![]() |
Sumber gambar: http://pixabay.com/id/swing-taman-bermain-anak-anak-258236/ |
Aku
masih menunggu Akila, di sini, di tempat ini. Masih sama seperti satu tahun
yang lalu, aku duduk memperhatikan setiap jalur masuk yang ada di taman dan
berharap Akila datang menghampiriku. Tetapi hingga detik ini, yang kudapat
masih sama seperti dua tahun yang lalu, aku hanya melihat anak kecil yang
tersenyum riang sebelum akhirnya berlari menghampiri taman bermain. Mungkin,
selama tiga tahun menunggu, hanya itulah hiburanku.
Tetapi
tenang saja, tidak seluruh masa tiga tahun kuhabiskan di taman ini untuk
menunggu. Aku masih waras, Kawan. Aku hanya duduk dan menunggu di sini pada
tanggal ini saja. Itu pun tidak seharian, kumulai dari jam setengah empat sore,
hingga matahari terbenam saja. Percayalah, Kawan, menunggu itu tidak seromantis
apa yang selalu digambarkan film-film di televisi.
Ini
memang salahku. Seandainya saja 12 tahun yang lalu aku tidak berkata
macam-macam, mungkin sekarang aku tidak perlu repot-repot seperti ini. Dulu, 12
tahun yang lalu, saat itu aku masih kelas satu SMP. Aku mengagumi seorang
wanita, adik kelasku di sekolah dasarku. Akila namanya. Beruntung, karena
ternyata dia juga mengagumiku.
Masih
terlalu muda memang untuk berbicara soal cinta pada waktu itu. Jujur saja, kami
tidak tahu apa yang harus kami lakukan begitu kami tahu bahwa kami saling
mengagumi. Kami hanya bisa saling tersenyum dan menunduk malu ketika
berpapasan, meskipun yang lebih sering terjadi adalah memilih saling menghindari
ketika kami hendak berpapasan.
Selepas
SD, kudengar Akila akan pindah ke luar kota. Aku resah, walau sebenarnya
sehari-hari pun saat itu aku sudah tidak pernah bertemu Akila. Tetapi kata
“luar kota” membuatku berpikir bahwa akan ada perpisahan yang jauh dengan
Akila. Saat itu juga, aku menuliskan sebuah surat untuk Akila. Melalui surat
itu, aku berjanji akan menunggu di hari ulang tahunnya pada 10 hingga 12 tahun
mendatang di taman yang sedang kududuki ini.
Aku
tidak benar-benar tahu apakah dia membacanya. Aku juga tidak benar-benar tahu
apakah perjanjian itu disepakatinya. Yang jelas, bisa kupastikan surat itu
sampai padanya. Urusan dia membaca dan menyepakati perjanjian itu, kupasrahkan
pada Tuhan saja.
Setelah
hampir bosan menunggu, tiba-tiba ada seseorang wanita menghampiri dan
menegurku. Aku menengok ke arah suara itu. Aku terdiam memandangi orang yang
memanggil namaku.
“Ini aku, Akila,” katanya sambil
tersenyum.
Aku
tak bisa menahan kebahagiaanku. Jika aku masih berumur lima tahun, mungkin aku
sudah melompat kegirangan sambil berteriak, “Akila datang! Akila datang!”
“Hai, kenapa kau terdiam?” katanya
menyadarkanku yang terpaku.
“Oh, tidak. Aku hanya…” sial, aku
seakan kehabisan kata-kata, “hey,
bagaimana kamu tahu aku menunggu di sini?” lanjutku.
“Kerah belakang jaketmu,” kata Akila.
Aku
berusaha menggapai kerah belakang jaketku.
“Ada tulisan ‘DIRA’ di situ. Selain
itu,” dia menatapku dari atas ke bawah, “kau tidak banyak berubah,” kata Akila
melanjutkan. “Oh, iya, sebelum kita ngobrol
terlalu jauh, aku ingin ke sana sebentar,” ucap Akila sambil menunjuk ke arah
taman bermain.
Aku
mempersilakannya. Kemudian, kulihat Akila mendekati dan berbicara pada seorang
anak kecil berusia sekitar tiga tahun yang sedang asyik bermain dengan
teman-temannya. Setelah itu, Akila kembali menghampiriku.
“Keponakanmu? Lucu. Mirip sekali
denganmu,” kataku saat Akila duduk di sebelahku. Akila hanya tersenyum.
“Jadi, apa rencanamu setelah
pertemuan ini?” tanya Akila kemudian.
“Rencana? Aku tidak pernah
memikirkannya. Apa setiap pertemuan harus memiliki rencana setelahnya?”
“Lalu, apa tujuannya kau ingin
menemuiku setelah 12 tahun kita tidak bertemu? Jika memang tidak ada, aku rasa
pertemuan kita sudah cukup,” kata Akila yang kemudian berdiri seakan
benar-benar akan meninggalkanku.
“Tidak, tunggu. Tunggu sebentar,”
kataku sambil menahan dan menggenggam tangan Akila. Aku dan Akila terdiam
sejenak. Ini pertama kalinya kami bersentuhan. Percayalah.
Aku
menuntunnya untuk duduk kembali.
“Aku memang tidak punya rencana
apa-apa. Tapi jika kamu ingin mendengar rencanaku, baiklah. Tunggu sebentar,
dan dengarkan baik-baik,” kataku berusaha menahannya agar Akila tak pergi lagi.
Akila
melepaskan genggamanku. Kulihat matanya mengarah pada anak yang ditemuinya
tadi. Aku berpikir sejadi-jadinya tentang rencana yang diminta Akila. Secepat
mungkin, tapi kuharap tidak membuat Akila kecewa.
“Dengar,” kataku sesaat kemudian,
“aku tidak ingin kamu pergi lagi. Aku harap kita bisa melanjutkan hubungan
kita.”
“Maksudmu?”
“Ya, aku ingin kita bisa menjadi
pacar, tunangan, dan selanjutnya menikah.”
“Aku tidak bisa,” kata Akila sambil
menggeleng.
Sial.
Secepat itu rencanaku dipatahkan Akila.
“Kenapa? 12 tahun aku menunggu, dan
kamu hanya membiarkan kita bertemu sehari? Sebenarnya, apa maumu?”
“Dengar, laki-laki selalu menebar
harapan, tapi wanita selalu ingin kepastian.”
“Ya, inilah kepastian yang aku
berikan padamu.”
Akila malah mengernyitkan keningnya,
dan memandangku seakan tak percaya.
“Kenapa? Kamu tidak percaya?”
“Percaya,” katanya sambil tersenyum,
“tapi aku tak bisa.”
Belum
sempat aku mengatakan sesuatu, tiba-tiba seorang anak yang tadi ditemui Akila
datang mendekat. Aku tersenyum kepadanya. Anak itu hanya menatapku tanpa senyum.
Dia memeluk Akila.
“Mama, ayo pulang. Papa sudah
jemput,” kata anak itu sambil menunjuk seorang lelaki yang berdiri di taman
bermain.
Manggarai,
17/10/2013
09:58
0 comments:
Posting Komentar