Jumat, 21 Juli 2017

- Leave a Comment

Negara Tak Akan Berubah


Akhirnya, terjadi lagi kerusuhan besar seperti yang pernah terjadi sebelumnya. Namun kali ini penyebabnya karena para pemuda di Indonesia muak dengan berita-berita yang selalu menampilkan tingkah koruptor, dari kelas teri hingga kelas kakap, sebagai bintangnya.

Ramai-ramai para pemuda menyerbu gedung pemerintahan. Entah ini sudah kali keberapa mereka mendatangi gedung yang katanya akan dibuat baru itu. Ya, bisa jadi, akhir-akhir ini para pemuda yang kesemuanya adalah mahasiswa, lebih sering datang ke gedung ini ketimbang datang ke kampus mereka sendiri. Aku serius akan hal ini. Aku ingat betul terakhir kali aku ke kampus yaitu ketika hendak berkonsultasi judul skripsi kepada dosen pembimbingku, di tengah perjalanan aku dihadang oleh temanku.

“Apa yang kau lakukan, Kawan? Para pemuda akan melakukan perubahan besar, dan kau masih bisa berjalan dengan santai?”

Aku terdiam mendengarnya. Sejenak aku berpikir tentang kata “perubahan” yang dia maksudkan. Tapi aku tak menemukan apa maksudnya.

“Perubahan? Perubahan bagaimana maksudmu?”

“Perubahan pemerintahan, Kawan! Kau tahu apa yang melatarbelakangi para pemerintah itu korupsi? Tekanan ekonomi, Kawan! Mereka melakukan itu untuk membahagiakan keluarganya! Seharusnya Negara tidak boleh dipimpin oleh orang-orang yang berada di bawah tekanan, Kawan!”

“Maksudmu, Negara itu harus dipimpin oleh ….”

“Pemuda! Kau benar, Kawan! Karena pemuda belum memiliki keluarga yang tentu saja tidak akan merasakan tekanan ekonomi karena hasratnya untuk membahagiakan anak dan istrinya!”

Aku tertegun mendengarnya, tampaknya dia benar. Aku memutuskan untuk ikut dengannya. Aku melupakan judul skripsiku, dan aku melupakan pendidikanku. Tenang, ini hanya untuk sementara. Sampai perjuangan para pemuda akhirnya bisa dimenangkan.

Sekarang aku di sini. Bergabung di antara ribuan pemuda yang menuntut lengsernya pemerintahan. Tapi, tidak, tidak tepat jika kukatakan “lengsernya pemerintahan”, semua pemuda di sini memiliki keinginan yang sama, yaitu mengganti pemerintahan dengan kader pemuda. Berarti pemerintahan benar-benar diubah total! Kalau begitu, kita sebut saja “longsornya pemerintahan”.

Hanya butuh waktu sepuluh hari untuk melongsorkan pemerintahan. Rupanya, para orang tua yang selama ini duduk di kursi pemerintahan tidak mampu menahan bokongnya lebih lama lagi. Ramai-ramai mereka keluar sambil membawa pengeras suara. Secara terang-terangan, mereka menyerah, dan menyerahkan kekuasaan sepenuhnya kepada para pemuda. Mendengar pernyataan itu, sontak para pemuda bersorak. Gemuruh memenuhi langit kala itu.

***

Kini aku menjabat sebagai Menteri Keuangan, jabatan yang sangat “basah” di kala pemerintahan orang tua dulu. Jika saja kuikuti jejak mereka dulu, tak dapat dipungkiri, setahun kemudian mungkin saja aku harus menambahkan dua buah huruf “X” di depan label ukuran bajuku yang sebelumnya hanya bertuliskan “L” saja. Ya, aku serius. Karena dengan keahlian manipulasi data yang diwariskan oleh orang tua di pemerintahan dulu, angka pengeluaran yang seharusnya Rp1.000.000 bisa kusulap manjadi Rp10.000.000. Kupakai Rp1.000.000 untuk anggaran sebenarnya, sisanya kumasukkan ke rekening pribadiku. Mudah bukan? Tapi, aku tak mau mengulang sejarah kotor itu. Bagiku, gaji saja sudah lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupku. Ya, karena aku tak perlu repot-repot memikirkan biaya dapur untuk anak-istri juga biaya pendidikan untuk anakku.

 Ada beberapa peraturan baru terkait pemerintahan pemuda ini, di antaranya adalah:
  • Setiap pejabat Negara diperbolehkan menyelesaikan studinya selama masa jabatan dengan catatan bahwa pejabat terkait tetap mempertanggungjawabkan kinerjanya kepada Negara.
  • Setiap pejabat Negara tidak diperbolehkan untuk berkeluarga. Pejabat Negara yang memutuskan untuk berkeluarga, akan diberhentikan demi kebaikan pemerintahan.
  • Masa jabatan ditentukan oleh usia. Pejabat Negara yang diperbolehkan menjabat adalah yang berusia antara 22 sampai dengan 30 tahun.
  • Pemilihan pejabat Negara ditentukan melalui seleksi khusus yang mempertimbangkan keahliannya masing-masing.
  • Presiden, wakil presiden, ketua dewan permusyawaratan rakyat, dan ketua majelis permusyawaratan rakyat dipilih dari pemuda terbaik dengan kriteria tertentu.
Kira-kira, seperti itulah beberapa peraturan-peraturan baru yang kuingat. Entah pemerintahan seperti ini menguntungkan atau tidak, tapi sejauh yang kuketahui, tak ada masa periode jabatan. Kadang pergantian jabatan terjadi tiga kali dalam seminggu, dan terkadang tidak ada satu pun pergantian jabatan dalam satu bulan.

“Kapan kau akan menikahiku?”

Dinda bertanya kepadaku ketika aku mampir ke rumahnya seusai bekerja. Aku terkejut mendengarnya. Hampir kumuncratkan lagi teh manis yang belum sempat kutelan. Aku memandangnya dalam diam.

“Dulu kau bilang, kau akan menikahiku ketika kau sudah mapan, bukan?”

Ya, aku ingat itu, aku memang pernah berjanji seperti itu. Aku ingat, tepat dua tahun yang lalu, ketika aku masih menjadi mahasiswa, sebelum aku berada dalam pemerintahan pemuda ini.

“Kenapa kau diam? Apa itu hanya janji palsu? Ketika kini kau sudah mapan dan memiliki segalanya, kau akan meninggalkanku begitu saja?”

“Bukan. Bukan seperti itu, Din. Dengar, sekarang aku memang sudah mapan, tetapi kau tahu kan bahwa aku sedang bekerja di pemerintahan? Kau tahu kan bahwa pemuda yang bekerja di pemerintahan tidak boleh berkeluarga?”

“Lalu aku harus menunggu lagi? Dulu kau memintaku untuk menunggumu sampai mapan, kini aku harus menunggu lagi sampai kau berhenti dari pemerintahan?”

“Tidak, bukan itu maksudku.”

“Lalu apa? Jika memang seperti ini, aku tidak akan pernah mendukungmu masuk ke pemerintahan!”

Kulihat mata Dinda mulai berkaca. Aku sudah dapat menduga apa yang akan terjadi selanjutnya, dia akan menyudutkanku, menangis, kemudian meninggalkanku begitu saja.

“Dengar! Aku tidak bisa menunggu lebih lama lagi!” Dinda bangkit dari duduknya, “nikahi aku, atau akan kucari laki-laki lain yang lebih bisa memberikan kepastian kepadaku!”

Air matanya mulai mengalir anggun dari mata melewati pipi. Aku tak mampu menatap beningnya air mata itu. Sesaat kemudian, Dinda masuk ke dalam rumahnya dan meninggalkanku di teras rumah begitu saja. Aku tak bisa berkata apa-apa.

Sepanjang perjalanan aku memikirkan apa yang baru saja kualami. Aku harus memilih antara janjiku kepada Dinda dan pengabdianku kepada Negara. Sebuah pilihan yang tidak mudah bagiku, karena keduanya, merupakan hal yang sama-sama harus dipertanggungjawabkan.

Kuparkirkan mobilku di sebuah masjid yang sebenarnya tak jauh dari rumahku. Tidak, aku tidak sedang ingin beribadah kepada-Nya. Hal ini pernah kulakukan sebelumnya. Di sini, aku hanya ingin menenangkan pikiranku. Menyendiri dan menyepi, berharap Tuhan akan membisikkan jawaban atas pertanyaan yang berkecamuk di dalam pikiranku kini.

Aku duduk bersila menghadap mimbar. Berada di tengah ruangan, tepat di bawah kubah masjid. Mataku tak kuhadapkan ke arah mimbar, namun kuarahkan pada karpet hijau yang bergambar masjid di bawahku.

Tiba-tiba seseorang menepuk pundakku dari belakang.

“Regiansyah Candrasena, Menteri Keuangan kita,” katanya sambil tersenyum.

Aku membalas senyumnya.

“Apa yang kau pikirkan, Nak? Sepertinya sesuatu yang sangat berat sedang menindih kepalamu.”

Aku tidak langsung menjawab pertanyaannya. Aku hanya tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepalaku.

“Ceritakanlah, Nak. Kau tidak bisa menyembunyikan sesuatu dariku,” katanya sambil memegang pundakku.

“Dinda memintaku untuk segera menikahinya, Kek.”

“Itu bagus! Lalu apa lagi yang kau pikirkan? Regiansyah, kau sudah mapan sekarang. Memang sudah waktunya untuk berkeluarga!”

“Masalahnya, aku masih menjabat di pemerintahan, Kek.”

“Masalah? Di mana masalahnya? Apa hubungannya berkeluarga dengan pemerintahan, Nak?”

“Kek, pemerintahan sebelumnya kacau karena para pejabatnya sudah berkeluarga.” Kakek mengernyitkan matanya, “maksudku, karena para pejabatnya sudah berkeluarga, maka mereka terjebak dalam himpitan ekonomi. Himpitan ekonomi inilah yang menyebabkan para pejabat itu nekat melakukan tindakan korupsi. Keuangan Negara pun kacau, dan semuanya menjadi berantakan. Inilah yang menyebabkan kami, para pemuda, akhirnya melongsorkan pemerintahan sebelumnya, Kek.”

“Ya, aku tahu tentang itu. Regiansyah Candrasena, mungkin kau benar bahwa jika kita berkeluarga maka kita akan terjebak dalam himpitan ekonomi. Tapi aku rasa kesimpulanmu salah jika kau mengatakan bahwa berkeluargalah yang akhirnya memicu lahirnya korupsi. Regiansyah, menikah itu bisa membuka pintu rahmat, bukan malah sebaliknya. Himpitan ekonomi terjadi karena ada sesuatu yang ingin kau wujudkan namun memerlukan sejumlah biaya. Mungkin benar, dengan berkeluarga kau akan terjebak dalam himpitan ekonomi. Karena saat berkeluarga, kau mulai memikirkan untuk mewujudkan keinginan banyak orang. Kau ingin mewujudkan keinginanmu sendiri, istrimu, juga anakmu. Itu artinya, kau memerlukan biaya yang tidak sedikit lagi. Sekarang yang jadi masalah adalah, bagaimana caramu untuk mewujudkan semua keinginan itu? Sebagai seorang kepala keluarga, tentu saja kau ingin melihat keluargamu selalu bahagia. Cara yang kau ambil itu, bisa saja benar atau bahkan bisa saja salah. Semua tergantung bagaimana caramu mempertimbangkan segalanya.”

Aku mengangguk sambil terus mendengarkan penjelasan kakekku.

“Regiansyah Candrasena, sebenarnya aku sangat menyayangkan apa yang kau lakukan bersama teman-temanmu pada waktu. Jika kau perhatikan, apa yang terjadi di pemerintahan sebelum dan sesudah ‘pelongsoran’ itu, benar-benar tidak ada bedanya. Kalian tetap memerintah dengan sistem kerja yang tidak ada bedanya. Hanya saja, kalian memiliki keyakinan bahwa pemuda lebih baik dari orang tua yang sebelumnya. Padahal, baik orang tua maupun pemuda, keduanya hanya digerakkan oleh tiga hal; nafsu, pikiran, dan hati.”

Aku mengernyitkan mataku, seperti ada perasaan tidak setuju dengan kakekku, namun aku masih enggan untuk memotong pembicaraannya.

“Kau tahu, nafsulah yang membuatmu memiliki keinginan akan sesuatu, pikiran yang menciptakan akal tentang bagaimana caramu mewujudkan keinginan itu, dan hatilah yang menimbang serta memberi penilaian tentang baik atau buruknya caramu mewujudkan sesuatu itu. Sayangnya, hati inilah yang jarang digunakan. Pemerintahan yang baik, bukanlah pemerintahan yang dipimpin oleh para pemuda atau oleh para orang tua. Akan tetapi, pemerintahan yang dipimpin dengan ini,” dia mengarahkan tangannya ke dada dan menunjuknya berkali-kali, “kau mengerti?”

Aku terdiam. Tak mampu menjawab.

“Mungkin pemerintahanmu ini akan baik di awalnya saja,” dia melanjutkan, “tapi kita lihat saja nanti, beberapa tahun lagi. Ketika pemuda-pemuda penggantimu mulai melupakan tekad dibentuknya pemerintahan ini. Ketika mereka yang menjabat bukanlah mereka yang ikut berjuang dalam ‘pelongsoran’ kemarin. Masa-masa seperti itu, sudah pernah aku lewati.”

Tiba-tiba suasana menjadi hening sesaat. Aku seakan kehilangan kata-kata begitu kakekku selesai berbicara.

“Oh, iya. Bagaimana dengan Dinda, Nak? Jadi, apakah kau sudah mulai menemukan jawaban dari masalahmu itu?” kakekku mencoba memecahkan keheningan yang terjadi.

“Aku masih belum begitu yakin, Kek.”

Kakekku tersenyum. Meski kumis dan jenggot hampir menutupi lekuk bibirnya, aku masih tetap bisa merasakan senyumannya yang ikhlas.

“Yakinkanlah dirimu, Nak. Ingat tiga hal yang kubicarakan tadi. Jangan pernah kau lupakan yang terakhir.” Sesaat dia melirik jam besar yang ada di belakangku. “Pulanglah, besok kau harus kembali bekerja.”

Aku melirik jam tanganku dan bangkit setelah berpamitan dengan kakekku. Kakekku ikut berdiri dan mengantarku sampai ke depan pintu masjid. Aku meninggalkannya setelah dia menitipkan salam untuk ayah dan ibuku di rumah. Ya, kakek tidak tinggal serumah bersamaku, dia lebih memilih tinggal sendiri dan menghabiskan waktunya di masjid.

***

Beberapa bulan setelah itu, aku menikah dengan Dinda. Setelah setahun menunggu, putra pertamaku pun lahir. Sayang, kakekku sudah tiada sebelum putra pertamaku ini lahir. Dia wafat tidak lama setelah pernikahanku dengan Dinda.

Kini, setelah anakku berumur lima tahun, tiba-tiba saja aku terkenang akan obrolanku dengan kakek di masjid pada waktu itu. Dia benar, kini Negara kembali kacau. Mungkin, akan selalu seperti ini keadaannya sampai kapan pun. Pemerintahan yang dijabat oleh para pemuda, jelas terbukti tidak dapat mengubah Negara ini menjadi lebih baik. Aku rasa, benar apa yang dikatakan oleh kakekku, Negara ini baru akan berubah jika pemerintahannya dijabat oleh mereka yang selalu memperhatikan tiga hal, yaitu nafsu, pikiran, dan tidak pernah lupa untuk menggunakan hati.

Gondangdia,
21 Juli 2017
20:11
 
Sumber gambar: http://kalaliterasi.com/wp-content/uploads/2017/02/Aksi-Mahasiswa.jpg

Penulis: Nicky Rosadi

Tulisan lain dari Nicky Rosadi

Kenali lebih dekat di sini:

Icon Icon G+

0 comments:

Posting Komentar