Oleh: R.Mailindra
PERINGATAN: Cerita ini mengandung adegan UNTUK PEMBACA DEWASA. TIDAK diperuntukkan untuk pembaca yang berusia DI BAWAH 18 TAHUN.
Source: picjumbo.com. Courtesy of Viktor Hanacek
Mungkin teledor, bisa juga disengaja, aku tak tahu. Yang kutahu pintu BMW hitam itu tidak terkunci. Aku dengan mudah membukanya. Saat pintu terbuka, dua setan yang sedang bercinta di dalamnya refleks melihatku, tapi hanya satu yang terperangah.
Reynaldi, si terperangah itu ada di bawah. Celananya melorot hingga lutut.
Dari tempatku berdiri, bisa kulihat bagian telanjang tubuh Reynaldi menempel di
kulit si betina—kulit mulus Wini, saudari kembarku.
Rey ketakutan. Kupikir mungkin memang sudah seharusnya ia ketakutan karena aku
sedang memegang pistol yang siap
menyalak.
“Wina... please,” kata Rey dengan
suara memelas, “maafkan aku.”
Aku menggeleng. Kutarik napas. Beribu kenangan menghantamku. Lalu kurasakan
mataku panas dan berair. Saat kubuka mulut, suaraku bergetar.
“Penghianat,” bisikku.
Hujan masih turun dengan deras, mengguyur air dingin ke sekujur tubuhku.
Aku menggigil, tanganku bergetar, dan pemandangan di depanku berubah menjadi
lebih menjijikkan.
“Hentikan!” teriakku.
Tetapi, ia tak mau berhenti. Adzan magrib sayup-sayup terdengar, suasana
semakin temaram, dan kegelapan melingkupiku. Ini mimpi yang sangat buruk. Aku
tak kuat lagi. Aku ingin semua ini segera berakhir dan dan tiba-tiba saja pistol
di tanganku meledak.
Kulihat cairan merah kental mengaliri tubuh Rey.
*****
“Kenapa, Na?” tanya Wini.
Wini menatapku dari balik kaca rias kamar kami setelah setengah jam lebih
aku hanya duduk diam di pinggir tempat tidurku sambil terus memandanginya. Wini
selesai dengan lipstiknya, ia lalu memutar tubuhnya dan berbalik menghadapku.
“Kenapa pacar-pacarku?” kataku.
Wini tertawa mengejek lalu berbalik lagi menghadap kaca rias.
“Na ... Na, coba lihat cermin ini baik-baik. Lihatlah betapa miripnya kita.
Papa saja sering salah membedakan kau dan aku.”
Tak perlu kulihat ke dalam kaca. Aku tahu, mataku, alisku, hidungku
semuanya sama seperti milik Wini. Leherku yang jenjang, kulit putihku, bahkan
bentuk payudaraku, semuanya sama. Kami kembar identik. Hanya karena aku lahir
beberapa menit lebih dahulu, maka aku menjadi kakak.
“Ngga aneh, kan, kalau selera
kita sama?” Lanjut Wini sambil memoles pipinya.
“Jadi aneh kalau kau merebut mereka?”
“Eh, catet ya. Aku ngga pernah merebut mereka. Mereka yang
pilih, Na. Laki-laki semua sama,” Wini mengedip-ngedipkan matanya, lalu tertawa.
Wini membuatku mual. Tapi ia benar. Kucing garong, jangankan daging, ikan
asin pun pasti mereka sikat. Mana mungkin mereka melewatkan tawaran Wini?
“Na,” kata Wini setelah puas tertawa, “dari dulu, papa dan mama selalu
memberi kita barang yang sama. Memotong rambut kita dengan model yang sama.
Bahkan sampai sekarang, di usia kita yang ke dua puluh satu, kita masih tidur
di kamar yang sama. Di mana anehnya kalau selera kita __”
“Kau tak punya hak merebut pacar-pacarku!” potongku.
“Ah, kau cuma cemburu, Kakak. Cemburu karena aku bisa ambil apa yang kau tak
bisa dapatkan. Kau tahu kan maksudku. Ah... andai saja kau bisa merasakannya...,”
Wini memejamkan matanya dan tangannya mulai mengelus-elus dadanya.
Mualku tak tertahankan. Aku tidak kuat lagi. Tanpa berkata sepatah pun, aku
bangkit lalu masuk ke kamar mandi.
***
Kubasuh wajahku di wastafel lalu aku pandangi cermin lekat-lekat. Mataku tampak
besar dan bening, bibirku sensual merekah, dan pipiku merona merah meski tanpa
make-up. Rangga, pacar pertamaku, selalu memuji rona merah itu. Dan senyumnya semakin
lebar saat melihat rona itu semakin memerah karena pujiannya. Semuanya berjalan
begitu indah hingga saat
Rangga berkunjung ke rumahku. Sampai saat Rangga bertemu Wini. Sampai saat
Rangga menghianatiku dan tidur dengan Wini.
Penghianat! Ia memang pantas mati.
Perlahan suara-suara mulai menggema di kepalaku. Suara milik pembaca berita yang ditayangkan televisi dua tahun lalu. Suara
yang membacakan berita kematian mengenaskan seorang pria muda dalam sebuah
mobil yang terbakar. Berita kematian Rangga.
***
Wini membuat hidupku bagai
di neraka. Keinginannya—yang mungkin kini sudah menjadi kegilaan—untuk selalu
mengambil pacar-pacarku membuatku ikut-ikutan gila. Tapi aku tak tahu harus
berbuat apa. Kini aku hanya bisa duduk sendiri di sofa ruang tamu sambil
menatap televisi di depanku. Entah apa acaranya. Meski mataku menatap kotak
bergambar itu, namun pikiranku mengembara.
Suara sepatu mendekat.
Aku menoleh ke arah tangga. Kulihat Wini telah selesai berdandan dan
melangkah ke arahku. Tank top dan
celana jin ketat membalut tubuhnya. Ia terlihat cantik dan sangat seksi. Jelas
saja Johan—pacar kedua—runtuh imannya.
“Pergi dulu ya, Kakak,” kata Wini sambil tersenyum dan melenggok keluar.
Senyum itu masih sama. Sangat beracun. Senyum itu merebut Johan dariku dan
melumatkan kesetiaannya. Johan hanyalah penjahat kecil yang tidak bisa menolak
untuk menikmati tubuh Wini.
Aku menghela napas. Pandanganku mulai kabur. Apakah aku berhalusinasi?
Kulihat tayangan di layar televisi berubah. Benda itu mulai menayangkan berita
satu tahun lalu. Gambar yang sama, rongsokan mobil yang sama, dan garis kuning
polisi yang sama. Perlahan suara itu bergema di kepalaku,
“Seorang pemuda ditemukan tewas terbakar dengan kondisi yang mengenaskan dalam
sebuah mobil sedan. Kondisi korban rusak parah dan mobilnya lumat dilahap si
jago merah hingga hanya menyisakan rongsokan ....”
“Johan, penghianat! Kau pantas mati,” pikirku.
***
Dua kali sudah. Dua kejadian yang akan menghantuiku seumur hidup. Sampai
kapankah mimpi buruk ini akan berlanjut? Aku gusar memikirkan Reynaldi, pria
tampan, pintar, dan romantis yang kutemukan di kelas fotografiku.
Dua bulan lalu Reynaldi menyatakan cintanya padaku dan aku menerimanya.
Meski sudah dua bulan berkencan, tetapi belum sekalipun kuajak Rey ke rumah. Dan itu mungkin membuatnya gusar.
“Kok, aku ngga pernah diajak ke
rumah, Na?” tanya Reynaldi dua hari yang lalu. “Jangan takut. Beres semuanya. Aku
ngga takut, kok, sama papamu. Atau kau takut mamamu bakal naksir aku?”
lanjutnya sambil mengerlingkan mata.
Aku tersenyum kecut, tak tahu
bagaimana menjelaskannya.
“Sabtu sore aku ke rumahmu, oke?”
“Tapi Rey__”
“Ah, ngga ada tapi-tapian,” potong Rey. Ia lalu mencium pipiku sebelum
berjalan menuju mobil BMW hitamnya.
Rey sangat tampan dan percaya diri. Di dekatnya, aku bisa melihat pandangan
iri gadis-gadis di kelasku. Aku bangga juga mendapati senyum genit para model
yang kami sewa tak mempan buat Rey. Dengan semua itu, mungkinkah Rey akan
berbeda dari Rangga dan Johan?
Tanganku gemetar saat mengingat besok sore Rey akan datang. Besok sore
rahasia kecilku akan terbuka. Besok sore Wini akan mengetahui pacar baruku.
***
“Mau ke mana, Na?” tanya Wini ketika masuk ke kamar dan melihatku
berdandan.
Mau tahu aja! Ya ampun, kenapa, sih, saat-saat begini dia ngga pergi?
Aku tidak menjawab, cuma tersenyum, lalu mengambil pakaianku dan membawanya
ke kamar mandi. Aku lebih tenang di
sana, pikirku.
Kudengar suara bel berbunyi saat selesai berdandan.
Pasti Rey, pikirku.
Aku segera menghambur keluar kamar mandi, mempercepat langkah menuruni
tangga, mempersiapkan senyum termanisku, namun aku tertegun. Kulihat di pintu
masuk Wini memegang bunga dan Rey mencium pipinya.
Rey melongo saat melihatku. Bergantian ia pandangi Wini dan aku.
Wini berjalan mendekatiku,
“Kayanya pacarmu belum betul-betul kenal kamu, Na. Dia menciumku!” kata
Wini sambil mengedipkan mata lalu menyerahkan mawar merah di tangannya.
Reynaldi tersipu. Kulihat wajahnya memerah.
“Sorry, Na. Kok kamu ngga bilang
punya saudara kembar?”
Aku tersenyum kecut.
Aku maafkan kau Rey. Papa saja suka salah membedakanku dan Wini.
***
Wini benar-benar merampok kebahagianku. Kencanku dengan Rey sore ini benar-benar
tak karuan. Kini kami duduk di sofa dengan perasaan canggung. Padahal aku belum
memperkenalkan dia dengan mama dan papa. Kedua orangtuaku belum pulang.
“Harusnya aku curiga melihat tatapannya, Na,” kata Rey, “meski mirip,
adikmu itu seperti belum pernah melihatku. Harusnya aku curiga. Bodohnya aku.
Memalukan. Tapi kok dia diam aja waktu kucium?”
Diam? Hari ini mungkin dia diam. Kau tak akan tahu apa yang dilakukannya
besok!
“Rey.”
“Ya, sayang.”
“Maukah kau berjanji?”
“Janji apa, Na?”
“Bahwa kau tidak akan menghianatiku?”
Rey diam lalu memandangiku. Ia seperti mencari sesuatu di dalam mataku.
“Kenapa, Na? Aku kan sudah minta maaf soal mencium adikmu tadi. Apa karena itu
kaupikir aku akan menghianatimu?”
Kali ini aku yang diam.
Sebuah panggilan terdengar.
“Na, aku pinjam parfummu ya?”
Aku menoleh ke pojok atas lantai dua rumahku. Wini berdiri di sana sambil
berteriak. Tubuhnya berbalut handuk putih yang hanya mampu menutupi sebagian
dadanya hingga sepertiga pahanya—memamerkan kemulusan paha dan kakinya. Wini
mengangkat tangannya dan mengeringkan rambutnya dengan handuk kecil hingga dapat
kulihat dengan jelas ketiak dan lekuk payudaranya.
Murahan! Pikirku.
Aku ingin maki Wini, tapi tak bisa. Ketakutan tiba-tiba saja menusuk batinku.
Wini tak membuang-buang waktu. Ya, Tuhan, ia sudah memulai perburuannya.
Beberapa menit kemudian, kulihat Wini menuruni tangga. Saat mendekati kami, bisa kucium
aroma pekat parfumnya—aroma parfumku. Ia tersenyum kepadaku juga Rey.
“Hi, sorry tadi,” katanya kepada
Rey sambil mengulurkan tangan. “Aku Wini, adiknya Wina.”
Rey tersipu, “Ah, aku yang harusnya minta maaf.”
Bunyi logam terbanting terdengar. Kunci mobil Wini
tergeletak di lantai. Wini membungkuk mengambil kunci itu dan seketika itu aku merasakan
tiupan bara di wajahku.
Kemeja yang Wini pakai terlalu longgar dan dia membiarkan
dadanya tanpa penutup. Ya Tuhan, bahkan dari sofa ini, aku bisa melihat kulit
putih dengan tonjolan merah muda di dadanya. Kupalingkan wajahku untuk melihat
Rey.
Rey tampak seperti sedang menelan sesuatu. Beberapa detik
kemudian Rey tersadar lalu memalingkan wajahnya dan melihatku.
Saat Wini telah pergi, aku mengulangi pertanyaanku, “Berjanjilah
Rey, kau tak akan menghianatiku.”
Rey tersenyum, lalu membelai pipiku, “Kau cemburu dengan
adikmu, Na.”
***
Aku pulang dua hari lebih cepat dari yang kurencanakan.
Cuacanya buruk. Hunting fotoku di Sukabumi gagal total.
Melewati tangga aku berpapasan dengan Wini. Ia wangi sekali
dengan aroma yang sangat kukenal—parfumku. Raut wajahnya berubah saat melihatku.
Tumben
dia kaget? Pikirku.
Tapi itu hanya sesaat. Wini kembali tersenyum, dan sambil
melambaikan tangan ia berkata, “Pergi dulu, Na.”
Aku diam saja. Malas bersuara. Yang kuinginkan saat ini
hanyalah tempat tidurku.
Di kamar aku membuka jendela yang menghadap ke depan. Langit
tampak gelap dan angin mulai bertiup kencang. Kulihat Wini berlari ke arah
pagar.
Aneh, dia ngga bawa mobilnya?
Di depan pagar, ia berhenti lalu membuka pintu mobil.
Seseorang menjemputnya?
Pacarnya kah?
Tiba-tiba cahaya putih merobek langit. Petir menggelegar.
Dan aku terkesima melihat mobil sedan hitam itu. Dadaku terasa sakit, seperti
ada pisau yang menusuk.
“Tidak. Jangan, jangan lagi!”
teriakku.
Aku tak tahu bagaimana awalnya, tapi kurasakan kakiku bergerak,
berlari ke kamar orangtuaku, lalu membuka brankas papa. Papa tidak menyadari
bahwa selama ini putrinya telah tahu isi brankasnya. Aku mengambil benda
berwarna hitam dari brankas itu, sebuah pistol revolver.
Aku serasa terbang, kakiku berlari keluar menuju mobil
dan decitan ban mengawali perjalanan mobilku.
Melewati
tikungan di depan, kini aku bisa melihat sedan hitam yang membawa Wini. Sebuah
BMW. Mobil hitam itu jelas milik Rey. Tak
mungkin kulupakan plat nomornya.
Air hujan menampar-nampar kaca mobilku, kilasan cahaya
silih berganti menyorotku. Mau ke mana
mereka? Pikirku saat mobilku mulai
memasuki pinggiran Jakarta.
Beberapa menit kemudian, kami memasuki kawasan sepi di
daerah menuju bogor. Aku pikir aku sudah gila. Untuk apa aku membuntuti mereka.
Membawa pistol pula. Bagaimana kalau semua hal yang Wini ceritakan cuma
karangannya saja. Kalau pun benar, apa yang bisa aku lakukan?
Hujan belum mau berhenti ketika kulihat mobil Rey
melambat. Entah di mana kami berada ketika kulihat BMW hitam itu berhenti. Aku menghentikan
mobilku sekitar dua puluh meter dari mereka.
Kupikir akhirnya mereka mengetahui sedang dibuntuti, tapi
ternyata tidak. Tak
seorang pun yang turun dari mobil Rey. Sekarang apa yang harus aku lakukan?
Dua puluh menit berlalu dan mereka masih berhenti di
sana. Aku menelan ludah, saat kemungkinan terburuk menguasai pikiranku. Akhirnya
kuputuskan untuk mendekati mobil Rey.
Mobil itu bergoyang. Aku merinding saat sayup-sayup mendengar
suara rintihan dan erangan Wini. Aku lalu mengigil mendengar suara teriakan Rey.
Oh, tidak, pikirku.
Buru-buru kuraih gagang pintu BMW Rey, dan pintu itu tak terkunci.
Aku dengan mudah membukanya.
Saat pintu terbuka, refleks mereka melihatku. Rey kaget, dan
mungkin memang sudah seharusnya karena aku memegang pistol. Lalu kudengar
suara memelas Rey,
“Wina..., please, maafkan aku.”
“Penghianat.”
Menyadari aku yang membuka pintu, Wini tampak semakin bergairah.
Lenguhannya semakin keras, gerakannya semakin menggila. Ia bergerak semakin cepat seiring kerasnya teriakan Rey.
Aku mual melihatnya.
“Hentikan!” teriakku.
Wini seperti tuli. Ia terus meliuk bagai
ular mengikuti seruling pawang.
“Hentikan, Wini. Ya, Tuhan. Hentikan!” teriakku.
Wini mengangkat tangannya. Senyum selicik iblis menghiasi bibirnya. Aku tak
tahan lagi. Ya, Tuhan apa yang harus aku lakukan?
Entah bagaimana, tiba-tiba saja sesuatu seperti meremas jemariku. Pistolku meledak.
Aku terdorong, dan terengah-engah, dan tulang belulangku seperti remuk. Kulihat darah
mengalir di tubuh Rey. Dadanya yang telah tergores oleh pisau Wini kini
bersimbah cairan merah kental.
Bukan hanya badan Rey, darah menyiprat ke mana-mana—tersebur
deras dari kepala Wini.
Rey menjerit saat kepala Wini yang berlubang terkulai, tetapi dia tidak
bisa mendorong tubuh Wini karena tangannya masih terikat di kursi.
Wini benar-benar melakukan semua ritual yang ia ceritakan. Sama seperti
yang ia lakukan kepada Rangga dan Johan—ia merangsang lalu merayu agar
membiarkannya mengikat tangan korbannya di kursi. Yang tidak diketahui para
lelaki itu, saat Wini sudah sangat bergairah, Wini akan mengeluarkan belati lalu
mulai mengores-gores dada mereka. Gairah Wini semakin memuncak mendengar jerit
kesakitan para lelaki itu. Akhirnya, saat sudah tidak dapat menahan ledakan di tubuhnya, Wini akan
menancapkan belatinya ke dada para lelaki itu.
Jerit kematian menuntun Wini menggapai puncak fantasinya.
-Selesai-
0 comments:
Posting Komentar