Saat aku
menulis cerita ini, chanel youtube tiba-tiba loncat ke video Hugo Ball yang
sedang memainkan Cabaret Voltaire, itu tahun berapa Dada, siapa menekan, siapa
memindahkan saluran, siapa menukar ingatan. Padahal aku sedang menulis
mencorat-coret cerita yang ada di laman kuping hitam, bukan, bukan cerita yang
kubuat, tapi cerita dari anggota yang lainnya. Cerita Hanum, Cerita Andin,
Cerita Yuki, Cerita Ronny.
Kuping
hitam pernah membuat sebuah novel yang dibuat secara keroyokan, anggotanya ya orang-orang
yang biasa-biasa saja, termasuk di dalamnya AS Laksono dan Yosi Aveanti, lihat
kan dari nama-nama itu biasa saja. Kalo di Italia, membuat novel keroyokan ini
sudah masuk ke dalam sastra postmodern dan penulis-penulisnya yang berserikat dengan
nama Wu Ming sering dibahas di jurnal-jurnal sastra kampus-kampus terkemuka. Tapi
nasib Serikat Kuping Hitam ini biasa-biasa saja, datar-datar saja, sesuatu
karya yang tidak penting dalam sastra di sini.
Apalagi ada si Brengsek yang mengaku-ngaku
sebagai anggota serikat, di laman kuping hitam sebenarnya aku belum pernah lihat
nama si Brengsek ikut nampang di jajaran penulisnya. Apa kamu pernah lihat? Apa
pernah ada nama si Brengsek di dalam laman webnya lalu kemudian terhapus? Siapakah penghapus itu?
Sudahlah,
mari kita masuk ke cerita saja. Jadi seperti ini ceritanya, seperti seperti
seperti cerita:
Cahaya keemasan itu menarik perhatian Sakai. Bukan pertanda senja,
bukan pula pantulan
cahaya matahari
dari air laut bening di hadapannya. Cahaya itu berasal dari sesuatu. Angin laut seperti menghembuskan
cahaya itu ke
matanya. Pandangan Sakai menyipit.
Sakai meletakkan tali
pengait perahunya.
Dia berlari ke garis pantai. Ombak tiba-tiba menghempas sangat kencang. Gemuruh angin jadi
semakin ribut. Sakai langsung mengambil perahu mesin dan mendorongnya ke air. Ia
menyalakan mesin
dan berlayar di antara ombak yang tampaknya makin ganas mengempas ke garis pantai.
Dia melambai panik. Topinya
diterbangkan angin. Hatinya berdegup takut orang-orang menertawakan karena dia
jalan-jalan membawa gelatik di atas kepala. Ia mencoba menangkap topinya tapi
sang topi terus saja terbang ke ujung jalan. Meliuk-liuk seperti menunggang
angin. Pergi
menjauh tanpa menoleh, seperti memang ingin berpisah.
Perempuan itu terdiam di pinggir
jalan. Matanya mengawasi orang-orang. Tukang burger. Tukang es. Tukang koran.
Tukang ojek. Semua tetap pada aktivitas masing-masing. Dia meraba puncak
kepalanya. Gelatik itu
ada di sana. Hinggap manis seperti semula. Tapi orang-orang, kenapa
mereka diam saja?
Perempuan itu mulai berpikir memang hanya dia yang bisa melihat gelatik itu.
Sambil menata debaran jantungnya, perempuan itu memutuskan untuk terus saja berangkat kerja (dia jadi akuntan seperti
ibunya). Di depan lift, satpam menyapa seperti biasa. Di lantai tiga, sekretaris bos
menanyakan berkas tanpa sedikit pun nyeletuk soal burung. Teman-temannya sesama
akuntan sibuk menghadap layar komputer masing-masing, mengobrol sekenanya, tapi
tidak ada satu pun yang menjerit melihat kepalanya. Padahal, gelatik itu masih ada di sana.
Bayangannya
terpantul pada layar monitor komputer saat perempuan itu bekerja. Dia sedikit lega.
Hari itu berjalan wajar saja
dan begitulah hari-hari berikutnya, bahkan ketika gelatik mulai membikin sarang. Gelatik
pergi terbang keluar jendela. Meskipun perempuan itu kemudian menutupnya, sang gelatik selalu menemukan cara untuk kembali
hinggap di tempat yang sama. Gelatik terbang mencari ranting-ranting kering, lalu
menyusunnya di atas kepala perempuan itu tanpa minta izin. Perempuan itu akhirnya
pasrah. Kini ia tak hanya seorang perempuan dengan seekor gelatik di atas kepala; ia
seorang perempuan dengan seekor gelatik bersarang di atas kepala.
Ranting-ranting kering kadang membuat kepala perempuan itu gatal. Kalau sudah begitu, dia terpaksa menggaruk. Dia
katakan ‘terpaksa’, karena sekarang sudah tidak terpikir mau mengusir gelatik dan mengobrak-abrik
sarangnya. Dia
bahkan takut melakukan gerakan-gerakan yang bisa membuat gelatik pergi, meskipun dia
tahu bahkan keramas pun tak mempan mengusir si gelatik.
Matilah aku. Di tahun dua ribu tiga belas ini masih ada
manusia yang menganut sistem barter. Memangnya ini zaman apa? Kalau di daerah
pelosok mungkin saja masih ada masyarakat yang bertransaksi dengan tukar-menukar barang. Tapi, itu pun
umumnya untuk hasil-hasil bumi, misalnya singkong ditukar beras. Si Petani A
hanya berladang singkong dan jagung. Dia ingin memberi makan anak dan
istrinya. Dia pun
menukarnya dengan beras hasil bercocok tanam si Petani B. Kalau sarung
bantal dan ongkos
Metro Mini? Sungguh tidak masuk akal.
Oh, maafkan kelancanganku. Kurasa sebenarnya Ibu Tua itu bermaksud baik. Mungkin dia lupa membawa dompet, lihat saja pembawaannya yang seperti orang linglung. Atau mungkin dia kehabisan uang. Demi tidak menumpang gratis, dia pun menawarkan harta karunnya. Sebuah sarung bantal warna-warni. Aku pun dilanda kebingungan. Kenapa hanya aku? Penumpang lain seperti tidak mau peduli. Mereka langsung buang muka. Ada yang langsung menundukkan kepala hendak molor.
Si kondektur melewati kami lagi sambil mendengus-dengus seperti banteng kepanasan.
Sepertinya dia benar-benar dongkol.
Si Ibu Tua menengok ke kanan dan kiri, seperti merasa canggung terhadap dirinya sendiri. Seperti merasa bersalah kepada semua orang. Aku membuka kantong depan tasku, meraih dompet kecil. Kutarik uang tiga ribu perak. Tanpa pikir panjang kuserahkan uang itu kepadanya.
"Ini, Bu, untuk ongkos."
Matanya…
"Makasih, Neng. Makasih, ya. Ini untuk Neng." Dia menyodorkan sarung bantal bergambar gajah bermain di awan.
"Tidak, Bu. Tidak usah." Kenapa aku menolaknya?
Oh, maafkan kelancanganku. Kurasa sebenarnya Ibu Tua itu bermaksud baik. Mungkin dia lupa membawa dompet, lihat saja pembawaannya yang seperti orang linglung. Atau mungkin dia kehabisan uang. Demi tidak menumpang gratis, dia pun menawarkan harta karunnya. Sebuah sarung bantal warna-warni. Aku pun dilanda kebingungan. Kenapa hanya aku? Penumpang lain seperti tidak mau peduli. Mereka langsung buang muka. Ada yang langsung menundukkan kepala hendak molor.
Si kondektur melewati kami lagi sambil mendengus-dengus seperti banteng kepanasan.
Sepertinya dia benar-benar dongkol.
Si Ibu Tua menengok ke kanan dan kiri, seperti merasa canggung terhadap dirinya sendiri. Seperti merasa bersalah kepada semua orang. Aku membuka kantong depan tasku, meraih dompet kecil. Kutarik uang tiga ribu perak. Tanpa pikir panjang kuserahkan uang itu kepadanya.
"Ini, Bu, untuk ongkos."
Matanya…
"Makasih, Neng. Makasih, ya. Ini untuk Neng." Dia menyodorkan sarung bantal bergambar gajah bermain di awan.
"Tidak, Bu. Tidak usah." Kenapa aku menolaknya?
Tadinya aku ingin merobek kupingnya
dengan makian paling orisinil. Beruntung, sebelum sempat melakukannya
aku tersadar. Mendebatnya cuma menambah kesialan saja. Maskapai ini
terkenal licin. Terlambat dan minta maklum adalah hak eksklusif mereka. Dan
mereka pernah mengerjaiku. Saat itu aku terlambat check-in satu menit
dan mereka bilang bagasi tidak boleh masuk lagi sebab pesawat akan berangkat
44 menit lagi. Terpaksalah aku mendermakan koperku beserta isinya kepada
para kuli. Aku lalu bergegas berlari ke ruang tunggu, berkeringat, berdebar, hanya untuk mendengarkan mereka memohon maklum karena pesawat akan terlambat satu jam. Sial! Maklum mereka
ditukar dengan koporku.
Jadi, alih-alih berdebat dengan
si Buah Terkutuk, aku membujuknya untuk mencarikan maskapai lain yang berangkat dalam
waktu dekat.
Aku beruntung—yang setelah kupikir lagi sebenarnya aku buntung karena kantongku dikuras tanpa ampun—ada yang akan terbang satu jam lagi. Takut diterjang kesialan lagi, aku sambar tawaran itu, langsung check-in, lalu pergi ke ruang tunggu.
Tak pernah kubayangkan bisa
sedemikan nelangsa melihat sebuah pesawat terbang. Dari
balik kaca ruang tunggu ini kulihat pesawat yang
harusnya kunaiki mulai bergerak.
Mungkin saat ini pilotnya sedang menjulurkan lidah kepadaku.
Dan para pramugari sedang melambai-lambaikan tangan. Tak perlu jadi
peramal untuk tahu aku akan
terlambat meeting jam setengah sebelas nanti. Entah makian apa yang
harus aku telan karena delayed proyek—padahal
itu jatah si Firhan. Dan saat melapor jam delapan nanti, sebelum pesawat
berangkat, aku pasti didamprat habis-habisan oleh bosku. Gusti, bunuh saja aku sekalian.
Mengapa untuk hal
sepele seperti ini aku bisa sial?
Lewat kaca
itu kulihat pesawat melaju kencang, bersiap untuk terbang.
Untung Sejati, Bapak, kurasa kau
salah memberiku nama.
Pesawat itu terus
melaju dan beberapa detik kemudian, tepat ketika akan lepas landas, ia
menjadi juru bicara Bapak.
Ketika datang, sabdanya langsung
membuat badanku gemetar, mataku
melotot, dan tubuhku lunglai. Orang-orang di sekitarku berteriak bagai jamaah yang sedang
mengamini imam. Bahkan kaca ruang tunggu bergetar laksana sedang menerima wahyu.
Kudengar sirine berkumandang. Kulihat para petugas berlarian. Di luar perang seolah sedang meletus. Pesawat yang harusnya kutumpangi gagal lepas landas. Asap hitam membumbung bagai cendawan raksasa. Malaikat maut pasti sedang bekerja keras di bawahnya.
Kudengar sirine berkumandang. Kulihat para petugas berlarian. Di luar perang seolah sedang meletus. Pesawat yang harusnya kutumpangi gagal lepas landas. Asap hitam membumbung bagai cendawan raksasa. Malaikat maut pasti sedang bekerja keras di bawahnya.
Cerita menghitam menghitam cerita cerita
menghitam cerita menghitam menghitam cerita cerita menghitam menghitam cerita
cerita menghitam cerita menghitam menghitam cerita menghitam menghitam cerita
cerita menghitam
cerita menghitam menghitam cerita menghitam menghitam cerita cerita menghitam cerita
menghitam menghitam cerita menghitam menghitam cerita cerita menghitam cerita
menghitam menghitam cerita menghitam menghitam cerita cerita menghitam cerita
menghitam menghitam cerita menghitam menghitam cerita cerita menghitam cerita
menghitam menghitam cerita
Cerita menghitam menghitam cerita cerita
menghitam cerita menghitam menghitam cerita cerita menghitam menghitam cerita
cerita menghitam cerita menghitam menghitam cerita.
Oh, ini ...,ngga sengaja dihitamin tapi malah jadi kisah yang unik, loh 😁
BalasHapusYok, terus semangat menulis dan ngeblogging, kak