Oleh: Wahyu Heriyadi.
Di kotaku. Setelah BBM diberitahukan naik malam itu. Seseorang datang dengan jahitan di mulutnya.[1] Seseorang yang tak dikenal. Tak diketahui datang dari mana. Ia tiba tiba-tiba saja dengan jahitan di mulut, matanya basah, seperti tangis yang telah pecah.
“Apa yang dia lakukan?” Tanya seseorang
yang tidak dijahit mulutnya.
Ia hanya diam saja di tengah kota . Sepanjang hari.
Dari kedatangannya malam itu. Setelah BBM diberitahukan naik. Pada saat itu
penduduk kota
ini hanya melihat sekilas dan berlalu begitu saja. Beberapa orang berhenti
sebentar melihat jahitan di mulutnya, kemudian mengangkat bahu, garuk-garuk
kepala, menutup matanya, dan bergegas meninggalkan tempat itu.
“Ntar ngomongnya gimana?”
“Iya, makannya gimana?”
Sudah beberapa kali di negeri ini
BBM dinaikkan. Menyusul kenaikan harga BBM di pasaran antar negara yang seperti
lari dikejar anjing. Ketika pertama kali BBM dinaikkan, disambut dengan
perusakan di kota-kota, bangunan-bangunan rusak, orang-orang berkumpul dan
membawa sesuatu dari dalam toko-toko, mereka berlarian, ada yang terinjak, ada
yang terbakar, ada yang membawa tv, ada yang membawa motor, ada yang membawa
hp, ada yang tertawa puas, ada yang menangis, ada yang mati, ada yang memeluk
sepatu.
Pada mulanya, BBM satu liter seharga
dengan segelas teh. Satu liter, berarti sama dengan meneguk segelas teh, di
sebuah siang yang terik. Es teh, dengan sedikit gula, seharga dengan satu liter
BBM.
Sudah sepuluh tahun kenaikan itu
berlangsung. Sudah beberapa kali BBM dinaikkan. BBM seperti lari dikejar
anjing.
Ketika orang mengenal api, lalu
makanan dimasak, lalu BBM. Ketika orang makan mentah[2],
kemudian ketika makanan difermentasi, kemudian ketika makanan dimasak, kemudian
ketika makanan dimasak dengan api dari BBM. Nah, ketika itulah maka BBM
dirasakan menjadi bagian dari kehidupan.
Tiga hari kemudian. Seseorang
yang dijahit mulutnya itu menghilang, tanpa bekas. Hanya menyisakan berkas di
koran selama tiga hari itu.
“Mungkin ia pindah,” kata
seseorang yang tidak dijahit mulutnya.
“Tapi kemana?”
Mereka mulai merasakan bagian
dari peristiwa yang hilang di kotanya. Sepertinya seseorang yang datang dengan
jahitan di mulutnya itu ditunggu kehadirannya, tapi mereka seperti tak peduli
ketika ia berada di tengah kota .
Ketika menghilang itulah baru mereka merasa ada, sesuatu yang menjadi bagian,
lalu bagian itu pergi.
Salah seorang pematung lalu
menitikkan air matanya. Ia mengelap air matanya perlahan, dengan tisu yang
sama-sama mengeluarkan tangis. Air mata untuk kepergian seseorang yang ada
jahitan di mulutnya. Pematung itu menitikkan air matanya hingga air mata itu
berubah menjadi merah, menjadi darah. Pematung itu tak sadarkan diri hingga
beberapa hari, sepertinya satu purnama.
Segera setelah siuman, pematung
itu membuat patung seseorang yang ada jahitan di mulutnya. Sebenarnya pematung
itu ingin merobek mulutnya. Tapi ia tak sanggup, ia hanya bisa menitikkan air
matanya. Lalu patung itu dibuatnya selama seminggu.
Pematung itu lalu membiarkan
patung seseorang yang ada jahitan di mulutnya di tengah kota . Orang-orang yang lewat di sana merasa
seperti melihat lagi, diingatkan lagi seseorang yang ada jahitan di mulutnya.
Hingga, pematung itu pun perlahan menghilang ditelan gosip kota . Di kota ini.
“Aku tak tau, apakah si pematung
itu kawannya?” tanya seseorang yang bukan pematung.
“Pertemanan yang dibangun dari
air mata”
Kabarnya. Seseorang pemancing
menemukan pematung itu sedang berenang mengambang diseret arus sungai dengan
ada jahitan di mulutnya. Tapi kabar itu disanggah ramai-ramai, mereka tahu,
pemancing itu saat melihat kejadian dimaksud sedang mabuk. Pemacing yang mabuk
sambil bersandar dinaungi payungnya.
Seorang kritikus patung, juga
pengamat seni rupa kontemporer mengira patung tersebut merupakan masterpicenya si pematung. Lalu
orang-orang mengira, tapi itu hanya kira-kira saja, jangan lama-lama, yang
kira-kira dong ya. Jadi pernah tersiar bahwa pematung itu membuat patung dari
pecahan tubuh seseorang yang ada jahitan di mulutnya. Makanya, kalo ngira-ngira
yang kira-kira dong.
Orang-orang mulai mengingat tiga
hari yang berkaitan dengan seseorang yang ada jahitan di mulutnya.
“Aku sedang mencuci baju,” kata
seorang pengelola laundri.
“Aku sedang berdandan,” kata
seseorang yang suka dandan.
“Aku sedang foto-foto,” kata
seseorang yang hobi foto-foto.
“Aku sedang memberi makan anjing,”
kata penikmat anjing.
“Aku sedang mabuk,” kata pemabuk yang
sangat mabuk.
“Aku sedang memijit,” kata tukang
pijit sambil mijat-mijat seseorang.
“Aku menyiram kebun,” selang yang
menyemprotkan air itu tak mau lepas dari tangannya
“Aku mengoplos BBM, maklum BBM
mahal, biar ada tambahan.”
“Aku minum BBM.”
Dari pernyataan di atas, dua
diantaranya berhubungan dengan BBM. Mari kita cari lagi bagian pernyataan mana
yang ada kaitannya antara BBM dan seseorang yang ada jahitan di mulutnya. Lalu
beri tanda silang.
Seperti sebuah soal dalam sebuah
ujian logika dan penalaran, mereka mulai mengaitkan BBM dengan kejadian tiga
hari yang mereka sedang kerjakan. Mereka yakin, meski ada kaitannya sedikit, maka
ada premis-premis yang nyangkut dan menghasilkan sintesa, antitesis, hipotesis,
dan sebagainya.
Malahan, seseorang
mengingat-ingat kejadian tersebut dengan cara setengah tidur sambil memegang
sendok[3].
Jadi antara sebelum tidur dengan menuju tidur, eh, antara sadar dan tak sadar,
nah di sana maksudnya.
Lalu bagaimana dengan yang
lainnya, cara mengingat kejadian tiga hari itu yang berkaitan dengan seseorang
dengan jahitan di mulutnya. Beberapa orang membaca buku creative writing.[4]
Beberapa orang membaca mimpi-mimpi einstein[5],
dengan membaca mimpi einstein mereka berharap bisa mengingat tiga hari yang
berkaitan dengan seseorang yang ada jahitan di mulutnya.
Salah seorang setelah membaca
mimpi einstein pergi ke gunung dan membuat rumah di atas pohon, dengan harapan-harapan
yang mawar. Lalu para pembaca creative writing berusaha menaklukan tiga kata
yang memanggil kenangan pada tiga hari yang berkaitan dengan seseorang yang ada
jahitan di mulutnya. Selebihnya memilih mandi, berlari-lari kecil di kompleks
rumahnya, pergi ke tempat kebugaran.
Hingga akhirnya mereka menemukan
kebuntuan dan mulai berkumpul di suatu tempat di tengah kota , bisa jadi kafe, mall atau diskotik.
Mereka mulai merencanakan sesuatu yang belum mereka bayangkan sebelumnya. Mereka
menunda keputusan itu, mereka lalu bersenang-senang di tempat mereka berkumpul.
Yang berkumpul di diskotik, joget
sampai kelenger dan pening-pening. Yang berkumpul di mall jalan kesana kemari
naik tangga eskalator lift sampai kakinya bengkak-bengkak. Yang berkumpul di
café makan minum dan ngobrol sampai perutnya kembung sampai malas bicara. Tak
ada yang berkumpul di kantor, huh, mereka sudah muak dengan kantor, tempat
bekerja, dan tempat formal lainnya.
Hingga pada titik itu, mereka
mulai memutuskan inilah saatnya.
Mereka, penduduk kota ini beramai-ramai menjahit mulutnya
masing-masing. Lalu di hari ketiga mereka hilang semuanya. Kota menjadi sepi. Gosip kota ini terus berjalan. Penyanyi dangdut[6]
melantunkannya di setiap kesempatan.
O jahit mulutku
Sumpah sayang
Ayo bergoyang
[1]
Abaikan saja antara penulisan Dijahit mulutnya dengan Jahitan di mulutnya,
maksud dari dua hal tersebut merujuk pada seseorang itu. Mohon maklum.
[2]
Mengutip dari buku pengantar antopologinya Koencoroningrat. Kalau tidak salah;
Mentah, Fermentasi, Dimasak, merupakan siklus makan dari antropolog Levi
Strauss,.
[3]
Kalau tidak salah, Salvador Dali melakukan hal tersebut dalam proses
kreatifnya.
[4]
Buku yang dibaca adalah Creative Writing
bisa karya siapa saja.
[5]
Kalau tidak salah judulnya Mimpi-mimpi Einstein, diterjemahkan ke dalam Bahasa
Indonesia oleh Yusi Avianto Pareanom.
[6]
Entah ada keberpihakan apa aku pada penyanyi dangdut, sehingga penyanyi dangdut
ini tidak dijahit mulutnya, malahan ia bebas bernyanyi. Duh…
Kok, tampilan tulisannya di aku, muncul beginian ya : [1]
BalasHapusBaca cerita ini, sariawan gw langsung senat-senut :)