Oleh: Ronny Mailindra
Subuh ini angin dingin November bertiup kencang. Jika bisa
memilih, ingin sekali Budi untuk tetap berdiam di apartemennya yang hangat.
Berbaring di kasurnya, mungkin sambil membayangkan suara perkutut bapaknya atau
suara omelan ibunya yang menyuruhnya untuk segera bangun dan shalat. Tapi
sekarang Budi tidak sedang berbaring di kamarnya, diomeli ibunya, ayahnya, ataupun perkutut.
Ia sedang berada di dalam kereta listrik yang akan membawanya ke stasiun pusat
kota Hannover, Jerman.
Budi menggerakkan kepalanya ke kiri dan ke kanan. Tengkuknya
terasa nyeri, punggungnya seperti remuk, dan matanya terasa berat. Ini minggu
kedua Budi bekerja di perusahaan logistik dan badannya belum juga terbiasa.
Menguap, Budi mengusap wajahnya, mencoba menghilangkan kantuk, lalu mengedarkan
pandangan. Di gerbong ini ada enam penumpang lain. Semuanya tampak sedang mengangguk-angguk
dengan mata terpejam. Di luar pepohonan tampak gundul. Ranting-ranting bergoyang
seperti lambaian jemari nenek renta yang aneh. Daun-daun berwarna cokelat tua tampak
tersentak-sentak sebelum melayang ditiup angin. Pemandangan yang biasa ditemui
di Jerman saat bulan November.
Cahaya kuning lampu jalan berpendar di mata Budi. Di luar
masih gelap. Matahari baru muncul beberapa jam lagi. Oorang-orang sini biasanya
baru bangun pukul sembilan nanti, tapi pukul setengah enam begini Budi sudah
berada di kereta agar sebelum pukul tujuh sudah berada di gudang, tempat ia
harus memindahkan paket-paket ke dalam kontainer truk.
Budi merasakan tubuhnya terdorong ke kiri. Kereta berbelok,
berguncang, dan mengeluarkan suara derit. Refleks, Budi memegang pinggiran
kursi di kirinya. Kini kereta tampak melintasi gedung utama kampus Universitas
Hannover.
Gedung itu berbentuk kastil dan terlihat keabu-abuan.
Halaman depan gedung sangat luas. Sebuah patung kuda yang sedang mengangkat kaki
berdiri di jalan masuk. Di musim panas, para mahasiswa berbaring di rerumputan
hijau halaman itu, namun kini kehijauan telah sirna. Halaman itu kini gersang
dan becek. Budi jadi berpikir, jika dahulu ia melihat pemandangan seperti itu
di brosur, apakah ia akan memutuskan untuk bersekolah di sana?
Lebih dari dua tahun lalu, setelah lulus dari jurusan arsitektur,
banyak pilihan yang bisa Budi lakukan. Ia bisa
melamar pekerjaan, mendirikan konsultan arsitektur sendiri, atau
melanjutkan sekolah ke jenjang S2. Apa lacur, krisis ekonomi menghantam negeri
Budi. Siapa yang berminat menyewa arsitek dalam kondisi seperti ini? Pikir Budi
saat itu.
Karenanya Budi menyoret dua pilihan pertama. Pilihan ketiga
ia dapat dari seorang temannya yang mengatakan bahwa di Jerman kau bisa
melanjutkan sekolah gratis.
“Kalau kau mau, kau juga bisa kerja, Bud,” kata temannya.
“Jerman, Eropa, asik, Bud?”
Budi lalu membayangkan film-film yang pernah ia tonton
tentang hidup di Eropa. Setelah itu Budi merayu bapaknya untuk menyekolahkannya
ke Jerman. Setelah usaha yang alot, bapak Budi menjual tanah, menguras tabungan,
namun tetap mempertahankan Satria—perkutut juara kesayangannya yang sudah
ditawar seorang anggota DPR seratus juta Rupiah, agar rengekan Budi berhenti
dan anak itu bisa hidup di Jerman selama satu tahun. Sebagai balasannya, Budi
berjanji kepada bapaknya untuk lulus secepatnya. Namun kini, saat melihat
kampus Universitas Hannover, Budi jadi tidak yakin bisa lulus secepatnya.
Semester ini Budi hanya mengambil sedikit kuliah karena
sadar semakin banyak kuliah yang ia ambil semakin banyak yang tidak lulus.
Buang-buang waktu saja. Namun ia juga tahu jika terus bekerja seperti ini, ia
tak akan sempat belajar sehingga banyak mata kuliahnya yang akan gagal dan waktu
kuliah semakin lama. Dan itu juga buang-buang waktu.
Budi lalu berpikir, kelihatannya saja ia punya pilihan,
padahal tidak. Bahasa Jerman yang belum betul-betul ia kuasai membuatnya sulit
mencerna materi kuliah. Tapi, mungkin juga materinya memang sulit. Dan itu
bukanlah satu-satunya masalah. Tidak seperti di Jakarta saat tinggal bersama
orangtuanya, di sini ia harus melakukan segalanya sendiri: mulai dari
berbelanja, memasak, mencuci, dan segala urusan remeh tapi wajib lainnya. Dan
sekarang tabungannya menipis. Tanpa pekerjaan, ia tak akan bertahan hingga
liburan semester.
***
Lima belas menit menjelang pukul tujuh, Budi tiba di gudang
kantornya. Derap kakinya menggema di ruangan maha luas itu. Langit-langit
tinggi dan rangka besi melengkung di atas sana membuat Budi serasa di penjara. Hanya
ada beberapa lampu yang menyala, membuat gudang itu temaram. Bau kertas, karet
terbakar, serta apak debu mengambang di udara. Jalur-jalur ban berjalan tampak malang-melintang.
Sembilan menit kemudian, Budi tiba di ujung ban berjalan
yang menghadap ke timur. Di sinilah berbagai paket dari tempat pemilahan akan
berakhir sebelum dipindahkan ke dalam truk. Berhadapan dengan ujung-ujung ban berjalan
tersebut adalah lubang-lubang berbentuk pintu. Mereka telah dipasangi belalai
dan tersambung ke kontainer truk. Delapan jam ke depan, Budi harus adu cepat
dengan ban itu.
Pekerjaan Budi sangatlah mudah. Ia tidak perlu berpikir
keras ataupun memberikan presentasi dalam Bahasa Jerman. Hanya saja, pulang
kerja badannya akan terasa seperti baterai soak. Sesampai di apartemen, ia hanya
mampu makan dan tidur. Tak ada tenaga untuk belajar. Tanpa persiapan yang
cukup, semester ini mungkin banyak mata kuliahnya yang akan gagal, dan itu akan
membuat waktu kuliahnya molor, dan itu juga berarti biaya hidupnya hingga lulus
akan membengkak melebihi perkiraannya. Tabungannya tak akan cukup. Budi perlu
uang lebih banyak lagi untuk menyelesaikan kuliahnya. Dan itu berarti ia harus
melakukan pekerjaan yang membuat badannya seperti baterai soak.
Dingin menyergap kuping Budi. Tak ada pemanas di gudang ini,
namun Budi tahu setelah beberapa menit bekerja ia akan berkeringat. Jadi ia buka
jaketnya lalu meletakkannya bersama ransel di dekat tiang.
“Gutten Morgen,”
seseorang mengucapkan selamat pagi.
Budi mengangkat wajah. Dua meter di depan seorang lelaki
sedang membuka jaketnya.
“Morgen, Jurgen,”
kata Budi.
Pria Jerman berbadan besar itu tampak menggosok-gosokkan
kedua tangannya lalu meletakkannya ke kuping.
“Scheiss Wetter, Ja,”
kata Jurgen.
Jurgen sedang memaki cuaca di luar sana. Scheiss atau scheisse, artinya tahi. Betapa cepat sebuah umpatan kita ingat. Budi
ingat kata itu dan satu lagi arschloch—yang
dalam bahasa Inggris berarti asshole,
alias lubang dubur—adalah dua kata yang pertama kali akrab di telinganya
sangking seringnya ia dengarkan. Seandainya saja pelajaran di kampus semudah
ini, Budi tak akan perlu mengerjakan pekerjaan ini. Scheisse!
Budi mengangguk sambil berpikir Jurgen, yang mungkin sudah
puluhan kali melewati November, belum juga terbiasa. Apalagi dirinya. Dan
sekarang bukanlah bulan terburuk. Seburuk apa pun November, orang-orang masih
menunggu dengan gembira datangnya Desember—datangnya kegembiraan pesta natal
dan tahun baru. Namun nanti, ketika salju sudah turun kelewat lama dan
kegembiraan telah berlalu, sumpah serapah kepada cuaca akan lebih sering
terdengar. Tunggu saja akhir Januari atau bulan Februari, kau akan ahli
mengumpat meski tak pernah belajar bahasa Jerman.
“Hei Budi, Si Turki tidak masuk hari ini. Tugas dia harus
kita bagi,” kata Jurgen.
“Scheisse!” kata
Budi spontan.
Jurgen tersenyum dan Budi keheranan. Jurgen tersenyum meski kebagian
kerja tambahan.
“Mungkin dia menertawai umpatanku yang kurang fasih?” pikir
Budi.
Budi memang jarang mengumpat. Dari kecil ia diajarkan untuk
tidak mengumpat terang-terangan. Tapi hari ini badannya sungguh terasa remuk.
Tambahan pekerjaan tentu tidak ia inginkan hari ini. Atau hari apa pun.
Seperti biasa, jika Osman—Si Turki—tak masuk, Budi dan
Jurgen harus berbagi tugas. Ban berjalan jatah Si Osman harus mereka tangani
secara bergantian. Masing-masing kebagian empat jam.
Batu, gunting, kertas, Budi lebih terbiasa dengan gajah,
orang, dan semut. Karenanya ia kalah dari Jurgen dan mendapat giliran pertama
untuk menangani pekerjaan Osman.
Suara derit dan gemuruh terdengar setelah Budi menekan
tombol merah di kanannya. Paket-paket mulai bergerak. Tiga buah kotak besar
merayap ke arah Budi. Budi bersiap,
mengira-ngira beratnya, dan menimbang-nimbang untuk melempar atau meletakkan
kotak itu dengan rapi.
Awalnya Budi pikir ini pekerjaan mudah karena perintahnya
hanya mengisi kontainer sampai penuh dari bagian terdalam terus menuju pintu. Ternyata
Budi salah. Paket yang besar dan berat harus diletakkan di bawah dan yang mudah
pecah tidak boleh ditimpa, dan masih banyak lagi pertimbangan lain yang tidak
pernah diberitahu Si Mandor—begitu Budi dan Jurgen memanggil penyelianya.
Seminggu pertama Budi harus pontang-panting menyusun
barang-barang itu. Mungkin karena kasihan, Jurgen menunjukkan taktiknya.
“Perhatikan dan pelajari, Junge!” kata Jurgen saat itu.
Junge dalam perkataan Jurgen itu artinya bocah. Budi yang
jelas bukan bocah cuma diam dan memerhatikan saja seperti seorang bocah saat
Jurgen mendemonstrasikan taktiknya.
Pertama Jurgen susun barang-barang besar dan berat hingga
menyerupai tembok setinggi dada dan menyisakan ruang kosong di belakang tembok
itu. Setelah itu ia melempar semua paket, kecuali yang berat dan yang ada tanda
mudah pecah, ke belakang tembok buatannya itu. Setelah paket-paket
bergelimpangan memenuhi tembok kotak, Jurgen tutupi tembok itu hingga ke
langit-langit kontainer sehingga terlihat rapi. Jurgen lalu mundur dua atau
tiga meter, mulai menyusun tembok dan mengulangi proses tersebut.
“Pantas saja kerjanya cepat,” pikir Budi.
Tapi Budi tidak suka taktik itu. Menurutnya itu salah dan
tidak bertanggungjawab. Paket-paket itu harusnya disusun rapi dan tidak
dilempar-lempar. Jurgen malah tertawa waktu Budi mengatakan itu.
“Tak ada yang periksa, Budi,” katanya. ”Persetan. Aku di
sini cuma menunggu waktu pulang. Jika kau mau menyusun serapi tembok Berlin,
silakan saja.”
Dua hari kemudian, dengan berat hati karena tak sanggup
bersaing dengan kecepatan paket yang datang, Budi pakai juga taktik itu. Jurgen
benar. Tak ada yang peduli. Entah paket disusun rapi atau tidak, tak ada yang
periksa. Supir-supir truk justru mengomel jika kerja Budi lambat.
Melihat paket-paket yang kini menyerbunya, Budi jadi ingat
sebuah kalimat di film Forrest Gump.
”Life
was like a box of chocolates. You never know what you’re gonna get.”
Hidup seperti sekotak coklat. Kau tak tahu apa yang akan kau
dapat. Namun apakah hidup akan menjadi
lebih mudah jika kau tahu apa yang akan kau dapat? Apa yang terjadi jika aku
memilih untuk tidak memilih. Bisakah aku mengabaikan semua ini?
Lamunan Budi buyar ketika suara seseorang memanggilnya. Budi
mengabaikan panggilan itu. Empat kotak besar sedang merayap di depannya. Keringat
terasa mengalir di dahinya. Ia usap dengan tangan kiri sambil mengatur napas. Istirahat
masih lama, apalagi waktu pulang.
“Budi, cepat!”
“Itu suara Jurgen. Mengganggu konsentrasi saja, Jurgen sudah
mulai lebih rewel dari Si Mandor,” pikir Budi.
Budi ingin sekali membiarkan semua kotak itu berantakan dan
pulang ke apartemennya lalu tidur. Ini seperti bermain tetris sambil menyetir
mobil di jalan yang ramai dan ditanya-tanya oleh bocah kecil yang keheranan
mengapa monyet di pinggir jalan bisa bermain egrang. Tapi kalau ia pulang, ia
akan dipecat lalu tidak digaji. Bagaimana ia akan melanjutkan kuliahnya? Apa
yang harus ia katakana kepada Bapaknya?
Jurgen berteriak lagi.
Penasaran, Budi pun menoleh. Ia lihat paket pada ban
berjalan di sebelah Jurgen sudah kehabisan ruang. Barang-barang mulai jatuh
bergelimpangan. Itu ban yang harusnya ditangani Osman, namun kini menjadi
tanggung jawab Budi.
“Cepat, Budi!”
Budi terkesima.
Masalah, mereka punya ingatan yang kuat dan
pantang diabaikan. Bagaimana kalau aku memilih untuk mengabaikannya? Bisakah?
“Hei. Haloo!”
Budi menggeleng.
“Scheisse,
scheisse, scheisse!” maki Budi
sambil berlari ke sana.
***
0 comments:
Posting Komentar