Senin, 26 Februari 2018

- Leave a Comment

Elegi Cinta untuk Dewi



Dewa telah memetik jutaan bintang dari Bima Sakti, mencuri pelangi dari para bidadari, dan mengambil langit dari bumi. Tak ada alasan lain, semua dilakukannya untuk Dewi. Karena bagi Dewi, bintang itu indah, pelangi itu memesona, dan langit... ah, Dewa tak tahu kenapa Dewi menyukai langit. Namun Dewa tahu, jika dia mampu memberikan semua itu, di mata Dewi, Dewa akan lebih indah dari pelangi, lebih memesona dari pelangi, dan lebih megah dari langit. Ya, hanya jika Dewi adalah dewi.

***

Butuh waktu dua tahun untuk Dewa agar bisa benar-benar mengungkapkan perasaannya kepada Dewi, seorang gadis manis dan ramah di kampus. Dewi memang tak secantik Isyana atau Raisa, namun keramahan dan senyum manisnya membuat Dewi selalu memiliki kamar kos di hati para pria.

Kamar kos? Ya, kira-kira begitulah hati pria. Layaknya kamar kos, setiap ada kamar yang kosong, maka akan selalu ada penghuni baru di dalamnya. Namun tidak untuk Dewi. Jika hati seorang pria telah terisi olehnya, maka sulit untuk mengusirnya. Tidak hanya memenuhi hati, tapi juga pikiran.

Hal itulah yang dirasakan Dewa. Dia telah menaruh hati sejak pertama duduk bersebelahan di salah satu mata kuliah. Dewi meminjamkannya pulpen, yang diserahkan lengkap dengan senyum manis. Senyum yang dihiasi gigi gingsul itu, sukses membuat Dewa meleleh. Sejak saat itu, dia berambisi untuk dapat menaklukkan hati Dewi.

Pernah suatu ketika, Dewa tak sengaja mendengar percakapan Dewi dengan teman-temannya. Dewi merasa tak seberuntung teman-temannya yang kerap mendapat kejutan romantis. Dia tak pernah merasakan betapa senangnya diberi cincin dan seikat bunga. Dewa tersenyum. Dia merasa ini adalah anugerah dari Tuhan.

Waktu memang tak pernah berhenti mengalir, seminggu setelah percakapan itu, Dewi menemukan sebuah kotak kecil berwarna merah di tasnya. Dia membukanya. Ada sebuah cincin dan selembar kertas di dalamnya.

“Terimalah.
Aku telah menolak banyak bidadari yang memohon untuk memakai cincin ini. Mengapa? Karena aku tahu, bidadari itu tidak pantas memakai cincin ini.
Ambilah, hanya kau yang pantas memakainya.”

***

Tidak hanya satu, tapi puluhan pria yang berakhir menjadi teman setelah mengungkapkan isi hatinya kepada Dewi. Sejauh yang Dewa tahu, belum ada satu pun pria yang sukses membuat Dewi menyerah dan merebahkan tubuh di pelukan pria. Itu artinya, Dewi benar-benar belum tersentuh oleh tangan seorang pria yang ingin memilikinya. Dewa semakin tertantang.

“Bagus sekali kalungmu, Nad,” kata Dewi kepada seorang temannya.

“Tentu saja! Ini pemberian pacarku. Dan ini nggak mudah mendapatkannya. Batu alam ini masih sangat langka di sini. Lihat,” kata Nadia sambil menunjukkan liontinnya kepada Dewi. Dewi tersenyum sambil memegang-megang kalung itu.

Dewa tahu apa yang harus dilakukan. Tiga hari kemudian, dia memberikan sebuah kalung indah dari batuan alam yang dironce sedemikian apik hingga membuat hampir semua wanita tergoda untuk memilikinya.

“Dew, aku punya sesuatu untukmu,” kata Dewa menghampiri Dewi. “Ini, pakailah. Kau pasti akan terlihat cantik,” katanya sambil menyerahkan kalung itu.

“Untukku?”

“Ya, ambillah.”

“Terima kasih,” ucap Dewi datar.

***

“Dew, ini untukmu,” kata Dewa sambil menyerahkan sebuah mawar biru.

“Mawar biru? Dari mana kau tahu aku sangat menginginkan ini? Mawar ini sangat langka di dunia,” ucap Dewi terkejut.

“Aku tahu. Aku selalu memperhatikanmu. Aku mencarinya khusus untukmu.”

“Untukku? Mengapa?”

Dewa merasa, inilah waktu yang tepat untuk mengungkapkan perasaannya.

“Karena aku mencintaimu, tentunya.”

Dewi terdiam. Kini dia menatap Dewa. Mawarnya masih tergenggam erat di tangannya.

“Kau tahu, cincin yang kau temukan dalam tasmu?” tanya Dewa kemudian.

Dewi mencoba mengingat, tak lama kemudian, dia mengangguk.

“Itu dariku,” kata Dewa. “Kalung istimewa yang kuberikan padamu waktu itu, itu juga khusus kucarikan untukmu.”

“Kau berikan semua itu hanya karena kau mencintaiku?” tanya Dewi.

“Ya,” jawab Dewa mantap.

“Aku bukan barang yang bisa kau dapatkan dengan harga tertinggi.”

“Tidak, bukan itu maksudku.”

“Seandainya kau tidak mencintaiku, apa kau akan menarik simpatiku?”

Dewa terdiam.

“Aku hanya memberikan apa yang kau inginkan,” katanya kemudian.

“Agar kau bisa jadi yang kuinginkan?” tanya Dewi sambil menatap tajam ke arah Dewa.

Dewa tak mampu menjawab. Dia tak tahu apa yang harus dilakukan. Menurutnya, ini adalah cara terbaik untuk mendapatkan seorang wanita. Dia salah. Dia berakhir sama seperti pria lainnya. Hanya sebagai teman, tidak lebih. Perjuangan dan penantiannya selama dua tahun, tak berbeda hasilnya dengan perjuangan pria yang mendekati Dewi hanya dalam waktu dua hari; sia-sia.

***

Dua bulan kemudian, Dewa melihat Dewi dijemput oleh seseorang sepulang kuliah. “Beruntung benar orang itu,” batin Dewa. Padahal, dari apa yang dia lihat, dirinya tak jauh berbeda dengan orang itu. Dia punya motor yang juga bisa membuatnya terlihat gagah di mata para wanita.

Namun ada hal lain yang membuat Dewa mengerti mengapa dia tak bisa memiliki Dewi. Ya, dia mengerti begitu orang itu membuka helmnya dan mencium kening Dewi. Bukan karena Dewa kalah kaya atau tampan dengan orang itu, tapi hanya karena Dewa tak punya buah dada!


Karangmulya,
Februari 2018

*gambar diambil dari sini

Penulis: Nicky Rosadi

Tulisan lain dari Nicky Rosadi

Kenali lebih dekat di sini:

Icon Icon G+

0 comments:

Posting Komentar