Musim telah berganti warna, dari
merahnya semangka musim panas ke coklatnya dedaunan musim gugur, hingga kini
kota kecil itu memasuki putihnya musim dingin. Udara membekukan tulang, juga
memudarkan semangat orang-orang. Salju ringan serupa gula putih turun menjelang
sore hari, membuat para karyawan yang baru pulang kantor tidak tergesa pulang
ke rumah, melainkan mampir dulu ke kedai sake
atau warung oden untuk menghangatkan
badan. Seolah tak cukup, persediaan bahan bakar menipis dan listrik pun menjadi
sering padam. Maka di tengah kemurungan dan kesuraman seperti itu, siapapun
tentu akan merasa heran melihat sebuah tempat makan yang mengklaim diri sebagai
“penjual kebahagiaan”, dan berhasil membuktikannya karena para pengunjung kedai
ramen itu selalu keluar lagi dengan wajah-wajah penuh senyuman dan tawa riang,
tak peduli sesedih apa wajah mereka
sebelumnya.
Kedai Mafuya. Itulah nama kedai yang
kini ramai dibicarakan orang. Menurut desas-desus, Chef Fao—pemilik tempat
itu—punya resep rahasia untuk ramennya, dan kecantikan Marnis, pelayan tunggal
di kafe itu, juga sudah menjadi buah bibir. Tapi yang dibanggakan oleh para
pelanggan setianya adalah keramahan mereka berdua, telinga yang bersedia
mendengarkan keluh kesah apapun, dan betapa baik Marnis maupun Fao begitu
mengenal wajah dan kebiasaan setiap pelanggan mereka. Tak sedikit orang yang
merasa curiga, kemudian datang ke kedai itu dengan wajah masam hanya untuk
mencemooh, tapi semua itu berubah begitu mereka mencicipi ramen kebahagiaan
racikan Fao.
Bisnis mereka berjalan dengan
lancar, sampai suatu hari Marnis menempelkan selembar kertas pengumuman di
pintu kedai. Pengumuman itu berbunyi:
DICARI:
ASISTEN KOKI
KRITERIA:
Pemuda berusia di atas 16 tahun, diutamakan yang bisa memasak.
SYARAT
KHUSUS: Bersedia bekerja dan berlatih dengan keras, tidak keberatan dengan
hal-hal yang sulit diterima logika.
BAGI
YANG BERMINAT SILAHKAN MENDAFTAR UNTUK WAWANCARA PRIBADI PADA AKHIR MINGGU INI
Tertanda,
Fao
*Tambahan:
Karena alasan tertentu, Kedai Mafuya akan libur selama 3 hari, terhitung mulai
hari ini.
Selesai menempelkan pengumuman dan
menyapu bagian dalam kedai, Marnis naik ke lantai atas yang merupakan tempat
tinggalnya dan Fao. Fao sedang berbaring di tempat tidurnya, meskipun saat itu
siang hari. Dahinya mengernyit menahan sakit.
“Bagaimana keadaanmu, Pak Tua?”
tanya Marnis.
“Jangan panggil aku begitu,” Fao
terbatuk-batuk sebelum melanjutkan. “Aku tak apa-apa. Tiga hari lagi juga sembuh. Ini
cuma...”
“... rematik,” potong Marnis. “Dan
cukup parah menyerang pinggangmu, sampai dokter melarang Sensei berdiri lama-lama apalagi memasak. Nah, jangan membandel.
Aku sudah menempel pengumuman itu di pintu depan.”
“Sudah kubilang, aku tak butuh asisten!”
“Oh ya, kita perlu.” Pipi Marnis yang sudah merah oleh perona pipi kini lebih memerah. “Sudah kutuliskan dengan syarat khusus, untuk berjaga-jaga kalau-kalau nanti ada pertanyaan.” Fao tampak semakin tidak suka mendengarnya.
“Kau hanya akan mengundang gosip. Kujamin akan ada orang-orang aneh yang mendaftar di hari wawancara nanti,” gerutunya. Marnis membuka mulutnya hendak membantah, namun tiba-tiba saja badannya menyusut dan ia berubah menjadi seekor kucing putih. Fao terkejut dan langsung duduk. Kucing putih itu melompat ke atas tempat tidur dengan sisa-sisa kekuatannya, lalu bergelung lemah di pangkuan Fao.
“Maaf, sensei... Aku lelah sekali.
Dua hari ini aku terus-terusan dalam wujud manusiaku dan aku—“
“Jangan bicara lagi, Pasqual.
Tidurlah.” Fao membelainya lembut. 2 hari ini Marnis alias Pasqual sibuk
merawat Fao dan mengurus kedai. Fao merasa bersalah. Penampilan Fao memang
tampak seperti pria 30 tahunan, tapi usianya yang sebenarnya tidak bisa menolak
penyakit, yang diperburuk pula oleh dinginnya udara musim dingin.
Tiga hari kemudian, di hari penerimaan
pegawai baru, kekhawatiran Fao terbukti. Ada mantan Yakuza yang mendaftar meski
sama sekali tak punya kemampuan memasak, yang dari penampilannya saja langsung
ditolak mentah-mentah oleh Fao. Ada juga orang yang mendaftar karena ingin
mencuri rahasia ramen kebahagiaan. Fao berdiri di sudut dengan disangga
tongkat, menguji mereka semua satu persatu. Tapi tampaknya tak ada yang
memenuhi kriteria pribadinya. Seorang pemuda lulusan sekolah masak ternama
menunjukkan kemampuannya membuat beraneka masakan Prancis kelas satu, tapi dia
pun ditolak. Ketika Marnis kesal dan bertanya mengapa, Fao menjawab simpel:
“Kedai ini menjual ramen, bukan masakan barat. Yang paling penting, aku juga
tak merasakan kebahagiaan sedikit pun pada masakan yang dimasaknya.”
Antrian orang yang hendak melamar kerja
semakin menipis, hingga akhirnya hanya tersisa seorang pemuda berusia awal dua
puluhan. Rambutnya hitam sebahu, kurus, mengenakan kemeja putih lusuh. Dia
berdiri gelisah menunggu giliran.
“Siapa namamu?” tanya Fao.
“Ka-Kazuma.”
“Apa keahlianmu? Masakan apa yang
bisa kau buat?”
“Telur mata sapi.”
“Apa?”
“Te-telur mata sapi,” ujarnya
terbata. Pemuda itu berdeham, mencoba mengusir rasa gugupnya. “Kalau anda
mengizinkan, saya akan membuatnya dengan cara yang tidak biasa.”
Marnis yang memperhatikan jalannya
wawancara dari salah satu meja, mendengus. Dia yakin Fao akan kembali menolak
pemuda yang satu ini. Terlebih, kelihatannya dia yang paling payah di antara
semua peserta.
Fao mengusap dagunya, memindahkan
tusuk gigi yang dikulumnya ke sebelah kiri. “Cara yang tidak biasa? Maksudmu?”
“Itu—”
Tiba-tiba, lampu mati. Penghangat
ruangan juga berhenti bekerja. Ruangan kedai itu menjadi gelap, hanya ada
sedikit cahaya dari luar.
“Listriknya padam. Tunggu sebentar,
sensei. Akan saya ambilkan lilin.” Terdengar suara kursi digeser ketika Marnis
beranjak dari tempatnya.
“Tak usah. Serahkan padaku!”
Mendadak ruangan diterangi nyala
api. Api itu berasal dari tangan Kazuma. Langsung dari telapak tangannya, tanpa
korek atau apapun juga. Menyala begitu saja.
Fao berdecak, sebelah alisnya
terangkat, tanda tertarik.
“Kau... Punya kekuatan pyro?” tanyanya.
Kazuma hanya mengangguk. Ia melepas
api di tangannya menjadi bola api yang melayang di udara sebagai penerang.
Kemudian, ia menyambar sebutir telur yang tersedia di atas meja dapur,
memecahkannya ke atas telapak tangannya. Telur itu berdesis tersambar api, dan
dalam sekejap menjadi matang. Diletakkannya telur yang sudah jadi itu ke atas
piring.
Marnis dan Fao mendekat, melihat
hasil karya Kazuma. Telur mata sapi yang bentuknya rapi dan tidak gosong.
Sekadar penasaran, Marnis menyentuh bola api yang melayang di dekat kepalanya.
“Wah, hangat, tapi tidak membakar,” serunya kagum.
“Ya, saya sudah berlatih. Di
restoran-restoran tempat saya bekerja sebelumnya, saya dipecat karena selalu
menghanguskan sesuatu. Tapi sekarang saya jamin semua aman,” Kazuma memandang
Fao dengan takut-takut. Fao meliriknya galak. Tapi kemudian dia mengambil garpu
dan mencicipi telur itu. Ia terdiam sesaat ketika kehangatan telur itu terasa
menjalar di mulutnya, hingga ke perutnya.
“Sa-saya juga bisa mendidihkan sup!
Selain itu, kemampuan saya pasti bisa berguna pada musim dingin seperti ini!
Saya akan bekerja dengan rajin, karena itu—”
Fao mengangkat tangannya, memotong ucapan
Kazuma.
“Telur mata sapi cocok dengan ramen.
Kau diterima, anak muda. Cobalah untuk tidak membakar apapun selain yang kau
masak,”pungkasnya.
“Terima kasih, sensei!”
Marnis bertepuk tangan. “Selamat! Yah,
sudah jelas kau memenuhi syarat khusus tentang hal-hal di luar logika. Selamat
datang, anak baru. Jangan sampai kau membakar hatiku, ya.” Marnis memberinya
kedipan sebelah mata.
Wajah Kazuma langsung merah sampai
ke telinga.
* * * *
*
Sudah seminggu Kazuma bekerja di
Kedai Mafuya. Hari itu, kedai tidak begitu ramai. Seharian itu, baru ada
sepuluh tamu. Tamu ke-10 baru saja menyalami Fao dengan bersemangat, kemudian
berlalu ke pintu keluar, menembus tirai kain merah hitam khas kedai ramen.
Kepergiannya diiringi gema lonceng angin di atas pintu, yang melenyapkan
beberapa gelembung sewarna pelangi.
Kazuma memperhatikan kepergian orang
itu dengan penuh minat.
“Ah, nona Marnis. Sebentar.” Kazuma
menyapa Marnis yang sedang mengelap meja tak jauh darinya. Gadis itu mendongak.
“Maafkan aku, tapi sejak beberapa hari yang lalu sebetulnya aku ingin bertanya.
Kenapa ada gelembung-gelembung warna-warni yang beterbangan dan hilang ditelan
lonceng angin?”
Marnis tersentak kaget. Ia menoleh
pada Fao yang sedang mengaduk kuah kaldu ramen di sisi kiri dapur. Fao diam
saja.
“Kuperhatikan, gelembung itu
sepertinya keluar dari kepala para pelanggan yang sedang makan, lalu terbang ke
arah pintu masuk dan lenyap setiap kali lonceng berbunyi. Awalnya kukira itu
dekorasi kedai, tapi...” Kazuma tampak rikuh. Sepertinya dia sadar kalau dia
baru saja mengajukan pertanyaan yang tidak boleh ditanyakan.
“Itu esens kebahagiaan.” Tiba-tiba
saja Fao menyahut di tengah kesibukannya. “Semestinya, orang biasa tidak bisa
melihatnya. Tapi ternyata kau bisa.”
“Uh... Itukah ‘hal-hal di luar
logika’ yang disebutkan di syarat khusus kemarin?”
“Gelembung-gelembung itu tidak
berbahaya. Sensei sudah bertahun-tahun mengumpulkan esens kebahagiaan. Kami
menggunakannya untuk membuat eliksir awet muda. Esens itu juga bumbu rahasia
ramen di sini. Kami mencampurkannya ke dalam kuah untuk menyebarkan lebih
banyak kebahagiaan kepada semua orang.” Marnis menjelaskan dengan hati-hati.
“Cara kerjanya sebetulnya sama
seperti telur buatanmu,” tukas Fao sambil mengiris daun bawang. “Apimu punya
kekuatan untuk memberi kehangatan pada makanan yang kau masak. Kehangatan itu
bisa menghangatkan tubuh orang yang memakannya. Kau pikir, kenapa aku mau
menerimamu bekerja di sini?”
Kazuma tampak tercengang.
“Tapi kalau kau tak suka dengan
kenyataan ini, kau boleh berhenti. Pintu keluar ada di sebelah sana.” Fao
menunjuk dengan pisau seolah tak peduli.
Marnis menatap Kazuma. Pemuda itu
bimbang sejenak, tapi kemudian ia mengangkat bahu. “Yah, aku sendiri sama
anehnya dengan kalian. Aku suka bekerja di sini. Lagipula...” Kazuma tersenyum
malu-malu. “... Aku yakin kalian sebenarnya orang baik. Tak ada salahnya
menyebarkan kebahagiaan.”
Marnis meraih sebelah tangan Kazuma
dan menggenggamnya.
“Terima kasih. Kami belum pernah
bercerita pada orang lain sebelum ini. Kuharap kau mau merahasiakannya.”
“Tentu saja. Jangan khawatir.”
Fao menggerutu pelan.
“Tunggu. Berkaitan dengan penjelasan
tadi, kurasa aku punya ide bagus,” lanjut Kazuma. “Kau bilang masakanku punya
kekuatan menghangatkan sedangkan ramen buatanmu bisa membahagiakan? Kenapa
tidak menggabungkannya dan membuat menu baru?”
Fao memandang Marnis. Marnis balas
memandangnya. Keduanya lalu menatap Kazuma dan mengangguk setuju.
* * * *
* * *
2 minggu kemudian, kedai Mafuya
memperkenalkan menu baru, khusus untuk musim dingin. Kazuma telah mengembangkan
kemampuannya dan berhasil membuat 2 jenis minuman. Yang pertama adalah Coklat
Peri Salju, minuman coklat hangat dengan serutan coklat putih di atasnya.
Coklat putih ini dilelehkan dengan api tepat sebelum disajikan (tentu saja
dengan memakai kekuatan Kazuma). Lalu ada Rice Liquor, minuman beralkohol yang
dibuat dari campuran sake beras dan disajikan hangat-hangat beserta gelas
khusus yang tak kalah panasnya. Sedangkan untuk makanan pencuci mulut, mereka
bertiga berhasil mengembangkan resep orisinil Samurai Pudding. Puding ini mirip
puding roti isi kismis, namun menggunakan susu kedelai sehingga rasanya jauh
lebih lembut. Semua menu itu amat cocok untuk menghangatkan tubuh di musim
seperti itu. Dengan inovasi dari Kazuma, kedai mereka menjadi semakin laku.
Semakin lama, semakin banyak orang yang bahagia di kota itu. Kebahagiaan
menyebar dengan cepat, sehingga ketika orang-orang yang membutuhkan kebahagiaan
semakin sedikit, Fao memutuskan untuk pindah ke tempat lain yang lebih
membutuhkan bantuan mereka. Ia menyampaikannya pada Marnis ketika mereka sedang
berdua saja di lantai atas. Kedai baru saja tutup setengah jam yang lalu, dan
Kazuma sudah masuk ke kamar yang disediakan untuknya di gudang belakang.
“Kurasa itu keputusan terbaik. Ah,
aku akan merindukan anak muda itu.” Marnis mendesah pelan, matanya menerawang
keluar jendela.
“Buat apa kau kangen padanya? Bocah
itu juga akan kuajak.” Fao menyahut ketus.
Marnis tertawa. “Kadang aku tak
mengerti keputusan sensei. Tapi, ada satu hal yang kumengerti.”
“Apa itu?” Fao bertanya tak acuh.
“Sensei tak suka kalau aku akrab
dengan Kazuma dalam wujud perempuan.”
Fao memalingkan muka. “Pikiran
bodoh.”
Catatan: Cerpen ini telah diikutsertakan dalam kontes Cerita Bulanan (CerBul) di forum Kastil Fantasi di situs Goodreads pada bulan Desember, dan berhasil keluar sebagai pemenang utama.
Din, imajinasimu oke. Aku senang bacanya karena bahasanya mengalir dan beberapa kalimat juga mulai coba pakai metafora. Jadi pingin datang ke Kedai Mafuya :D
BalasHapusTerima kasih udah baca, Tam. Semoga kelak ada cerita Kedai Mafuya mampir/buka di Indonesia. :D
HapusAku suka:)
BalasHapusHalo, Dian. Salam kenal ya. :)
HapusTerima kasih banyak sudah baca, syukurlah kalau suka.