Senin, 26 Agustus 2013

- Leave a Comment

Aku Dan Kakek


Oleh: Miftah Rahman

25 tahun yang lalu. Ada sebuah peti di rumah besar dan mereka akan membawanya pergi. Hari sudah hampir pukul 11.00. Melalui jendela di dapur yang bercat putih dan berlapis karpet merah, aku dapat melihat orang-orang dari kantor pemakaman bekerja memasuk-masukkan kursi untuk upacara kebaktian. “Pergi ke kamarmu,” kata Ibu. “Aku akan memanggilmu kembali kalau semuanya sudah siap. Sesudah itu kau boleh ikut ke pemakaman.” Kemudian Ibu memberi krayon dan kertas gambar untuk ‘kunikmati’ sambil menunggu. Aku berbaring di tempat tidur seraya melukis, dengan tanpa minat sama sekali. Aku bisa mendengar suara-suara di lantai bawah. Suara-suara yang jauh, yang tidak ada urusannya denganku sejak aku disuruh menyingkir ke kamar. Kemudian, untuk sejenak aku tidak mendengar apa-apa. Aku tertidur.

Ketika terbangun, aku melihat ayah sudah berdiri di depanku. “Ayo,” katanya sambil mengusap rambutku. “Kebaktian sudah selesai. Sekarang kau ikut ke pemakaman.”

Mereka telah melupakanku. Mereka telah berjanji bahwa aku boleh ikut upacara kebaktian di lantai bawah, tetapi mereka tidak memenuhi janjinya. Aku sudah berumur tujuh tahun. Dan kebaktian itu berlangsung di rumahku sendiri. Tetapi mereka membiarkanku di lantai atas, dibodohi dengan krayon dan kertas gambar seperti bayi. Aku tidak bisa dan tidak akan memaafkan kedua orangtuaku.

Aku kenakan baju hangat dan topi. Aku langsung turun tangga. Melewati orang-orang itu yang diam mematung, dan langsung menuju jalanan. “Kamu ikut mobil yang ini, Tio,” kata pendeta.

Di dalam mobil sudah ada paman dan istrinya. Paman dan ayah sangat mirip satu sama lain, sampai-sampai pendeta itu menempatkanku bersama ‘ayah’ yang salah. Aku marah sekali.

Aku juga mendongkol karena yang meninggal ini adalah kakekku, tapi justru aku yang dilupakan dan disingkirkan oleh ayah-ibu yang sibuk dengan tamu-tamu lain. Benar-benar tidak adil. Tetapi air mata tidak menetes ke luar. Aku tidak pernah menangis keras-keras.

Mobil berhenti. Kami menuju ke pemakaman keluarga di kuburan desa tempat kelahiran kakek. Dalam perjalanan itu, aku berpikir tentang kematian. Kematian, demikian yang diajarkan gereja, adalah suatu permulaan. Aku tidak bisa mengerti ungkapan itu. Kakek pernah berkata bahwa pada suatu hari Yesus akan mengajak orang-orang yang mencintaiNya untuk bangkit dari kubur. Kemudian, kata Kakek, Kakek dan aku akan hidup berdampingan untuk selamanya di dunia yang baru.

Paman dan bibi membimbingku menuju tempat angota-anggota keluarga lain yang sedang berdiri: ibu dan ayah, bibi Vivi dan suaminya, Eko dan Aryo (berumur 2 tahun). Mereka berdiri dalam jarak kira-kira 2 meter dari lubang kubur Kakek, terdiam di bawah naungan langit Yogyakarta. Hari itu adalah satu hari yang dingin dan berangin di bulan November.

Peti mati logam abu-abu dengan karangan bunga yang menyelimutinya telah disiapkan di dekat liang kubur. Pendeta berdiri di samping. “Dan aku melihat surga yang baru.” Ia memulai khotbahnya. “Dan sebuah dunia yang baru… dan saya, john melihat kota suci, Jerusalem yang baru, turun dari surga Allah, bagaikan seorang pengantin menanti suaminya….dan di sana tidak ada lagi kesedihan, tidak ada lagi tangisan, juga tidak akan ada lagi kesakitan…dan Ia yang duduk di takhta berkata, bersabarlah. Aku akan buat semuanya baru.”

Aku tidak melihat peti mati dari logam, bunga-bunga atau orang-orang. Yang kulihat adalah kakekku. Aku membayangkan Kakek dalam seragam militernya yang gagah, sepatu lars tinggi, rambutnya yang putih, matanya yang kecil, dan senyumnya yang hangat dan manis.

Apa yang kudengar bukanlah kata-kata pendeta tetapi suara Kakek yang lembut, berkata,”Tidak apa-apa, Maria,” waktu ibuku berkata, “Tio, kamu tidak boleh melompat-lompat di tempat tidur Kakek.”

Tempat tidur Kakek besar, tinggi dan empuk. Aku meloncat-loncat di sana sesuka hati. Kakek akan menangkap dan berkata, “Tio, Tio, Tio.” Pada saat-saat sedang bersama Kakek, tidak ada larangan-larangan. Rumahku sendiri, yang terletak 10 meter dari tempat tinggal Kakek, seakan-akan berkilo-kilometer jauhnya – suatu kenangan untuk dilupakan.

Aku suka memperlihatkan hasil gambarku kepada Kakek, dan Kakek akan berkata, “Aduh bagusnya.” Kemudian menyuruhku untuk menggantungkannya di dinding. “Di sebelah mana, Kek?” “Di bagian mana saja yang kau suka,” jawab Kakek.

Kakek memiliki sebuah peti besar di dekat jendela, dan di dalamnya terdapat setumpuk majalah dan kertas-kertas berisi halaman-halaman untukku. Aku dibiarkan menggambar dan mewarnai gambar-gambar. Kakek selalu menyukai apa yang akuperbuat. Kakek membolehkanku menata meja dan ia tidak pernah mengatakan bahwa aku salah menata meja. Kalau aku bersalah, ia tidak akan marah. Aku bisa berbicara banyak pada Kakek sambil memohon, “Kakek tidak akan menceritakannya pada Ibu, bukan?” Dan Ia akan berkata, “Saya tidak pernah ceritakan pada ibumu apa yang kau ceritakan pada saya.” Dan ia memang tidak pernah.

Di kebun belakang rumah, tempat aku dan Kakek biasa berjalan-jalan (ia melangkah dengan tangan kanan memegang tongkat dan tangan kiri berpegangan erat di lenganku), banyak terdapat bunga, tetapi pendeta itu sekarang berkata,”Demikianlah Allah yang maha kuasa telah berkenan mengizinkan saudara kami untuk beristirahat, dan kami serahkan tubuhnya kepada bumi…”

Beristirahat. Kakek beristirahat. Tidak bisa lagi berjalan-jalan ke kebun. Tetapi bunga-bunga itu akan tetap ada di sana, dan kesepian, tanpa Kakek dan tanpa aku.

“…bumi ke bumi, tanah ke tanah, debu ke debu, menuju kebangkitan kembali yang bahagia bersama Yesus Kristus, Tuhan kami.”

Angin menerpa ayah dan Paman yang terdiam bersedih, menerpa bibi yang mengapai-gapaikan tangan dan menangis histeris, menerpa anak-anak yang sudah dewasa itu, yang kehilangan seorang ayah. Hanya aku sendiri, dengan kerongkongan kering, dada kuat dan jari-jari perih serta kaku yang tidak mengucurkan air mata.

Angin itu dingin. Rasanya sedingin es, dan suasananya kelabu. Sesuatu yang dingin bukan tanda cinta. Cinta itu hangat. Cinta itu adalah Kakek. Cinta itu telah ditanam di bumi.

Kilatan dari peti mati logam itu sesaat mendesak suasana hari yang kelabu. Peti itu dipegang oleh orang-orang yang akan melakukan satu hal yang benar-benar jahat. Peti itu diangkat oleh mereka dan mereka mulai menurunkannya ke lubang. Senti demi senti, detik demi detik, mereka sedang membenamkan Kakek, makin dalam, makin dalam ke bumi. Mereka sedang mengubur cinta.

Sekarang semua orang menangis, tetapi mataku kering, sekering dunia, yang menghampar di hadapanku, dunia yang tidak ada lagi orang yang berkata,”Tio, Tio, Tio.” Dunia tempat tidak ada orang yang mau mendengar bila aku berkata. Dunia tanpa cinta.

Ketika usiaku memasuki 12 tahun, perlahan-lahan tirai itu mulai terkuak. Aku tersentak oleh satu kenyataan, yang baru kali itu aku tahu Tentang Kakek. Di tahun-tahun akhir hidupnya, ketika aku sering mendatanginya untuk bermain-main atau memamerkan hasil lukisanku, rupanya ia telah mengalami kebutaan. Ibu pernah mengatakan, “Percuma saja kau membawa lukisanmu ke dia, ia tidak akan tahu.” Aku tidak mengerti maksud perkataannya. Nyatanya, Kakek selalu memuji hasil lukisanku. Itulah hari-hari terindah dalam hidupku. Hanya Kakek satu-satunya orang yang mampu membuatku senang. Ketika tiba saat aku tahu bahwa Kakekku buta, ada perasaan kecewa, sekaligus sedih. Kecewa karena ia berbohong. Ia mengatakan itu hanya untuk menyenangkanku. Pujiannya tidak setulus yang kuharap. Tapi aku juga sedih dengan keadaannya.

Usia 18 aku lulus sekolah. Tidak ada lagi dunia pendidikan setelah itu. Ibu mengatakan bahwa untuk anak sepertiku, sampai segitu sudah cukup. Lulusan SLB seperti aku tidak akan sampai ke mana-mana, ujarnya. Aku hanyalah bayi besar. Aku mempercayai sepenuhnya apa katanya. Hari-hari kuhabiskan hanya di dalam rumah. Sepi dan membosankan. Sepertinya aku hidup sendirian di dunia ini. Ibu tidak memperdulikanku, begitu juga ayah. Aku anak tunggal, tetapi dengan keadaanku yang katanya memiliki tingkat kecerdasan dan mental yang sangat rendah, seolah aku adalah anak yang tidak diharapkan lahir. Sampai pada satu kejadian di mana kenyataan yang lain lagi tentang kakek berhasil kuketahui.

Ayahku adalah seorang pekerja keras. Saking kerasnya bekerja, sampai-sampai sangat jarang aku bercakap-cakap dengannya. Ia akan berangkat kerja ketika aku belum beranjak dari tempat tidur, dan tidak jarang pulang ketika aku sudah tertidur. Segala tentang aku ia serahkan pada Ibu. Tapi biarpun begitu, hasil yang dicapai sepertinya tidak pernah mencukupi. Terbukti Ibu sering menggerutu, baik pada awal bulan ketika menerima uang gaji ataupun pada pertengahan bulan ketika uang sudah menipis, terlebih lagi ketika akhir bulan. Sampai pada satu pagi, aku kaget bercampur bingung. Ayah, ibu dan Paman sibuk mengemas barang-barang di rumah dan mengangkatnya ke luar menuju truk yang terparkir di pinggir jalan. “Mulai besok kita tidak bisa lagi tinggal di sini,” kata Ibu sambil tetap sibuk dengan pekerjaannya mengeluarkan pakaian dari dalam lemari. Tidak ada waktu bagiku untuk bertanya ada apa, hingga akhirnya Paman mengatakan bahwa rumah ini dijual, dan kami akan pindah ke tempat yang baru. Itu terjadi pada satu hari di bulan Januari.

Rumah yang telah kami tinggali sejak aku lahir, akhirnya dijual. Ingin sekali aku berteriak dan menolak. Tapi tidak bisa. Aku takut menghadapi kemarahan ibu. Ketidak acuhan ayahku memukulku begitu kerasnya, hingga aku hanya bisa berdiri mematung, memandangi rumah kecil di belakang rumah, tempat di mana dulu kakek tinggal yang sekarang telah diubah menjadi gudang; gudang barang bagi orang tuaku, gudang kenangan bagiku.

“Tunggu apa lagi? Cepat ambil pakaianmu.” Suara Ibu mengejutkanku. Sosok Kakek muncul begitu dekatnya di pikiranku saat aku mendapati fotonya yang berdebu ada di atas meja hendak di masukkan ke dalam kardus oleh Paman. Kardus itu terbuka, dan aku bisa melihat beberapa atribut serta tanda jasa milik Kakek. “Ini semua tidak berguna bagi ibumu.” Ucap Paman tiba-tiba dari belakang punggungku. “Kepahlawanan tidak penting baginya.” Paman berbicara dengan lirih di dekatku sambil melirik pada kedua orang tuaku yang sedang berdiri di samping truk bersama Pak Sopir. “Kakekmu adalah seorang kolonel yang pemberani. Ia pensiun dengan membawa kebutaan dan cacat kaki seumur hidup. Itulah kenapa ibumu selalu mengeluh padanya.”

Jogjakarta, 2012

Sumber gambar: http://www.m4truth.com/


Penulis: Wahyu Heriyadi

Tulisan lain dari Wahyu Heriyadi

Kenali lebih dekat di sini:

Icon Icon mengumpulkan saja

0 comments:

Posting Komentar