Jumat, 09 Agustus 2013

- Leave a Comment

Proyek Novel Lenka

Catatan Proyek Lenka — Yusi Avianto Pareanom

Sebuah buku bisa lahir karena rasa haru. Lenka adalah salah sat­unya. Tapi, sebelum sam­pai ke sana, izinkan saya melan­tur dulu.

Bagi saya, Bengkel Penulisan Novel Dewan Kesen­ian Jakarta yang dige­lar pada 2008 dan 2009 adalah berkah karena kegiatan ini mem­perte­mukan orang-orang yang berun­tung. Dua pen­ga­jarnya, A.S. Lak­sana (Sulak) dan saya, san­gat gemar mem­bual. Kami sudah ter­jangkit bakat ini saat per­tama kali bertemu pada 1981 di kota kelahi­ran kami, Semarang. Saat itu kami masih duduk di bangku SMP. Kebi­asaan ini kami lan­jutkan di SMA ketika kami juga bela­jar di seko­lah yang sama. Seperti laz­im­nya orang Semarang yang lain, kami tum­buh atau tepat­nya diku­tuk men­jadi tukang cela, tukang ngeyel, dan tukang keluh pro­fe­sional (kuliah di Jog­jakarta sedikit melu­nakkan bakat-bakat kami itu). Den­gan porto­fo­lio semacam ini, jelas kami merasa berun­tung saat Zen Hae, Nuk­ila Amal, dan Ayu Utami dari Komite Sas­tra DKJ menawari kami men­ga­suh Bengkel. Sung­guh meng­giurkan, diberi kesem­patan menipu orang-orang baru selama tiga bulan. Dasar jodoh, murid-murid yang kami dap­atkan selama dua peri­ode terny­ata san­gat senang kami gurui dan cela karyanya.

Ada dua belas kali perte­muan untuk setiap peri­ode Bengkel yang dige­lar di MP Book Point di kawasan Jeruk Purut, Jakarta Sela­tan. Induk semang perte­muan adalah Ros­di­anah Angka. Setiap Sabtu, kelas dim­u­lai pukul dua siang dan berakhir pukul empat sore. Itu jad­wal resminya. Setiap sele­sai kelas, perte­muan selalu berlan­jut sam­pai petang bahkan malam hari, biasanya di teras belakang MP Book Point den­gan ngopi dan meng­gasak camilan-camilan yang ben­tuk, tek­stur, dan rasanya ajaib—utamanya pada 2009, kadang kami pin­dah ke kafe lain. Jelas, pen­ga­jarnya belum puas ber­ki­cau semen­tara murid­nya kecan­d­uan dikibuli.


Ketika kelas 2009 berakhir pada Desem­ber tahun itu, beber­apa peserta secara ter­buka meny­atakan kesedi­han mereka. Mungkin mereka kebanyakan non­ton fim India atau telen­ov­ela. Sial­nya, kami berdua ketu­laran. Agar ada alasan perte­muan terus berlan­jut, saya menawarkan kepada angkatan 2009 untuk mem­buat karya bersama. Ini murni kece­lakaan dan awal kepuyen­gan saya—saya akan men­je­laskan lebih lan­jut di bawah. Semestinya, saya meniru saja orang-orang desa Asterix yang tak memer­lukan alasan saat ingin mengge­lar kenduri.

Apa pun, tawaran sudah kadung digulirkan. Apalagi saya punya janji kepada Komite Sas­tra, bahwa pener­bi­tan saya, Banana, akan mener­bitkan karya ter­baik peserta pelati­han. Bila kemu­dian tawaran berubah men­jadi pener­bi­tan karya bersama, itu karena semua peserta setara kecaka­pan­nya. Sekalipun awal­nya tawaran ini dis­odor­kan di milis Bengkel 2009, saya dan Sulak juga men­ga­jak anak-anak angkatan 2008 ikut bergabung dalam proyek kegem­bi­raan bersama ini.

Di milis Bengkel, pada 27 Desem­ber 2009, ter­il­hami oleh beber­apa peri­s­tiwa bunuh diri di mal-mal Jakarta, saya menulis begini: Pada sebuah acara peng­galan­gan dana yang meriah, seo­rang perem­puan muda bergaun biru wisnu jatuh dari lan­tai lima. Namanya Mag­dalena, biasa dipang­gil Lenka mengikuti kebi­asaan orang Eropa Timur (neneknya orang Mag­yar, Hun­garia), 22 tahun, maha­siswa dan model. Bunuh diri, kece­lakaan, atau sen­gaja didorong oleh seseorang?

Saya masih menulis beber­apa kali­mat pancin­gan lagi yang intinya mem­inta para montir—demikian para peserta menye­but diri mereka, saya dan Sulak tak per­nah menyapa mereka seperti itu, kami memang­gil mereka Sarekat Penulis Kup­ing Hitam, lebih lan­jut soal ini di bawah—merumuskan sendiri siapa Lenka dan men­gapa peri­s­tiwa naas itu bisa ter­jadi. Saya mem­per­si­lakan mereka men­ga­jukan ide yang ingin mereka tulis. Boleh mengikuti pancin­gan, boleh juga bikin lakon carangan sep­a­n­jang ada benang merahnya.

Apakah ide awal terse­but akan men­jadi kumpu­lan cer­pen atau novel, saya meny­er­ahkan­nya kepada peserta Bengkel. Apakah nan­ti­nya akan plek seperti pancin­gan atau meny­im­pang seliar mungkin, saya tak punya bayan­gan pada waktu itu. Saya mengam­bil sikap meniru sebuah bait puisi pet­uah dari seo­rang perem­puan yang per­nah saya tak­sir semasaSMA—ia ser­ing sekali menulis puisi semacam itu di milis alumni SMA kami: biarkan­lah semuanya men­galir. Tapi, saya dan Sulak yakin proses dan hasil­nya bakal seru. Yang kami minta adalah anak-anak Bengkel meng­hadirkan keju­tan dan berani mening­galkan zona nya­man mereka.

Tawaran itu lang­sung dis­am­bar. Pertama-tama soal keikut­ser­taan. Sekalipun saya mem­beri teng­gat pendaf­taran, yang telat tahu kabar ini juga ingin ikut. Lalu Sulak men­gom­pori soal honor. Nyaris semuanya lang­sung mem­prak­tekkan jurus sapi bersim­puh dan bilang bahwa dia­jak menulis bersama saja sudah senang. Dalam hati saya merutuk, sialan, mereka pin­tar memanc­ing haru, dan itu ala­mat ban­dar bakal rugi.

Tepat pada 1 Jan­u­ari 2010, Yuki Anggia Putri Ritonga men­jadi orang per­tama yang menggelind­ingkan bola. Ia menulis kehidu­pan kuliah Lenka dan perte­muan­nya den­gan seo­rang fotografer—Andina menyam­barnya den­gan menyebut-nyebut soal ali­ran fotografi pem­be­basan. Lalu Mif­tah Rah­man menulis ten­tang per­jan­jian den­gan setan yang dilakukan ayah Lenka, seo­rang kon­duk­tor orkestra. Apendi, sesuai pet­ingkah­nya yang serba mis­terius dan kon­spir­atif, bahkan sam­pai saat ini, meny­o­dor­kan keter­li­batan organ­isasi raha­sia yang berada di balik kema­t­ian Lenka. Wahyu Heriyadi, jauh-jauh dari Palu, menyum­bang cerita mistis ten­tang gedung yang men­jadi lokasi kema­t­ian Lenka. Semen­tara itu, Nia Nur­dian­syah mem­beri tin­jauan psikologi pan­jang lebar ten­tang orang-orang yang bunuh diri.

Bagaikan gerom­bolan piranha men­da­p­atkan tete­lan babi, anggota Bengkel yang lain menyam­bar dan mem­beri kri­tik. Sal­ing kritik—atau sal­ing bantai—memang men­jadi asu­pan har­ian kami. Dila­rang sakit hati adalah pela­jaran hari per­tama di Bengkel. Den­gan kri­tik, ide kurang bagus bisa terasah, dan ide yang sudah bagus akan tam­bah mengk­i­lap. Usulan-usulan baru pun melun­cur deras. Sulak menye­but mereka kaum yang kesu­ru­pan Lenka.

Sete­lah beber­apa bola menggelind­ing dan diten­dang beramai-ramai, saya men­gu­lang lagi per­tanyaan apakah Proyek Lenka, demikian kegem­bi­raan dan eksper­i­men bersama ini dise­but, akan digarap bersama-sama seba­gai sebuah novel atau setiap yang ter­li­bat ingin mem­buat tafsir sendiri-sendiri atas ide awal. Semuanya sep­a­kat memilih yang pertama.


Saya men­ga­jak mereka berkumpul lagi untuk mem­ba­has out­line dan karakter-karakter yang ingin dimunculkan. Kami bertemu pada awal Jan­u­ari 2010, dan tem­pat perte­muan yang dip­ilih anak-anak Bengkel sung­guh tak ima­ji­natif. Dari 1.234 kafe di Jakarta, mereka memilih MP Book Point. Alasan­nya, takut kesasar kalau ke tem­pat lain. Saya men­gan­cam tak akan meneruskan Proyek Lenka bila tem­pat perte­muan berikut­nya tak berubah.

Perte­muan hari itu juga menandai per­jumpaan per­tama anak-anak angkatan 2008 dan 2009. Perbe­daan yang men­colok antara dua angkatan ini adalah anak-anak 2008, tepat­nya Wiwin Erikawati, mem­bawa sekar­dus kue yang enak-enak semen­tara anak-anak 2009 datang den­gan tan­gan kosong. Mungkin angkatan 2009 kan­gen den­gan cami­lan MP Book Point seperti com­bro yang harus dicelup­kan ke kopi panas karena sak­ing keras­nya atau bolu yang seuku­ran tela­pak tan­gan orang dewasa yang baru saja tersen­gat lebah—besar sekali.

Perte­muan itu menyepakati banyak hal. Uta­manya ten­tang apa dan siapa Lenka—usianya ter­pangkas men­jadi 19 tahun dalam rapat ini, misalnya—motif tindakan-tindakannya, karakter-karakter pen­dukung, serta yang tak kalah pent­ing adalah nada penulisan. Setiap orang boleh bereksper­i­men dan mem­bawa gaya mereka masing-masing, tapi nada mesti selaras. Untuk men­da­p­atkan kese­larasan itu, saya mem­inta mereka mem­baca buku, menon­ton film, dan menden­garkan lagu yang saya pikir bisa mem­bantu. Dalam waktu singkat, usu­lan daf­tar lagu dan film bertam­bah semen­tara daf­tar bacaan tidak.

Berdasarkan hasil rapat, saya kemu­dian mem­buat out­line dan kemu­dian mem­bagi bola, siapa meng­garap bab berapa. Pem­ba­gian ini selain men­gacu kepada minat dan usu­lan para penulis juga semacam tan­ta­n­gan kepada mereka. Jadi, sedikit banyak agak sepi­hak, untungnya pengam­bi­lan kepu­tu­san ala demokrasi ter­pimpin ini diamini anak-anak Bengkel. Sebe­tul­nya, ren­cana awal­nya saya dan Sulak akan ikut menulis satu bab. Tapi, akhirnya kami sep­a­kat semuanya digarap Barisan Penulis Kup­ing Hitam.

Saya lalu men­dorong yang ter­li­bat dalam Proyek Lenka bereksper­i­men lebih lan­jut. Saya mem­inta mereka mem­buat akun Face­book atas nama tokoh-tokoh dalam Lenka dan men­jalankan peran itu secara bersungguh-sungguh. Hitung-hitung lati­han method writ­ing. Beber­apa men­jalankan den­gan takzim, beber­apa tak sang­gup mena­han geli. Yang pal­ing parah untuk yang ter­akhir ini adalah Laire Siwi Mentari.

Lalu, mulailah proses yang pal­ing menarik. Satu demi satu pengeroyok Lenka memacak bab yang mereka tulis di milis. R. Mailin­dra menye­but Bengkel adalah pade­pokan silat sehingga jika dapat sedikit ten­dan­gan atau puku­lan itu wajar belaka. Artinya, kri­tik pedas, dan mungkin bertubi-tubi, itu mesti diter­ima kalau mau tam­bah ilmu. Ia benar, karena jika ada yang men­gir­imkan naskah tapi sepi tang­ga­pan yang bersangku­tan jus­tru merasa nelangsa. Yuki yang pal­ing rajin berperan seba­gai polisi bahasa. Saya dan Sulak biasanya mem­beri tang­ga­pan atas tang­ga­pan, uta­manya yang luput ditang­gapi para penang­gap (saya mem­in­jam gaya bahasa Wahyu di sini).


Sulak menye­but aksinya mengkri­tik seba­gai menga­muk. Dan, ia menga­muk den­gan bru­tal. Yang pal­ing ser­ing ia lakukan adalah mem­inta anak-anak Bengkel mem­per­a­gakan kalimat-kalimat jang­gal yang mereka buat. Beber­apa anak Bengkel terg­erak meniru, dan komen­tar yang muncul atas kir­i­man naskah semakin tajam. Kadang ada yang sedemikian tajam sehingga yang kena kri­tik ter­gores hati dan harga dirinya, lalu meny­erang balik dan mem­per­tanyakan kual­i­tas si pengkri­tik. And­ina menye­but gesekan semacam ini per­cikan bunga api. Menden­gar kata bunga api itu Sulak buru-buru mem­bawa jeriken bensin oplosan dan saya menyusul di belakangnya den­gan kipas besar. Gan­jil­nya, hasu­tan kami agar perang makin ramai jus­tru mem­buat anak-anak Bengkel yang bertikai sal­ing mem­inta dan mem­beri maaf, seperti Lebaran saja.

Sebe­tul­nya, saya dan Sulak bisa saja memainkan peran juru damai seperti Ketua RT di sinetron-sinetron Indone­sia atau Babinsa di kampung-kampung. Tapi, alangkah mem­bosankan­nya. Dinamika dalam sebuah grup biasanya men­jadikan karya yang muncul dari kelom­pok itu ciamik. The Bea­t­les jelang bubarnya meng­hasilkan karya-karya ter­baik jus­tru ketika kete­gan­gan men­jelu­jur di antara keem­pat anggotanya. Seba­liknya, karya Queen jelang Fred­die Mer­cury meninggal—ketika semua anggotanya rukun—jauh di bawah album-album mereka sebelum­nya. Saya sama sekali tak ingin menya­makan Sarekat Penulis Kup­ing Hitam den­gan dua grup musik hebat itu, tapi saya ingin bilang ke mereka bahwa rival­i­tas itu pent­ing karena semuanya ingin mem­buk­tikan diri seba­gai yang ter­baik. Rival­i­tas tak perlu ditakuti karena ia bukan permusuhan.

Sete­lah ham­pir semua bab dit­ulis, kami berkumpul lagi mem­ba­has penulisan bersama ini. Kali ini dalam jum­lah besar. Pengeroyok Lenka dari dua angkatan yang sebelum­nya hanya bercakap-cakap melalui milis bisa berke­nalan lang­sung, dan makan-makan ten­tunya. Kali ini, mungkin malu saya sindiri terus, angkatan 2009 ikut mem­bawa kue-kue, dan selan­jut­nya sal­ing tukar hadiah atau buah tan­gan men­jadi kebi­asaan yang menye­nangkan. Perte­muan semacam ini ter­jadi beber­apa kali. Katamsi Ginano, kawan Sulak dan saya, ikut mera­maikan beber­apa perte­muan dan mel­on­tarkan hasu­tan di sana-sini agar tulisan anak-anak Bengkel makin sedap. Setiap sete­lah perte­muan, saya dan Sulak mem­inta anak-anak Bengkel mere­visi tulisan mereka.

Pada Juni 2010, draf per­tama Lenka ram­pung. Saya dan Sulak bersep­a­kat bahwa saya akan men­jadi penyunt­ing per­tama dan baru kemu­dian ia mer­apikan lebih lan­jut. Lagi-lagi, ini kepu­tu­san yang keliru. Mestinya saya mengumpankan Sulak lebih dahulu. Draf per­tama, sekalipun tulisan per bab­nya sudah lebih baik ketim­bang setoran-setoran awal, bercerita ten­tang Lenka yang berbeda-beda. Kadang, keprib­a­di­an­nya san­gat berto­lak belakang dari satu bab ke bab lain­nya. Untuk sebuah omnibus, hal ini tak men­jadi masalah. Untuk sebuah novel yang tujuh belas penulis­nya bertin­dak seba­gai satu orang, ini per­soalan. Per­soalan saya, tepatnya.

Untuk naskah-naskah yang kem­ban­gan­nya ter­lalu jauh dari out­line, saya mem­inta para penulis­nya menulis ulang. Tapi, per­soalan tak berhenti sam­pai di sini. Nada penulisan yang sejak awal dis­ep­a­kati terny­ata dilang­gar beramai-ramai. Penye­larasan bab-bab yang bercerita ten­tang Lenka ini­lah yang mem­buat penyuntin­gan tahap per­tama memakan waktu—untuk bab-bab yang bercerita ten­tang karak­ter pen­dukung penyuntin­gan­nya lebih enteng. Sial­nya, anak-anak Bengkel den­gan semena-semena men­dakwa saya mengi­dap fobia menyunt­ing Lenka. Sapi betul.

Saat menyunt­ing, saya men­gubah pem­bukaan beber­apa bab, menam­bahkan kalimat-kalimat penyam­bung, dan juga memangkas bagian-bagian yang mem­bikin pem­ba­caan seret atau tak sesuai den­gan nada penulisan. Ketika saya pacak icip-icip penyuntin­gan tahap per­tama di milis, anak-anak Bengkel bereaksi. Salah seo­rang penulis yang naskah­nya saya per­mak lang­sung protes. “Kok metafora yang saya pakai hilang semua?” Saya men­jawab bahwa metaforanya lemah, dan masih untung titik dan komanya tetap saya pakai. Ia nangis bom­bay, tapi kemu­dian hari men­gaku bahwa penyuntin­gan men­jadikan naskah­nya lebih bagus. Tentu saja.

Ketika naskah sudah dis­e­tor semua perte­muan bulanan tidak berhenti, menjadi-jadi malah. Kami bertemu untuk berbual-bual sem­bari makan dan ngopi bareng. Pada kesempatan-kesempatan semacam ini, biasanya mereka tak lupa mende­sak saya untuk mem­berikan jawa­ban atas per­tanyaan yang sekian lama meng­ganggu mereka: kepan­jan­gan A.S. pada nama Sulak. Awal­nya saya men­jawab Ahmad Sulaiman, dan mereka per­caya. Lain kali saya bilang Alexie Sher­man. Anak-anak Bengkel yang makin penasaran akhirnya men­ga­jukan kom­bi­nasi mereka sendiri: Anto­nio Severus, Ajen­gan Sayid, Amadeus Salieri dan apa saja yang cocok den­gan inisial A.S. Yuki per­nah suatu kali datang den­gan muka serius dan bilang kepada semua orang bahwa ia akhirnya tahu kepan­jan­gan A.S. yang sebe­narnya: Alit Seto, dua nama tokoh yang ser­ing Sulak pakai untuk cerpen-cerpennya. Saya ketawa, tidak mem­be­narkan atau menyalahkan, hanya berpikir yang seperti itu saja kok jadi obsesi berat. Si sasaran, Sulak, ketawa-ketawa senang.

Namun, tidak semua perte­muan diisi kuis remeh-temeh semacam itu. Sesekali, kami mengisinya den­gan acara yang lebih serius seperti pen­ge­nalan Jur­nal­isme Sas­trawi yang dilakukan kawan saya, Janet Steele dari George Wash­ing­ton Uni­ver­sity, atau diskusi penulisan yang lain.

Sete­lah penyuntin­gan tahap per­tama sele­sai, saya men­gopernya ke Sulak. Den­gan alasan tak mau meng­ganggu penyuntin­gan yang sudah saya lakukan, ia menyunt­ing den­gan cara yang orisinil sekali­gus ruwet. Ia menyunt­ing dari belakang. Saya tak tahu apakah meto­danya ini bisa diprak­tekkan orang lain. Pastinya, penyuntin­gan gaya atret ini memakan waktu lama sehingga anak-anak Bengkel bert­e­riak lagi dan beren­cana mem­buat ger­akan FB agar Sulak segera menye­le­saikan penyuntin­gan­nya. Mungkin, karena khawatir bakal tam­bah pop­uler, ia akhirnya beralih ke penyuntin­gan yang lumrah-lumrah saja. Dalam penyuntin­gan tahap kedua ini, Sulak juga men­gubah beber­apa pem­bukaan dan mem­per­ke­tat bagian-bagian long­gar yang luput dari penyuntin­gan tahap per­tama karena saya kadung kenyang men­gun­yah Lenka.

Sete­lah Sulak sele­sai, saya memerik­sanya sekali lagi, dan hasil­nya adalah buku yang sekarang ada di tan­gan pem­baca. Kalau ada yang menghibur dari Lenka, itu adalah hasil kerja bersama, uta­manya 17 orang yang berse­dia mem­beri ruang kepada gagasan teman-temannya agar tulisan mereka semakin kaya. Setiap bab dalam Lenka digarap oleh seo­rang atau dua orang penulis, tapi gagasan yang ada di dalam­nya adalah sum­ban­gan semua yang ter­li­bat. Ada­pun, kalau Lenka tak berhasil men­ca­pai kual­i­tas yang dihara­p­kan, atau malah mem­buat pem­baca gusar, itu benar-benar karena ketele­do­ran saya dan Sulak seba­gai penyunting.

Senyam­pang Lenka dis­unt­ing, beber­apa anak Bengkel sudah berhasil mener­bitkan karya mereka, baik berupa cer­pen maupun novel. Di luar penulisan, ada yang berhasil lulus kuliah, ada yang memu­tuskan berhenti kuliah, ada yang pin­dah peker­jaan, ada yang menikah, ada yang punya bayi lagi, dan ada pula yang kehi­lan­gan anggota kelu­arga. Per­jalanan pan­jang Lenka sarat den­gan cerita sampin­gan yang kelak mungkin menarik untuk dit­ulis tersendiri.

Ten­tang nama Sarekat Penulis Kup­ing Hitam, ada sedikit cerita. Sekian puluh tahun yang lalu ada Barisan Pelawak Kup­ing Hitam yang anggotanya antara lain Basiyo, Jony Gudel, dan Atmonadi. Mereka lucu dan pin­tar sekali. Kami berdua san­gat kagum kepada mereka. Kami men­gang­gap anak-anak Bengkel pin­tar dan lucu sehingga pen­gadop­sian nama itu kok rasanya enak. Kup­ing juga mengisyaratkan tin­dakan meny­i­mak semen­tara warna hitam adalah lam­bang kesak­t­ian. Tentu saja, pena­maan ini semena-mena. Tapi, apa boleh buat, ini kon­sekuensi tak ter­hin­darkan bela­jar kepada sep­a­sang pen­dusta seperti kami. Lagi pula, kapan pun mereka bisa menyem­pal dari barisan dan mendirikan panji mereka sendiri. Dan, itu akan men­jadi hari yang mem­ba­ha­giakan bagi kami berdua.


Yusi Avianto Pareanom

Penulis: Ronny Mailindra

Tulisan lain dari Ronny Mailindra

Kenali lebih dekat di sini:

Icon Icon G+

0 comments:

Posting Komentar