Sabtu, 06 September 2014

- 2 comments

Socrates

Cerpen Andina Dwifatma



TIAP KALI aku ingin bacaan baru, aku akan pergi ke pasar buku bekas Gladag. Letaknya di depan alun-alun utara Keraton Surakarta. Aku senang di situ karena harga buku bisa murah minta ampun. Koleksinya juga lumayan lengkap; mulai dari komik, diktat kuliah, buku pelajaran, resep masakan, novel, buku yang bikin kau masuk surga (“Rahasia Shalat Khusyuk”, “Mendidik Anak Soleh”) sampai buku yang bikin kau terpanggang di neraka (Enny Arrow dan majalah pria dewasa). Kalau sedang beruntung, aku bisa dapat sebiji novel lama seharga Rp5 ribu atau Rp7 ribu; sebagai mahasiswa perantauan aku tentu harus tahu mengirit.

Siang itu dompetku tipis--maksudku, lebih tipis dari  biasanya--namun sialnya selera bacaku tetap tebal. Kadang ingin aku protes pada Tuhan; apa tidak terbalik? Aku pasti bahagia kalau selera bacaku tipis tapi dompetku tebal. Mungkin aku akan sering jalan-jalan di pusat perbelanjaan atau nonton di XXI, seperti teman-temanku sesama mahasiswa tingkat akhir di Jurusan Ekonomi.

“Belajar ekonomi, kok, nggak punya duit,” goda salah seorang perempuan yang pernah jadi pacarku, suatu kali.
“Lho, justru itu, aku sedang menghayati ekonomi kerakyatan,” aku mengelak dengan ulung.[1]

Tak hanya menjadikanku mahasiswa fakultas ekonomi yang tak berduit, takdir juga telah menyeretku jadi seorang pembaca yang selalu dahaga. Maka siang itu, ketika hasrat membacaku tak terbendung dan buku-buku lama di kos membuatku bosan, kuseret kakiku ke Gladag; para pedagang sering menyebut kompleks mereka Glamedia alias Gladag Media. Ada dua belas lapak buku bekas, dikelilingi empat batang beringin besar, yang rimbunnya memberi kesejukan mengalahkan AC paling mahal di dunia.

Baru saja memarkir motor, seseorang memanggil namaku. Refleks aku menoleh. Seorang pemuda berambut keriting gondrong, memakai topi fedora, kemeja lurik tanpa dalaman, celana komprang warna hitam, dan sandal gunung, melambai-lambai penuh semangat. Ia mendekat. Rambutnya basah. Samar-samar tercium bau sabun. Kusadari di tulang dadanya yang kurus ada tato Pokemon.

Sepurane, nopo kulo tepang panjengengan?”[2] Kugunakan bahasa Jawa halus sebab kepada makhluk aneh pun kita tidak boleh kehilangan kesopanan.
Ia menepuk punggungku. Keras sekali sampai aku terbatuk. “Bajingan! Lupa kau padaku?”
Mukaku merah menahan batuk. “Sinten, nggih?”[3]

Ternyata makhluk aneh itu adalah Socrates, seorang seniman yang kukenal waktu semester satu. Tidak ada yang tahu siapa nama aslinya dan mengapa penyair seperti dia dipanggil Socrates alih-alih Chairil atau Gibran atau Sapardi.

(Kala itu aku sering nongkrong di Taman Budaya Surakarta di Jalan Kentingan. Aku punya ilusi jadi seniman, tapi segera kusadari aku tak cukup berbakat. Aku tak pandai menggambar, tak bisa merangkai kata bak pujangga, apalagi bikin patung. Kuterima nasibku ada apanya.)

Socrates penghuni tetap TBS. Artinya, dia tidur di situ, mandi di situ, berak juga di situ. Aku sempat akrab dengannya karena ia suka menanyaiku aneka rupa persoalan hidup. Ide-idenya besar, wawasannya luas. Dan ia hafal nama-nama besar seperti Feuerbach, Marx, Hegel, T.S. Elliot, Hemingway, Walt Whitman, .. serta lain-lain yang sulit dirapal lidah Jawa Timuranku. Masuk semester dua, aku berhenti ke TBS. Tugas-tugasku mulai menuntut banyak perhatian.

Kini ia merangkul bahuku seperti kawan lama. Digiringnya aku duduk di wedangan terdekat, persis di bawah pohon beringin. Beberapa tukang parkir berpakaian lurik melirik; kusenyumi. Socrates mengambil tiga nasi bungkus, empat biji gorengan, dua tusuk sate telur puyuh, dua tusuk sate usus dan memesan segelas teh panas-legi-kental. Ia menawariku, yang buru-buru kujawab aku sudah makan. Uangku untuk beli buku, kataku dalam hati menabahkan perut.

Ia memaksa memesankanku, paling tidak teh panas. Bolehlah, es teh karena matahari garang hari ini. Kami lalu ngobrol kesana kemari.

Socrates rupanya sekarang sudah jadi seniman betulan. Dulu waktu kami masih sering nongkrong, ia sedang menunggu nasib baik karyanya diterbitkan. Dan cita-citanya sekarang jadi kenyataan. Ia baru saja mendapat kontrak, tak tanggung-tanggung, dari penerbit luar negeri! Aku berdecak kagum. Rupanya ia dikontak via email oleh penerbit X dari Belanda yang meminta hak penerbitan puisi-puisinya. Penerbit itu membaca beberapa puisi Socrates yang dimuat di Solo Pos.

“Nah, mereka menduga aku pasti masih punya stok puisi-puisi yang belum diterbitkan,” Socrates sudah selesai makan dan kini merokok kretek dengan nikmat. “Baik betul mereka itu. Aku dikasih persekot di muka, berikut undangan residensi tiga bulan di sana. Akomodasi ditanggung, dapat uang saku pula. Begitu itu kalau negara mengerti seni. Ora koyo Indonesia!”

Ia meludah. Aku kaget. Untung esku sudah habis kuseruput. Socrates memberi tanda kami selesai makan. Ketika pedagang wedangan muncul, Socrates hanya tertawa lalu mengajaknya tos. Si pedagang ikut tertawa sambil geleng-geleng kepala. “Teman akrab,” ia berkata dengan nada bangga. Aku bersiul kagum. Hebat benar kawanku ini, pergaulan telah membuatnya gratis makan. Kalau begitu aku harus belajar cara berkawan.

Socrates melanjutkan ceritanya.

Nasib baik rupanya sedang betah menaungi dia. Setelah dapat kontrak dengan penerbit luar negeri, ia diundang untuk memberikan ceramah di Festival Sastra Asia Tenggara. Wah, mentereng sekali kedengarannya. Socrates terpilih karena ia pernah berorasi di depan Istana Negara tentang nasib seniman pada umumnya dan penyair pada khususnya.

“Kita ini,” ia merangkul bahuku, dan aku terharu mendengar caranya mengucap kita seolah aku juga berbakat seperti dia, “adalah manusia-manusia spesial. Kita tidak bisa disuruh kerja jam sembilan sampai jam lima seperti kuda. Kita harus banyak merenung, mencari inspirasi, sebab tugas kita adalah berkarya. Paham? Kita harus masuk, menembus dalam jiwa kita sendiri, untuk menciptakan karya seni yang bermanfaat bagi umat manusia. Tapi kita kan, manusia juga yang butuh minum dan makan? Nah, supaya kita tidak disibukkan dengan kerja, negara harus mensubsidi biaya hidup untuk kita. Begitu, lho!”

Aku terlongong-longong. Rupanya orasi itu yang memikat panitia Festival. Menurut jadwal, Socrates akan bicara di Malaysia dua pekan ke depan. “Nganggo boso Inggris!” Ia berkata bangga.

Mataku tertumbuk pada majalah Tempo edisi Lekra. Wah, ini dia yang kucari. Aku meraih majalah itu, tapi baru mau menawar, Socrates sudah merebutnya sambil berkata enteng, “Kalau mau yang edisi ini, aku masih punya banyak di TBS. Datanglah. Tinggal kau ambil, gratis.”

Aku menurut. Kuletakkan lagi majalah itu. Socrates lalu menuntunku ke bagian belakang. Rupanya ia berjualan buku bekas juga. Aku baru tahu tiga kios di pojok itu miliknya. Satu khusus menjual komik dan kaset-kaset bekas, dua sisanya menjual buku-buku. Kubeli “Sirkuit Kemelut” karya Ashadi Siregar dan “Pergaulan” karya M. A. W. Brouwer. Sekadar iseng. Kuloloskan duit sepuluh ribu dari saku.

Azan berkumandang. “Nah, aku Jumatan dulu,” kata Socrates. “Jangan lupa ke TBS ambil majalah, ya!”

Dan ia berlalu. Aku memandang sosoknya berjalan menjauh ke arah Pasar Klewer penuh kekaguman. Dengan puisinya ia bisa sampai ke Belanda dan Malaysia, sedangkan aku hanya sanggup beli dua buku seharga sepuluh ribu. Aku menggeleng-geleng. Seandainya saja Tuhan begitu baik menganugerahkan bakat seni padaku..

Punggungku dicolek. Eh, pedagang wedangan. Dengan tampang tak enak hati, ia menagih makan Socrates dan es tehku. Aku pucat dan terbata-bata. Lalu tukang parkir berbaju lurik menghampiri kami. Dengan suara lunak ia berkata, temanku itu gelandangan yang kadang tidur di Gladag. Ia kadang memperalat orang untuk dapat makan. Gerakan “tos” adalah kode yang artinya “nanti kawanku yang bayar”.

Socrates tak punya kios. Mungkin ia juga tak pernah menulis puisi yang akan diterbitkan di mana pun. Dan Festival itu bisa jadi tak pernah ada. Dan Istana Negara? Apa Presiden punya waktu untuk mendengarkan nasib rakyatnya?

Pedagang wedangan rupanya kasihan melihatku pucat. Ia bisa merasai bahwa mungkin kali ini Socrates salah pilih korban untuk dikerjai. Ia berbisik, “Sepuluh ewu mawon, Mas.”[4]

Aku tergeragap. Kurogoh sakuku. Sepuluh ribu terakhirku. Aku memikirkan mau makan apa nanti malam. Juga majalah yang tadi tak jadi kubeli. ***

Jakarta-Melbourne, 16 Juli 2014

[1] Rupanya penilaian ‘ulung’ di sini sangat subjektif sebab dua minggu setelah percakapan kami aku diputus tanpa basa-basi. Ketika kutanya alasannya, apakah aku terlalu cuek, atau kurang perhatian, atau kurang romantis, atau kurang rajin apel, atau apa? Mantan pacarku jawab: kamu tidak kurang apa-apa, kamu cuma kere. Okay.
[2] Maaf, apa saya kenal Anda?
[3] Siapa, ya?
[4] Sepuluh ribu saja, Mas.

Gambar diambil dari sini. Hak cipta pada Brenda York, California.

2 komentar:

  1. Keren! Pagi ini saya sampai menunda makan demi membaca cerpen ini sampai tuntas. Ditunggu karya-karya berikutnya. Salam dari Yaman.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih! Hati-hati nanti sakit maag :) Selamat belajar di Yaman.

      Hapus