Kamis, 27 Februari 2014

- 4 comments

Asisten Istimewa





Gambar diambil dari sini

            Musim telah berganti warna, dari merahnya semangka musim panas ke coklatnya dedaunan musim gugur, hingga kini kota kecil itu memasuki putihnya musim dingin. Udara membekukan tulang, juga memudarkan semangat orang-orang. Salju ringan serupa gula putih turun menjelang sore hari, membuat para karyawan yang baru pulang kantor tidak tergesa pulang ke rumah, melainkan mampir dulu ke kedai sake atau warung oden untuk menghangatkan badan. Seolah tak cukup, persediaan bahan bakar menipis dan listrik pun menjadi sering padam. Maka di tengah kemurungan dan kesuraman seperti itu, siapapun tentu akan merasa heran melihat sebuah tempat makan yang mengklaim diri sebagai “penjual kebahagiaan”, dan berhasil membuktikannya karena para pengunjung kedai ramen itu selalu keluar lagi dengan wajah-wajah penuh senyuman dan tawa riang, tak peduli sesedih apa wajah mereka  sebelumnya.

           Kedai Mafuya. Itulah nama kedai yang kini ramai dibicarakan orang. Menurut desas-desus, Chef Fao—pemilik tempat itu—punya resep rahasia untuk ramennya, dan kecantikan Marnis, pelayan tunggal di kafe itu, juga sudah menjadi buah bibir. Tapi yang dibanggakan oleh para pelanggan setianya adalah keramahan mereka berdua, telinga yang bersedia mendengarkan keluh kesah apapun, dan betapa baik Marnis maupun Fao begitu mengenal wajah dan kebiasaan setiap pelanggan mereka. Tak sedikit orang yang merasa curiga, kemudian datang ke kedai itu dengan wajah masam hanya untuk mencemooh, tapi semua itu berubah begitu mereka mencicipi ramen kebahagiaan racikan Fao.

           Bisnis mereka berjalan dengan lancar, sampai suatu hari Marnis menempelkan selembar kertas pengumuman di pintu kedai. Pengumuman itu berbunyi:

DICARI: ASISTEN KOKI
KRITERIA: Pemuda berusia di atas 16 tahun, diutamakan yang bisa memasak.
SYARAT KHUSUS: Bersedia bekerja dan berlatih dengan keras, tidak keberatan dengan hal-hal yang sulit diterima logika.
BAGI YANG BERMINAT SILAHKAN MENDAFTAR UNTUK WAWANCARA PRIBADI PADA AKHIR MINGGU INI
Tertanda,
Fao
*Tambahan: Karena alasan tertentu, Kedai Mafuya akan libur selama 3 hari, terhitung mulai hari ini.
  
          Selesai menempelkan pengumuman dan menyapu bagian dalam kedai, Marnis naik ke lantai atas yang merupakan tempat tinggalnya dan Fao. Fao sedang berbaring di tempat tidurnya, meskipun saat itu siang hari. Dahinya mengernyit menahan sakit.
   
         “Bagaimana keadaanmu, Pak Tua?” tanya Marnis.
            “Jangan panggil aku begitu,” Fao terbatuk-batuk sebelum melanjutkan. “Aku tak apa-apa. Tiga hari lagi juga sembuh. Ini cuma...”
            “... rematik,” potong Marnis. “Dan cukup parah menyerang pinggangmu, sampai dokter melarang Sensei berdiri lama-lama apalagi memasak. Nah, jangan membandel. Aku sudah menempel pengumuman itu di pintu depan.”
   
            “Sudah kubilang, aku tak butuh asisten!”
      
      “Oh ya, kita perlu.” Pipi Marnis yang sudah merah oleh perona pipi kini lebih memerah. “Sudah kutuliskan dengan syarat khusus, untuk berjaga-jaga kalau-kalau nanti ada pertanyaan.” Fao tampak semakin tidak suka mendengarnya. 

      “Kau hanya akan mengundang gosip. Kujamin akan ada orang-orang aneh yang mendaftar di hari wawancara nanti,” gerutunya. Marnis membuka mulutnya hendak membantah, namun tiba-tiba saja badannya menyusut dan ia berubah menjadi seekor kucing putih. Fao terkejut dan langsung duduk. Kucing putih itu melompat ke atas tempat tidur dengan sisa-sisa kekuatannya, lalu bergelung lemah di pangkuan Fao.

            “Maaf, sensei... Aku lelah sekali. Dua hari ini aku terus-terusan dalam wujud manusiaku dan aku—“

           “Jangan bicara lagi, Pasqual. Tidurlah.” Fao membelainya lembut. 2 hari ini Marnis alias Pasqual sibuk merawat Fao dan mengurus kedai. Fao merasa bersalah. Penampilan Fao memang tampak seperti pria 30 tahunan, tapi usianya yang sebenarnya tidak bisa menolak penyakit, yang diperburuk pula oleh dinginnya udara musim dingin.

            Tiga hari kemudian, di hari penerimaan pegawai baru, kekhawatiran Fao terbukti. Ada mantan Yakuza yang mendaftar meski sama sekali tak punya kemampuan memasak, yang dari penampilannya saja langsung ditolak mentah-mentah oleh Fao. Ada juga orang yang mendaftar karena ingin mencuri rahasia ramen kebahagiaan. Fao berdiri di sudut dengan disangga tongkat, menguji mereka semua satu persatu. Tapi tampaknya tak ada yang memenuhi kriteria pribadinya. Seorang pemuda lulusan sekolah masak ternama menunjukkan kemampuannya membuat beraneka masakan Prancis kelas satu, tapi dia pun ditolak. Ketika Marnis kesal dan bertanya mengapa, Fao menjawab simpel: “Kedai ini menjual ramen, bukan masakan barat. Yang paling penting, aku juga tak merasakan kebahagiaan sedikit pun pada masakan yang dimasaknya.”

             Antrian orang yang hendak melamar kerja semakin menipis, hingga akhirnya hanya tersisa seorang pemuda berusia awal dua puluhan. Rambutnya hitam sebahu, kurus, mengenakan kemeja putih lusuh. Dia berdiri gelisah menunggu giliran.

            “Siapa namamu?” tanya Fao.
            “Ka-Kazuma.”
            “Apa keahlianmu? Masakan apa yang bisa kau buat?”
            “Telur mata sapi.”
            “Apa?”
            “Te-telur mata sapi,” ujarnya terbata. Pemuda itu berdeham, mencoba mengusir rasa gugupnya. “Kalau anda mengizinkan, saya akan membuatnya dengan cara yang tidak biasa.”

            Marnis yang memperhatikan jalannya wawancara dari salah satu meja, mendengus. Dia yakin Fao akan kembali menolak pemuda yang satu ini. Terlebih, kelihatannya dia yang paling payah di antara semua peserta.

           Fao mengusap dagunya, memindahkan tusuk gigi yang dikulumnya ke sebelah kiri. “Cara yang tidak biasa? Maksudmu?”
            “Itu—”
            Tiba-tiba, lampu mati. Penghangat ruangan juga berhenti bekerja. Ruangan kedai itu menjadi gelap, hanya ada sedikit cahaya dari luar.

            “Listriknya padam. Tunggu sebentar, sensei. Akan saya ambilkan lilin.” Terdengar suara kursi digeser ketika Marnis beranjak dari tempatnya.
            “Tak usah. Serahkan padaku!”
            Mendadak ruangan diterangi nyala api. Api itu berasal dari tangan Kazuma. Langsung dari telapak tangannya, tanpa korek atau apapun juga. Menyala begitu saja.
            Fao berdecak, sebelah alisnya terangkat, tanda tertarik.
  
          “Kau... Punya kekuatan pyro?” tanyanya.

            Kazuma hanya mengangguk. Ia melepas api di tangannya menjadi bola api yang melayang di udara sebagai penerang. Kemudian, ia menyambar sebutir telur yang tersedia di atas meja dapur, memecahkannya ke atas telapak tangannya. Telur itu berdesis tersambar api, dan dalam sekejap menjadi matang. Diletakkannya telur yang sudah jadi itu ke atas piring.

            Marnis dan Fao mendekat, melihat hasil karya Kazuma. Telur mata sapi yang bentuknya rapi dan tidak gosong. Sekadar penasaran, Marnis menyentuh bola api yang melayang di dekat kepalanya. “Wah, hangat, tapi tidak membakar,” serunya kagum.

           “Ya, saya sudah berlatih. Di restoran-restoran tempat saya bekerja sebelumnya, saya dipecat karena selalu menghanguskan sesuatu. Tapi sekarang saya jamin semua aman,” Kazuma memandang Fao dengan takut-takut. Fao meliriknya galak. Tapi kemudian dia mengambil garpu dan mencicipi telur itu. Ia terdiam sesaat ketika kehangatan telur itu terasa menjalar di mulutnya, hingga ke perutnya.
  
          “Sa-saya juga bisa mendidihkan sup! Selain itu, kemampuan saya pasti bisa berguna pada musim dingin seperti ini! Saya akan bekerja dengan rajin, karena itu—”
            Fao mengangkat tangannya, memotong ucapan Kazuma.
            “Telur mata sapi cocok dengan ramen. Kau diterima, anak muda. Cobalah untuk tidak membakar apapun selain yang kau masak,”pungkasnya.
            “Terima kasih, sensei!”

            Marnis bertepuk tangan. “Selamat! Yah, sudah jelas kau memenuhi syarat khusus tentang hal-hal di luar logika. Selamat datang, anak baru. Jangan sampai kau membakar hatiku, ya.” Marnis memberinya kedipan sebelah mata.
            Wajah Kazuma langsung merah sampai ke telinga.

* * * * *

            Sudah seminggu Kazuma bekerja di Kedai Mafuya. Hari itu, kedai tidak begitu ramai. Seharian itu, baru ada sepuluh tamu. Tamu ke-10 baru saja menyalami Fao dengan bersemangat, kemudian berlalu ke pintu keluar, menembus tirai kain merah hitam khas kedai ramen. Kepergiannya diiringi gema lonceng angin di atas pintu, yang melenyapkan beberapa gelembung sewarna pelangi.
           Kazuma memperhatikan kepergian orang itu dengan penuh minat.

           “Ah, nona Marnis. Sebentar.” Kazuma menyapa Marnis yang sedang mengelap meja tak jauh darinya. Gadis itu mendongak. “Maafkan aku, tapi sejak beberapa hari yang lalu sebetulnya aku ingin bertanya. Kenapa ada gelembung-gelembung warna-warni yang beterbangan dan hilang ditelan lonceng angin?”

           Marnis tersentak kaget. Ia menoleh pada Fao yang sedang mengaduk kuah kaldu ramen di sisi kiri dapur. Fao diam saja.
            “Kuperhatikan, gelembung itu sepertinya keluar dari kepala para pelanggan yang sedang makan, lalu terbang ke arah pintu masuk dan lenyap setiap kali lonceng berbunyi. Awalnya kukira itu dekorasi kedai, tapi...” Kazuma tampak rikuh. Sepertinya dia sadar kalau dia baru saja mengajukan pertanyaan yang tidak boleh ditanyakan.

           “Itu esens kebahagiaan.” Tiba-tiba saja Fao menyahut di tengah kesibukannya. “Semestinya, orang biasa tidak bisa melihatnya. Tapi ternyata kau bisa.”
            “Uh... Itukah ‘hal-hal di luar logika’ yang disebutkan di syarat khusus kemarin?”
        “Gelembung-gelembung itu tidak berbahaya. Sensei sudah bertahun-tahun mengumpulkan esens kebahagiaan. Kami menggunakannya untuk membuat eliksir awet muda. Esens itu juga bumbu rahasia ramen di sini. Kami mencampurkannya ke dalam kuah untuk menyebarkan lebih banyak kebahagiaan kepada semua orang.” Marnis menjelaskan dengan hati-hati.

            “Cara kerjanya sebetulnya sama seperti telur buatanmu,” tukas Fao sambil mengiris daun bawang. “Apimu punya kekuatan untuk memberi kehangatan pada makanan yang kau masak. Kehangatan itu bisa menghangatkan tubuh orang yang memakannya. Kau pikir, kenapa aku mau menerimamu bekerja di sini?”
            Kazuma tampak tercengang.
            “Tapi kalau kau tak suka dengan kenyataan ini, kau boleh berhenti. Pintu keluar ada di sebelah sana.” Fao menunjuk dengan pisau seolah tak peduli.

           Marnis menatap Kazuma. Pemuda itu bimbang sejenak, tapi kemudian ia mengangkat bahu. “Yah, aku sendiri sama anehnya dengan kalian. Aku suka bekerja di sini. Lagipula...” Kazuma tersenyum malu-malu. “... Aku yakin kalian sebenarnya orang baik. Tak ada salahnya menyebarkan kebahagiaan.”
            Marnis meraih sebelah tangan Kazuma dan menggenggamnya.
            “Terima kasih. Kami belum pernah bercerita pada orang lain sebelum ini. Kuharap kau mau merahasiakannya.”
            “Tentu saja. Jangan khawatir.”
            Fao menggerutu pelan.

            “Tunggu. Berkaitan dengan penjelasan tadi, kurasa aku punya ide bagus,” lanjut Kazuma. “Kau bilang masakanku punya kekuatan menghangatkan sedangkan ramen buatanmu bisa membahagiakan? Kenapa tidak menggabungkannya dan membuat menu baru?”

            Fao memandang Marnis. Marnis balas memandangnya. Keduanya lalu menatap Kazuma dan mengangguk setuju.

* * * * * * *
            2 minggu kemudian, kedai Mafuya memperkenalkan menu baru, khusus untuk musim dingin. Kazuma telah mengembangkan kemampuannya dan berhasil membuat 2 jenis minuman. Yang pertama adalah Coklat Peri Salju, minuman coklat hangat dengan serutan coklat putih di atasnya. Coklat putih ini dilelehkan dengan api tepat sebelum disajikan (tentu saja dengan memakai kekuatan Kazuma). Lalu ada Rice Liquor, minuman beralkohol yang dibuat dari campuran sake beras dan disajikan hangat-hangat beserta gelas khusus yang tak kalah panasnya. Sedangkan untuk makanan pencuci mulut, mereka bertiga berhasil mengembangkan resep orisinil Samurai Pudding. Puding ini mirip puding roti isi kismis, namun menggunakan susu kedelai sehingga rasanya jauh lebih lembut. Semua menu itu amat cocok untuk menghangatkan tubuh di musim seperti itu. Dengan inovasi dari Kazuma, kedai mereka menjadi semakin laku. 

Semakin lama, semakin banyak orang yang bahagia di kota itu. Kebahagiaan menyebar dengan cepat, sehingga ketika orang-orang yang membutuhkan kebahagiaan semakin sedikit, Fao memutuskan untuk pindah ke tempat lain yang lebih membutuhkan bantuan mereka. Ia menyampaikannya pada Marnis ketika mereka sedang berdua saja di lantai atas. Kedai baru saja tutup setengah jam yang lalu, dan Kazuma sudah masuk ke kamar yang disediakan untuknya di gudang belakang.

           “Kurasa itu keputusan terbaik. Ah, aku akan merindukan anak muda itu.” Marnis mendesah pelan, matanya menerawang keluar jendela.
            “Buat apa kau kangen padanya? Bocah itu juga akan kuajak.” Fao menyahut ketus.
            Marnis tertawa. “Kadang aku tak mengerti keputusan sensei. Tapi, ada satu hal yang kumengerti.”
            “Apa itu?” Fao bertanya tak acuh.
            “Sensei tak suka kalau aku akrab dengan Kazuma dalam wujud perempuan.”


            Fao memalingkan muka. “Pikiran bodoh.”


Catatan: Cerpen ini telah diikutsertakan dalam kontes Cerita Bulanan (CerBul) di forum Kastil Fantasi di situs Goodreads pada bulan Desember, dan berhasil keluar sebagai pemenang utama.

Penulis: Dini Afiandri

Tulisan lain dari Dini Afiandri

Kenali lebih dekat di sini:

Icon Icon

4 komentar:

  1. Din, imajinasimu oke. Aku senang bacanya karena bahasanya mengalir dan beberapa kalimat juga mulai coba pakai metafora. Jadi pingin datang ke Kedai Mafuya :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih udah baca, Tam. Semoga kelak ada cerita Kedai Mafuya mampir/buka di Indonesia. :D

      Hapus
  2. Balasan
    1. Halo, Dian. Salam kenal ya. :)
      Terima kasih banyak sudah baca, syukurlah kalau suka.

      Hapus