Sabtu, 23 Maret 2019

- Leave a Comment

Ahyar Hanya Ingin Terbang



Pada zaman dahulu, hiduplah seorang anak petani yang memiliki cita-cita tinggi. Dia selalu bercerita tentang cita-citanya itu kepada seekor semut. Dia yakin semut tidak akan menceritakan apa pun yang diceritakannya kepada siapa pun. Dia anak petani, yang hanya bisa makan nasi, dari panen padi.

Anak petani itu bernama Ahyar. Entah apa yang membuat ayahnya memberinya nama seperti itu. Mungkin karena keterpaksaannya yang hidup harus selalu berutang. Keyakinannya akan panen yang mungkin sebentar lagi datang ketika anaknya lahir, membuatnya selalu berkata, “Ah, nanti juga saya bayar.” Si penagih kesal. “Ah, yar. Ah, yar. Itu terus jawabanmu. Bisa jadi itu jawaban terbaik dalam hidupmu.” Orang itu benar. Ahyar, menjadi jawaban terbaik yang dimiliki ayah setelah lama tak memiliki anak.

Ahyar tak punya adik dan kakak. Dia hanya hidup sebatang kara. Itu sebabnya dia hanya bisa bercerita pada semut. Semut tak bisa bicara, itu jelas. Tapi apakah semut bisa mendengar, Ahyar tidak tahu. Dari kecil dia tidak pernah sekolah. Yang dia tahu hanya apa yang dikatakan ayahnya. Ayahnya tak pernah berkata apa pun tentang semut. Itu yang ia tahu.

Soal cita-cita, Ahyar selalu cerita bahwa dia ingin bisa terbang. Tapi dia tak tahu bagaimana caranya. Dia ingin seperti kupu-kupu yang bisa hinggap ke sana kemari. Dia ingin seperti burung, yang bisa terbang menembus awan. Dia ingin seperti kampret, yang gesit meski melayang di dalam malam. Ahyar tak tahu, semut mendengarkan atau tidak. Yang jelas, semut itu seolah diam memandangnya.

Masalah cita-cita, memang milik siapa saja. Milik Ahyar, milik perempuan di ujung jalan, bahkan milik semut yang selalu menjadi pendengar Ahyar. Sebetulnya Ahyar tak benar-benar tahu apakah semut yang mendengarkannya bercerita setiap hari itu adalah semut yang sama atau bukan. Yang jelas,  Ahyar tahu, dia keluar dari lubang yang sama.

Setiap sore, ketika langit mulai terasa hangat, bukan panas, Ahyar memanggil-manggil semut dari luar lubangnya. “Hari ini aku mau cerita, kau mau keluar untuk mendengarkan?” kata Ahyar di atas lubang semut. Memang aneh, dari kejauhan Ahyar terlihat seolah sedang bersujud ke tanah. Orang-orang mungkin akan menganggap Ahyar sebagai penyembah pohon, karena di depannya terdapat pohon besar yang membuat tempat itu jadi sejuk, sepoi-sepoi. Itu bukan pohon beringin. Tak ada pohon beringin yang tumbuh di sekitar sawah. Pohon kelapa bisa jadi, tapi jelas ini bukan pohon kelapa. Ahyar tak tahu namanya. Yang jelas, dia punya batang yang besar dan daun yang lebat. 

Beberapa saat setelah Ahyar memanggil di atas lubang semut, seekor semut keluar dan berdiri tepat menantang Ahyar. Tapi Ahyar tak merasa tertantang. Dia malah tersenyum. “Kau siap mendengarkan rupanya,” kata Ahyar kemudian.

“Hari ini aku mau naik ke pohon besar itu. Dari atas sana, aku mau lompat. Aku tak peduli jika jatuh. Yang kuharap, Tuhan iba padaku dan memberiku sayap. Lalu aku bisa terbang,” kata Ahyar mantap kepada semut. Semut tak merespons apa pun. Dia hanya diam, sambil sesekali seperti mematuk-matuk tanah. Tapi dia tetaplah semut, bukan ayam.

“Lihat aku ya,” kata Ahyar sambil bangkit dan kemudian mulai memanjat pohon.

“Tugas manusia hanya berusaha. Terus berusaha, sampai Tuhan iba, dan memberikan apa yang kita pinta,” ucap Ahyar lagi sambil memeluk batang pohon dan bersiap memanjatnya.

Perkara mudah bagi Ahyar untuk memanjat pohon apa pun. Ahyar sering sekali disuruh memetik kelapa muda oleh ayahnya di siang hari bolong. Entah apanya yang bolong. Yang jelas, di saat yang terik itu, memang segar bukan main jika kita menenggak air kelapa muda.

Ahyar telah sampai di ujung paling atas. Dia bergegas melompat.

“Semut, hati-hati kau terinjak olehku. Tapi jangan khawatir, aku rasa sebelum aku menginjak tanah, aku akan sudah punya sayap,” katanya yakin.

Ahyar melompat. Terasa sekali angin yang tak mampu menahan tubuh Ahyar untuk tidak jatuh ke bawah. Tangannya ke atas, tapi tubuhnya semakin kencang ke bawah.

“Aduh!”

Ahyar jatuh. Sayap tak tumbuh di punggungnya. Dia belum bisa terbang.

“Tenang, ini baru usaha pertama. Gagal itu biasa. Tuhan hanya menguji kita. Jika kita bersungguh-sungguh, Tuhan pasti akan wujudkan. Kau tetap di sini, aku mau naik lagi,” kata Ahyar kepada semut, dan mulai naik lagi.

Percobaan kedua Ahyar, tak membuahkan hasil. Ahyar masih jatuh ke tanah. Dia mencoba lagi. Tak mau menyerah. Bahkan dalam bertani pun, saat gagal panen, ayah masih tetap menanam padi. Kali berikutnya, ayah berhasil panen. Tak ada usaha yang tak membuahkan hasil. Itu kata ayah. Ahyar tak akan berhenti hanya pada usaha kedua, ketiga, keempat, dan seterusnya. Dia akan terus berusaha sampai berhasil.

Sore hampir gelap. Langit mulai merah. Udara semakin dingin. Matahari hanya tinggal cahayanya saja. Ahyar, masih terus berusaha.

“Kapan ya Tuhan mulai iba padaku,” kata Ahyar begitu jatuh ke tanah entah untuk yang keberapa. Dia merasa lelah. Keputusan untuk bersandar pada batang pohon dan menghela napas panjang, rasanya hal yang tepat bagi Ahyar. Usaha pun harus tetap ada istirahatnya, begitu pikir Ahyar.

“Tuhan itu senang sama makhluk yang terus  berusaha. Itu kata ayah. Makanya, terus berusaha. Kalau tidak kau berhasil karena memang usahamu, setidaknya, akan ada keajaiban yang tidak masuk akal yang akan membuat berhasil karena Tuhan iba melihat usaha kita. Itu sebabnya aku selalu bersungguh-sungguh,” kata Ahyar sambil terengah-engah.

Semut tetap diam. Entah dia mendengarkan atau tidak. Tapi Ahyar senang, setidaknya semut tidak pernah berkomentar atau menyanggah. Ahyar tersenyum memperhatikan semut yang kini mulai berjalan mendekatinya. Dipikirnya semut itu akan merangkak naik ke jarinya. Tapi dia salah. Semut itu berjalan ke sisinya dan menaiki batang pohon dengan mudah.

“Wah, lihai sekali kau memanjat. Pelan-pelan, nanti jatuh. Kau tak mau kan tubuhmu yang kecil itu jatuh menghantam batu yang besar. Besar menurutmu, kecil menurutku. Hahaha,” kata Ahyar yang kemudian tertawa lepas. 

Tapi lama Ahyar menunggu, semut tak kembali ke bawah. Tak terlihat juga sesuatu yang jatuh dari atas, yang mungkin saja itu adalah semut. Langit telah hitam. Bintang mulai datang. Bulan, hanya separuh yang terlihat bersinar. Ahyar masih sendirian di bawah pohon besar itu. 

Ahyar hendak bangkit. Dia harus pulang. Perutnya lapar, meski dia tak yakin di rumah ada makanan. Tapi sesuatu terasa merayap di punggung tangannya. Dia menaikkan punggung tangannya, mengarahkan ke bulan seraya berharap sinar bulan mampu menyinari dan memperjelas sesuatu yang ada di punggung tangannya.

Kecil, hitam kecokelatan, dan ini tak asing lagi.

“Semut?”

Ahyar keheranan. Diperhatikannya punggung semut itu. Jelas ini sesuatu yang baru. Dia kenal betul semut seperti apa. Benar seperti apa yang dilihatnya sekarang, tapi tidak dengan bagian punggungnya.

“Ini sayap?” katanya sambil menyentuh punggung semut. “Kurang ajar!”

Semut terbang. Tamparan Ahyar hampir mengenainya. Kulit Ahyar yang terkena tamparan. Jika kena, semut pasti sudah benyek.

“Aku yang berusaha, kau yang berhasil? Dasar semut kurang ajar!” kata Ahyar berteriak mengikuti arah semut terbang. “Jika tadi aku yang naik ke atas pohon, sayap itu tentu untukku! Dasar semut tak tahu diuntung! Kupikir kita berteman, tapi ternyata kau hanya memanfaatkan kesungguhanku berusaha, untuk kemudian kau ambil iba Tuhan untukmu! Bangsat!”

Ahyar kecewa. Dia pulang tanpa sayap. Hatinya mendidih. Mulai detik ini, dia tidak akan berteman pada siapa pun. Dia juga tak akan pernah bercerita tentang cita-citanya kepada siapa pun, atau apa pun. Ahyar menarik napas panjang dan mengembuskannya melalui mulut. Semoga ini, jadi pelajaran bagi kita semua.

Karangmulya, 21 Maret 2019
Nicky Rosadi

Gambar diambil dari sini

Penulis: Nicky Rosadi

Tulisan lain dari Nicky Rosadi

Kenali lebih dekat di sini:

Icon Icon G+

0 comments:

Posting Komentar