Sabtu, 31 Agustus 2013

- 3 comments

Gadis pencinta Buton



Ruangan masih terasa hangat akibat pijar lampu LED pada langit-langit ruang dan efek dari dinding berwarna merah saat ia mulai mengoceh. Ini pertama kalinya ia mau berkunjung ke apartemenku dan ia langsung mengeluarkan makalahnya menyerocos tentang ini dan itu.

“Wa Kaa Kaa lahir sebagai perempuan Buton yang mengemban takdirnya tanpa protes. Seorang ratu pendiri kerajaan Wolio (Buton), seorang perempuan tangguh. Demi melahirkan puluhan generasi penerus yang kelak akan memimpin kesultanan itu dalam sebuah kejayaan terpandang, ia rela membaktikan dirinya untuk orang banyak. Bisakah kau percayai itu? Ada kisah Kartini lainnya yang menakjubkan di ujung timur Indonesia.”

Mulutnya terus saja meluncurkan kata-kata mengenai kisah Ratu Wa Kaa Kaa, seorang pemimpin perempuan pertama keturunan China yang menyatukan empat daerah menjadi satu kerajaan Buton. Ia menikahi Sri Batara dan kemudian melahirkan seorang anak perempuan, Bulawambona, yang kemudian mengikuti jejaknya menjadi pemimpin ke dua di Buton.

Sementara, dari kesemua perkataannya mengenai Buton, yang paling kuingat hanyalah pulau itu terletak di Sulawesi bagian bawah dan ia merupakan pulau penghasil aspal yang terbesar di Indonesia (masih, kah?) dan setauku sering sekali dihafal ketika masih sekolah dulu. Meski tentunya bibirnya yang montok dan berulas lipgloss itu lebih menarik perhatianku dari celotehannya tersebut.

Ia terkesan ingin memasukkan semua muatan pengetahuannya mengenai asal  usul kepemimpinan di kesultanan Buton ke dalam otakku dan membuatku berpikir. Tetapi, waktu itu aku menanggapinya dengan setengah hati. Jam sudah menunjukkan pukul delapan malam dan saat itu bukanlah waktu yang tepat bagiku untuk mendengarkan obrolan sejarah SD.

Mengapa, sih, perempuan ini tidak mengajakku ngobrol tentang sesuatu yang ‘asik’ saja? Misalnya rencana kami untuk menghabiskan waktu bersama dengan menyelam di perairan sekitar kepulauan Gili di Lombok? Tentunya menyenangkan melihat tubuh jam pasirnya dalam balutan bikini merah mencolok berlari menyusuri pasir ataupun melompat dari atas kapal dan membayang di bawah permukaan air.

“Aku masih terkagum-kagum dengan apa yang kutemukan. Banyak hal menarik dari Buton yang tak kuketahui.”
Aku berdiri sementara ia membolak-balik halaman makalahnya dengan mata yang berbinar. Ia tampak cerdas tetapi entah mengapa bagiku saat ini ia terlihat begitu membosankan. Meski telah bersama di apartemen selama dua jam, aku sama sekali tak berhasrat menciumnya. Ini merupakan sebuah pencapaian tersendiri. Biasanya, setelah dua jam, aku dan perempuan-perempuan yang kuajak mampir ke apartemen akan bergelung dan bergulat di atas sofaku yang empuk. Apalagi di luar terlihat mendung.

Aku menggulung lengan kemejaku dan mengambil Ipod di dalam tas kerjaku yang berwarna cokelat. Ipod ini terlihat jauh lebih menarik dari dirinya saat ia berceramah sejarah. Sembari mendengarkan lagu dan duduk di sofa menikmati imajinasiku, aku mengangguk-anggukan kepala menunjukkan ekspresi ‘ya, aku juga tak menyangka’ padanya.

“Ya, Buton (aku membayangkan bercinta dengannya) sangat menarik.”

Ia mengangguk, tak melihatku. Wajahnya terpaku dan terlihat serius menatap makalah yang ada di tangannya. Sampul makalah tersebut terlihat lecek dan tertekuk pada ujung- ujungnya.Salah satu kebiasaannya kalau sudah larut membaca, ia akan cenderung merusakkan benda tersebut. Makanya aku tak pernah mau meminjamkan buku-bukuku padanya meski melihat standarnya aku yakin ia tak pernah tertarik dengan bacaan yang kubeli.

Sejujurnya, perempuan ini seksi. Tubuhnya berlekuk dan molek. Aku membayangkan dengan gerah bagaimana bila tangan-tanganku menelusuri setiap lembah dan bukitnya. Tetapi entah mengapa setiap saat ia membuka mulutnya dan mulai berceloteh mengenai sesuatu yang kuanggap hanya layak diobrolkan saat menonton tayangan berita di televisi, ia kehilangan daya pukaunya. Aku tiba-tiba kehilangan gairah dan kecantikan perempuan ini mengerucut hingga sebesar biji kacang, membuatku berpikir kadang ia sering terlihat sok tau dengan pengetahuan-pengetahuan tidak penting.

Mengapa jadi aku yang sering mendengarkan? Mengapa tidak ia saja yang mendengarkan celotehanku dan menatap kagum akan mataku yang banyak dikatakan orang, tajam? Mengapa ia begitu sok tau akan banyak hal yang –mungkin- sudah kuketahui sejak lama. Ah, ternyata si seksi ini kutu buku yang membosankan.

Aku merentangkan kedua tanganku, meraih lengannya yang masih terasa kencang dan padat, berharap ia merespon sentuhanku dengan penuh gairah. Kupikir perjalanannya menuju tempat-tempat wisata di Indonesia yang menyebabkan kebugaran tersebut meski ia sama sekali tak pernah pergi ke tempat kebugaran sepertiku. 

Inilah salah satu hal yang membuatku bangga padanya. Tubuhnya seksi tanpa ia perlu berupaya keras untuk membentuknya seperti kebanyakan perempuan muda di kantorku lakukan. Aku yakin seratus persen, perempuan ini tidak bakat gemuk seperti perempuan kebanyakan.

Namun, ia tak menggubris sentuhanku. Ia menurunkan tanganku dan menatapku sekilas lalu asik kembali dengan makalahnya. Kumasukkan tanganku ke dalam kaosnya, merayap di belakang punggung dan pinggangnya yang mulus, mencoba mengalihkan perhatian perempuan ini dari deret kata yang membuat kepalaku pusing dan mata letih. Tetapi, ia hanya melengkungkan tubuhnya sedikit seperti kucing birahi tetapi tak lama kembali asik membaca. Aku benar-benar kehilangan mood. Aku menarik tanganku keluar.

Ia benar-benar tak bisa diganggu, tidak seperti perempuan lainnya yang sekali kusentuh langsung melahap bibirku dengan ganas seolah-olah mereka tidak makan selama seminggu. Tidak pernah ada perempuan yang tahan mendiamkanku. Tetapi perempuan ini, berbeda. Aku membesarkan volume lagu Ipodku. Saat ini, lagu dari Maroon Five, penyanyi luar negeri favoritku sedang mengalun. Aku bergumam kecil sembari menganggukkan kepala menyanyikan lirik lagu tersebut. “ move like Jagger... you have to move like Jagger..”

“Ah, tunggu. Di sini dikatakan ia tidak menikah seumur hidupnya. Waduh! Mana yang benar? Hei.. hei...”
Ia berhenti mengoceh dan kemudian memerhatikanku. Aku telah larut dalam imajinasiku sehingga tak menyadari bahwa ia duduk di sana sembari diam mengamatiku. Tak lama kemudian ia menepuk bahuku dan mencopot penutuptelingaku.
“Eh, apa-apan ini. Kok main rebut saja...”
Aku mengambil kembali penutuptelinga yang ia ambil dengan sedikit kesal. Namun, ia tidak meresponnya dengan sebuah amarah. Ia hanya duduk dan menatapku dengan kedua binar matanya yang hitam pekat lantas tersenyum seperti seorang puteri cantik yang anggun. Saat melihat senyum itu, sungguh yang ingin kulakukan hanyalah melakukan apapun untuk menaklukkan hati perempuan ini.
“Kau tidak mendengarkanku.”
“Aku mendengarkanmu, sayang,” kilahku.
“Tidak, tidak, tidak. Kau berbohong. Kau mendengarkan lagu daritadi.”
“Aku memang mendengarkan lagu karena aku sedikit bosan tetapi baru saja, kok.”
“Kau bohong.”

Ia mengembangkan senyumannya, membuat jantungku kembali kembang kempis dan keinginanku untuk menciumnya memuncak dan membuat kepalaku snut-snut. Kutahan diriku. Sebaiknya, aku meminta maaf dan memintanya melanjutkan kembali bahasannya mengenai ‘sesuatu Buton’ itu. Akan kudengarkan lagu ini nanti saat ia sudah terlalu larut dengan bacaaannya.

“Oke, maafkan aku sayang. Aku memang sempat tidak mendengarkan perkataanmu tadi tetapi aku masih tertarik tahu kelanjutan ceritamu.”
“Astaga, Daniel. Ini bukan ceritaku. Ini bahan untuk sidang tesisku! Kau benar-benar ingin membantuku atau tidak, sih?” nadanya terdengar jengkel.
“Aku niat sayang. Ayolah jangan ngambek begitu, dong.” Aku berharap percekcokan ini segera berakhir ke atas ranjang.
“Ngambek? Berarti kau belum mengenalku dengan baik, Daniel.”

Pang! Aku merasa kecolongan dan tertonjok. Kalimat ini bagiku merupakan sebuah kalimat penolakan halus pertama dari seorang perempuan pada lelaki sebelum akhirnya mereka menghabiskan waktu dengan ‘hanya’ mengobrol di apartemen. Dia bangun dan berjalan menuju dapur. Aku mendengar suara gelas diletakkan di atas meja marmer, air mengalir serta sendok yang beradu dengan bibir gelas. Lima menit kemudian ia kembali membawa dua buah cangkir kopi. Warna kopi itu sangat pekat, lebih pekat dari kopi normal lainnya.

“Kau sertakan gula pada kopiku?” aku berdiri dan menyentuh pinggangnya dengan kedua tanganku dari belakang serta menghembuskan nafasku di dekat tengkuknya, berharap ia akan melupakan pelajaran Sejarahnya.
Semestinya ia tahu bahwa sejak pertama kali bertemu dengannya aku tidak suka meminum kopi tanpa gula. Ia tampak sedikit kaget mendengar pertanyaanku tetapi ia kemudian menjawab lugas, “kutambahkan sedikit.”

Ia berbalik dan menyerahkan cangkir kopi tanpa ekspresi apapun seolah-olah ia telah mempersiapkan sejak lama cara mempertahankan diri dari serangan playboy kelas kakap sepertiku. Aku mengambil cangkir kopi darinya dan meminum kopi tersebut. Rasanya tidak seperti yang kuharapkan. Aku yakin seratus persen ia tidak memasukkan gula sama sekali pada kopi ini.

“Pahit.”
“Tambahkan saja gula kalau begitu,” ujarnya enteng.

Ah, malam ini akan terasa panjang dan berat sama seperti saat menghabiskan kopi pahit ini. Kupikir awalnya kami akan sama-sama bercumbu malam ini. Terakhir kali sebelum kami bertemu, aku melihatnya tampak begitu tertarik padaku. Ia sudah berani mencubit-cubit lenganku, mengatakan ia sering merasa gemas padaku, dan aku bahkan berhasil menggandeng tangannya setelah mengucapkan kalimat,” aku sayang kamu.” Aku pikir malam ini aku akan berhasil menidurinya. Ternyata, praktiknya, perempuan ini jauh lebih sulit diduga dibanding perempuan-perempuan yang lain.

“Kau berniat menginap? Di luar sudah mulai mendung soalnya,” aku berkata padanya, mencoba membujuknya secara halus. Sejak dulu aku selalu berpikir bahwa tinggal bersama – termasuk menginap- menjadi sebuah ukuran keberhasilan suatu hubungan. Jika seorang perempuan berhasil diajak menginap, maka perjalanan selanjutnya akan jauh lebih mudah. Mereka akan bertekuk lutut padamu dan mau melakukan apa saja untukmu, kau yang dipuja-puja, kau yang akan selalu dicari, kau sang penakluk.
Ia mengangkat bahunya.

“Entahlah, makalahku masih belum rampung. Aku butuh menyelesaikannya segera.”
“Menginap saja, nanti aku bantu.” Aku melihat bayangan lekuk tubuhnya dari balik kaos putih yang ia pakai dan jantungku langsung berdebar kencang. Terbayang olehku bagaimana perempuan ini beraksi di atas ranjang nanti. Apakah ia akan menerjang ganas seperti cheetah yang berlari atau beraksi anggun seperti merak yang sedang berjalan?

Ia menatapku dengan pandangan ‘aku tak percaya padamu’ namun ekspresinya berubah ketika melihat wajahku yang penuh pengharapan.

“Oh..” kuletakkan cangkir kopi di atas meja kecil sebelah sofa kulit warna krem. Aku merasa tak sanggup menghabiskan kopi itu. Rasanya benar-benar pahit dan sepet. Kepalaku langsung pusing dan jantungku berdebar-debar. Untuk menetralkan kembali diriku, aku berdiri dan pergi ke meja makan. Aku mengisi air putih pada gelas dan meminum satu pil sakit kepala. Kopi yang pahit dan seks yang tertunda. Sakit kepala ganda yang sempurna.

“Tetapi, melihat awan sangat gelap di luar, mungkin bisa kuselesaikan makalah ini di tempatmu.”
Aku mengangguk dan bersemangat mendengar perkataannya. Di kepalaku sudah berkecamuk hal-hal ‘asik’ yang akan kami lakukan bersama di malam yang dingin ini.
“Oke, menyenangkan sekali.”

Ia masih memegang cangkirnya dan mengetuk-ngetukkan jarinya pada cangkir, terlihat gelisah. Wajahnya menegang dan ia bahkan terkesan menjaga jarak denganku. Aku berusaha mencairkan suasana dengan melucu, mencoba menghalau pikiran-pikiran negatifnya tentang tawaranku untuk menginap. Saat ini, aku ingin dia berpikir yang baik-baik mengenaiku. Agar ia tidak mengubah keputusannya menginap.

“Kalau kau ingin beristirahat, aku punya kamar tamu di sebelah kamar tidurku. Gunakan sesukamu.”
Ia mengangguk dan mengucapkan terimakasih. Tapi kali ini, suaranya pelan nyaris tak terdengar. Aku melihatnya masih mempertimbangkan. Maka, kubujuk ia untuk fokus pada makalahnya dan menawarkan diri untuk membantunya menyelesaikan pekerjaan itu. Ia mengambil pulpen dari dalam tas miliknya dan mencoret-coret halaman-halaman makalah dengan semangat dan bergairah. Jujur aku sedikit iri pada benda itu. Mengapa aku sama sekali tidak bisa membuatnya bergairah?

Sementara menungguinya, aku berdiri menuju meja makan. Sebelum ia datang, aku sudah mempersiapkan satu set makanan Jepang yang kubuat nyaris sepanjang hari dengan sangat hati-hati. Aku tahu ia menyukai makanan Jepang yang segar. Maka, kuputuskan untuk membuat makanan itu agar ia tahu bahwa aku benar-benar berupaya untuk mendapatkan hatinya.

Di atas meja sudah terdapat satu piring salmon sushi, telur ikan sushi, beras ketan, salad, edamame atau kacang polong, kue ikan serta satu teko teh hijau dari tanah liat. Semua masih hangat saat ia datang karena aku benar-benar baru saja memasaknya. Namun, berkali-kali sudah kutawarkan makan, ia terus menerus menolaknya dan mengatakan ‘nanti’. Capek sendiri akhirnya kubiarkan makanan itu di atas meja makan.
“Tidak mau makan dulu, Ambar? Kau bisa lanjutkan tugasmu setelah kita makan.”
Ia menggeleng.
“Tidak, tidak. Jika kulewatkan bagian ini, ide-ideku akan terbang begitu saja. Kau tahu aku sudah menemukan kalimat pembuka yang tepat untuk menjabarkan keseluruhan budaya Buton yang demokratis. Dimulai dari diperbolehkannya Ratu Wa Kaa Kaa, seorang perempuan untuk memimpin di Buton lalu mengenai kisah kepemimpinan kesultanan yang menerapkan kepemimpinan Islam yang demokratis dan tidak otoriter lewat Dewan Sembilan. Oh, Daniel... semua ini membuat hatiku berdebar-debar. Aku tidak percaya ada daerah di timur Indonesia, yang ...seperti ini.”

Aku menarik nafasku, detik itu juga merasa kalah dengan kegilaannya akan sejarah. Belum pernah aku menemukan perempuan yang segitu jatuhcintanya pada masa lalu seperti perempuan yang ada di hadapanku ini. Sialnya pula si pecinta sejarah ini merupakan perempuan yang sangat cantik dan juga seksi dan membuatku mesti menahan kekesalan atas sisi lainnya itu. Oh, Tuhan buatlah aku belajar sabar untuk malam ini saja, ada hadiah menarik menanti di ujung sana.. kutekadkan pada diriku sendiri.

“Aku makan duluan, ya.”
“Ya, nanti aku menyusul kamu.”

Lantas mulai kuhabiskan makanan satu persatu secara random. Mulai dari kue ikan yang terdiri atas kue berbentuk ikan serta es krim kacang hijau yang lembut. Rasanya perpaduan antara manis dan dingin persis seperti saat pertama kali aku berkenalan dengan perempuan itu.

Kami tidak sengaja bertemu di sebuah perjalanan menuju Wakatobi ketika aku dan dua temanku berniat scuba diving di sana. Saat itu kedatangan pesawat Fokker yang akan mengantarkan kami menuju Wakatobi dari bandara Sultan Hassanuddin di Makassar diundur selama tiga jam karena cuaca buruk. Awan masih saja terlihat mendung sementara gerimis dan sesekali petir menyambar mengiringin masa-masa menunggu kami di ruang bandara.

Ia waktu itu duduk sendirian dan pertama kali membuka percakapan denganku. Selama tiga jam, perempuan ini bercerita mengenai keindahan Wakatobi: penduduk Bajo dan rumah apung mereka, terumbu karang dengan bentuk dan warna seindah lukisan, serta makanan khas mereka, Kasuami, terbuat dari parutan singkong dan dimakan sebagai pengganti nasi kepadaku dan dua orang temanku.

Ceritanya, selain bentuk tubuhnya yang bagus, yang membuatku langsung jatuh cinta. Rupa-rupanya perempuan ini sudah sering mengunjungi daerah Sulawesi bagian selatan sendirian.

“Kau harus pergi ke pulau Bau-Bau, Muna dan Makasar, juga. Mereka tak kalah menarik dari Wakatobi. Jika kau datang pada bulan tertentu, ada festival laut di sana. Dan Benteng Wolio (Buton), luar biasa cantik,” ujarnya bersemangat.

Aku tak pernah sama sekali ke tempat-tempat yang disebutkannya itu. Bahkan aku baru tahu kalau pulau-pulau kecil itu bisa dikunjungi. Yang terpikirkan olehku hanyalah sebuah daerah terisolir di ujung selatan Sulawesi dengan jalanan rusak, listrik nyala hanya dua belas jam serta transportasi darat yang susah dan menyedihkan.

Memangnya ada perusahaan penerbangan yang mau membuka jalur menuju pulau tak dikenal tersebut?
Seolah membaca pikiranku, ia menjawab. “ Sekarang sudah dibuka penerbangan lokal pakai pesawat fokker ke pulau Bau-Bau, pemda setempatnya yang mendorong karena perindustrian perikanan mereka maju pesat.” 

Walah. Aku malah tidak tahu mengenai itu sama sekali. Darimana ia bisa mendapatkan contekan?
Kedua temanku, kuperhatikan, mulai tertarik pada perempuan ini terutama karena hobi travelling mereka. Sebagai lelaki, egoku bicara. Aku tak mau keduluan oleh kedua temanku dalam merebut perhatian perempuan ini. Maka, ketika pesawat tiba, aku langsung meminta nomor teleponnya dan mengajaknya bertemu setelah tiba di Jakarta. Gayung bersambut, ia mengabariku tak lama setelah pertemuan pertama itu.

Usai memakan kue ikan, aku mengambil salmon sushi dan telur ikan. Ikan salmon itu kupotong berbentuk fillet dan kuletakkan di atas nasi ketan yang sudah kubentuk menjadi bulatan-bulatan lonjong. Daging salmon terasa lunak dan lembut di lidah dan saat kukunyah ada sedikit rasa manis yang keluar, seperti sikap perempuan itu.

Ia tak pernah bersikap kasar padaku. Meski senang berpetualang ke daerah pelosok Indonesia namun ia memiliki hati paling lembut dari sleuruh perempuan yang pernah kukencani. Ia bisa dengan mudah menangis ketika melihat sesuatu yang menurutnya tidak adil. Misalnya saat kami  ke Kota Tua dan ia melihat seorang lelaki tua renta mengayuh sepeda dengan batang-batang kayu yang berat di sepedanya.

Aku menyukai kelembutan itu. Bagaimana hatinya mengingatkanku akan sosok Ibu, tidak keras seperti cangkang kerang kekasih-kekasihku yang lain, yang tak pernah peduli bagaimana nasib kawan atau orang di sekitarnya kecuali jika itu menguntungkan mereka. Mungkin betisnya, yang lebih mirip seperti pemukul kasti, tak seindah betis Atikah yang kecil dan terlihat seksi terutama mengenakan sepatu Jimmy Choo hak tinggi warna hijau turquoisenya. Tetapi kelembutan itu di satu sisi bisa meneduhkan sifat keras kepala yang kumiliki.

Lalu terakhir, kuambil kacang edamame, yang merupakan makanan favoritku dan memakannya. Ia tak pernah terlalu menyukai kacang ini. Namun, ia selalu mau menikmatinya bersama denganku. Kami menghabiskan edamame berdua sembari mengobrol mengenai banyak hal.

Perbedaan caraku menghabiskan edamame dengannya adalah ia tak pernah mau menghisap kulit edamame. Ia memakan kacang ini sama seperti ia memakan kacang jenis lainnya, membuka kulitnya, memakan isinya dan menaruhnya dengan rapih di atas piring kecil. Sementara aku, menghisap kulit edamame yang telah dibaluri dengan garam, memakan isinya dan menumpuk kulit-kulit edamame di atas meja sebelum ia mengambil dan membuangnya di atas piring.

Tetapi kini aku menghabiskan kacang edamame itu sendirian. Tidak ada obrolan. Ia asik dengan dunianya sendiri dan aku tidak berhasil mengeluarkannya dari dunia itu. Tetapi, aku juga enggan menceburkan diri ke dalam dunianya. Seolah-olah mempelajari sejarah ataupun menjadi pihak yang di belakang adalah hal yang paling berdosa yang akan dilakukan oleh seorang lelaki kosmopolitan trendi, pemilik satu klub eksekutif di Jakarta Selatan ini.

Aku masih tetap berpikir semestinya ia yang mencoba masuk ke duniaku, semestinya ia yang mencoba mengenal bagaimana aku membangun karirku di usia yang masih muda dan seperti apa upayaku hingga mendapat predikat lelaki ‘most wanted’ di satu majalah gaya hidup lelaki di Jakarta. Bukan aku yang mendengarkan perjuangannya mendapatkan gelar S2nya. Bukan aku yang mendorong kesuksesannya. Ia yang semestinya ada di posisi itu.

Setelah edamame di piring habis, aku mengambil teko dan menuangkan teh hijau ke dalam cangkir keramik berukuran kecil. Ketika hendak meminum teh, ia sudah ada di sebelahku dan menggelayut manja di dadaku.

“Nyaris selesai! Akan segera kukirim outline ini ke Pak Doni. Nanti akan kutelpon siska juga untuk meminta komentar. Aku yakin seratus persen, ia akan suka ide makalah ini. Bagaimana menurutmu?”

Ia menyodorkan kerangka makalahnya padaku. Aku mengambil kertas-kertas itu, membuka lembar-lembar halamannya tanpa minat dan meletakkannya kembali di atas meja.


“Baguslah, mau minum?”
“Ya! Tentu, aku ingin mencicipi hasil masakanmu.”
Aku menuangkan teh ke dalam cangkir dan memberikan cangkir itu padanya. Kemudian kusodorkan kue ikan, salmon sushi, semua yang kumasak padanya.

“Tehnya sudah dingin,” ia menjawab cepat dan meletakkan kembali cangkir yang kuberikan. Wajahnya tampak lesu. 

Tiba-tiba aku tersadar. Semua makanan yang tadi kunikmati sendirian memang kini telah dingin. Kue ikan dengan es krim yang mencair, salmon sushi yang biasanya terasa segar namun karena terpapar udara cukup lama menjadi hambar, begitu pula dengan edamame.

Terakhir teh itu sudah dingin dan akupun tidak menghangatkan untuknya! Aku terlalu fokus untuk bisa tidur dengannya hingga aku melupakan hal-hal lain yang sebenarnya jauh lebih berarti untuk mendapatkan hatinya. 

Mungkin ia letih usai berpikir serius dan butuh dihibur atau dilayani, sama seperti yang kurasakan usai memenuhi target kerja. Mengapa aku hanya berpikir tentang aku? Aku merasa wajahku memanas karena malu.

“Bereskan semua peralatanmu, kita cari makan di luar dan habis itu kuantar kau kembali ke rumahmu.”
“Loh, bukannya kau tadi memintaku menginap?”
“Aku tak mau mengganggu konsentrasimu berpikir. Lagipula, banyak yang ingin kulakukan juga malam ini.”
“Kau yakin? Kupikir kau...”
“Tidak, jangan salah paham. Nikmati waktumu. Aku hanya ingin kau fokus pada pekerjaanmu. Usai semuanya selesai dan aku ingin kau menyelesaikan makalahmu sebaik-baiknya, kita ketemu lagi. Akan kutraktir kau menonton acara musik favoritmu. Oke?” aku pikir aku perlu menata kembali tujuanku dekat dengannya. Untuk perempuan ini, aku tak mau terburu-buru pergi ke kasur.

Mukanya yang awalnya tampak bingung kemudian berubah menjadi ceria. Ia memelukku dan untuk pertama kalinya menciumku dengan ganas, tanpa malu-malu. Ciumannya merupakan ciuman terlama yang pernah kualami dalam sejarah hubunganku. 

Uniknya, meski aku menikmati ciuman itu aku lebih tertarik untuk mengenalnya lebih dalam. Hal yang tak biasa terjadi padaku selama aku mengencani perempuan-perempuan lain. Ternyata seorang penggila sejarah telah membuatku takluk.


3 komentar:

  1. Kacang endamame enak ya, Tam? Belom pernah makan, hehehe. *komentar ootd

    Btw, risetnya mayan juga itungannya untuk satu cerpen.

    BalasHapus
  2. Cool story... sangat berbakat...

    BalasHapus