aku pasti didamprat habis-habisan oleh bosku. Gusti, bunuh saja aku sekalian.
Mengapa untuk hal sepele seperti ini aku bisa sial?
Lewat kaca itu kulihat pesawat melaju kencang, bersiap untuk terbang.
Untung Sejati, Bapak, kurasa kau salah memberiku nama.
Pesawat itu terus melaju dan beberapa detik kemudian, tepat ketika akan lepas landas, ia menjadi juru bicara Bapak.
Ketika datang, sabdanya langsung membuat badanku gemetar, mataku melotot, dan tubuhku lunglai. Orang-orang di sekitarku berteriak bagai jamaah yang sedang mengamini imam. Bahkan kaca ruang tunggu bergetar laksana sedang menerima wahyu. 

Kudengar sirine berkumandang. Kulihat para petugas berlarian. Di luar perang seolah sedang meletus. Pesawat yang harusnya kutumpangi gagal lepas landas. Asap hitam membumbung bagai cendawan raksasa. Malaikat maut pasti sedang bekerja keras di bawahnya.

Cerita menghitam menghitam cerita cerita menghitam cerita menghitam menghitam cerita cerita menghitam menghitam cerita cerita menghitam cerita menghitam menghitam cerita menghitam menghitam cerita cerita menghitam cerita menghitam menghitam cerita menghitam menghitam cerita cerita menghitam cerita menghitam menghitam cerita menghitam menghitam cerita cerita menghitam cerita menghitam menghitam cerita menghitam menghitam cerita cerita menghitam cerita menghitam menghitam cerita menghitam menghitam cerita cerita menghitam cerita menghitam menghitam cerita

Cerita menghitam menghitam cerita cerita menghitam cerita menghitam menghitam cerita cerita menghitam menghitam cerita cerita menghitam cerita menghitam menghitam cerita.
Read More

Sabtu, 23 Maret 2019

- Leave a Comment

Ahyar Hanya Ingin Terbang



Pada zaman dahulu, hiduplah seorang anak petani yang memiliki cita-cita tinggi. Dia selalu bercerita tentang cita-citanya itu kepada seekor semut. Dia yakin semut tidak akan menceritakan apa pun yang diceritakannya kepada siapa pun. Dia anak petani, yang hanya bisa makan nasi, dari panen padi.

Anak petani itu bernama Ahyar. Entah apa yang membuat ayahnya memberinya nama seperti itu. Mungkin karena keterpaksaannya yang hidup harus selalu berutang. Keyakinannya akan panen yang mungkin sebentar lagi datang ketika anaknya lahir, membuatnya selalu berkata, “Ah, nanti juga saya bayar.” Si penagih kesal. “Ah, yar. Ah, yar. Itu terus jawabanmu. Bisa jadi itu jawaban terbaik dalam hidupmu.” Orang itu benar. Ahyar, menjadi jawaban terbaik yang dimiliki ayah setelah lama tak memiliki anak.

Ahyar tak punya adik dan kakak. Dia hanya hidup sebatang kara. Itu sebabnya dia hanya bisa bercerita pada semut. Semut tak bisa bicara, itu jelas. Tapi apakah semut bisa mendengar, Ahyar tidak tahu. Dari kecil dia tidak pernah sekolah. Yang dia tahu hanya apa yang dikatakan ayahnya. Ayahnya tak pernah berkata apa pun tentang semut. Itu yang ia tahu.

Soal cita-cita, Ahyar selalu cerita bahwa dia ingin bisa terbang. Tapi dia tak tahu bagaimana caranya. Dia ingin seperti kupu-kupu yang bisa hinggap ke sana kemari. Dia ingin seperti burung, yang bisa terbang menembus awan. Dia ingin seperti kampret, yang gesit meski melayang di dalam malam. Ahyar tak tahu, semut mendengarkan atau tidak. Yang jelas, semut itu seolah diam memandangnya.

Masalah cita-cita, memang milik siapa saja. Milik Ahyar, milik perempuan di ujung jalan, bahkan milik semut yang selalu menjadi pendengar Ahyar. Sebetulnya Ahyar tak benar-benar tahu apakah semut yang mendengarkannya bercerita setiap hari itu adalah semut yang sama atau bukan. Yang jelas,  Ahyar tahu, dia keluar dari lubang yang sama.

Setiap sore, ketika langit mulai terasa hangat, bukan panas, Ahyar memanggil-manggil semut dari luar lubangnya. “Hari ini aku mau cerita, kau mau keluar untuk mendengarkan?” kata Ahyar di atas lubang semut. Memang aneh, dari kejauhan Ahyar terlihat seolah sedang bersujud ke tanah. Orang-orang mungkin akan menganggap Ahyar sebagai penyembah pohon, karena di depannya terdapat pohon besar yang membuat tempat itu jadi sejuk, sepoi-sepoi. Itu bukan pohon beringin. Tak ada pohon beringin yang tumbuh di sekitar sawah. Pohon kelapa bisa jadi, tapi jelas ini bukan pohon kelapa. Ahyar tak tahu namanya. Yang jelas, dia punya batang yang besar dan daun yang lebat. 

Beberapa saat setelah Ahyar memanggil di atas lubang semut, seekor semut keluar dan berdiri tepat menantang Ahyar. Tapi Ahyar tak merasa tertantang. Dia malah tersenyum. “Kau siap mendengarkan rupanya,” kata Ahyar kemudian.

“Hari ini aku mau naik ke pohon besar itu. Dari atas sana, aku mau lompat. Aku tak peduli jika jatuh. Yang kuharap, Tuhan iba padaku dan memberiku sayap. Lalu aku bisa terbang,” kata Ahyar mantap kepada semut. Semut tak merespons apa pun. Dia hanya diam, sambil sesekali seperti mematuk-matuk tanah. Tapi dia tetaplah semut, bukan ayam.

“Lihat aku ya,” kata Ahyar sambil bangkit dan kemudian mulai memanjat pohon.

“Tugas manusia hanya berusaha. Terus berusaha, sampai Tuhan iba, dan memberikan apa yang kita pinta,” ucap Ahyar lagi sambil memeluk batang pohon dan bersiap memanjatnya.

Perkara mudah bagi Ahyar untuk memanjat pohon apa pun. Ahyar sering sekali disuruh memetik kelapa muda oleh ayahnya di siang hari bolong. Entah apanya yang bolong. Yang jelas, di saat yang terik itu, memang segar bukan main jika kita menenggak air kelapa muda.

Ahyar telah sampai di ujung paling atas. Dia bergegas melompat.

“Semut, hati-hati kau terinjak olehku. Tapi jangan khawatir, aku rasa sebelum aku menginjak tanah, aku akan sudah punya sayap,” katanya yakin.

Ahyar melompat. Terasa sekali angin yang tak mampu menahan tubuh Ahyar untuk tidak jatuh ke bawah. Tangannya ke atas, tapi tubuhnya semakin kencang ke bawah.

“Aduh!”

Ahyar jatuh. Sayap tak tumbuh di punggungnya. Dia belum bisa terbang.

“Tenang, ini baru usaha pertama. Gagal itu biasa. Tuhan hanya menguji kita. Jika kita bersungguh-sungguh, Tuhan pasti akan wujudkan. Kau tetap di sini, aku mau naik lagi,” kata Ahyar kepada semut, dan mulai naik lagi.

Percobaan kedua Ahyar, tak membuahkan hasil. Ahyar masih jatuh ke tanah. Dia mencoba lagi. Tak mau menyerah. Bahkan dalam bertani pun, saat gagal panen, ayah masih tetap menanam padi. Kali berikutnya, ayah berhasil panen. Tak ada usaha yang tak membuahkan hasil. Itu kata ayah. Ahyar tak akan berhenti hanya pada usaha kedua, ketiga, keempat, dan seterusnya. Dia akan terus berusaha sampai berhasil.

Sore hampir gelap. Langit mulai merah. Udara semakin dingin. Matahari hanya tinggal cahayanya saja. Ahyar, masih terus berusaha.

“Kapan ya Tuhan mulai iba padaku,” kata Ahyar begitu jatuh ke tanah entah untuk yang keberapa. Dia merasa lelah. Keputusan untuk bersandar pada batang pohon dan menghela napas panjang, rasanya hal yang tepat bagi Ahyar. Usaha pun harus tetap ada istirahatnya, begitu pikir Ahyar.

“Tuhan itu senang sama makhluk yang terus  berusaha. Itu kata ayah. Makanya, terus berusaha. Kalau tidak kau berhasil karena memang usahamu, setidaknya, akan ada keajaiban yang tidak masuk akal yang akan membuat berhasil karena Tuhan iba melihat usaha kita. Itu sebabnya aku selalu bersungguh-sungguh,” kata Ahyar sambil terengah-engah.

Semut tetap diam. Entah dia mendengarkan atau tidak. Tapi Ahyar senang, setidaknya semut tidak pernah berkomentar atau menyanggah. Ahyar tersenyum memperhatikan semut yang kini mulai berjalan mendekatinya. Dipikirnya semut itu akan merangkak naik ke jarinya. Tapi dia salah. Semut itu berjalan ke sisinya dan menaiki batang pohon dengan mudah.

“Wah, lihai sekali kau memanjat. Pelan-pelan, nanti jatuh. Kau tak mau kan tubuhmu yang kecil itu jatuh menghantam batu yang besar. Besar menurutmu, kecil menurutku. Hahaha,” kata Ahyar yang kemudian tertawa lepas. 

Tapi lama Ahyar menunggu, semut tak kembali ke bawah. Tak terlihat juga sesuatu yang jatuh dari atas, yang mungkin saja itu adalah semut. Langit telah hitam. Bintang mulai datang. Bulan, hanya separuh yang terlihat bersinar. Ahyar masih sendirian di bawah pohon besar itu. 

Ahyar hendak bangkit. Dia harus pulang. Perutnya lapar, meski dia tak yakin di rumah ada makanan. Tapi sesuatu terasa merayap di punggung tangannya. Dia menaikkan punggung tangannya, mengarahkan ke bulan seraya berharap sinar bulan mampu menyinari dan memperjelas sesuatu yang ada di punggung tangannya.

Kecil, hitam kecokelatan, dan ini tak asing lagi.

“Semut?”

Ahyar keheranan. Diperhatikannya punggung semut itu. Jelas ini sesuatu yang baru. Dia kenal betul semut seperti apa. Benar seperti apa yang dilihatnya sekarang, tapi tidak dengan bagian punggungnya.

“Ini sayap?” katanya sambil menyentuh punggung semut. “Kurang ajar!”

Semut terbang. Tamparan Ahyar hampir mengenainya. Kulit Ahyar yang terkena tamparan. Jika kena, semut pasti sudah benyek.

“Aku yang berusaha, kau yang berhasil? Dasar semut kurang ajar!” kata Ahyar berteriak mengikuti arah semut terbang. “Jika tadi aku yang naik ke atas pohon, sayap itu tentu untukku! Dasar semut tak tahu diuntung! Kupikir kita berteman, tapi ternyata kau hanya memanfaatkan kesungguhanku berusaha, untuk kemudian kau ambil iba Tuhan untukmu! Bangsat!”

Ahyar kecewa. Dia pulang tanpa sayap. Hatinya mendidih. Mulai detik ini, dia tidak akan berteman pada siapa pun. Dia juga tak akan pernah bercerita tentang cita-citanya kepada siapa pun, atau apa pun. Ahyar menarik napas panjang dan mengembuskannya melalui mulut. Semoga ini, jadi pelajaran bagi kita semua.

Karangmulya, 21 Maret 2019
Nicky Rosadi

Gambar diambil dari sini

Read More

Kamis, 25 Oktober 2018

- Leave a Comment

Tai Kabagat Koat (2)

Cerita bersambung dari Tai Kabagat Koat

Vel menemui tim dive tempat ia menyewa perahu dan perlengkapan diving. Ia mencari orang bernama Sakai.
            Laki-laki bertubuh penuh tato rupa-rupa macam itu keluar. Ia hanya mengenakan celana pendek. Kulitnya yang cokelat mengkilat itu memang utuh menobatkannya sebagai orang pulau. Laut adalah dunianya. Ikan-ikan adalah temannya. Dermaga cuma jadi tempat singgahnya. Dia tentu tahu seluk-beluk Pulau Pagai ini.
            "Bang, tadi pagi saya menyewa perahu dan alat diving di sini. Tapi kenapa pas saya ke permukaan, perahu saya sudah tidak ada? Seharusnya pemandu saya dan orang kapal nunggu atau paling tidak mencari saya di bawah sana," protes Vel tanpa tedeng aling-aling.
            "Tadi adek ke mana? Perahu menunggu sekitar dua jam di tengah laut." Sakai memandang wajah oval Vel dengan tajam.
            "Saya memang sedikit menjauh. Tapi masa, sih, saya ditinggal?"
            "Adek sudah melanggar perbatasan. Kami baru saja mengirim tim untuk mencari adek karena sebentar lagi kegiatan melaut harus dihentikan," tukas Sakai lagi. Kali ini dengan nada datar. Ia tak memandang wajah Vel. Ia memandang ke laut lepas.
            Vel mengusap mukanya. "Oke. Saya minta maaf sudah merepotkan. Saya tadi diselamatkan oleh Cliff, bule yang juga menginap di resort ini. Tapi ada yang mau saya tanyakan. Saya tadi menemukan sebuah bangkai kapal di dasar laut sana."
            Sakai tak mengindahkan kalimat Vel yang terakhir. Ia menyambar pemantik untuk menyalakan rokok yang sedari tadi dijepitnya di antara jari telunjuk dan jari tengah kirinya.
            "Adek ke sini mau liburan atau mau penelitian?" tanya Sakai sinis sembari menghembuskan asap rokoknya asal.
            "Saya...saya cuma memberi tahu apa yang saya lihat," jawab Vel dengan nada pelan. Lalu dengan ragu-ragu, Vel menyambung, "Kalau begitu saya permisi."
            "Itu bangkai kapal pedagang Cina ratusan tahun lalu."
            Vel berbalik saat Sakai memulai ceritanya. Angin pantai mengacak-acak rambut Vel.
            "Sejak tsunami 2010, air laut surut. Laut yang tadinya dalam jadi dangkal. Banyak pulau-pulau baru muncul. Bangkai kapal itu terseret ke perairan Mentawai dan posisinya sangat dangkal. Itu kapal kuno. Dari barang-barang yang ditemukan di sekitar badan kapal, dipastikan itu kapal orang Cina zaman dulu," jelas Sakai sembari duduk di atas pasir.
            Vel mengikutinya duduk berselonjor di atas pasir yang ditadahi oleh pohon kelapa. Pandangan mereka sama-sama ke arah ombak-ombak kecil di garis pantai.
            "Barang apa saja yang ditemukan?"
            "Banyak. Pecahan keramik, guci, dan beberapa keping emas," jawab Sakai.
            "Lalu sekarang benda itu ada di mana?"
            "Diambil sama orang Barat. Waktu evakuasi tsunami dulu, resort ini belum ada. Para pemberi bantuan banyak berdatangan. Banyak yang lokal dan banyak pula orang Baratnya. Rupanya mereka lebih dulu menemukan bangkai itu. Mereka menyuruh kami, para nelayan untuk menyelam dan mengambil benda-benda kuno yang bisa dijangkau di dalam kapal."
            "Lalu?"
            "Yah, begitulah. Namanya juga orang kecil. Kami cuma dibayar seperlunya dan diberi hadiah beberapa barang yang menurut mereka tidak penting. Mereka cuma orang Barat berkedok relawan. Pemda kurang cepat dan kurang tegas. Mentawai kan cuma anak tiri Sumatera Barat," sahut Sakai sambil menghela napas. Gurat di wajahnya menyiratkan ketidakpedulian.
            "Benda-benda itu dijual?"
            Sakai mengangkat bahu. "Yang pasti mereka seperti melihat harta karun. Padahal cuma piring-piring usang."
            "Warga sini mau saja melepas barang-barang itu?"
            "Biarkan Tuhan yang bertindak. Tai Kabagat Koat akan melumat mereka."
            Vel mengangguk-angguk mengerti. Dia tidak berniat membagi pikirannya pada Sakai. Ia pun pamit masuk ke kamarnya. Kamar yang ia pilih berada terpisah dari bangunan utama yang merupakan resepsionis dan ruang makan. Saat ia berjalan ke bangunan cottage yang berblok-blok, Vel melewati beberapa laki-laki yang sedang berteduh dan bersandar ke dinding cottage yang menghadap pantai. Mereka terlihat kumal dengan kulit sawo matang, bibir pucat, dan mata agak kuning. Meski mereka duduk berjajar, tapi tak ada satu pun tampak mengobrol. Mereka seperti menatap ke arah Vel. Namun, bukan. Tatapan mereka kosong.
            Mendadak, Vel disergap rasa gugup. Ia hanya senyum saat berjalan di dekat para laki-laki itu. Lalu ia menyibukkan diri dengan jinjingan fin dan goggle snorkeling-nya. Sebelah tangannya lagi mencoba sibuk meraba-raba rambut yang masih basah. Vel bergegas menaiki undakan batu menuju koridor yang mengarah ke kamarnya.
            Vel berjalan menyusuri koridor kosong yang disangga tiang-tiang kayu tanpa cat. Papan-papan berderit saat kakinya menginjak lantai koridor itu. Koridor ini agak dingin dan sepertinya kayu-kayunya sudah dirayapi. Kamar Vel berada di paling ujung koridor. Ia melewati beberapa kamar yang terkunci. Sunyi.
            Saat melewati dua kamar sebelum kamarnya, tak sengaja pandangan Vel tertuju pada sebuah kamar yang terbuka.
            Rasa penasaran Vel terusik. Ia berhenti dan maju untuk mengintip.
            "Cliff?" tanyanya saat melihat Cliff sedang asyik mengetik di atas laptop.
            "Hai," sapa Cliff ramah.
            "Can I...?"
            "Oh, come, come. Please."
            Vel melangkah masuk. Kamar Cliff berantakan sekali. Mata vel tertumbuk pada sebuah kardus yang terbuka di samping tempat tidur Cliff. Dari arah pintu, Vel hanya melihat seperti barang pecah belah yang ada ukirannya, tapi tampang kumuh. Terlihat seperti piring.
            "Itu apa?" tanya Vel.
            Cliff tersentak. Pandangannya beralih dari laptop menuju arah pandangan Vel. Ia segera berdiri dan mendekat ke arah kardus itu, menutupnya, lalu mengangkat dan menaruhnya di atas lemari.
            "Tidak terlalu penting. Cuma benda-benda unik yang kutemukan. Ini kumpulan kerang."
            "Setidakbegitu pentingnya, ya, sampai kamu menyimpannya."
            "Barang pribadi. Bukan untuk dibicarakan. Sini, duduk!" sahut Cliff pura-pura tidak peduli.
            Kening Vel berkerut. Aneh, cowok bule ini, pikirnya.

Tai Kabagat Koat, cerpen Hanum, source: jurnaland.com

***

            Vel mencari berita-berita mengenai kapal karam di perairan Mentawai. Ia berselancar di depan laptop saat bangun tidur. Tubuhnya terasa pegal. Sembari meneguk teh hangat, ia menemukan beberapa artikel. Tsunami yang sempat mengguncang Mentawai tahun 2010, sempat menyeret sebuah bangkai kapal mendekati dasar dangkal. Bangkai kapal itu tadinya kapal karam di perairan Samudera Hindia, di luar batas NKRI. Tsunami Aceh membuat lempeng dasar laut berubah. Kemudian guncangan di kepulauan Mentawai 2010 menggeser bangkai kapal itu mendekati perairan Pagai.
            “Segala hal yang berada di bumi Indonesia, termasuk lautnya adalah milik NKRI. Tapi kenapa sampai sekarang tak ada yang mengamankan bangkai kapal itu? Masih ada isinya nggak, ya, kapal itu? Apa semua udah diambil kurator atau NGO asing?”
            Vel berbicara sendiri. Jiwa mahasiswanya keluar. Memang, ia datang ke Pulau Pagai ini tak sekadar liburan. Ia sedang mengamati biota laut untuk bahan penelitiannya. Namun, yang ia temukan adalah bangkai, bukan biota.
            Vel mendesah. Rasanya ia ingin menyelam lagi ke sana. Kilasan bayangan yang ia lihat sungguh membuatnya penasaran. “Jangan-jangan itu hantu air,” ucap Vel bergidik. Ia meneguk lagi teh hangatnya.
            Pang!
            Jendela kamar Vel bergetar akibat hempasan pintu di kamar sebelah. Vel beranjak dari bangkunya dan mengintip ke luar. Dia melihat Cliff berjalan memunggunginya. Dia mau keluar lagi.
            Vel keluar dari kamarnya. Dia melongok ke jendela kamar Cliff. Perhatiannya mengarah pada kunci kamar yang dibiarkan menggantung di gagangnya. Rasa penasaran menggelayuti benak Vel. Ia pun menyusup ke kamar bule itu.
            Sembari menahan napas, Vel yang sudah berada di dalam kamar Cliff, menutup pintunya pelan. Lalu, dengan cekatan, ia menggapai kotak kardus yang terletak di atas lemari.
            “Berat juga,” sahut Vel. Ia menjinjit agar bisa menggapai kardus itu sepenuhnya.
            Buk!
Prang!
“Aaw,” jeritnya tertahan.
Vel kehilangan keseimbangan dan menjatuhkan kotak kardus itu. Bunyi pecahan barang pecah belah terdengar dari dalam kotak. Vel mengatur napasnya. Ia celingak-celinguk memastikan Cliff tidak kembali ke kamar.
Ia membuka kotak itu. Ada kain lusuh menutupi benda-benda di dalamnya. Vel menarik pecahan kaca selebar telapak tangan. Ia meneliti. Dasar kaca yang berwarna biru tampak sangat kusam dan permukaannya agak licin berlumut. Pinggirannya tidak lagi mulus. Tampak bekas-bekas benturan benda keras di beberapa titik di sisinya. Ada motif mirip ukiran yang menghiasi badan kaca itu. Vel menyapukan tangannya menyentuk motif-motif yang sepertinya berwarna biru tua. Namun ia juga tidak yakin warna asli motif itu karena terlalu kusam.
Ia mengambil dua buah kepingan lagi dari dalam kardus. Kali ini bentuknya lebih utuh. Sebuah piring lebar. Saat Vel mengangkatnya, piring itu terbelah dua begitu saja. Ia membolak-balik pecahan piring itu. Permukaannya bergerigi karena motif yang menghiasi keseluruhan badan piring itu timbul dan kesat.
“Ini seperti piring keramik,” ucapnya pelan. “Kenapa Cliff menyimpan ini semua?”
Vel membongkar lebih dalam. Ada mangkuk yang sepertinya terbuat dari tanah liat. Tapi permukaannya sudah tidak rata dan sangat licin berlumut. Clif sepertinya belum sempat memoles benda-benda ini hingga bersih. Ada guci mungil yang masih utuh. Ia bisa mendefinisikan benda ini dengan baik karena keutuhannya. Permukaannya berbeda dengan yang lain. Lebih kinclong, berwarna kuning tapi agak berkarat di pinggirannya.
“Ini tidak mungkin emas. Ini baja? Bukan. Bukan. Perunggu? Guci perunggu?”
Vel ragu. Benda-benda apa ini? Ini tentunya bukan benda biasa. Benda-benda lainnya ada piring kecil yang sudah tak berbentuk, pecahan guci yang terlihat dari lengkungannya, potongan besi meriam berwarna hitam legam. Satu tangan Vel menyentuh benda yang agak lunak. Lebih menyerupai benyek. Licin dan sangat berlumut. Vel mengangkat benda mungil itu. Ukurannya hanya sebesar tiga jari tangannya. Ia mengusap lumut itu. Ada lapisan bergerigi yang agak keras. Lapisan tembaga. Vel mencoba mengamati benda itu. Lapisan tembaga itu tulisan. Ini kayu yang pastinya sudah lapuk, pikirnya. Ada angka1736 mengikuti tulisan kecil kabur di lapisan itu.
Ini nggak mungkin angka tahun, kan? batinnya.
Ia merogoh ponsel di saku. Vel memencet beberapa nomor lalu merekatkan ponsel itu ke telinganya.
“Bri. Ini aku, Vel. Sibuk, nggak? Aku mau nanya-nanya dikit,” sahut Vel cepat pada ponselnya.
“Aku nemu benda-benda aneh di Mentawai. Iya, aku lagi di Pagai, motret bahan skripsi. Tapi yang aku temukan bukannya makhluk laut, tapi malah piring-piring ini.”
Vel menjelaskan panjang lebar tentang temuannya.
“Ya, aku nelepon kamu karena aku pengin mastiin aja, Bri.”
...
“Iya, nanti aku fotoin.”
...
“Cuma agak aneh aja, bukannya kepo. Soalnya tiba-tiba aku ketemu Cliff di dasar laut dekat bangkai kapal. Dia tahu itu di luar batas area penyelaman. Dia juga kayaknya tahu banyak tentang kapal itu. Dan aku nemu keping-keping ini di kamarnya. Aneh, kan? Dia kayak tahu banyak gitu soal tempat ini padahal ngakunya cuma turis biasa.”
...
“Dia dari Jerman. Ada tugas di Singapura.”
...
“Ada kerjaan di Singapura. Yah, sekitar 27-an ke ataslah umurnya. Mumpung di Singapura, dia mampir ke Indonesia buat liburan.”
...
“Nggak tau. Iya, sih, kenapa dia bisa sampai di Pagai, ya? Dia bilangnya baru kenal Indonesia itu dari temennya dari Jerman yang tinggal di Singapura. Nggak tau juga.”
...
“Eh, udah, ya. Kayaknya aku kelamaan di kamar ini. Thanks, Bri. Nanti aku foto dan aku harus kabur dari sini. Aku takut Cliff balik. Bye.”


Bersambung...
Read More

Rabu, 17 Oktober 2018

- 1 comment

Tai Kabagat Koat (1)

Cahaya keemasan itu menarik perhatian Sakai. Bukan pertanda senja, bukan pula pantulan cahaya matahari dari air laut bening di hadapannya. Cahaya itu berasal dari sesuatu. Angin laut seperti menghembuskan cahaya itu ke matanya. Pandangan Sakai menyipit.
            Sakai meletakkan tali pengait perahunya. Dia berlari ke garis pantai. Ombak tiba-tiba menghempas sangat kencang. Gemuruh angin jadi semakin ribut. Sakai langsung mengambil perahu mesin dan mendorongnya ke air. Ia menyalakan mesin dan berlayar di antara ombak yang tampaknya makin ganas mengempas ke garis pantai.
            "Sakai! Balik. Cuaca buruk!" teriak seorang laki-laki tua yang hanya mengenakan celana pendek lusuh dan kain sarung tersandang di bahunya.
            "Oi, Sakai!"
            Gelombang laut semakin tinggi. Sakai tak menghiraukan panggilan orangtuanya dan beberapa nelayan yang batal melaut. Sakai menerjang ombak dengan perahu kecilnya itu. Kilatan emas semakin kuat berkilau. Sakai ternganga melihat sebuah benda bulat besar, berkali-kali lipat ukuran badannya menyembur di permukaan laut.
            "Emas?" tanya Sakai pada dirinya sendiri.
            Sakai melihat ke belakang ke arah garis pantai. Dia sudah berlayar sekitar dua kilometer dari pantai. Terbersit ragu di benaknya, antara ingin balik atau meneruskan perjalanan. Tapi dia sepertinya sudah dekat. Sakai melaju lurus.

Cerpen Tai Kabagat Koat. Image Source: www.jurnaland.com

            Satu hal yang ia lupa, ia belum jadi mengisi bahan bakar untuk perahunya. Mesin mendadak mati ketika ia sudah di kilometer ketiga dari lepas pantai. Sakai mengumpat. Ia masih terhipnotis dengan benda berkilau yang mencuat di tengah laut itu. Kali ini semakin tinggi. Benda bulat itu seperti ada penyangga lebar di kiri-kanannya. Sakai semakin penasaran. Tidak mungkin itu logam biasa. Itu emas. Cuma emas yang tidak akan berkarat di air laut. Atau...
            "Tai Kabagat Koat[1]!!!" teriak Sakai sekencang-kencangnya.
            Sakai mengambil dayung dan ia menjalankan perahunya. Sangat berat. Ada energi yang menahannya melaju. Angin membelokkan perahunya menjauh dari titik semburan logam berkilau itu. Dia mulai panik.
            Sakai melolong ke arah pantai, meminta bantuan. Perahunya terombang-ambing. Ia berdiri. Kini matanya membulat. Ada semacam pusaran besar yang berporos pada benda raksasa itu. Pantulan keemasan memenuhi air laut. Matahari terasa menyengat, ditambah sinar emas dari benda yang menyembul itu. Angin semakin tak terkendali. Sakai mengambil kacamata renang yang disimpan di laci kemudi. Tak ada pilihan lain. Ia harus menyelam.
***

            Sakai, si anak pulau,
            Sakai, si anak malang.
            Sakai berlayar,
            Sakai tak pernah pulang.
           
            Nyanyian pilu ibu Sakai menangisi anaknya tak kembali setelah badai aneh di cuaca cerah.
            Menjelang sore hari, beberapa nelayan dan bapak Sakai berlayar mencari anak 17 tahun itu. Badai tadi siang hanya terjadi sebentar. Mereka tak punya jam untuk menghitung waktu. Tapi cukup mengetahui bahwa badai itu berlangsung dua jam.

***
“Apa itu?”
            Gelembung udara menjalar naik menuju permukaan. Gadis itu sedang berada di kedalaman laut lima belas meter. Ia terus berenang dengan menyandang tabung oksigen di punggungnya. Pemandu diving-nya sedang menabur roti untuk ikan-ikan yang bersembunyi di balik terumbu karang tak jauh darinya. Gadis itu menoleh sekali ke arah pemandu yang tak kunjung menoleh padanya, padahal ia ingin menunjukkan sesuatu yang baru saja ia lihat.
            Ia memeriksa kadar oksigen dan tekanan air pada regulatornya. Setelah dirasa aman, gadis itu menyelam lebih dalam dan lebih jauh dari titik yang ditentukan oleh pemandunya. Dengan lincah ia berenang cepat mendekati satu benda besar di hadapannya. Agak tertutup terumbu karang dan berbagai lumut air. Ikan-ikan mungil tampak berada di sekitar benda itu. Gadis itu melihat ke sekitarnya. Di bawah tubuhnya, warna-warni terumbu karang melambai-lambai padanya. Ada karang yang berbentuk otak manusia dalam ukuran besar. Ia menelusuri dasar laut itu. Tak jauh darinya, di sebelah kanan, ada batas karang, lalu warna air tampak menggelap.
            “Palung? Kenapa tidak ada yang bilang di sekitar laut ini ada palung?” ucap gadis itu dalam hati. 
Ia mencoba bernapas tenang untuk menghemat oksigen. Di sebelah kirinya, benda besar menyentuh karang, bahkan tampak menyatu dengan karang-karang itu. Ada tali berlumut melambai-lambai beberapa meter  di sebelahnya. Gadis itu menggapai tali yang terasa kenyal dengan lendir lumut. Licin. Ia menyeret dirinya menelusuri tali yang rupanya mengarah pada benda besar itu.
Badan kapal. Ini bangkai kapal, batin gadis itu lagi.
Antara ngeri bercampur penasaran, gadis itu berhenti di hadapan yang ia yakini geladak kapal yang posisinya miring sekitar 90 derajat. Ia sadar, waktunya tak cukup untuk menelusuri seluruh badan kapal. Ia berdecak ngeri di balik masker oksigennya. Ini bukan kapal modern. Lumutnya terlalu tebal. Bahkan karang-karang dan ganggang laut sudah tumbuh merdeka menutupi sisi badan kapal. Lumut menggerayangi keseluruhan tiang, pegangan, gagang, dan sudut-sudut lancip di kapal itu.
Gadis itu termenung. Jika boleh menganga, ia pasti sudah melakukannya. Kesunyian menyerangnya. Ia hanya mendengar deru napas sendiri serta gelembung karbon dioksida yang keluar dari selang pembuangan napas. Yang terdengar di telinganya hanya dengung pergerakan air dan tubuhnya.
Sebuah kilasan bayangan tertangkap oleh sudut matanya. Gadis itu menoleh cepat. Hilang. Lalu kilasan itu tampak dari balik badan kapal di hadapannya. Napasnya menderu. Nyaris ia tersedak selang pernapasannya sendiri. Bayangan itu lewat lagi. Kini lebih cepat. Dingin menyergap dadanya.
Ia menoleh ke kiri dan kanan. Kadar kepanikannya bertambah di tengah kadar oksigennya yang menipis. Jempolnya mengacung, berharap pemandunya mengikuti dan membantunya untuk naik ke permukaan. Namun, usahanya sia-sia. Gelembung-gelembung ringan yang keluar dari samping maskernya seperti mengejek. Gelembung itu tampak berlalu ke atasnya sementara ia terlalu dalam terjebak di dekat bangkai kapal itu, berbelas-belas meter bahkan mungkin mencapai lebih dari dua puluh meter di bawah permukaan laut.
Gadis itu mengayuh fin[1]-nya, mendorong ke bawah agar tubuhnya terdorong ke atas. Tangannya mulai mengayuh cepat-cepat. Ia mencoba mengatur napasnya yang mulai berat. Tekanan udara di sini terasa mengikat geraknya. Jantungnya berdegup lebih cepat karena memompa oksigen ke seluruh tubuhnya dengan lebih keras. Ya, tubuhnya butuh lebih banyak kehangatan dari oksigen itu. Dia harus segera mengayuh ke permukaan.
“Jangan panik, Vel!” tegasnya pada diri sendiri.
            Eugh!
            Ada yang melilit kakinya. Mungkin lebih tepatnya menahannya untuk berenang. Dengan gerak refleks, gadis itu menendang. Namun lilitan itu tak lepas. Ia menoleh ke bawah.
            Bukan lilitan tali, rumput, atau sejenisnya. Itu tangan orang. Mata gadis itu membulat. Ia terkejut tapi tak bisa mengerang. Ia menendang-nendang sekuat tenaga untuk melepaskan cengkeraman kuat itu. Pergerakan air membuatnya tak bisa melihat dengan jelas. Gelembung menutupi pandangannya.
            Siapa dia?
            Pandangan gadis itu mengabur. Bayangan itu mendekat. Ia mengenakan goggle yang serupa dengan gadis itu. Secara otomatis, dengan napas yang lemah, gadis itu memberi tatapan memohon pada orang yang mencengkeram tangannya. Ia mengacungkan jempol ke atas pertanda bahwa ia ingin naik. Ia ingin mengisi paru-parunya dengan udara lepas. Rasanya kerongkongannya dingin dan mengering. Ia tahu dan sangat sadar kadar oksigennya tidak akan cukup karena ia sudah terlalu lama menyelam.
            Tubuhnya melemah sementara cengkeraman bayangan itu menguat.

***

            Gadis itu tersedak. Ia perlahan membuka mata. Perutnya terasa mual karena terombang-ambing cukup lama di laut. Angin laut menerpa wajahnya. Dia pun bangun. Suara berisik mesin speedboat mendengung di telinganya. Ia masih mengenakan wetsuit berwarna abu-abu. Fins, goggle, dan tabung oksigen tergeletak di sebelah kakinya.Ia mencari orang yang ia kenal.
            Ini bukan perahuku, pikir gadis itu.
            “Hei, akhirnya bangun juga. Ini minum!” ujar seorang laki-laki berperawakan bule menghampirinya.
            Gadis itu mendongak. Dengan sedikit ragu, ia mengambil sebotol air mineral kemasan dari tangan bule itu.
            I’m Cliff Bauer.”
            “Eng...Saya Vel. Velea Zahida,” balasnya singkat lalu meneguk botol minumannya cepat.
            “Kamu ngapain di bawah sana? Apa yang kamu lakukan tadi itu berbahaya.”
            “Saya...saya hanya menyelam," jawab Vel kebingungan.
            "Kamu hampir mati di bawah tadi. Dan saya lihat tidak ada perahumu di sekitar sini," ucap Cliff santai.
            Vel melihat sekelilingnya. Laut lepas. Tidak ada perahu kecuali speedboat kecil yang ia tumpangi saat ini.
            "Sebenarnya apa yang terjadi, emm... Mr. Bauer?"
            "Cliff. Just call me Cliff."
            "Oh, yeah. Cliff. Saya tadi melihat bayangan gelap."
            Cliff menggeleng sambil tertawa.
            "Kamu sudah menyelam terlalu dalam. Itu area terlarang."
            Vel merasa ada yang salah di sini. Dia sedang berhadapan dengan orang asing yang sangat lancar berbahasa Indonesia. Matanya tertuju pada tato berwujud babi yang tertusuk tombak. Vel bergidik. "Lalu, kenapa Anda bisa menemukan saya? Memang siapa Anda?"
            Cliff menghela napas.
            "Saya sama sepertimu. Hanya berlibur. Saya sudah beberapa kali menyelam di daerah sini. Kebetulan saja saya melihatmu ke arah palung yang seharusnya tidak boleh kita lewati?"
            "Palung? Sebentar. Kalau memang area itu dilarang, kenapa Anda juga ke sana? Berarti Anda tahu ada--"
            "Bangkai kapal? Ya. Saya tahu semuanya," potong Cliff cepat.
            "La...lalu?" tanya Vel ragu-ragu.
            "Itu cuma bangkai kapal. Tak ada istimewanya. Masalahnya hanya kamu terlalu dalam menyelam dan tanpa pengawasan. Saya pastikan, kamu belum dapat lisensi untuk menyelam, bukan? Karena itu kamu hampir mati di dalam sana.
            "Thanks," jawab Vel.
            "You're welcome." Lalu Cliff berdiri untuk mengakhiri percakapan.
            Sementara itu, pikiran Vel masih berkelana. Dia merasa aneh. Sekali lagi matanya menyapu perairan di sekelilingnya. Perahu yang aku sewa serta guide-ku ke mana, ya? pikirnya.

***

Bersambung...
Lanjut baca: Tai Kabagat Koat part 2 




[1] Sebutan untuk roh yang ada di laut yang mereka dewakan dalam Kepercayaan Arat Sabulungan, kepercayaan orang Mentawai.
Read More