Senin, 24 Februari 2014

- Leave a Comment

Arabian Nights

“Arabian Nights”
Oleh: Dini Afiandri



      Gambar diambil dari sini

         Namaku Ameera. Usiaku belum lagi genap sepuluh tahun. Sejak aku umur lima dan sudah mulai mengenal kata-kata, kakakku Hassan menjadi satu-satunya keluargaku, dan dia selalu membacakan dongeng 1001 Malam padaku. Aku begitu menyukainya hingga minta dibacakan setiap hari. Namun tak lama kemudian aku mengetahui bahwa aku bisa akrab dengan para tokoh-tokohnya, tidak hanya sebatas di dalam buku saja, tapi juga dengan cara yang tidak semua orang bisa mengalaminya.

            Maka, bayangkan betapa terkejutnya aku ketika pada suatu malam yang cerah di bulan Juni, Sinbad sendiri mendarat di depan jendela kamarku dengan kuda terbangnya, mengulurkan tangan padaku dan berkata: “Ikutlah bersama ke negeri ajaib tempat peristiwa mengagumkan.... Mempesona namun kadang menyeramkan. ‘Buka Sesam,’ kawan! Ayo, kita berangkat!

            Kapan lagi petualangan seperti ini? Kulempar sisa roti pitta ke samping sheesh kebab, kurma-kurma di atas piring berlompatan. Dengan penuh semangat kudaki sadel di belakang Sinbad, memijakkan kaki pada sanggurdi, dan kami pun melesat ke angkasa penuh gemintang.

           Malam di Arab seperti siangnya. Panas menyerang, hati menggersang, di tengah gurun yang menampakkan tak keterbatasan. Memang aneh benar..... Tapi suasana bertambah aneh karena Jin Lampu tiba-tiba melayang di sisi tunggangan kami. Ia menyapa Sinbad dan membawa kabar tentang Aladdin, si tikus jalanan, yang dinanti oleh sang Putri di balkon istana setiap malam dalam wujud Pangeran Ali Al-Rasyid.

“Hamba bosan, Sayyidi. Setelah menyihir gajah putih dari tikus untuk tunggangannya esok hari, hamba permisi. Ingin rasanya berdiam diri dalam lampu lagi, menenun permadani Parsi, andai saja lampuku tidak sedang diminyaki. Dua kali ia menyundut sorbanku karena lupa aku ada di dalamnya dan hendak menggunakan lampuku untuk membaca. Nikmati perjalanan anda malam ini. Assalama! ” Dan dia menghilang ditelan asap keperakan. Aku tertawa. Sinbad juga.

“Belum pernah dengar versi yang tadi dari dongeng itu, kan? Tunggu saja, yang kau lihat belum seberapa!” Sinbad melecut kudanya dan memacunya meninggalkan siluet obor dinding istana dan kota di bawah sana. Kami menuju tepi barat padang pasir. Bukit-bukit batu.

Tampak kerumunan pasukan berkuda hitam yang mengepulkan debu ke arah perbukitan. Aku terkesiap. “Empat puluh penyamun!” Sinbad mengiyakan. “Kau membaca dengan teliti rupanya. Itu gua tempat para penyamun menyembunyikan harta mereka yang pernah dicuri Ali Baba.” Aku memperhatikan kerumunan itu, agak heran. “Kalau begitu, mengapa mereka masih ada? Bukankah keempat puluh penyamun itu sudah mati disiram minyak panas saat mereka menyamar, masuk di dalam guci?” tanyaku. Sinbad terbahak. “Itu tak sepenuhnya benar. Kenyataannya lebih dari itu. Perhatikan!”

Rombongan itu berhenti di depan mulut gua yang tertutup sebongkah batu besar. Seseorang, yang tampaknya pemimpin mereka, maju dan melambaikan tangannya. “Buka Sesam!” ucapnya. Sedetik, aku mengharap sebuah sihir akan berlangsung dan batu itu akan membuka. Tapi detik-detik berlalu dan tak terjadi apa-apa. “Buka Sesam!!” seru pria itu sekali lagi. Batu itu tak bergeming.

Seseorang di deretan belakang berlari menghampirinya. “Master, kata ajaibnya bukan yang itu. Bukankah Tuan sendiri yang mengubahnya karena kata anda ‘Buka Sesam’ sudah ketinggalan zaman, dan banyak sekali orang yang tahu dari buku mengenainya?” Pria tua di depan itu melepas cadarnya. Disinari cahaya bulan, aku melihat ternyata Ali Baba-lah yang memimpin mereka semua. Ia meraba-raba jubahnya mencari sesuatu, dan mengeluarkan secarik kertas papirus. “Ah ya, kata kunci untuk malam ini... Ini dia. ‘Buka Wijen!’ ” Batu di hadapannya mengeluarkan suara gemuruh dan bergetar, tapi tidak terbuka. Terdengar bunyi sesuatu seperti diseret. Ali Baba menggeleng tak sabar. Anak buahnya yang tadi menyambar sebuah guci dari atas sadel, berlari ke pinggir bukit, dan menyiramkan isi guci itu ke bagian samping batu. Terdengar bunyi berdecit-decit dan akhirnya batu besar itu menggeser ke samping, memperlihatkan gua besar di baliknya. Ali Baba berkacak pinggang.

“Pintunya mulai berkarat. Sampai kapan kita harus menyiramkan minyak jagung supaya manteranya bekerja? Aku tak tahu.... Aku pencuri, bukan penyihir. Mungkin lain kali sebaiknya kukencingi saja engselnya biar terbuka dengan lancar.” Beberapa penyamun di kerumunan terkekeh. “Ayo, kita tak punya banyak waktu. Cepat masukkan hartanya sebelum ada orang yang melihat dan kita kecurian lagi!” perintahnya.

Bergasak-gasak guci, karung, dan kotak harta dimasukkan ke dalam gua oleh mereka. Setelah selesai dan semua anggotanya telah berada di luar, Ali Baba berseru ‘Tutup Wijen!’ dan pintu gua mulai bergerak menutup. Terdengar derak-derak mengkhawatirkan dan pintunya berhenti di tengah jalan. Ali Baba menggerutu, berlari mendekat dan menendang sisi batu besar itu dengan sepatu larsnya. Pintu itu kembali bergerak dan menutup sempurna.

Dari atas pohon palem tempat kami bersembunyi menonton itu semua, aku tak dapat menahan tawaku. Sinbad tersenyum melihat aku tertawa sampai terbungkuk-bungkuk. “Aduh... siapa yang menyangka?” ujarku di tengah tawa. “Ali Baba menggantikan posisi kepala perampok, dan batu gua yang ternyata bisa berkarat setelah bertahun-tahun!” Aku terengah. Sinbad mengangguk. “ Tampaknya sihirnya sudah mulai luntur. Betapapun kerasnya Ali Baba berusaha merahasiakan kata ajaibnya dari orang-orang, suatu saat pintu batu itu akan berhenti bekerja dan semua harta akan lenyap ditelan bukit. Itu akhir kisah yang lebih bijak ketimbang bahwa ia memenangkan semuanya.”

Kami memandangi para penyamun menderap pergi sebelum akhirnya Sinbad memutuskan bahwa kami harus kembali berangkat. Sekali lagi, kuda bersayap miliknya melejit ke awan.

“Aku telah berlayar tujuh kali mengelilingi dunia yang dengannya aku bertualang, mendapatkan harta, dan bertemu dengan berbagai orang, makhluk mendebarkan, dan menyaksikan keajaiban. Malam ini adalah pelayaranku yang ke delapan. Bersamamu menyusuri sisa yang nyata dari cerita terkenal dunia.” Ujar Sinbad. Aku merasa sangat terhormat karena ia ternyata memilihku. “Kau seorang pembaca dongeng yang baik dan berbudi, Ameera. Aku berharap kau takkan melupakan kami selamanya.”

Ia mengarahkan pecutnya ke langit dan kami menderap lebih tinggi, ke arah bintang-bintang yang gemerlapan. “Dongeng dibuat bukan sebagai penghibur atau pengantar tidur semata. Di dalamnya ada kebaikan dan keburukan, serta contoh yang bisa dipelajari anak-anak lebih dari sekedar pesan moral. Ratusan bahkan ribuan dari tokoh-tokoh dalam kisah yang tak terkenal telah dilupakan, dan mereka naik ke langit menempati rasi yang berpendar setiap beberapa masa sekali, berharap kisah mereka abadi di atas bumi. Andai ada yang mengerti....” Tatapan Sinbad menerawang. Kami melayang tinggi di antara Orion, Cassiopeia, Castor dan Pollux, Raja Midas, dan kelebatan tokoh-tokoh aneh yang tak kukenali.

“Belum saatnya kita menemui mereka dan keberadaan mereka dalam dunia dongeng pun tak begitu berarti. Sekarang sudah saatnya bagimu untuk kembali. ”

Pastilah aku terang-terangan tampak kecewa, karena Sinbad tersenyum dan berkata, “Masih ada sedikit waktu dalam perjalanan kembali ke kamarmu. Akan kuceritakan beberapa detil kisah kami padamu. Tahukah kau, Scheherazade, yang mana dari padanya semua dongeng Arab berasal, adalah seorang ahli meramu serbuk sheesha sebelum akhirnya diperistri Schahriar? Dan bahwa sandal Ja’Far pernah berisikan sekuntum bunga kaktus? Tahukah kau........”

Fakta-fakta yang diceritakan Sinbad membuai aku hingga aku tertidur di atas sadel, angin malam padang pasir memainkan rambutku. Ketika aku membuka mata, aku telah berada di kamarku, sisa pitta dan kurma masih ada diatas piring, pukul tiga dini hari. Aku tak yakin apakah aku bermimpi, karena kakiku masih bisa merasakan kerasnya sanggurdi, dan ketika kuraba, di antara helaian rambutku masih terselip butiran pasir yang tertiup angin ketika kami terbang di atas gurun.

Sambil meniup lampu minyak di sebelah kasurku, pikiranku mengembara mengulang perjalanan tadi. Apakah sang Jin Lampu mampu menyelesaikan permadani Parsinya sebelum Aladdin dinobatkan menjadi Sultan? Mungkin aku takkan pernah tahu. Tapi ingatlah, bagimu yang membaca ini, kapanpun kau merasa sendiri, dan imajinasimu menari-nari, bukalah buku dongeng kami, dan akan kuceritakan kisah yang belum pernah diceritakan padamu. Buka jendelamu, biarkan angin menjemputmu, dan terbanglah ke angkasa, di atas gurun, bertemankan Sahara, menuju malam keabadian...... Malam paling ajaib dalam sejarah hidupmu.

Di sini.
Di dunia abadi Seribu Satu Malam.


Penulis: Dini Afiandri

Tulisan lain dari Dini Afiandri

Kenali lebih dekat di sini:

Icon Icon

0 comments:

Posting Komentar