Cerita bersambung dari Tai Kabagat Koat
Baca dulu: Tai Kabagat Koat part 1
Vel
menemui tim dive tempat ia menyewa
perahu dan perlengkapan diving. Ia
mencari orang bernama Sakai.
Laki-laki bertubuh penuh tato
rupa-rupa macam itu keluar. Ia hanya mengenakan celana pendek. Kulitnya yang
cokelat mengkilat itu memang utuh menobatkannya sebagai orang pulau. Laut
adalah dunianya. Ikan-ikan adalah temannya. Dermaga cuma jadi tempat
singgahnya. Dia tentu tahu seluk-beluk Pulau Pagai ini.
"Bang, tadi pagi saya menyewa
perahu dan alat diving di sini. Tapi
kenapa pas saya ke permukaan, perahu saya sudah tidak ada? Seharusnya pemandu
saya dan orang kapal nunggu atau paling tidak mencari saya di bawah sana,"
protes Vel tanpa tedeng aling-aling.
"Tadi adek ke mana? Perahu
menunggu sekitar dua jam di tengah laut." Sakai memandang wajah oval Vel
dengan tajam.
"Saya memang sedikit menjauh.
Tapi masa, sih, saya ditinggal?"
"Adek sudah melanggar
perbatasan. Kami baru saja mengirim tim untuk mencari adek karena sebentar lagi
kegiatan melaut harus dihentikan," tukas Sakai lagi. Kali ini dengan nada
datar. Ia tak memandang wajah Vel. Ia memandang ke laut lepas.
Vel mengusap mukanya. "Oke.
Saya minta maaf sudah merepotkan. Saya tadi diselamatkan oleh Cliff, bule yang
juga menginap di resort ini. Tapi ada
yang mau saya tanyakan. Saya tadi menemukan sebuah bangkai kapal di dasar laut
sana."
Sakai tak mengindahkan kalimat Vel
yang terakhir. Ia menyambar pemantik untuk menyalakan rokok yang sedari tadi
dijepitnya di antara jari telunjuk dan jari tengah kirinya.
"Adek ke sini mau liburan atau
mau penelitian?" tanya Sakai sinis sembari menghembuskan asap rokoknya
asal.
"Saya...saya cuma memberi tahu
apa yang saya lihat," jawab Vel dengan nada pelan. Lalu dengan ragu-ragu,
Vel menyambung, "Kalau begitu saya permisi."
"Itu bangkai kapal pedagang Cina
ratusan tahun lalu."
Vel berbalik saat Sakai memulai
ceritanya. Angin pantai mengacak-acak rambut Vel.
"Sejak tsunami 2010, air laut
surut. Laut yang tadinya dalam jadi dangkal. Banyak pulau-pulau baru muncul.
Bangkai kapal itu terseret ke perairan Mentawai dan posisinya sangat dangkal.
Itu kapal kuno. Dari barang-barang yang ditemukan di sekitar badan kapal,
dipastikan itu kapal orang Cina zaman dulu," jelas Sakai sembari duduk di
atas pasir.
Vel mengikutinya duduk berselonjor
di atas pasir yang ditadahi oleh pohon kelapa. Pandangan mereka sama-sama ke
arah ombak-ombak kecil di garis pantai.
"Barang apa saja yang
ditemukan?"
"Banyak. Pecahan keramik, guci,
dan beberapa keping emas," jawab Sakai.
"Lalu sekarang benda itu ada di
mana?"
"Diambil sama orang Barat.
Waktu evakuasi tsunami dulu, resort
ini belum ada. Para pemberi bantuan banyak berdatangan. Banyak yang lokal dan
banyak pula orang Baratnya. Rupanya mereka lebih dulu menemukan bangkai itu. Mereka
menyuruh kami, para nelayan untuk menyelam dan mengambil benda-benda kuno yang
bisa dijangkau di dalam kapal."
"Lalu?"
"Yah, begitulah. Namanya juga
orang kecil. Kami cuma dibayar seperlunya dan diberi hadiah beberapa barang
yang menurut mereka tidak penting. Mereka cuma orang Barat berkedok relawan.
Pemda kurang cepat dan kurang tegas. Mentawai kan cuma anak tiri Sumatera
Barat," sahut Sakai sambil menghela napas. Gurat di wajahnya menyiratkan
ketidakpedulian.
"Benda-benda itu dijual?"
Sakai mengangkat bahu. "Yang
pasti mereka seperti melihat harta karun. Padahal cuma piring-piring
usang."
"Warga sini mau saja melepas
barang-barang itu?"
"Biarkan Tuhan yang bertindak. Tai Kabagat Koat
akan melumat mereka."
Vel mengangguk-angguk mengerti. Dia
tidak berniat membagi pikirannya pada Sakai. Ia pun pamit masuk ke kamarnya.
Kamar yang ia pilih berada terpisah dari bangunan utama yang merupakan
resepsionis dan ruang makan. Saat ia berjalan ke bangunan cottage yang
berblok-blok, Vel melewati beberapa laki-laki yang sedang berteduh dan
bersandar ke dinding cottage yang menghadap pantai. Mereka terlihat kumal
dengan kulit sawo matang, bibir pucat, dan mata agak kuning. Meski mereka duduk
berjajar, tapi tak ada satu pun tampak mengobrol. Mereka seperti menatap ke
arah Vel. Namun, bukan. Tatapan mereka kosong.
Mendadak, Vel disergap rasa gugup.
Ia hanya senyum saat berjalan di dekat para laki-laki itu. Lalu ia menyibukkan
diri dengan jinjingan fin dan goggle snorkeling-nya. Sebelah tangannya lagi
mencoba sibuk meraba-raba rambut yang masih basah. Vel bergegas menaiki undakan
batu menuju koridor yang mengarah ke kamarnya.
Vel berjalan menyusuri koridor
kosong yang disangga tiang-tiang kayu tanpa cat. Papan-papan berderit saat
kakinya menginjak lantai koridor itu. Koridor ini agak dingin dan sepertinya
kayu-kayunya sudah dirayapi. Kamar Vel berada di paling ujung koridor. Ia
melewati beberapa kamar yang terkunci. Sunyi.
Saat melewati dua kamar sebelum
kamarnya, tak sengaja pandangan Vel tertuju pada sebuah kamar yang terbuka.
Rasa penasaran Vel terusik. Ia
berhenti dan maju untuk mengintip.
"Cliff?" tanyanya saat
melihat Cliff sedang asyik mengetik di atas laptop.
"Hai," sapa Cliff ramah.
"Can I...?"
"Oh, come, come. Please."
Vel melangkah masuk. Kamar Cliff
berantakan sekali. Mata vel tertumbuk pada sebuah kardus yang terbuka di
samping tempat tidur Cliff. Dari arah pintu, Vel hanya melihat seperti barang
pecah belah yang ada ukirannya, tapi tampang kumuh. Terlihat seperti piring.
"Itu apa?" tanya Vel.
Cliff tersentak. Pandangannya
beralih dari laptop menuju arah pandangan Vel. Ia segera berdiri dan mendekat
ke arah kardus itu, menutupnya, lalu mengangkat dan menaruhnya di atas lemari.
"Tidak terlalu penting. Cuma
benda-benda unik yang kutemukan. Ini kumpulan kerang."
"Setidakbegitu pentingnya, ya,
sampai kamu menyimpannya."
"Barang pribadi. Bukan untuk
dibicarakan. Sini, duduk!" sahut Cliff pura-pura tidak peduli.
Kening Vel berkerut. Aneh, cowok
bule ini, pikirnya.
***
Vel mencari berita-berita
mengenai kapal karam di perairan Mentawai. Ia berselancar di depan laptop saat
bangun tidur. Tubuhnya terasa pegal. Sembari meneguk teh hangat, ia menemukan
beberapa artikel. Tsunami yang sempat mengguncang Mentawai tahun 2010, sempat
menyeret sebuah bangkai kapal mendekati dasar dangkal. Bangkai kapal itu tadinya
kapal karam di perairan Samudera Hindia, di luar batas NKRI. Tsunami Aceh
membuat lempeng dasar laut berubah. Kemudian guncangan di kepulauan Mentawai
2010 menggeser bangkai kapal itu mendekati perairan Pagai.
“Segala hal yang berada di
bumi Indonesia, termasuk lautnya adalah milik NKRI. Tapi kenapa sampai sekarang
tak ada yang mengamankan bangkai kapal itu? Masih ada isinya nggak, ya, kapal
itu? Apa semua udah diambil kurator atau NGO asing?”
Vel berbicara sendiri.
Jiwa mahasiswanya keluar. Memang, ia datang ke Pulau Pagai ini tak sekadar
liburan. Ia sedang mengamati biota laut untuk bahan penelitiannya. Namun, yang
ia temukan adalah bangkai, bukan biota.
Vel mendesah. Rasanya ia
ingin menyelam lagi ke sana. Kilasan bayangan yang ia lihat sungguh membuatnya
penasaran. “Jangan-jangan itu hantu air,” ucap Vel bergidik. Ia meneguk lagi
teh hangatnya.
Pang!
Jendela kamar Vel bergetar akibat
hempasan pintu di kamar sebelah. Vel beranjak dari bangkunya dan mengintip ke
luar. Dia melihat Cliff berjalan memunggunginya. Dia mau keluar lagi.
Vel keluar dari
kamarnya. Dia melongok ke jendela kamar Cliff. Perhatiannya mengarah pada kunci
kamar yang dibiarkan menggantung di gagangnya. Rasa penasaran menggelayuti
benak Vel. Ia pun menyusup ke kamar bule itu.
Sembari menahan napas, Vel yang
sudah berada di dalam kamar Cliff, menutup pintunya pelan. Lalu, dengan cekatan, ia menggapai kotak kardus yang terletak di
atas lemari.
“Berat juga,” sahut Vel.
Ia menjinjit agar bisa menggapai kardus itu sepenuhnya.
Buk!
Prang!
“Aaw,” jeritnya tertahan.
Vel kehilangan keseimbangan dan menjatuhkan kotak kardus
itu. Bunyi pecahan barang pecah belah terdengar dari dalam kotak. Vel mengatur
napasnya. Ia celingak-celinguk memastikan Cliff tidak kembali ke kamar.
Ia membuka kotak itu. Ada kain lusuh menutupi benda-benda
di dalamnya. Vel menarik pecahan kaca selebar telapak tangan. Ia meneliti.
Dasar kaca yang berwarna
biru tampak sangat kusam dan permukaannya agak licin
berlumut. Pinggirannya tidak lagi mulus. Tampak bekas-bekas benturan benda keras
di beberapa titik di sisinya. Ada motif mirip
ukiran yang menghiasi badan kaca itu. Vel menyapukan tangannya menyentuk
motif-motif yang sepertinya berwarna biru tua. Namun ia juga tidak yakin warna
asli motif itu karena terlalu kusam.
Ia mengambil dua buah kepingan lagi dari dalam kardus.
Kali ini bentuknya lebih utuh. Sebuah piring lebar. Saat Vel mengangkatnya,
piring itu terbelah dua begitu saja. Ia membolak-balik pecahan piring itu.
Permukaannya bergerigi karena motif yang menghiasi keseluruhan badan piring itu
timbul dan kesat.
“Ini seperti piring keramik,” ucapnya pelan. “Kenapa
Cliff menyimpan ini semua?”
Vel membongkar lebih dalam. Ada mangkuk yang sepertinya
terbuat dari tanah liat. Tapi permukaannya sudah tidak rata dan sangat licin
berlumut. Clif sepertinya belum sempat memoles benda-benda ini hingga bersih.
Ada guci mungil yang masih utuh. Ia bisa mendefinisikan benda ini dengan baik
karena keutuhannya. Permukaannya berbeda dengan yang lain. Lebih kinclong,
berwarna kuning tapi agak berkarat di pinggirannya.
“Ini tidak mungkin emas. Ini baja? Bukan. Bukan.
Perunggu? Guci perunggu?”
Vel ragu. Benda-benda apa ini? Ini tentunya bukan benda
biasa. Benda-benda
lainnya ada piring kecil yang sudah tak berbentuk, pecahan guci yang terlihat
dari lengkungannya, potongan besi meriam berwarna hitam legam. Satu tangan Vel
menyentuh benda yang agak lunak. Lebih menyerupai benyek. Licin dan sangat berlumut. Vel mengangkat benda mungil itu.
Ukurannya hanya sebesar tiga jari tangannya. Ia mengusap lumut itu. Ada lapisan
bergerigi yang agak keras. Lapisan tembaga. Vel mencoba mengamati benda itu.
Lapisan tembaga itu tulisan. Ini kayu yang pastinya sudah lapuk, pikirnya. Ada
angka1736 mengikuti tulisan kecil kabur di lapisan itu.
Ini nggak mungkin
angka tahun, kan? batinnya.
Ia merogoh ponsel di saku. Vel memencet beberapa nomor
lalu merekatkan ponsel itu ke telinganya.
“Bri. Ini aku, Vel. Sibuk, nggak? Aku mau nanya-nanya
dikit,” sahut Vel cepat pada ponselnya.
“Aku nemu benda-benda aneh di Mentawai. Iya, aku lagi di
Pagai, motret bahan skripsi. Tapi yang aku temukan bukannya makhluk laut, tapi malah
piring-piring ini.”
Vel menjelaskan panjang lebar tentang temuannya.
“Ya, aku nelepon kamu karena aku pengin mastiin aja,
Bri.”
...
“Iya, nanti aku fotoin.”
...
“Cuma agak aneh aja, bukannya kepo. Soalnya tiba-tiba aku
ketemu Cliff di dasar laut dekat bangkai kapal. Dia tahu itu di luar batas area
penyelaman. Dia juga kayaknya tahu banyak tentang kapal itu. Dan aku nemu
keping-keping ini di kamarnya. Aneh, kan? Dia kayak tahu banyak gitu soal
tempat ini padahal ngakunya cuma turis biasa.”
...
“Dia dari Jerman. Ada tugas di Singapura.”
...
“Ada kerjaan di Singapura. Yah, sekitar 27-an ke ataslah
umurnya. Mumpung di Singapura, dia mampir ke Indonesia buat liburan.”
...
“Nggak tau. Iya, sih, kenapa dia bisa sampai di Pagai,
ya? Dia bilangnya baru kenal Indonesia itu dari temennya dari Jerman yang
tinggal di Singapura. Nggak tau juga.”
...
“Eh, udah, ya. Kayaknya aku kelamaan di kamar ini. Thanks, Bri. Nanti aku foto dan aku
harus kabur dari sini. Aku takut Cliff balik. Bye.”
Bersambung...
0 comments:
Posting Komentar