Kamis, 25 Oktober 2018

- Leave a Comment

Tai Kabagat Koat (2)

Cerita bersambung dari Tai Kabagat Koat

Vel menemui tim dive tempat ia menyewa perahu dan perlengkapan diving. Ia mencari orang bernama Sakai.
            Laki-laki bertubuh penuh tato rupa-rupa macam itu keluar. Ia hanya mengenakan celana pendek. Kulitnya yang cokelat mengkilat itu memang utuh menobatkannya sebagai orang pulau. Laut adalah dunianya. Ikan-ikan adalah temannya. Dermaga cuma jadi tempat singgahnya. Dia tentu tahu seluk-beluk Pulau Pagai ini.
            "Bang, tadi pagi saya menyewa perahu dan alat diving di sini. Tapi kenapa pas saya ke permukaan, perahu saya sudah tidak ada? Seharusnya pemandu saya dan orang kapal nunggu atau paling tidak mencari saya di bawah sana," protes Vel tanpa tedeng aling-aling.
            "Tadi adek ke mana? Perahu menunggu sekitar dua jam di tengah laut." Sakai memandang wajah oval Vel dengan tajam.
            "Saya memang sedikit menjauh. Tapi masa, sih, saya ditinggal?"
            "Adek sudah melanggar perbatasan. Kami baru saja mengirim tim untuk mencari adek karena sebentar lagi kegiatan melaut harus dihentikan," tukas Sakai lagi. Kali ini dengan nada datar. Ia tak memandang wajah Vel. Ia memandang ke laut lepas.
            Vel mengusap mukanya. "Oke. Saya minta maaf sudah merepotkan. Saya tadi diselamatkan oleh Cliff, bule yang juga menginap di resort ini. Tapi ada yang mau saya tanyakan. Saya tadi menemukan sebuah bangkai kapal di dasar laut sana."
            Sakai tak mengindahkan kalimat Vel yang terakhir. Ia menyambar pemantik untuk menyalakan rokok yang sedari tadi dijepitnya di antara jari telunjuk dan jari tengah kirinya.
            "Adek ke sini mau liburan atau mau penelitian?" tanya Sakai sinis sembari menghembuskan asap rokoknya asal.
            "Saya...saya cuma memberi tahu apa yang saya lihat," jawab Vel dengan nada pelan. Lalu dengan ragu-ragu, Vel menyambung, "Kalau begitu saya permisi."
            "Itu bangkai kapal pedagang Cina ratusan tahun lalu."
            Vel berbalik saat Sakai memulai ceritanya. Angin pantai mengacak-acak rambut Vel.
            "Sejak tsunami 2010, air laut surut. Laut yang tadinya dalam jadi dangkal. Banyak pulau-pulau baru muncul. Bangkai kapal itu terseret ke perairan Mentawai dan posisinya sangat dangkal. Itu kapal kuno. Dari barang-barang yang ditemukan di sekitar badan kapal, dipastikan itu kapal orang Cina zaman dulu," jelas Sakai sembari duduk di atas pasir.
            Vel mengikutinya duduk berselonjor di atas pasir yang ditadahi oleh pohon kelapa. Pandangan mereka sama-sama ke arah ombak-ombak kecil di garis pantai.
            "Barang apa saja yang ditemukan?"
            "Banyak. Pecahan keramik, guci, dan beberapa keping emas," jawab Sakai.
            "Lalu sekarang benda itu ada di mana?"
            "Diambil sama orang Barat. Waktu evakuasi tsunami dulu, resort ini belum ada. Para pemberi bantuan banyak berdatangan. Banyak yang lokal dan banyak pula orang Baratnya. Rupanya mereka lebih dulu menemukan bangkai itu. Mereka menyuruh kami, para nelayan untuk menyelam dan mengambil benda-benda kuno yang bisa dijangkau di dalam kapal."
            "Lalu?"
            "Yah, begitulah. Namanya juga orang kecil. Kami cuma dibayar seperlunya dan diberi hadiah beberapa barang yang menurut mereka tidak penting. Mereka cuma orang Barat berkedok relawan. Pemda kurang cepat dan kurang tegas. Mentawai kan cuma anak tiri Sumatera Barat," sahut Sakai sambil menghela napas. Gurat di wajahnya menyiratkan ketidakpedulian.
            "Benda-benda itu dijual?"
            Sakai mengangkat bahu. "Yang pasti mereka seperti melihat harta karun. Padahal cuma piring-piring usang."
            "Warga sini mau saja melepas barang-barang itu?"
            "Biarkan Tuhan yang bertindak. Tai Kabagat Koat akan melumat mereka."
            Vel mengangguk-angguk mengerti. Dia tidak berniat membagi pikirannya pada Sakai. Ia pun pamit masuk ke kamarnya. Kamar yang ia pilih berada terpisah dari bangunan utama yang merupakan resepsionis dan ruang makan. Saat ia berjalan ke bangunan cottage yang berblok-blok, Vel melewati beberapa laki-laki yang sedang berteduh dan bersandar ke dinding cottage yang menghadap pantai. Mereka terlihat kumal dengan kulit sawo matang, bibir pucat, dan mata agak kuning. Meski mereka duduk berjajar, tapi tak ada satu pun tampak mengobrol. Mereka seperti menatap ke arah Vel. Namun, bukan. Tatapan mereka kosong.
            Mendadak, Vel disergap rasa gugup. Ia hanya senyum saat berjalan di dekat para laki-laki itu. Lalu ia menyibukkan diri dengan jinjingan fin dan goggle snorkeling-nya. Sebelah tangannya lagi mencoba sibuk meraba-raba rambut yang masih basah. Vel bergegas menaiki undakan batu menuju koridor yang mengarah ke kamarnya.
            Vel berjalan menyusuri koridor kosong yang disangga tiang-tiang kayu tanpa cat. Papan-papan berderit saat kakinya menginjak lantai koridor itu. Koridor ini agak dingin dan sepertinya kayu-kayunya sudah dirayapi. Kamar Vel berada di paling ujung koridor. Ia melewati beberapa kamar yang terkunci. Sunyi.
            Saat melewati dua kamar sebelum kamarnya, tak sengaja pandangan Vel tertuju pada sebuah kamar yang terbuka.
            Rasa penasaran Vel terusik. Ia berhenti dan maju untuk mengintip.
            "Cliff?" tanyanya saat melihat Cliff sedang asyik mengetik di atas laptop.
            "Hai," sapa Cliff ramah.
            "Can I...?"
            "Oh, come, come. Please."
            Vel melangkah masuk. Kamar Cliff berantakan sekali. Mata vel tertumbuk pada sebuah kardus yang terbuka di samping tempat tidur Cliff. Dari arah pintu, Vel hanya melihat seperti barang pecah belah yang ada ukirannya, tapi tampang kumuh. Terlihat seperti piring.
            "Itu apa?" tanya Vel.
            Cliff tersentak. Pandangannya beralih dari laptop menuju arah pandangan Vel. Ia segera berdiri dan mendekat ke arah kardus itu, menutupnya, lalu mengangkat dan menaruhnya di atas lemari.
            "Tidak terlalu penting. Cuma benda-benda unik yang kutemukan. Ini kumpulan kerang."
            "Setidakbegitu pentingnya, ya, sampai kamu menyimpannya."
            "Barang pribadi. Bukan untuk dibicarakan. Sini, duduk!" sahut Cliff pura-pura tidak peduli.
            Kening Vel berkerut. Aneh, cowok bule ini, pikirnya.

Tai Kabagat Koat, cerpen Hanum, source: jurnaland.com

***

            Vel mencari berita-berita mengenai kapal karam di perairan Mentawai. Ia berselancar di depan laptop saat bangun tidur. Tubuhnya terasa pegal. Sembari meneguk teh hangat, ia menemukan beberapa artikel. Tsunami yang sempat mengguncang Mentawai tahun 2010, sempat menyeret sebuah bangkai kapal mendekati dasar dangkal. Bangkai kapal itu tadinya kapal karam di perairan Samudera Hindia, di luar batas NKRI. Tsunami Aceh membuat lempeng dasar laut berubah. Kemudian guncangan di kepulauan Mentawai 2010 menggeser bangkai kapal itu mendekati perairan Pagai.
            “Segala hal yang berada di bumi Indonesia, termasuk lautnya adalah milik NKRI. Tapi kenapa sampai sekarang tak ada yang mengamankan bangkai kapal itu? Masih ada isinya nggak, ya, kapal itu? Apa semua udah diambil kurator atau NGO asing?”
            Vel berbicara sendiri. Jiwa mahasiswanya keluar. Memang, ia datang ke Pulau Pagai ini tak sekadar liburan. Ia sedang mengamati biota laut untuk bahan penelitiannya. Namun, yang ia temukan adalah bangkai, bukan biota.
            Vel mendesah. Rasanya ia ingin menyelam lagi ke sana. Kilasan bayangan yang ia lihat sungguh membuatnya penasaran. “Jangan-jangan itu hantu air,” ucap Vel bergidik. Ia meneguk lagi teh hangatnya.
            Pang!
            Jendela kamar Vel bergetar akibat hempasan pintu di kamar sebelah. Vel beranjak dari bangkunya dan mengintip ke luar. Dia melihat Cliff berjalan memunggunginya. Dia mau keluar lagi.
            Vel keluar dari kamarnya. Dia melongok ke jendela kamar Cliff. Perhatiannya mengarah pada kunci kamar yang dibiarkan menggantung di gagangnya. Rasa penasaran menggelayuti benak Vel. Ia pun menyusup ke kamar bule itu.
            Sembari menahan napas, Vel yang sudah berada di dalam kamar Cliff, menutup pintunya pelan. Lalu, dengan cekatan, ia menggapai kotak kardus yang terletak di atas lemari.
            “Berat juga,” sahut Vel. Ia menjinjit agar bisa menggapai kardus itu sepenuhnya.
            Buk!
Prang!
“Aaw,” jeritnya tertahan.
Vel kehilangan keseimbangan dan menjatuhkan kotak kardus itu. Bunyi pecahan barang pecah belah terdengar dari dalam kotak. Vel mengatur napasnya. Ia celingak-celinguk memastikan Cliff tidak kembali ke kamar.
Ia membuka kotak itu. Ada kain lusuh menutupi benda-benda di dalamnya. Vel menarik pecahan kaca selebar telapak tangan. Ia meneliti. Dasar kaca yang berwarna biru tampak sangat kusam dan permukaannya agak licin berlumut. Pinggirannya tidak lagi mulus. Tampak bekas-bekas benturan benda keras di beberapa titik di sisinya. Ada motif mirip ukiran yang menghiasi badan kaca itu. Vel menyapukan tangannya menyentuk motif-motif yang sepertinya berwarna biru tua. Namun ia juga tidak yakin warna asli motif itu karena terlalu kusam.
Ia mengambil dua buah kepingan lagi dari dalam kardus. Kali ini bentuknya lebih utuh. Sebuah piring lebar. Saat Vel mengangkatnya, piring itu terbelah dua begitu saja. Ia membolak-balik pecahan piring itu. Permukaannya bergerigi karena motif yang menghiasi keseluruhan badan piring itu timbul dan kesat.
“Ini seperti piring keramik,” ucapnya pelan. “Kenapa Cliff menyimpan ini semua?”
Vel membongkar lebih dalam. Ada mangkuk yang sepertinya terbuat dari tanah liat. Tapi permukaannya sudah tidak rata dan sangat licin berlumut. Clif sepertinya belum sempat memoles benda-benda ini hingga bersih. Ada guci mungil yang masih utuh. Ia bisa mendefinisikan benda ini dengan baik karena keutuhannya. Permukaannya berbeda dengan yang lain. Lebih kinclong, berwarna kuning tapi agak berkarat di pinggirannya.
“Ini tidak mungkin emas. Ini baja? Bukan. Bukan. Perunggu? Guci perunggu?”
Vel ragu. Benda-benda apa ini? Ini tentunya bukan benda biasa. Benda-benda lainnya ada piring kecil yang sudah tak berbentuk, pecahan guci yang terlihat dari lengkungannya, potongan besi meriam berwarna hitam legam. Satu tangan Vel menyentuh benda yang agak lunak. Lebih menyerupai benyek. Licin dan sangat berlumut. Vel mengangkat benda mungil itu. Ukurannya hanya sebesar tiga jari tangannya. Ia mengusap lumut itu. Ada lapisan bergerigi yang agak keras. Lapisan tembaga. Vel mencoba mengamati benda itu. Lapisan tembaga itu tulisan. Ini kayu yang pastinya sudah lapuk, pikirnya. Ada angka1736 mengikuti tulisan kecil kabur di lapisan itu.
Ini nggak mungkin angka tahun, kan? batinnya.
Ia merogoh ponsel di saku. Vel memencet beberapa nomor lalu merekatkan ponsel itu ke telinganya.
“Bri. Ini aku, Vel. Sibuk, nggak? Aku mau nanya-nanya dikit,” sahut Vel cepat pada ponselnya.
“Aku nemu benda-benda aneh di Mentawai. Iya, aku lagi di Pagai, motret bahan skripsi. Tapi yang aku temukan bukannya makhluk laut, tapi malah piring-piring ini.”
Vel menjelaskan panjang lebar tentang temuannya.
“Ya, aku nelepon kamu karena aku pengin mastiin aja, Bri.”
...
“Iya, nanti aku fotoin.”
...
“Cuma agak aneh aja, bukannya kepo. Soalnya tiba-tiba aku ketemu Cliff di dasar laut dekat bangkai kapal. Dia tahu itu di luar batas area penyelaman. Dia juga kayaknya tahu banyak tentang kapal itu. Dan aku nemu keping-keping ini di kamarnya. Aneh, kan? Dia kayak tahu banyak gitu soal tempat ini padahal ngakunya cuma turis biasa.”
...
“Dia dari Jerman. Ada tugas di Singapura.”
...
“Ada kerjaan di Singapura. Yah, sekitar 27-an ke ataslah umurnya. Mumpung di Singapura, dia mampir ke Indonesia buat liburan.”
...
“Nggak tau. Iya, sih, kenapa dia bisa sampai di Pagai, ya? Dia bilangnya baru kenal Indonesia itu dari temennya dari Jerman yang tinggal di Singapura. Nggak tau juga.”
...
“Eh, udah, ya. Kayaknya aku kelamaan di kamar ini. Thanks, Bri. Nanti aku foto dan aku harus kabur dari sini. Aku takut Cliff balik. Bye.”


Bersambung...

0 comments:

Posting Komentar