Senin, 26 Agustus 2013

- Leave a Comment

Kedai Mafuya


Gambar diambil dari sini

           Aroma cacahan daun bawang tak pernah gagal menghantarkan ingatannya jauh ke belakang.

 Fao tengah menimang satu botol angsiu di tangannya, mencari-cari label kadaluarsa, ketika kepala plontos Mayhew muncul, menembus tirai warung ramen itu. Lonceng angin di atas pintu masuk berdenting pelan.

           “Halo...”
            “Hola, Mas Koki.” Fao menjawab pelan dengan senyum lebar, merasa geli melihat tampang Mayhew yang jelas-jelas habis begadang berat. Mata pelanggannya memang sudah mengalahkan ikan hias dalam aquarium. Pasti masalah pasutri lagi, tebak Fao dalam hati.

            “Eh, ada Tuan Maymay... Gimana semalam?” Marnis, si pramusaji menyapa si tamu dengan gaya genitnya yang khas, menggial dengan gincu merah kesumbanya. Fao hanya geleng-geleng mahfum. “Buatkan dia kuah ayam ginseng, Marn!” tukas Fao enteng.

            Mayhew manut saja, menghempaskan pantatnya di kursi terdekat dengan koki Fao. Dahinya dijeduk-jedukkan ke meja bar, tanpa beralaskan lengan, melainkan langsung ke papan. Marnis mengerling bosnya dari sudut mascara keunguan. Mereka berdua sudah hapal bahasa tubuh itu : Entah pria tambun itu yang tergoda himpitan utang seperti wabah, ataukah istri cekingnya marah, yang jelas tamu mereka malam itu sedang gundah karena masalah. Tak ada gunanya membantah.

            “Minumlah ini. Sudah kuhalalkan untukmu,” Fao menyodorkan sebuah botol.
            Mayhew menggeleng lemas “Aku sedang tak ingin ngemil kecap asin,” jawabnya muram. Fao mendecakkan lidah. Tusuk gigi yang ia kemut sedari tadi berpindah ke sudut kiri bibir tebalnya yang hitam. Dia hanya ingin bercanda, sebetulnya. Tapi rupanya tak mempan.

            “Jangan-jangan.... Mau minum aku?” Kedip-kedip bulu mata palsu milik Marnis mulai beraksi. Tawaran itu hanya diganjar satu keluhan panjang dari tamu mereka. Fao berdecak lagi. Ia beranjak ke dekat kompor dan mengaduk sesuatu yang mengepul.   
            “Toss!”
            “Osh!” Marnis melemparkan mangkuk keramik besar, yang langsung ditangkap oleh Fao. Dengan cekatan, Fao mulai meracik. Mi basah udon dimasukkan, ditambah beberapa jenis ini itu plus bumbu rahasia yang belum ada seorang pun yang tahu. Mayhew mengernyit makin keras terkena uap. Keriput di antara kedua matanya yang sembab seakan jadi lebih dalam dari Palung Mariana. Sementara itu, Fao tanpa banyak kata menaburkan daun bawang ke atas kuah orisinilnya. Marnis mengambil sajian itu, dan menyajikannya dalam sekejap mata, tanpa pinggan. Mangkuk itu berderak ketika ditaruh di depan Mayhew.
            Tamu mereka mengendus, mengangkat mangkuk, dan tanpa mengambil sumpit, langsung menyeruput mie itu begitu saja.
            Glek. Glek. Glek.
            Marnis terkikik-kikik. Fao membelalakkan mata, menyuruh karyawannya diam.

            Ketika mangkuk itu turun kembali ke meja, kulit muka Mayhew sudah berubah jadi senja, merah merona karena panas serta doubanjiang (pasta cabe). Tak ada suara keluar dari bibirnya, selain decap kekaguman.
            “Menu baru, ya?”
            Fao nyengir badak. “Yep. Enak?”
            “Sangat. Minta acar plum, dong.”
            Sepuluh menit kemudian, kursi Mayhew sudah kosong, digantikan sekeping uang 500 Yen. Marnis kali ini yang geleng-geleng tak karuan.
            “Sensei memasukkan apa tadi? Viagra?”
            Fao melemparkan tusuk giginya ke tempat sampah dan menyanggah. “Tidak. Padahal dia sendiri yang bilang tak suka bawang putih. Heran aku padanya. Dikasih cuka malah diam saja. Dipedasi pasangan, malah kabur ke kita. Alih-alih cerita—”
            “Cerdik! Masih untung sensei tidak melengkapi mangkuknya dengan gyoza bakar. Hohohoho.”
            Chef Fao hanya mengedikkan bahu. “Lain kali, biar kucemplungkan onigiri sekalian. Dia kan dulu benci segala jenis umami. Bahkan kombu pun dia protes. Dasar kolektor koleris!
            Jangkrik bersahut-sahutan di luar, seolah mengamini lelucon itu. Kedai Ramen Mafuya selalu buka hingga dini hari, begitu pun dengan para penghuninya.

            Tak berapa lama kemudian, masuklah tamu berikutnya. Kali ini seorang gadis muda. Sama seperti tadi, lonceng angin kembali berdenting. “Selamat datang di Kedai Ramen Mafuya, kedai yang menjual kebahagiaan!” Marnis menyapa gadis itu dengan manis sembari membungkukkan badan. Gadis itu duduk. Penampilannya sederhana, masih mengenakan seragam sekolah meski saat itu sudah cukup larut. Dia sebenarnya cukup cantik, tapi matanya sembab seperti baru habis menangis. Fao dan Marnis sama-sama hapal wajah semua pelanggan tetap mereka, dan gadis ini baru pertama kali datang ke kedai mereka.

            “Mau pesan apa, nona?” tanya Marnis sambil meletakkan teh hijau hangat dalam gelas keramik di hadapan gadis itu.
            “Saya ingin beli menu yang kadar kebahagiaannya paling banyak.” Gadis itu menyahut ketus tanpa sedikit pun melirik menu di atas meja, ataupun yang terpampang di papan-papan kayu di dinding. Marnis menahan lidahnya untuk tidak bertanya: “Sedang tidak bahagia, rupanya?”, kemudian memberi kode ke Fao. “Sensei, Super Jumbo satu!”

            Fao mengangguk. Tangannya menyambar sebuah mangkok yang super besar dan lebar, kemudian dia mulai meracik menu andalan kedai mereka. Setelah jadi, Marnis perlu dua tangan untuk membawanya, dan kali ini langkahnya agak terhuyung karena berat. Gadis itu menatap mangkuk raksasa di hadapannya. Ramen dengan kuah kaldu ayam kental kekuningan, taburan daun bawang, dan topping yang luar biasa banyak dan beragam: mulai dari daging cincang pedas, telur pitan, berlembar-lembar daging sapi Matsuzaka, serutan ikan bonito, irisan kulit kembang tahu, potongan rebung manis, plus tiga lembar rumput laut di bagian pinggir mangkuk. Aroma yang tercium harum, bahkan sangat harum. Gadis itu menatap mangkuknya dengan sangsi. “Ayo silahkan,” ujar Fao dengan ramah. “Mudah-mudahan bisa membantu meringankan suasana hati anda.”
            Dengan sendok dan sumpit, gadis itu mulai makan. Pada suapan pertama, ia tertegun. Lalu tanpa suara, suapan-suapan berikutnya berlalu dengan cepat. Bukan cuma karena hangatnya, sesuatu dalam ramen itu seolah membuka sumbatan demi sumbatan di dalam hati sang gadis. Setelah sepertiga isi mangkuk itu habis, air matanya mulai mengalir. Dan tanpa bisa ditahan lagi, gadis itu kini menangis. Marnis mengangsurkan serbet kertas padanya.

           “Ramen ini... Enak sekali.”
            Fao tersenyum. “Terima kasih. Kedai kami menjual ramen kebahagiaan, tapi kami juga bersedia mendengarkan cerita dan keluh kesah pelanggan kami. Itu sudah termasuk dalam harga ramennya.” Fao mengedipkan sebelah matanya dengan jenaka. Gadis itu berterima kasih, kemudian sambil menghabiskan ramen super jumbonya, sedikit demi sedikit dia mulai bercerita. Berbagai jenis kesusahan dan ketidak-bahagiaan yang dideritanya mengalir begitu saja dari mulut gadis itu, tanpa bisa dijelaskan mengapa. Di-bully oleh kakak kelasnya, rasa kesepiannya di rumah, hingga kisah cintanya yang baru saja putus dengan seorang pemuda. Setiap satu bagian cerita selesai, beberapa gelembung berwarna pelangi keluar dari ubun-ubun pelanggan mereka, melayang menjauh, kemudian menghilang diserap lonceng angin di dekat pintu masuk. Gadis itu tak menyadarinya karena gelembung-gelembung itu tak bisa dilihat manusia biasa.

            Setengah jam kemudian, yang tersisa di dalam mangkuk hanya sedikit kuah beserta ampas dan daun bawang. Gadis itu mendesah puas kekenyangan, lalu membayar dan pamit setelah tehnya juga telah habis. Sebelum pergi, ia menoleh. “Saya pasti akan datang lagi kemari. Sungguh, terima kasih banyak,” katanya sambil tersenyum. Lalu dia keluar. Gelembung pelangi terakhir terbang dan masuk ke lonceng angin seiring dentingan pelan. Seolah tak terjadi apapun, Fao meneruskan kesibukannya mengaduk dan mengawasi kuah yang mendidih, sementara Marnis mengelap meja. Keduanya tadi tidak memberikan saran apapun pada gadis itu, hanya mendengarkan ceritanya saja. Tapi itu lebih dari cukup untuk membuat gadis itu kembali bahagia.

            Jam demi jam berlalu, beberapa pelanggan lain masuk, mengulangi rutinitas yang sama, dan gelembung-gelembung berwarna pelangi selalu muncul dan menghilang ditelan lonceng angin, meninggalkan senyum kebahagiaan penuh kepuasan di wajah para pelanggan.
  
          “Sudah berapa tahun ya, sejak Sensei mengumpulkan esens kebahagiaan?” Si pelayan menyeletuk ketika mereka tinggal berdua di kedai itu pada pukul tiga pagi, bersiap-siap untuk menutup kedai.
            “Cukup lama.” Fao menjawab sambil lalu. Lidahnya berdecak, lalu ia meludahkan tusuk gigi yang dikulumnya ke tempat sampah.
            “Tanpa itu, tidak mungkin aku tetap tampak semuda ini, seakan usiaku tak lebih dari tiga puluh.”
  
          “Ah, Sensei selalu muda buatku. Tak peduli berapapun usia sebenarnya.” Marnis tersenyum merayu. Fao mencibir. “Kau boleh hentikan akting genitmu. Sekarang kembalilah, toh di sini sudah tak ada siapa-siapa.” Fao menutup pintu kedai dan menguncinya. Pelayan seksi itu mengedip, lalu sedetik kemudian, seekor kucing putih berdiri di tempat Marnis sebelumnya berada. “Ayo, Pasqual.” Fao menaiki tangga kayu di pojok, keduanya beranjak ke kamar atas. Lantai atas kedai itu adalah tempat tinggal mereka berdua.

           Fao mematikan lampu, berbaring di ranjang, dan menutup tubuhnya dengan selimut. Si kucing berbaring di dekat kakinya.
            “Selamat malam, Pasqual.”

            “Selamat tidur, Fao.”


Penulis: Dini Afiandri

Tulisan lain dari Dini Afiandri

Kenali lebih dekat di sini:

Icon Icon

0 comments:

Posting Komentar