Kamis, 19 Juli 2018

- Leave a Comment

Stockholm

Ruang laboratorium yang dingin. Dengungan suara mesin pendingin yang memancarkan hawa hangat dari bagian belakangnya. Kabel-kabel yang menjuntai di bawah meja. Tumpukan kertas-kertas dengan grafik-grafik yang rumit. Kutarik kursi, duduk menghadap meja kerjamu yang kosong. Percakapan terakhir kembali terngiang. "Sekarang apa lagi? tanyaku gusar. Kamu sudah berhasil menemukan teknologi untuk menyimpan gambar berformat GIF dalam DNA dari sel hidup yang bisa menjadi perekam data molekuler dan dapat singgah di sel hidup."



Itu membutuhkan lima tahun, dan aku memberikan dukungan penuh untukmu. Aku sudah kehabisan cara untuk meyakinkan GEO agar memperpanjang risetmu. Mereka gusar karena tidak mendapatkan apa yang diinginkan."

"Mereka tidak mendanai risetku untuk ilmu pengetahuan. Aku tahu itu. Tapi aku tidak akan mengubah titik berdiriku. Sampai mati pun." balasmu dengan mimik wajah yang keras.

"Kamu itu batu," sergahku. Aku lelah jadi udara yang selalu menyusup kemana-mana, mengumpan bau agar GEO mau keluar ruangan dan mencari angin segar. Aku lebih baik kembali ke kehidupan Bali yang menurutmu membosankan ketimbang melanjutkan episode berikutnya."

"Bertahanlah untuk satu tahap lagi." Kamu mencondongkan tubuh dari kursi dan mengenggam tanganku. Ia selalu mengingat sesi terapi kami dulu. Ketika pasangan bertengkar. Berhentilah sejenak, fokus hanya pada apa yang terjadi saat itu. Bukan kemarin atau besok. Kemudian saling mengenggam dan menautkan jemari. Dalam posisi itu, kemarahan dan rasa jengkel akan mereda sekian persen.

Kamu menatap mataku, "Aku berjanji, setelah ini selesai, hidup kita akan kembali normal."

Sedikit melunak akan sikapnya. Rasa cemasku mereda. Namun, untuk kesekian kalinya, aku kembali merajuk. "Maka lakukanlah yang mereka minta. Itu akan memudahkan kita semua. Mereka hanya butuh data, dan kamu bisa melakukannya semudah....(menjentikkan jari ke udara?).

Aku tiba-tiba kehabisan kata untuk menggambarkan kecerdasannya. Kata menjentikkan jari ke udara terlalu remeh buatnya. Cara berpikir Sumba yang kelewat detail dan sangat teliti tidak bisa disamakan dengan proses menjentikkan jari ke udara.

"Kenapa kamu membujukku untuk menyeberang ke neraka?" Ia mencoba menarikku ke dalam pelukannya. Sementara aku, mundur untuk memberi jarak.

"Kamu tidak menyadari, kita sudah terbakar sejak lama. Satu-satunya cara bangkit dari abu adalah dengan merelakan sebagian kecil idealismemu untuk kepentingan yang jauh lebih besar. Pengetahuan tidak menarik bagi mereka, Sumba. Mereka ingin kekuasaan. Berikan saja mereka sedikit. Selebihnya bisa kamu simpan.

Sumba kembali gusar. Ia megusap rambut ikalnya, dengan gerakan sedikit menjambak. Rahangnya mengeras. "Apa yang membuatmu berubah? Selama ini, Ariana yang kukenal tidak bisa dibeli dengan uang. Kau bahkan benci kekuasaan. Kau lebih suka menemaniku di belakang layar, apa...?"

"Aku ingin hidup tenang. Normal. Aku mau pulang!"

"Ke Bali?"

"Iya, jarum kompas di hatiku berputar kembali ke arah itu."

"Kamu sedang bosan, Ariana. Pergilah keluar beberapa saat, lakukan yang kau sukai."

"Hati," balasku. "Akan selalu minta pulang ke tempat yang jadi rumahnya."

Mataku sekilas menyapu foto kami bertiga di meja kerjanya. Sumba, aku, dan Nad kecil yang kugendong.

"A-ku...." katanya terbata. "Bukan rumahmu?" Sumba sensitif dalam urusan perasaan, tetapi ia sering kesulitan mengungkapkan emosinya. Setiap kali rasa kepemilikannya diusik dia selalu memberi sorot mata yang terlihat tak nyaman.

"Kamu terlalu sibuk tahun-tahun belakangan ini. Riset-riset. Konferensi-konferensi internasional. Jam-jam panjang tanpa mengenal siang dan malam di dalam laboratorium. Belum lagi kesibukanmu me-nga-jar belakangan ini."

Aku tidak sengaja memberi penekanan pada kata mengajar agar dia yang membuka sendiri percakapan yang tidak ingin kumulai.

"Bukannya kamu sudah terbiasa dengan semua itu, kamu..."

"Dan Sofia?" Nama itu meluncur juga. "Sudah seperti apa?" Rasa tidak nyaman merayapi dadaku.

"Aku akan menjawab kalau kamu juga menjelaskan ini," balas Sumba sambil mengeluarkan sesuatu dari dalam laci kerjanya. Satu kotak hitam berpita emas. Greg mengirimkan ini untukmu ketika aku sedang di rumah. Dia tidak tahu kalau, atau entah sebenarnya dia bersandiwara seolah-olah kita; aku dan kamu, bukan apa-apa baginya. Bahwa aku sekedar pekerjanya, dan kamu adalah satu-satunya alasan dia mau mempekerjakanku. Itu sebuah pelecehan bukan?"

Aku tidak berani menatap mata Sumba jika ia sedang bicara tanpa jeda dan tanpa menarik napas. 

"Ariana!" bentaknya.

"Bukankah itu sebuah pelecehan?"

"Kamu yang sejak pertama membiarkan aku jadi mata, tangan, dan kakimu. Ketika kamu mengabdikan diri pada mesin-mesin itu. Aku keluar dengannya demi kontrak kerjamu diperpanjang setiap harinya. Aku harus bicara busuk dengan Greg soal kiprah-kiprah GEO dalam dunia kedokteran dan lingkungan. Kamu seharusnya tahu aku tidak suka melakukan itu. Aku lelah bermain peran," balasku dengan nada yang semakin melemah di setiap penghujung kalimat.

Sumba tampaknya sadar ia menyumbang keruwetan dalam hubungan kami. "Kita selalu bisa memperbaiki semuanya, Ariana. Kita bisa memulai lagi segalanya. Setelah semua ini, tidak akan ada lagi Greg. Tidak juga Sofia. Sofia memanfaatkanku untuk mengambil sebagian besar data hasil riset.

Dia mendekatiku karena misi yang sama dengan apa yang diinginkan GEO terhadap hasil risetku. Kalau kau bisa bertahan untuk satu tahun lagi. Kita akan pulang ke Bali."


Aku menatap matanya lekat. Sumba tidak pernah tidak konsisten dengan janjinya. Satu tahun tidak akan lama. Aku membaca tulisan yang ada di poster yang terbingkai di atas meja laboratoriumnya. Sumba percaya bahwa kami berdua memiliki dua substansi kimiawi yang bila disatukan akan menghasilkan reaksi yang bisa mentransformasikan kami berdua.


"Baiklah.Tapi tolong beri aku sedikit kemudahan. Yakinkan GEO bahwa kamu berada di pihak mereka. Itu akan membuat tugasku menyakinkan Greg jadi lebih mudah. Kamu tidak perlu memberi mereka salinan asli data-data yang berhasil dikumpulkan, kemudian jadwalkan waktu eksperimen pada mereka.

Libatkan Sofia. Biarkan dia jadi kelinci percobaanmu. Dia yang meminta masuk, maka baringkan dia di atas meja kerjamu. Bedah tubuhnya, dan temukan zat yang sama seperti yang dulu GEO lakukan pada Nad."

Sumba menarik tubuhku ke pelukannya, "Maafkan aku." Aku membalas pelukannya untuk mengatakan bahwa aku sudah memaafkannya.

Bersambung di sini.

Penulis: Nia Nurdiansyah

Tulisan lain dari Nia Nurdiansyah

Kenali lebih dekat di sini:

Icon Icon Bramasole Menanti Matahari

0 comments:

Posting Komentar