Seorang guru yang merangkap wali kelas enam
berjalan memasuki ruangan kelas dan seketika canda anak-anak didiknya terhenti.
Dari pengalaman, mereka tahu bahwa nilai mereka berada di tangan guru ini dan
apabila sang guru memberi mereka nilai jelek, orang tua mereka akan memberi
hukuman dan seringkali keinginan mereka tidak akan dikabuli.
Tidak seperti guru lain, sang guru wanita
ini tidak tersenyum ramah untuk mengambil hati anak didiknya agar sang murid
melapor kepada orangtuanya tentang betapa baik guru mereka, ataupun memasang
tampang bengis dan menyadari betul kuasanya atas murid-muridnya.
Dengan wajah yang serius, guru itu berkata:
“Baiklah, anak-anak, waktu kalian bermain
telah habis! Dengarkan, mulai sekarang sampai satu tahun ke depan, saya akan
mengajari kalian cara menghadapi dunia
nyata. Jangan mau dibohongi siapapun kalau kalian berada di sini untuk
belajar menjadi pintar dan berguna bagi nusa dan bangsa. Lupakan PPKN, lupakan
ilmu pengetahuan alam, lupakan apa yang telah kalian pelajari selama
bertahun-tahun ini. Ingat, tujuan kalian di dunia ini hanya satu — mencari
uang! Jadi, hapus mimpi dan cita-cita kalian untuk menjadi dokter, pengacara,
arsitek, seniman, ataupun penulis! Ingat, Uang dengan U besar atau kalian tersingkir
dari dunia ini!”
“Pelajaran pertama untuk hari ini. Menggambar. Mulai hari ini sampai kalian
lulus, saya ingin setiap harinya kalian menggambar sketsa wajah orang-orang di
sekitar kalian atau orang asing yang kalian temui. Jangan pedulikan gambarnya
bagus atau jelek. Saya hanya ingin kalian menggambar ekspresi orang-orang dalam
berbagai situasi. Perhatikan pelayan restoran yang kalian kunjungi, yang
tersenyum ramah pada pelanggannya yang menyebalkan, karena takut kehilangan
pekerjaan! Gambarkan tampang sopir angkot yang harus memasang tampang angker
dan mengeluarkan makian kotor agar ia tidak terlihat tampak lemah, guna
melindungi calon penumpangnya agar tidak direbut rekan sejawatnya.”
“Perhatikan pula orang-orang asing lainnya.
Pengemis di jalan, tukang sampah, kasir swalayan, operator warnet, dan
orang-orang terdekat kalian. Setelah menggambar cukup banyak, berlatihlah
setiap pagi di depan cermin untuk menirukan ekspresi wajah orang yang kalian
gambar. Takut, sedih, marah, tersenyum ramah, sopan, dan tertawa lebar. Lalu,
gambarkan tampang kalian sendiri yang telah kalian tirukan dengan baik di depan
cermin. Simpan gambar itu baik-baik dan buatlah sebuah topeng. Gunakan topeng
itu ketika kalian memerlukannya untuk berhadapan dengan orangtua, teman-teman
ataupun pada guru kalian.”
“Ingat, kalian harus mempunyai koleksi
topeng yang cukup banyak sekali karena semakin kalian dewasa, semakin banyak
pula orang-orang yang harus kalian hadapi. Atasan yang brengsek, rekan kerja
yang besar mulut, dan pelanggan yang menyebalkan. Jadi, mulailah menggambar,
sekarang!”
Murid-murid kelas enam itu ternganga. Ada
senyum yang tulus dari wajah kanak-kanak mereka yang akan segera lenyap, bahwa
guru ini tampaknya mengasyikkan dan pelajarannya tak akan membosankan.
Hari Kedua
“Hari ini kita akan belajar matematika…”
suara guru itu menggantung di udara akibat melihat pemandangan yang tak
disenanginya. Ia berjalan dan menepuk bahu seorang murid yang berpakaian kumal
dan lusuh.
“Siapa namamu, nak?” tanya guru itu lembut
“Tommy, Bu!” sahut si murid.
“Baiklah, Tommy. Apa orangtuamu tak mampu
membelikan seragam baru, nak?” kata guru itu kejam.
Wajah Tommy memerah karena malu.
“Apa seragam yang kau pakai sekarang bekas
kepunyaan kakak-kakakmu?”
Mata Tommy mulai berkaca-kaca dan sang guru
tak menaruh simpati sedikit pun ketika kaca itu mulai retak diiringi isak
tangis.
Sang guru melanjutkan, “Lebih baik kamu
menangis sekarang daripada nanti, Tommy! Dunia di luar sana begitu kejam dan
saya tak ingin melihat murid-murid saya, suatu hati nanti, diremehkan karena
pakaian yang mereka kenakan.”
“Seharusnya kita mempelajari hal ini nanti
di materi pakaian adat dan modern
penduduk Indonesia. Tapi saya akan memberi nasehat singkat sekarang. Ingat,
semiskin apapun kalian nantinya, kalian harus tetap mempunyai pakaian yang pantas, karena orang lain menilai harga diri dan kemampuan kalian dari apa
yang kalian kenakan. Itulah mindset
penduduk Indonesia modern.”
Dengan kalimat penutup itu, Tommy pun
menyadari bahwa orangtuanya harus meminjam uang demi membelikannya seragam
baru.
***
“Kita kembali ke matematika!” guru itu
berjalan ke depan kelas dan menuliskan kata
“jangan mencuri” di papan
tulis.
“Matematika adalah sesuatu yang agung.
Matematika adalah ilmu Tuhan. Saya tahu banyak
di antara kalian yang benci matematika. Murid-murid saya dulu juga
begitu, tapi alumni-alumni sekolah ini sekarang datang kepada saya untuk
menunjukkan ‘tanda terima kasih’. Saya tidak mengharapkan tanda terima kasih kalian nantinya.
Saya cuma ingin kalian ingat persamaan paling mendasar dalam matematika.” Ia
pun kembali menuliskan sesuatu di papan tulis.
Jika
A = B, maka B = A
Sejenak sang guru membiarkan suasana menjadi
hening agar persamaan tersebut meresap ke dalam alam bawah sadar
siswa-siswinya. Beberapa murid memasang tampang bosan karena mereka sudah
mempelajari hal itu sejak masih taman kanak-kanak , sementara yang lainnya
mengharapkan kejutan yang spektakuler.
Sang guru melanjutkan kuliahnya seolah-olah
yang berada di hadapannya adalah mahasiswa-mahasiswa cemerlang yang akan
menampuk beban persoalan negeri ini.
“Ingatlah, anak-anakku! Kalian tidak bisa mencuri dari matematika. Banyak orang
genius dan bahkan pemenang Nobel yang lupa akan hal ini. Jika A sama dengan B, maka B sama dengan A. Jika kalian membunuh
dan mencuri nyawa seseorang, maka matematika akan menuntut pembayaran yang
setara. Kalian mungkin akan dihukum mati, sakit keras, ataupun mengalami
kecelakaan.”
Tidak ada kalkulus, tidak ada alogoritma,
tapi semua mata berbinar menatap sang guru. Guru itu kemudian menuliskan
sesuatu di papan tulis.
Mencuri ayam = 6 bulan kurungan penjara
Korupsi 2 milyar = 2 tahun kurungan penjara
Ia pun menantang siswa-siswinya.
“Siapa yang dapat menjawab persamaan ini?”
Jiwa-jiwa yang masih kecil dan polos itu
gelisah menatap hukum persamaan di hadapannya. Akhirnya, seorang siswi yang
berpotensi menjadi jaksa, memberanikan
diri mengangkat tangannya, dan berkata, “Itu tidak adil, Bu!”
Guru itu tersenyum, “Tidak ada yang tidak
adil di dunia ini, anakku! Mereka yang berkata demikian hanya tidak mampu
melihatnya. Pada pelajaran Fisika nanti kita akan belajar bahwa energi tidak
dapat diciptakan dan dimusnahkan. Energi hanya
mampu berubah bentuk, dan sebagian orang
dapat melihat perubahan bentuk tersebut sementara yang
lainnya tidak.”
Guru itu masih menunggu dan kesabarannya
membuahkan hasil. Seorang siswa menemukan jawabannya.
“Kerja keras, Bu! Itu persamaannya. Orang
yang mencuri ayam hanya melakukan sedikit usaha sementara pejabat yang
melakukan korupsi telah bekerja keras selama bertahun-tahun untuk menduduki
jabatan tersebut. Banyak uang, waktu dan pengaruh yang telah ia keluarkan dan
karenanya dia dihukum ringan.”
Sang guru mengangguk puas. Dari pengalaman,
ia tahu bahwa setiap tahun pasti ada
bibit yang berpotensi menduduki kursi pemerintahan kita saat ini.
Guru itu mengakhiri pelajaran hari keduanya.
“Jadi, sesusah apapun hidup kalian nantinya,
ingatlah hukum ini!” ia pun kembali menuliskan,
Jangan mencuri ayam. Jangan mencuri
sandal jepit. Jangan mencuri kaus
oblong.
Tunggu kesempatan untuk menjadi Presiden!
***
0 comments:
Posting Komentar