Oleh :Dini Afiandri
Gambar diambil dari sini
Aroma cacahan daun bawang tak pernah gagal menghantarkan ingatannya jauh ke belakang.
Fao tengah menimang satu botol angsiu di tangannya, mencari-cari label kadaluarsa, ketika kepala plontos Mayhew muncul, menembus tirai warung ramen itu. Lonceng angin di atas pintu masuk berdenting pelan.
“Halo...”
“Hola,
Mas Koki.” Fao menjawab pelan dengan senyum lebar, merasa geli melihat tampang
Mayhew yang jelas-jelas habis begadang berat. Mata pelanggannya memang sudah
mengalahkan ikan hias dalam aquarium. Pasti masalah pasutri lagi, tebak Fao
dalam hati.
“Eh,
ada Tuan Maymay... Gimana semalam?” Marnis, si pramusaji menyapa si tamu dengan gaya genitnya yang khas, menggial dengan
gincu merah kesumbanya. Fao hanya geleng-geleng mahfum. “Buatkan dia kuah ayam
ginseng, Marn!” tukas Fao enteng.
Mayhew
manut saja, menghempaskan pantatnya di kursi terdekat dengan koki Fao. Dahinya
dijeduk-jedukkan ke meja bar, tanpa beralaskan lengan, melainkan langsung ke
papan. Marnis mengerling bosnya dari sudut mascara keunguan. Mereka berdua
sudah hapal bahasa tubuh itu : Entah pria tambun itu yang tergoda himpitan
utang seperti wabah, ataukah istri cekingnya marah, yang jelas tamu mereka
malam itu sedang gundah karena masalah. Tak ada gunanya membantah.
“Minumlah
ini. Sudah kuhalalkan untukmu,” Fao menyodorkan sebuah botol.
Mayhew
menggeleng lemas “Aku sedang tak ingin ngemil kecap asin,” jawabnya muram. Fao
mendecakkan lidah. Tusuk gigi yang ia kemut sedari tadi berpindah ke sudut kiri
bibir tebalnya yang hitam. Dia hanya ingin bercanda, sebetulnya. Tapi rupanya
tak mempan.
“Jangan-jangan....
Mau minum aku?” Kedip-kedip bulu mata palsu milik Marnis mulai beraksi. Tawaran
itu hanya diganjar satu keluhan panjang dari tamu mereka. Fao berdecak lagi. Ia
beranjak ke dekat kompor dan mengaduk sesuatu yang mengepul.
“Toss!”
“Osh!”
Marnis melemparkan mangkuk keramik besar, yang langsung ditangkap oleh Fao.
Dengan cekatan, Fao mulai meracik. Mi basah udon
dimasukkan, ditambah beberapa jenis ini itu plus bumbu rahasia yang belum
ada seorang pun yang tahu. Mayhew mengernyit makin keras terkena uap. Keriput
di antara kedua matanya yang sembab seakan jadi lebih dalam dari Palung
Mariana. Sementara itu, Fao tanpa banyak kata menaburkan daun bawang ke atas
kuah orisinilnya. Marnis mengambil sajian itu, dan menyajikannya dalam sekejap mata,
tanpa pinggan. Mangkuk itu berderak ketika ditaruh di depan Mayhew.
Tamu
mereka mengendus, mengangkat mangkuk, dan tanpa mengambil sumpit, langsung
menyeruput mie itu begitu saja.
Glek.
Glek. Glek.
Marnis
terkikik-kikik. Fao membelalakkan mata, menyuruh karyawannya diam.
Ketika
mangkuk itu turun kembali ke meja, kulit muka Mayhew sudah berubah jadi senja,
merah merona karena panas serta doubanjiang
(pasta cabe). Tak ada suara keluar dari bibirnya, selain decap kekaguman.
“Menu
baru, ya?”
Fao
nyengir badak. “Yep. Enak?”
“Sangat.
Minta acar plum, dong.”
Sepuluh
menit kemudian, kursi Mayhew sudah kosong, digantikan sekeping uang 500 Yen.
Marnis kali ini yang geleng-geleng tak karuan.
“Sensei memasukkan apa tadi? Viagra?”
Fao
melemparkan tusuk giginya ke tempat sampah dan menyanggah. “Tidak. Padahal dia
sendiri yang bilang tak suka bawang putih. Heran aku padanya. Dikasih cuka
malah diam saja. Dipedasi pasangan, malah kabur ke kita. Alih-alih cerita—”
“Cerdik!
Masih untung sensei tidak melengkapi mangkuknya dengan gyoza bakar. Hohohoho.”
Chef
Fao hanya mengedikkan bahu. “Lain kali, biar kucemplungkan onigiri sekalian.
Dia kan dulu benci segala jenis umami. Bahkan
kombu pun dia protes. Dasar kolektor
koleris!”
Jangkrik
bersahut-sahutan di luar, seolah mengamini lelucon itu. Kedai Ramen Mafuya
selalu buka hingga dini hari, begitu pun dengan para penghuninya.
Tak
berapa lama kemudian, masuklah tamu berikutnya. Kali ini seorang gadis muda.
Sama seperti tadi, lonceng angin kembali berdenting. “Selamat datang di Kedai
Ramen Mafuya, kedai yang menjual kebahagiaan!” Marnis menyapa gadis itu dengan
manis sembari membungkukkan badan. Gadis itu duduk. Penampilannya sederhana,
masih mengenakan seragam sekolah meski saat itu sudah cukup larut. Dia
sebenarnya cukup cantik, tapi matanya sembab seperti baru habis menangis. Fao
dan Marnis sama-sama hapal wajah semua pelanggan tetap mereka, dan gadis ini
baru pertama kali datang ke kedai mereka.
“Mau
pesan apa, nona?” tanya Marnis sambil meletakkan teh hijau hangat dalam gelas
keramik di hadapan gadis itu.
“Saya
ingin beli menu yang kadar kebahagiaannya paling banyak.” Gadis itu menyahut
ketus tanpa sedikit pun melirik menu di atas meja, ataupun yang terpampang di
papan-papan kayu di dinding. Marnis menahan lidahnya untuk tidak bertanya:
“Sedang tidak bahagia, rupanya?”, kemudian memberi kode ke Fao. “Sensei, Super
Jumbo satu!”
Fao
mengangguk. Tangannya menyambar sebuah mangkok yang super besar dan lebar,
kemudian dia mulai meracik menu andalan kedai mereka. Setelah jadi, Marnis
perlu dua tangan untuk membawanya, dan kali ini langkahnya agak terhuyung
karena berat. Gadis itu menatap mangkuk raksasa di hadapannya. Ramen dengan
kuah kaldu ayam kental kekuningan, taburan daun bawang, dan topping yang luar biasa banyak dan
beragam: mulai dari daging cincang pedas, telur pitan, berlembar-lembar daging
sapi Matsuzaka, serutan ikan bonito, irisan kulit kembang tahu, potongan rebung
manis, plus tiga lembar rumput laut di bagian pinggir mangkuk. Aroma yang
tercium harum, bahkan sangat harum. Gadis itu menatap mangkuknya dengan sangsi. “Ayo silahkan,” ujar Fao dengan ramah. “Mudah-mudahan bisa membantu meringankan
suasana hati anda.”
Dengan
sendok dan sumpit, gadis itu mulai makan. Pada suapan pertama, ia tertegun.
Lalu tanpa suara, suapan-suapan berikutnya berlalu dengan cepat. Bukan cuma
karena hangatnya, sesuatu dalam ramen itu seolah membuka sumbatan demi sumbatan
di dalam hati sang gadis. Setelah sepertiga isi mangkuk itu habis, air matanya
mulai mengalir. Dan tanpa bisa ditahan lagi, gadis itu kini menangis. Marnis
mengangsurkan serbet kertas padanya.
“Ramen
ini... Enak sekali.”
Fao
tersenyum. “Terima kasih. Kedai kami menjual ramen kebahagiaan, tapi kami juga
bersedia mendengarkan cerita dan keluh kesah pelanggan kami. Itu sudah termasuk
dalam harga ramennya.” Fao mengedipkan sebelah matanya dengan jenaka. Gadis itu
berterima kasih, kemudian sambil menghabiskan ramen super jumbonya, sedikit
demi sedikit dia mulai bercerita. Berbagai jenis kesusahan dan ketidak-bahagiaan
yang dideritanya mengalir begitu saja dari mulut gadis itu, tanpa bisa
dijelaskan mengapa. Di-bully oleh
kakak kelasnya, rasa kesepiannya di rumah, hingga kisah cintanya yang baru saja
putus dengan seorang pemuda. Setiap satu bagian cerita selesai, beberapa
gelembung berwarna pelangi keluar dari ubun-ubun pelanggan mereka, melayang
menjauh, kemudian menghilang diserap lonceng angin di dekat pintu masuk. Gadis
itu tak menyadarinya karena gelembung-gelembung itu tak bisa dilihat manusia
biasa.
Setengah
jam kemudian, yang tersisa di dalam mangkuk hanya sedikit kuah beserta ampas
dan daun bawang. Gadis itu mendesah puas kekenyangan, lalu membayar dan pamit
setelah tehnya juga telah habis. Sebelum pergi, ia menoleh. “Saya pasti akan
datang lagi kemari. Sungguh, terima kasih banyak,” katanya sambil tersenyum.
Lalu dia keluar. Gelembung pelangi terakhir terbang dan masuk ke lonceng angin
seiring dentingan pelan. Seolah tak terjadi apapun, Fao meneruskan kesibukannya
mengaduk dan mengawasi kuah yang mendidih, sementara Marnis mengelap meja.
Keduanya tadi tidak memberikan saran apapun pada gadis itu, hanya mendengarkan
ceritanya saja. Tapi itu lebih dari cukup untuk membuat gadis itu kembali
bahagia.
Jam
demi jam berlalu, beberapa pelanggan lain masuk, mengulangi rutinitas yang
sama, dan gelembung-gelembung berwarna pelangi selalu muncul dan menghilang
ditelan lonceng angin, meninggalkan senyum kebahagiaan penuh kepuasan di wajah
para pelanggan.
“Sudah
berapa tahun ya, sejak Sensei mengumpulkan esens kebahagiaan?” Si pelayan
menyeletuk ketika mereka tinggal berdua di kedai itu pada pukul tiga pagi,
bersiap-siap untuk menutup kedai.
“Cukup
lama.” Fao menjawab sambil lalu. Lidahnya berdecak, lalu ia meludahkan tusuk
gigi yang dikulumnya ke tempat sampah.
“Tanpa
itu, tidak mungkin aku tetap tampak semuda ini, seakan usiaku tak lebih dari
tiga puluh.”
“Ah,
Sensei selalu muda buatku. Tak peduli berapapun usia sebenarnya.” Marnis
tersenyum merayu. Fao mencibir. “Kau boleh hentikan akting genitmu. Sekarang
kembalilah, toh di sini sudah tak ada siapa-siapa.” Fao menutup pintu kedai dan
menguncinya. Pelayan seksi itu mengedip, lalu sedetik kemudian, seekor kucing
putih berdiri di tempat Marnis sebelumnya berada. “Ayo, Pasqual.” Fao menaiki
tangga kayu di pojok, keduanya beranjak ke kamar atas. Lantai atas kedai itu
adalah tempat tinggal mereka berdua.
Fao
mematikan lampu, berbaring di ranjang, dan menutup tubuhnya dengan selimut. Si
kucing berbaring di dekat kakinya.
“Selamat
malam, Pasqual.”
“Selamat
tidur, Fao.”
0 comments:
Posting Komentar