Selasa, 17 Juni 2014

- Leave a Comment

Guru Kelas Enam

   Seorang guru yang merangkap wali kelas enam berjalan memasuki ruangan kelas dan seketika canda anak-anak didiknya terhenti. Dari pengalaman, mereka tahu bahwa nilai mereka berada di tangan guru ini dan apabila sang guru memberi mereka nilai jelek, orang tua mereka akan memberi hukuman dan seringkali keinginan mereka tidak akan dikabuli.
   Tidak seperti guru lain, sang guru wanita ini tidak tersenyum ramah untuk mengambil hati anak didiknya agar sang murid melapor kepada orangtuanya tentang betapa baik guru mereka, ataupun memasang tampang bengis dan menyadari betul kuasanya atas murid-muridnya.
   Dengan wajah yang serius, guru itu berkata:
   “Baiklah, anak-anak, waktu kalian bermain telah habis! Dengarkan, mulai sekarang sampai satu tahun ke depan, saya akan mengajari kalian cara menghadapi dunia nyata. Jangan mau dibohongi siapapun kalau kalian berada di sini untuk belajar menjadi pintar dan berguna bagi nusa dan bangsa. Lupakan PPKN, lupakan ilmu pengetahuan alam, lupakan apa yang telah kalian pelajari selama bertahun-tahun ini. Ingat, tujuan kalian di dunia ini hanya satu — mencari uang! Jadi, hapus mimpi dan cita-cita kalian untuk menjadi dokter, pengacara, arsitek, seniman, ataupun penulis! Ingat, Uang dengan U besar atau kalian tersingkir dari dunia ini!”
   “Pelajaran pertama untuk hari ini. Menggambar. Mulai hari ini sampai kalian lulus, saya ingin setiap harinya kalian menggambar sketsa wajah orang-orang di sekitar kalian atau orang asing yang kalian temui. Jangan pedulikan gambarnya bagus atau jelek. Saya hanya ingin kalian menggambar ekspresi orang-orang dalam berbagai situasi. Perhatikan pelayan restoran yang kalian kunjungi, yang tersenyum ramah pada pelanggannya yang menyebalkan, karena takut kehilangan pekerjaan! Gambarkan tampang sopir angkot yang harus memasang tampang angker dan mengeluarkan makian kotor agar ia tidak terlihat tampak lemah, guna melindungi calon penumpangnya agar tidak direbut rekan sejawatnya.”
   “Perhatikan pula orang-orang asing lainnya. Pengemis di jalan, tukang sampah, kasir swalayan, operator warnet, dan orang-orang terdekat kalian. Setelah menggambar cukup banyak, berlatihlah setiap pagi di depan cermin untuk menirukan ekspresi wajah orang yang kalian gambar. Takut, sedih, marah, tersenyum ramah, sopan, dan tertawa lebar. Lalu, gambarkan tampang kalian sendiri yang telah kalian tirukan dengan baik di depan cermin. Simpan gambar itu baik-baik dan buatlah sebuah topeng. Gunakan topeng itu ketika kalian memerlukannya untuk berhadapan dengan orangtua, teman-teman ataupun pada guru kalian.”
   “Ingat, kalian harus mempunyai koleksi topeng yang cukup banyak sekali karena semakin kalian dewasa, semakin banyak pula orang-orang yang harus kalian hadapi. Atasan yang brengsek, rekan kerja yang besar mulut, dan pelanggan yang menyebalkan. Jadi, mulailah menggambar, sekarang!”
   Murid-murid kelas enam itu ternganga. Ada senyum yang tulus dari wajah kanak-kanak mereka yang akan segera lenyap, bahwa guru ini tampaknya mengasyikkan dan pelajarannya tak akan membosankan.

Hari Kedua
   “Hari ini kita akan belajar matematika…” suara guru itu menggantung di udara akibat melihat pemandangan yang tak disenanginya. Ia berjalan dan menepuk bahu seorang murid yang berpakaian kumal dan lusuh.
   “Siapa namamu, nak?” tanya guru itu lembut
   “Tommy, Bu!” sahut si murid.
   “Baiklah, Tommy. Apa orangtuamu tak mampu membelikan seragam baru, nak?” kata guru itu kejam.
   Wajah Tommy memerah karena malu.
   “Apa seragam yang kau pakai sekarang bekas kepunyaan kakak-kakakmu?”
   Mata Tommy mulai berkaca-kaca dan sang guru tak menaruh simpati sedikit pun ketika kaca itu mulai retak diiringi isak tangis.
   Sang guru melanjutkan, “Lebih baik kamu menangis sekarang daripada nanti, Tommy! Dunia di luar sana begitu kejam dan saya tak ingin melihat murid-murid saya, suatu hati nanti, diremehkan karena pakaian yang mereka kenakan.”
   “Seharusnya kita mempelajari hal ini nanti di materi pakaian adat dan modern penduduk Indonesia. Tapi saya akan memberi nasehat singkat sekarang. Ingat, semiskin apapun kalian nantinya, kalian harus tetap mempunyai pakaian yang pantas, karena orang lain menilai harga diri dan kemampuan kalian dari apa yang kalian kenakan. Itulah mindset penduduk Indonesia modern.”
   Dengan kalimat penutup itu, Tommy pun menyadari bahwa orangtuanya harus meminjam uang demi membelikannya seragam baru.
***
   “Kita kembali ke matematika!” guru itu berjalan ke depan kelas dan menuliskan kata  jangan mencuri” di papan tulis.
   “Matematika adalah sesuatu yang agung. Matematika adalah ilmu Tuhan. Saya tahu banyak  di antara kalian yang benci matematika. Murid-murid saya dulu juga begitu, tapi alumni-alumni sekolah ini sekarang datang kepada saya untuk menunjukkan  tanda terima kasih’. Saya tidak mengharapkan  tanda terima kasih kalian nantinya. Saya cuma ingin kalian ingat persamaan paling mendasar dalam matematika.” Ia pun kembali menuliskan sesuatu di papan tulis.

Jika A = B, maka B = A

   Sejenak sang guru membiarkan suasana menjadi hening agar persamaan tersebut meresap ke dalam alam bawah sadar siswa-siswinya. Beberapa murid memasang tampang bosan karena mereka sudah mempelajari hal itu sejak masih taman kanak-kanak , sementara yang lainnya mengharapkan kejutan yang spektakuler.
   Sang guru melanjutkan kuliahnya seolah-olah yang berada di hadapannya adalah mahasiswa-mahasiswa cemerlang yang akan menampuk beban persoalan negeri ini.
   “Ingatlah, anak-anakku! Kalian tidak bisa mencuri dari matematika. Banyak orang genius dan bahkan pemenang Nobel yang lupa akan hal ini. Jika A sama dengan B, maka B sama dengan A. Jika kalian membunuh dan mencuri nyawa seseorang, maka matematika akan menuntut pembayaran yang setara. Kalian mungkin akan dihukum mati, sakit keras, ataupun mengalami kecelakaan.”
   Tidak ada kalkulus, tidak ada alogoritma, tapi semua mata berbinar menatap sang guru. Guru itu kemudian menuliskan sesuatu di papan tulis.

Mencuri ayam = 6 bulan kurungan penjara
Korupsi 2 milyar = 2 tahun kurungan penjara

   Ia pun menantang siswa-siswinya.
   “Siapa yang dapat menjawab persamaan ini?”
   Jiwa-jiwa yang masih kecil dan polos itu gelisah menatap hukum persamaan di hadapannya. Akhirnya, seorang siswi yang berpotensi menjadi  jaksa, memberanikan diri mengangkat tangannya, dan berkata, “Itu tidak adil, Bu!”
   Guru itu tersenyum, “Tidak ada yang tidak adil di dunia ini, anakku! Mereka yang berkata demikian hanya tidak mampu melihatnya. Pada pelajaran Fisika nanti kita akan belajar bahwa energi tidak dapat diciptakan dan dimusnahkan. Energi hanya mampu berubah bentuk, dan sebagian orang dapat melihat  perubahan bentuk tersebut sementara yang lainnya tidak.”
   Guru itu masih menunggu dan kesabarannya membuahkan hasil. Seorang siswa menemukan jawabannya.
   “Kerja keras, Bu! Itu persamaannya. Orang yang mencuri ayam hanya melakukan sedikit usaha sementara pejabat yang melakukan korupsi telah bekerja keras selama bertahun-tahun untuk menduduki jabatan tersebut. Banyak uang, waktu dan pengaruh yang telah ia keluarkan dan karenanya dia dihukum ringan.”
   Sang guru mengangguk puas. Dari pengalaman, ia tahu bahwa setiap tahun  pasti ada bibit yang berpotensi menduduki kursi pemerintahan kita saat ini.
   Guru itu mengakhiri pelajaran hari keduanya.
   “Jadi, sesusah apapun hidup kalian nantinya, ingatlah hukum ini!” ia pun kembali menuliskan,
Jangan mencuri ayam. Jangan mencuri sandal jepit. Jangan mencuri kaus oblong.
Tunggu kesempatan untuk menjadi Presiden!
***

0 comments:

Posting Komentar