Selasa, 20 Agustus 2013

- 5 comments

Sarung Bantal Bergambar Gajah


sumber: www.illustrationdot.com


Pertemuan pertamaku dengannya terjadi di sebuah Metro Mini. Ya, Metro Mini. Bus bertubuh sedang berkulit belang oranye-biru itu berhenti tepat di depanku malam itu. Tepat di saat diriku yang kurus dan kelelahan ini baru menyeberangi jalan di persimpangan dengan lampu merah sedang menyala. Semua kendaraan bermotor-tak bermotor berhenti. Waktu seakan-akan melambat. Harusnya momen ini terasa hening. Tapi tidak di Jakarta. Jangan harap kau bisa menemukan keheningan di jalan raya pada jam-jam pulang kantor. Atau jam berapa pun.


Aku naik melalui pintu depan Metro Mini dan langsung melihat bangku kosong di sebelah kanan. Beruntung sekali aku masih bisa mendapatkan tempat duduk. Benar-benar mukjizat. Biasanya angkutan ini selalu dipadati penumpang hingga berdiri pun goyah karena jarak antara kaki kanan dan kaki kiri tidak cukup untuk menyeimbangkan tubuh.


Hari sudah menjelang malam. Gelap semakin merambat. Samar-samar kuperhatikan sosok seorang ibu tua di sebelah. Dia duduk di bagian kiri bus. Di sampingnya ada seorang lelaki tanggung, duduk tepat di sisi jendela. Aku dan Ibu Tua itu sama-sama duduk di bagian pinggir. Metro Mini reyot ini langsung tancap gas begitu lampu berganti hijau. Seperti biasa, bus terjengkang sedikit sebelum benar-benar melaju lurus. Sialnya, bus tua bangka semacam ini seperti memiliki dendam kesumat terhadap penumpang yang setiap hari menyesakinya. Ia seperti ingin membunuh kami semua. Asap hitam mengepul panas, menyeruak dari balik tutup mesin yang berada di samping supir yang kurasa adalah teman SMP-ku. Ya, kurasa dia memang teman SMP-ku. Aku lupa namanya. Oh, lupakan dia. Aku bukannya ingin menceritakan kemahirannya melajukan Metro Mini ini secara zig-zag sedari tadi. Asap karbon yang terhirup terasa kering dan menyesakkan. Kau bisa merasa seolah-olah ada pasir-pasir halus yang menyumbat tenggorokanmu. Aku terbatuk-batuk. Begitu pula Ibu Tua itu, dan semua orang di dalam Metro Mini ini. Kami seperti menumpang kendaraan renta yang berbahan bakar batu bara. Dan si supir semakin menggebu-gebu menambah kecepatan.


Ibu Tua itu mengeluarkan sesuatu dari dalam kantong plastik hitam yang dipangkunya. Sarung bantal. Ya, dia mengeluarkan sarung bantal dan menutup mulut serta hidungnya. Matanya yang sayu menyempil sedikit. Rambutnya yang ikal terlihat kusut. Ibuku yang berambut sama juga malas menyisir. Mungkin mereka bisa berteman.


Ups, dia menengok ke arahku. Aku tertangkap mata sedang mengamatinya. Aku pun menyimpulkan sedikit senyum. Terasa janggal memang.


Tiba-tiba kondektur melewati kami, memutuskan kontak canggung kami. Kondektur bau asam itu menagih ongkos. Saking asamnya bau badannya, kurasa keringatnya bisa melelehkan besi, pikirku iseng. Aku memberikan uang pas tiga ribu perak. Aku pun melihat Ibu Tua itu lagi. Kondektur sedang menunggu ongkos darinya. Ibu Tua itu merogoh-rogoh plastik hitamnya. Ternyata dia tidak membawa tas, hanya sebuntal plastik hitam itu. Dia terus merogoh-rogoh, lalu menarik sarung bantal satu demi satu. Ada yang bergambar gajah, awan, laut, singa, pulpen, buku tulis, dan pohon. Kenapa gambarnya acak-acakan?


Oh, sarung bantal itu terbuat dari kain-kain perca berbagai motif. Maka, tak heran ada sarung bantal yang seperti mengisahkan gajah yang bermain di awan, pohon yang berbuah buku tulis dan pulpen, dan singa yang berenang di lautan. Sarung bantal warna-warni itu sungguh bertolak belakang dengan penampilan si Ibu Tua yang serba kelabu. Dia seperti baru kembali dari Zaman Industri di Inggris. Blus kusut yang dikenakannya entah hitam atau abu-abu. Dia menggulung celana panjangnya hingga betis, memamerkan otot-otot yang kaku dan telapak kaki yang keriput. Dia sungguh seperti hidup dalam tabung televisi hitam-putih.


"Ada gak, Bu?" bentak Kondektur Asam Klorida itu.


"Sebentar." Jawab Ibu Tua itu kebingungan.


"Kalau mau naik angkot bawa duit, dong!" Bentak kondektur itu lagi sambil melengos ke belakang, lalu bergantungan di pintu seperti orang utan.


Ibu Tua itu masih merogoh-rogoh kotak harta karunnya. Ekspresinya benar-benar mengundang iba, atau malah seperti hendak melunturkan harapan orang lain.


Si kondektur lewat lagi. Ibu Tua itu menarik bagian bawah kaus kumalnya.


"Bayar pakai ini aja, Bang." Tawarnya sambil menyodorkan sarung bantal yang bergambar gajah bermain di awan.


"Apa sih, Bu? Gak!" Si kondektur sewot dan menepis sarung bantal itu.


Matilah aku. Di tahun dua ribu tiga belas ini masih ada manusia yang menganut sistem barter. Memangnya ini zaman apa? Kalau di daerah pelosok mungkin saja masih ada masyarakat yang bertransaksi dengan tukar-menukar barang. Tapi, itu pun umumnya untuk hasil-hasil bumi, misalnya singkong ditukar beras. Si Petani A hanya berladang singkong dan jagung. Dia ingin memberi makan anak dan istrinya. Dia pun menukarnya dengan beras hasil bercocok tanam si Petani B. Kalau sarung bantal dan ongkos Metro Mini? Sungguh tidak masuk akal.


Oh, maafkan kelancanganku. Kurasa sebenarnya Ibu Tua itu bermaksud baik. Mungkin dia lupa membawa dompet, lihat saja pembawaannya yang seperti orang linglung. Atau mungkin dia kehabisan uang. Demi tidak menumpang gratis, dia pun menawarkan harta karunnya. Sebuah sarung bantal warna-warni. Aku pun dilanda kebingungan. Kenapa hanya aku? Penumpang lain seperti tidak mau peduli. Mereka langsung buang muka. Ada yang langsung menundukkan kepala hendak molor.


Si kondektur melewati kami lagi sambil mendengus-dengus seperti banteng kepanasan.


Sepertinya dia benar-benar dongkol.


Si Ibu Tua menengok ke kanan dan kiri, seperti merasa canggung terhadap dirinya sendiri. Seperti merasa bersalah kepada semua orang. Aku membuka kantong depan tasku, meraih dompet kecil. Kutarik uang tiga ribu perak. Tanpa pikir panjang kuserahkan uang itu kepadanya.


"Ini, Bu, untuk ongkos."


Matanya


"Makasih, Neng. Makasih, ya. Ini untuk Neng." Dia menyodorkan sarung bantal bergambar gajah bermain di awan.


"Tidak, Bu. Tidak usah." Kenapa aku menolaknya?


"Makasih, ya." Ujarnya sekali lagi.


Aku tersenyum. Aku merasa telah melakukan hal yang benar. Hal yang baik.


Kemudian, Ibu Tua itu bangkit. Dia berjalan tergopoh-gopoh ke depan sambil membawa buntalan plastik hitamnya.


"Kiri, Bang."


Beberapa penumpang turun di belokan itu. Giliran si Ibu Tua yang turun terburu-buru. Kulihat dia menyerahkan uang tiga ribu perak kepada kondektur yang masih bergelantungan di dekat pintu. Kondektur itu tampak terperangah. Mungkin dia kaget karena si Ibu Tua membayar ongkosnya. Mungkin dia merasa bersalah. Entahlah. Itu urusannya.


Sementara aku? Apa urusanku? Aku menginginkan sarung bantal bergambar gajah bermain di awan itu. Ya, aku menginginkannya. Aku mau sarung bantal warna-warni itu.


"Bang, kiri, Bang. Kiri, Bang." Teriakku sambil berjalan ke arah pintu.


Supir mengerem mendadak. Menyeruak pulalah asap hitam yang sedari tadi sudah meracuni kami. Aku langsung melarikan diri dan menengok ke arah belakang. Sudah lewat beberapa meter dari tempat Ibu Tua itu turun. Aku berlari-lari ke arah itu. Aku harus mengejarnya. Aku menginginkan sarung bantal itu. Aku ingin bertanya kenapa dia menawarkan sarung bantal itu kepada si kondektur? Kenapa dia tidak memiliki uang? Apakah dia yang membuat sarung bantal itu? Apakah dia hendak menjual sarung bantal itu?


Jalan lengang dan kelam. Semua orang seperti berlindung di dalam rumah yang penuh cahaya. Mobil-mobil melaju tanpa suara. Aku seperti tidak bisa mendengar apa pun. Hening. Aku seperti tidak bisa merasakan apa pun.


Ibu Tua itu tidak ada. Aku tidak melihatnya di mana pun. Dia baru turun tidak sampai lima menit yang lalu. Ke mana dia melangkah? Ke mana aku bisa mencari sarung bantal itu?


Aku tidak mendapatkan jawabanku. Hingga kini.

Jakarta, Agustus 2013

Penulis: Yuki Anggia

Tulisan lain dari Yuki Anggia

Kenali lebih dekat di sini:

Icon Icon G+

5 komentar:

  1. Endingnya keren banget. Sampe merinding. Udah gitu bacanya malem malem lagi.

    BalasHapus
  2. hehehe, thank you. :) semoga suka, ya.

    BalasHapus
  3. momen yang dideskripsikan dengan amat menyentuh .

    BalasHapus
    Balasan
    1. terima kasih, ini terinspirasi dari kisah nyata saya. :)

      Hapus
  4. Ceritanya biasa saja. Tapi karena dikisahkan dengan penuh penjiwaan, cerpen ini sangat menyentuh hati. Hmm, jadi pengin berteman dengan penulisnya di media sosial. Boleh enggak, ya?

    BalasHapus