Selasa, 02 Desember 2014

- Leave a Comment

Kisah Siti dan Mayat Hidup

Ada yang berubah dengan Siti. Ia sudah tidak lagi merasa kehilangan siapapun. Tapi ketika melihatnya menyantap makanan yang terhidang di mejanya, ada daging mentah yang masih berdarah. Siti tengah mengoyaknya dengan gigi yang tak pernah berubah, masih jelita seperti sedia kala. Sementara merah darah sesegar pagi yang beranjak, itu menghiasi bibir dan pipinya. Sesekali Siti mengerang dengan panjang, merasakan setiap serat daging segar yang masih bercampur dengan darah itu, merasakan kenyerian ketika daging segar itu masih hidup. Entah daging apa dan entah daging siapa.
“Itu daging dari mayat si Datuk” kata seorang yang hanya lewat depan rumah siti dan sangat ketakutan menyaksikan.
“Bukan, sepertinya itu kepunyaan Samsul” teman yang lewat tadi juga ikut nimbrung dan ngeri untuk berhenti sejenak.
Tapi ketika hari biasa yang tak sedang menyantap di ruang makan itu, kelembutan Siti tak dapat diragukan lagi. Siti tak merindukan si Datuk dan juga Samsul sekalipun. Baginya itu sudah cerita usang yang sudah sepantasnya dilupakan. Siti tak peduli lagi, yang mana merupakan bagian dari pemerintah kolonial, atau bagian dari pahlawan yang mempertahankan tanahnya, baginya sudah sangat samar, cinta yang lampau telah menjadikannya bahan renungan untuk beranjak melangkah ke depan.
“Barangkali Siti tengah kena sihir dari tukang tenung”
“Siapa gerangan yang mau sihir Siti?”
“Benarkah Siti sudah menjadi mayat hidup? Hidup segan mati tak hendak?”
Orang-orang mulai memperbincangkan bahwa bagian ujung bibir siti mulai membusuk. Bau busuknya itu mulai menyebar ketika orang-orang berpapasan dengan Siti. Bau busuk dari mayat yang cukup lama berkeliaran. Semua orang menyayangkan, apa gerangan yang terjadi pada Siti. Apakah ia menderita sakit yang belum ada obatnya, atau memang sedang sariawan yang sudah lama tak disembuhkan.
Ketika sedang melamun di halaman rumah, seseorang mendatangi Siti dan memberikan segenggam sirih untuk dioleskan ke ujung bibir Siti. Pembawa sirih itu datang sambil menutup hidungnya dengan tangan kirinya, dan menyodorkan tangan kanannya yang mengepal sirih. Siti menjawabnya hanya dengan mata yang melotot. Cukup membuat pembawa sirih itu gemetar dari ujung kepala hingga ujung kaki, kemudian melemparkan sirih itu ke udara dan kemudian berbalik arah lari sekencang-kencangnya.
Tak lama setelah itu, di malam yang gelap dan bulan sedang mati, perlahan-lahan mayat-mayat bangkit lagi dari sepenjuru kuburan. Mayat-mayat lama yang tinggal tulang, mayat-mayat baru yang setengah membusuk, berjalan perlahan dan mengeluarkan suara yang menggeram-geram, mereka terus berjalan hingga mendekati rumah Siti. Mereka satu persatu mendekati halaman rumah Siti, berkumpul dan berkerumun disana, semakin lama semakin banyaklah jumlahnya.
Orang-orang hendak lari, tapi bertanya-tanya akan lari kemana. Mereka hanya mengintip dari balik jendela rumahnya. Tapi mayat-mayat yang bergerak itu tak ada yang ingin mampir, seakan rumah orang-orang itu tak menarik hati bagi mayat-mayat itu.      
“Seseorang pasti merapal ilmu hitam, menghidupkan mayat-mayat” bisik pengintip yang gemetaran sekali.
“Apa yang hendak dituntutnya dari menyerang ke tempat ini” seorang di rumah seberangnya ikut membatin dan bulu kuduknya berdiri.
Pintu rumah Siti kemudian terbuka, seakan membiarkan mayat-mayat itu masuk dan memenuhi seisi rumah Siti. Satu persatu mayat itu memasuki rumah Siti.
Tak ada yang tahu apa yang sebenarnya terjadi pada malam itu di rumah Siti. Dugaan bahwa Siti telah dikepung dan dimangsa mayat-mayat hidup itu tak benar adanya. Orang-orang terlalu takut untuk mengetahui apa yang terjadi malam itu, tapi segelintir orang yang berani selalu ada. Mereka dari kejauhan membuntuti dengan rasa penasaran yang teramat banyak memenuhi pikirannya.
Merasa bahwa mayat-mayat itu hanya melewati rumahnya, orang-orang kembali ke tempat tidur dan berharap yang baru saja terjadi hanya mimpi buruk menjelang pagi. Tinggallah beberapa orang yang berani dan dipenuhi penasaran yang melihat dari kejauhan. Mereka dengan sabarnya menanti apa yang akan terjadi.
Rumah Siti seakan penuh sesak oleh mayat-mayat, mereka semuanya dapat masuk ke dalamnya. Di sana mayat-mayat itu saling memangsa, mencabik-cabik, menggerogoti dan menggigit-gigit. Hingga waktu yang lama menjelang pagi, saling perang mayat-mayat itu berakhir dan bertebaran sisa-sisanya. Siti hanya terdiam di peraduan dan menyaksikan, ternyata mayat-mayat itu pun tak sempat menyentuh Siti.
Seakan niat awal menyerang Siti dengan mayat-mayat itu, kemudian niat busuk yang digerakkan dari kejauhan itu tak sampailah. Mayat-mayat itu kemudian saling menghancurkan diantara mereka. Siti dengan kecantikan yang hidup itu telah terselamatkan, hanya waktu yang memberi jawab dari pertolongan yang telah didapatnya.
Tapi setelah itu, pagi yang cerah datang, Siti entah ada dimana. Orang-orang yang mengawasi dari kejauhan didera kelelahan, hingga tak sempat melihat dimana adanya Siti, mereka pun tertidur lelap di tempat yang nyaman untuk pengawasan.        
***
Sebelum malam itu, Siti tengah membawa sebuah Koran. Sebuah koran yang tergeletak begitu saja di depan halaman rumah Siti, entah siapa yang membacanya dan kemudian menyimpannya disitu. Siti tak terlalu memperhatikan apa saja berita yang ada, tapi bagian koran yang tergeletak itu di halaman yang dapat dibacanya memberitakan.    
Perusahaan virus milik pemerintah kolonial sudah hadir di kota ini, dengan alasan bahwa pribumi adalah biangnya segala penyakit. Tak seorangpun dapat menyangka ada tempat yang dapat melakukan kegiatan yang demikian. Bahkan penduduk pribumi masih segelintir yang dapat memahami apa yang terjadi. Pemerintah kolonial memang sedang bersemangat untuk bersih-bersih. Melakukan berbagai macam cara dengan mengembangbiakkan berbagai macam virus dan bakteri.   
Koran itu lalu dilipatnya lagi dan kemudian disimpan ke dalam rumah, sembarang saja Siti simpan. Berita itu tak penting bagi Siti. Sepertinya yang ada dikepalanya hanya memuaskan diri dengan menyantap daging mentah merah dengan darah yang masih segar. Keinginan itu makin menguat seiring bulan demi bulan berjalan, keinginan merasakan serat-serat kasar itu dicabik di gigi-giginya, disesap-sesap di lidahnya.  
***
Beberapa orang yang telah melihat dari kejauhan dengan mata kepala sendiri itu, ketika dimintai untuk menceritakan apa yang terjadi di rumahnya Siti malam itu, mereka sepakat untuk menceritakan :
Bumbu yang biasa digunakan untuk memasak daging itu telah disulapnya untuk menghidupkan lagi mayat-mayat yang hidup. Untuk menjadi pasukannya yang dapat membalaskan dendam kesumatnya. Seluruh pemakaman di manapun telah didatanginya. Ditaburkannya bumbu-bumbu itu. Langit memang sedang gelap-gelapnya. Mengukir mata untuk membatasi pandangan matanya.
Kepiawannya meracik bumbu telah dipelajari sejak lama, sebagai seorang perempuan tentu tak elok jika tak pandai meracik  bumbu di setiap masakan. Rendang, gulai, dan apapun namanya dapat dengan mudah dituntaskan. Tapi tak seorangpun tahu dengan bumbu masak apa dapat membangkitkan lagi mayat yang hidup. Hanya ia yang telah mencoba resep itu.
Resep itu memang tak didapatnya dengan mudah, harus mengidamkan hati yang keji untuk dapat mudah mendatangkan pikiran tentang resep itu.
Mereka memang tak menyembuyikan sesuatu apapun, sebab kejadian yang pernah terjadi malam itu telah disampaikan ke semua orang, tetapi memang harus ada pihak yang disalahkan. Mereka sepakat untuk membuat ceritanya seperti yang telah diutarakan. Tapi mereka tak pernah menjadikan Siti sebagai bagian dari mayat-mayat hidup itu.
***
Setelah malam itu Siti memang menghilang hingga beberapa bulan. Orang-orang menyangka bahwa Siti telah dimangsa mayat hidup. Mereka tidak tahu siapa orang keji yang telah membuat mayat-mayat bangkit dan hidup lagi lalu menyerang Siti.
Hingga setelah beberapa bulan itu, orang-orang mulai merasa melihat Siti lagi. Siti sangat indah dilihat dari halaman rumahnya, tak pernah Siti terlihat secantik itu sepanjang hidupnya. Setiap orang mengenang, setiap orang terkenang.   

Penulis: Wahyu Heriyadi

Tulisan lain dari Wahyu Heriyadi

Kenali lebih dekat di sini:

Icon Icon mengumpulkan saja

0 comments:

Posting Komentar