Kamis, 18 Desember 2014

- Leave a Comment

Hantu Terindah

Saat itu saya sedang memperdalam studi bahasa di Korea. Rambut saya semakin botak, dan perut semakin gendut. Saya tidak terlalu paham tentang Korea Selatan sebelumnya, hanya mengintip dari serial televisi dan mendengarkan musiknya. Sarjana yang beberapa tahun lalu kuselesaikan adalah bidang bahasa Indonesia, kampus tempat saya mengajar ada-ada saja, karena terjadi kerjasama maka saya termasuk yang dikirim ke Korea Selatan untuk studi bahasanya.
Kepergian inilah yang membuat saya dengan Sasti mengakhiri hubungan percintaan. Dia selalu yakin kedekatan hubungan adalah cinta yang sebenarnya, sehingga kami pada akhirnya menyepakati bahwa hubungan ini harus diakhiri, sehingga saya bisa pergi dan lebih tepatnya serasa terusir. Sehingga kepergian dengan keadaan seperti ini, kehilangan ini, sungguh sangat menyesakkan.
Sasti sangat mencintai Indonesia, dia tidak ingin pergi terlalu lama atau menempuh studi di luar negeri. Baginya Indonesia mesti dibangun dan dia ingin pembangunan itu dari dalam sendiri, dia mempelajari bahasa Indonesia, dan semakin memperdalam bahasa-bahasa di Indonesia. Untuk saat ini saya mencoba untuk tidak terlalu memikirkannya. Menyimpannya dalam lemari bernama kenangan, meski kapan saja bisa dibuka untuk diingat kembali baik sengaja ataupun tidak, tapi setidaknya perlahan akan terhapus dari ingatan.          
“Sungguh melelahkan”
Tiba-tiba perempuan yang duduk di sebelah saya membuyarkan lamunan yang sedari tadi berputar di kepala saya tentang Sasti dan tentang Indonesia. Saya agak lupa, dimana perempuan ini naik ke pesawat. Apa memang terbang dari Jakarta bersama-sama, atau naik ke pesawat di saat pesawat ini transit di Singapura. Dalam perjalan saya memang banyak termenung, dan tanpa terasa terlelap.
“Siapa namamu?”
“Gumiho”
“Nama yang indah”
Dia lalu tertawa terbahak-bahak. Melihat tawanya saya semakin yakin bahwa dalam keadaaan apapun, dia adalah keindahan. Seperti apa itu keindahan, dan bagaimana itu keindahan, saya hanya bisa membayangkan bunga-bunga bermekaran di halaman, sungguh kering imajinasiku tentang keindahan. Lalu saya teringat pada paras Han Ga In, untuk mengeja namanya saya harus berupaya keras.
“Panggil saya Sheril saja” katanya memecahkan pikiran-pikiran lain yang mulai terbersit ketika saya berbincang dengannya. Saya sangat nyaman dengan nama itu, saya pikir nama Sheril lebih akrab di telingaku dibandingkan dengan nama seseorang yang menunjukkan ke-Koreaannya, seperti Kim Yoo-jin, Son Ye Jin, Jun Ji Hyun, Park Jae-sang, Jo Sung-Hyun.  
“Bagaimana kalau nanti kita pergi ke sebuah bukit yang indah di pinggiran kota”
“Sungguh sangat menyenangkan. Saya tak tahu apa kita punya kesempatan untuk itu”
“Kamu pasti tak akan melupakan”
“Apa nama tempatnya”
“Bagaimana kalau sebuah tempat itu hanya diingat dan tak perlu diberikan nama”
Dia tersenyum, kupikir bibirnya seindah masker pertolongan yang tiba-tiba meluncur dari atas tempat duduk kami. Saya pikir tidak lama lagi kami akan tiba di bandara internasional Incheon, Seoul. Percakapan dengannya seperti tak ingin kuakhiri. Perasaanku semakin bergairah memasuki negara yang kutuju ini. Apalagi sebelum mendarat, tiba-tiba tangan Sheryl menggenggam tangan saya, dan saat itu saya seperti sedang ditikam.
Sebuah tikaman lembut yang ditekan perlahan ke dalam jantung. Kemudian saya tatap wajahnya Sheryl, matanya terpejam dan bibirnya tersenyum. Saya kembali mengarahkan pandangan lurus ke depan, ikut memejamkan mata dan merasakan genggaman tangannya. AC terus menerus menyiram dari atas kepala kami.
Peristiwa itu telah menyeret kami jauh dari dalam pesawat, seperti terlempar ke pinggiran pantai dengan ombak yang suaranya seperti tenang tetapi berkecamuk arus di dasarnya, di sebuah malam penuh bulan terang. Terangnya bulan sangat kencang seperti angin yang melambaikan rambutnya ke arah samudra yang jauh.
Mengingat lambaian rambutnya saya seperti pulang ke dalam rumah, pulang ke dalam kedamaian di tengah kecamuk dan ketenangan. Ada gemerisik rambutnya yang hanya bisa kubayangkan yang ikut menentramkan. Bersama rambutnya, tangannya perlahan menggapai ke arah saya. Tangannya, oh tangannya, jemarinya, rambutnya, tubuhnya, saya ingin meraihnya perlahan, dan perlahan-lahan. Hingga saling bertemu, hingga berpelukan, hingga saling meremas.
Kami berpelukan, entah berapa lama kami berpelukan. Aroma pantai yang ikut tertelan di antara dengus yang sedang kami khidmati. Gemerisik pasir yang semakin menempel di antara tubuh kami. Rambutnya ikut membelai perlahan dan masuk ke dalam pori-pori saya. Matanya terpejam, mata saya terpejam juga, saling merasakan.
Bibir dan lidahnya mulai mengecup kuping saya, kemudian bisikan itu hadir, suara yang letih yang datang dari ribuan tahun yang lalu. Dia meminta saya untuk memakan jantungnya. Sudah beribu tahun dia telah berulang kali menyantap jantung lelaki, sekarang saatnya untuk merelakan kehilangan jantungnya.
“Robeklah payudara, ambillah jantung saya, raihlah, rasakan denyutnya, ayolah, Sayang!”
Saya tertegun. Mematung. Tak tahu lagi apa yang dapat dilakukan. Permintaan itu sangat tak masuk akal dan berlebihan. Menjauhi dan melampaui hak untuk hidupnya manusia. Merasakan tubuhnya ke dalam dekapan sungguh sangat membuat gairah meletup tak terhingga, tapi tiba-tiba semuanya berguguran dan kesadaran saya tak tahu telah bertebaran ke arah mana.  
Digenggamnya tangan saya, dan kami bersama-sama merobek payudaranya hingga jantung yang berdegup itu kelihatan dan mulai memandang ke arah kami. Mengapa saya harus merelakan sebuah jantung perempuan untuk masuk ke dalam perut saya. Bibir saya tak kuasa untuk menelannya. Saya memasukkan jantung itu ke dalam mulut. Basah dan jijik menyelimuti perasaan. Rembesan darah mulai mengaliri bibir saya, seperti sungai yang mulai mengalir ribuan tahun yang lalu.
Dia telah terkapar kehilangan jantungnya, darahnya mengalir ke mana-mana. Saya memeluknya beserta tangis yang dalam, dunia semakin bergemuruh. Saya beserta pantai, beserta bulan, beserta ombak, beserta suara, beserta angin, beserta pasir, beserta tubuhnya, beserta rambutnya, beserta jantungnya, beserta tangis, beserta semuanya mulai tenggelam dan semakin terbenam.
Pesawat mulai berguncang, beberapa penumpang ada yang berteriak karena kaget, saya segera terbangun dengan jantung yang sangat bergetar. Saya sangat kaget sekali, kemudian saya atur nafas yang tersenggal hingga keaadan tubuh menjadi nyaman lagi.
“Syukurlah, untung tadi hanyalah mimpi.” Kata saya berguman perlahan sambil mengelus-elus dada menenangkan diri.  
Pesawat yang saya tumpangi akan segera mendarat di bandara internasional Incheon, Seoul. Sebentar lagi saya akan menjejakkan kaki di Korea. Saya lalu berdiri dan menuju ke toilet, meraup muka dan membasahi rambut, mendinginkan pikiran. Setidaknya bisa membuat segar dan melepaskan ketegangan yang telah terjadi akibat mimpi itu.
Saya mengaca di toilet, memperhatikan dengan sungguh-sungguh wajah dan tubuh saya. Sekali lagi saya sangat cemas, ada sesuatu yang sangat lain terjadi pada saya. Saya tidak pernah melakukan operasi plastik. Dengan cepat saya buka dan saya banting pintu toilet. Pramugari keheranan dan segera mendekat. Saya bergegas dan kembali menuju tempat duduk. Saya tak pernah ingin tidur lagi. Senyum perempuan yang duduk di seberang kursi saya seperti mengingatkan sesuatu.

Penulis: Wahyu Heriyadi

Tulisan lain dari Wahyu Heriyadi

Kenali lebih dekat di sini:

Icon Icon mengumpulkan saja

0 comments:

Posting Komentar