“Arabian Nights”
Oleh: Dini Afiandri
Gambar diambil dari sini
Namaku Ameera. Usiaku belum lagi genap sepuluh
tahun. Sejak aku umur lima dan sudah mulai mengenal kata-kata, kakakku Hassan
menjadi satu-satunya keluargaku, dan dia selalu membacakan dongeng 1001 Malam
padaku. Aku begitu menyukainya hingga minta dibacakan setiap hari. Namun tak
lama kemudian aku mengetahui bahwa aku bisa akrab dengan para tokoh-tokohnya,
tidak hanya sebatas di dalam buku saja, tapi juga dengan cara yang tidak semua
orang bisa mengalaminya.
Maka, bayangkan betapa terkejutnya aku ketika pada suatu malam yang cerah
di bulan Juni, Sinbad sendiri mendarat di depan jendela kamarku dengan kuda
terbangnya, mengulurkan tangan padaku dan berkata: “Ikutlah bersama ke negeri
ajaib tempat peristiwa mengagumkan.... Mempesona namun kadang menyeramkan.
‘Buka Sesam,’ kawan! Ayo, kita berangkat!”
Kapan lagi petualangan
seperti ini? Kulempar sisa roti pitta ke
samping sheesh kebab, kurma-kurma di
atas piring berlompatan. Dengan penuh semangat kudaki sadel di belakang Sinbad,
memijakkan kaki pada sanggurdi, dan kami pun melesat ke angkasa penuh
gemintang.
Malam di Arab seperti
siangnya. Panas menyerang, hati menggersang, di tengah gurun yang menampakkan
tak keterbatasan. Memang aneh benar..... Tapi suasana bertambah aneh karena Jin
Lampu tiba-tiba melayang di sisi tunggangan kami. Ia menyapa Sinbad dan membawa
kabar tentang Aladdin, si tikus jalanan, yang dinanti oleh sang Putri di balkon
istana setiap malam dalam wujud Pangeran Ali Al-Rasyid.
“Hamba bosan, Sayyidi.
Setelah menyihir gajah putih dari tikus untuk tunggangannya esok hari, hamba
permisi. Ingin rasanya berdiam diri dalam lampu lagi, menenun permadani Parsi,
andai saja lampuku tidak sedang diminyaki. Dua kali ia menyundut sorbanku
karena lupa aku ada di dalamnya dan hendak menggunakan lampuku untuk membaca.
Nikmati perjalanan anda malam ini. Assalama!
” Dan dia menghilang ditelan asap keperakan. Aku tertawa. Sinbad juga.
“Belum pernah dengar versi yang tadi dari dongeng itu,
kan? Tunggu saja, yang kau lihat belum seberapa!” Sinbad melecut kudanya dan
memacunya meninggalkan siluet obor dinding istana dan kota di bawah sana. Kami
menuju tepi barat padang pasir. Bukit-bukit batu.
Tampak kerumunan pasukan berkuda hitam yang mengepulkan
debu ke arah perbukitan. Aku terkesiap. “Empat puluh penyamun!” Sinbad
mengiyakan. “Kau membaca dengan teliti rupanya. Itu gua tempat para penyamun
menyembunyikan harta mereka yang pernah dicuri Ali Baba.” Aku memperhatikan
kerumunan itu, agak heran. “Kalau begitu, mengapa mereka masih ada? Bukankah
keempat puluh penyamun itu sudah mati disiram minyak panas saat mereka
menyamar, masuk di dalam guci?” tanyaku. Sinbad terbahak. “Itu tak sepenuhnya
benar. Kenyataannya lebih dari itu. Perhatikan!”
Rombongan itu berhenti di depan mulut gua yang tertutup
sebongkah batu besar. Seseorang, yang tampaknya pemimpin mereka, maju dan
melambaikan tangannya. “Buka Sesam!” ucapnya. Sedetik, aku mengharap sebuah
sihir akan berlangsung dan batu itu akan membuka. Tapi detik-detik berlalu dan
tak terjadi apa-apa. “Buka Sesam!!” seru pria itu sekali lagi. Batu itu tak
bergeming.
Seseorang di deretan belakang berlari menghampirinya.
“Master, kata ajaibnya bukan yang itu. Bukankah Tuan sendiri yang mengubahnya
karena kata anda ‘Buka Sesam’ sudah ketinggalan zaman, dan banyak sekali orang
yang tahu dari buku mengenainya?” Pria tua di depan itu melepas cadarnya.
Disinari cahaya bulan, aku melihat ternyata Ali Baba-lah yang memimpin mereka
semua. Ia meraba-raba jubahnya mencari sesuatu, dan mengeluarkan secarik kertas
papirus. “Ah ya, kata kunci untuk malam ini... Ini dia. ‘Buka Wijen!’ ” Batu di
hadapannya mengeluarkan suara gemuruh dan bergetar, tapi tidak terbuka.
Terdengar bunyi sesuatu seperti diseret. Ali Baba menggeleng tak sabar. Anak
buahnya yang tadi menyambar sebuah guci dari atas sadel, berlari ke pinggir
bukit, dan menyiramkan isi guci itu ke bagian samping batu. Terdengar bunyi
berdecit-decit dan akhirnya batu besar itu menggeser ke samping, memperlihatkan
gua besar di baliknya. Ali Baba berkacak pinggang.
“Pintunya mulai berkarat. Sampai kapan kita harus
menyiramkan minyak jagung supaya manteranya bekerja? Aku tak tahu.... Aku
pencuri, bukan penyihir. Mungkin lain kali sebaiknya kukencingi saja engselnya
biar terbuka dengan lancar.” Beberapa penyamun di kerumunan terkekeh. “Ayo,
kita tak punya banyak waktu. Cepat masukkan hartanya sebelum ada orang yang
melihat dan kita kecurian lagi!” perintahnya.
Bergasak-gasak guci, karung, dan kotak harta dimasukkan
ke dalam gua oleh mereka. Setelah selesai dan semua anggotanya telah berada di
luar, Ali Baba berseru ‘Tutup Wijen!’ dan pintu gua mulai bergerak menutup.
Terdengar derak-derak mengkhawatirkan dan pintunya berhenti di tengah jalan.
Ali Baba menggerutu, berlari mendekat dan menendang sisi batu besar itu dengan
sepatu larsnya. Pintu itu kembali bergerak dan menutup sempurna.
Dari atas pohon palem tempat kami bersembunyi menonton
itu semua, aku tak dapat menahan tawaku. Sinbad tersenyum melihat aku tertawa
sampai terbungkuk-bungkuk. “Aduh... siapa yang menyangka?” ujarku di tengah
tawa. “Ali Baba menggantikan posisi kepala perampok, dan batu gua yang ternyata
bisa berkarat setelah bertahun-tahun!” Aku terengah. Sinbad mengangguk. “
Tampaknya sihirnya sudah mulai luntur. Betapapun kerasnya Ali Baba berusaha
merahasiakan kata ajaibnya dari orang-orang, suatu saat pintu batu itu akan berhenti
bekerja dan semua harta akan lenyap ditelan bukit. Itu akhir kisah yang lebih
bijak ketimbang bahwa ia memenangkan semuanya.”
Kami memandangi para penyamun menderap pergi sebelum
akhirnya Sinbad memutuskan bahwa kami harus kembali berangkat. Sekali lagi,
kuda bersayap miliknya melejit ke awan.
“Aku telah berlayar tujuh kali mengelilingi dunia yang
dengannya aku bertualang, mendapatkan harta, dan bertemu dengan berbagai orang,
makhluk mendebarkan, dan menyaksikan keajaiban. Malam ini adalah pelayaranku
yang ke delapan. Bersamamu menyusuri sisa yang nyata dari cerita terkenal
dunia.” Ujar Sinbad. Aku merasa sangat terhormat karena ia ternyata memilihku.
“Kau seorang pembaca dongeng yang baik dan berbudi, Ameera. Aku berharap kau
takkan melupakan kami selamanya.”
Ia mengarahkan pecutnya ke langit dan kami menderap lebih
tinggi, ke arah bintang-bintang yang gemerlapan. “Dongeng dibuat bukan sebagai
penghibur atau pengantar tidur semata. Di dalamnya ada kebaikan dan keburukan,
serta contoh yang bisa dipelajari anak-anak lebih dari sekedar pesan moral.
Ratusan bahkan ribuan dari tokoh-tokoh dalam kisah yang tak terkenal telah
dilupakan, dan mereka naik ke langit menempati rasi yang berpendar setiap
beberapa masa sekali, berharap kisah mereka abadi di atas bumi. Andai ada yang
mengerti....” Tatapan Sinbad menerawang. Kami melayang tinggi di antara Orion, Cassiopeia,
Castor dan Pollux, Raja Midas, dan kelebatan tokoh-tokoh aneh yang tak
kukenali.
“Belum saatnya kita menemui mereka dan keberadaan mereka
dalam dunia dongeng pun tak begitu berarti. Sekarang sudah saatnya bagimu untuk
kembali. ”
Pastilah aku terang-terangan tampak kecewa, karena Sinbad
tersenyum dan berkata, “Masih ada sedikit waktu dalam perjalanan kembali ke
kamarmu. Akan kuceritakan beberapa detil kisah kami padamu. Tahukah kau,
Scheherazade, yang mana dari padanya semua dongeng Arab berasal, adalah seorang
ahli meramu serbuk sheesha sebelum
akhirnya diperistri Schahriar? Dan bahwa sandal Ja’Far pernah berisikan
sekuntum bunga kaktus? Tahukah kau........”
Fakta-fakta yang diceritakan Sinbad membuai aku hingga
aku tertidur di atas sadel, angin malam padang pasir memainkan rambutku. Ketika
aku membuka mata, aku telah berada di kamarku, sisa pitta dan kurma masih ada diatas piring, pukul tiga dini hari. Aku
tak yakin apakah aku bermimpi, karena kakiku masih bisa merasakan kerasnya
sanggurdi, dan ketika kuraba, di antara helaian rambutku masih terselip butiran
pasir yang tertiup angin ketika kami terbang di atas gurun.
Sambil meniup lampu minyak di sebelah kasurku, pikiranku
mengembara mengulang perjalanan tadi. Apakah sang Jin Lampu mampu menyelesaikan
permadani Parsinya sebelum Aladdin dinobatkan menjadi Sultan? Mungkin aku
takkan pernah tahu. Tapi ingatlah, bagimu yang membaca ini, kapanpun kau merasa
sendiri, dan imajinasimu menari-nari, bukalah buku dongeng kami, dan akan
kuceritakan kisah yang belum pernah diceritakan padamu. Buka jendelamu, biarkan
angin menjemputmu, dan terbanglah ke angkasa, di atas gurun, bertemankan
Sahara, menuju malam keabadian...... Malam paling ajaib dalam sejarah hidupmu.
Di sini.
Di dunia abadi Seribu Satu Malam.
0 comments:
Posting Komentar