Rabu, 31 Januari 2018

- Leave a Comment

Veronika Memutuskan Tetap Hidup

Jakarta, 31 Januari 2018

Dearest Veronika,
Setelah sekian tahun, aku akhirnya berani juga menyuratimu, bercerita soal ini.
Aku harus mulai darimana ya? Dari basa-basi cuaca atau macet Jakarta dahulu? Ah, sepertinya itu lebih mudah untuk mengurangi rasa kikukku untuk bercerita kepadamu. Jakarta sampai sekarang masih tetap macet dan hidup di kota ini makin keras, kejahatan yang dulunya dianggap aneh sekarang jadi sering muncul di berita, mulai dari Gubernur dipenjara karena penistaan agama, pedofilia makin menggila di sosial media sampai klub malam Alexis akhirnya resmi ditutup. Dan sekarang makin banyak pula kasus bunuh diri. Hmm, aku jadi teringat kejadian itu. Kau juga pasti ingat kan?

Malam itu, langit cerah dan rasanya lebih terang dari biasanya karena bulan purnama yang mencapai puncaknya. Kamu menatap bulan di penghujung malam lekat-lekat sambil menghabiskan sisa teh rasa mint yang selalu menjadi favoritmu. Tegukan terakhir, pikirmu. Di bawah pendaran purnama, kau tampak sangat cantik. Sinar matamu teduh dan tenang. Tapi aku tahu persis isi pikiranmu. Saat itu, kamu sedang memikirkan bagaimana cara mengakhiri hidupmu dengan setidak-menyakitkan mungkin, ya kan? Setelah melihat jasad si Lenka setelah memutuskan untuk loncat dari lantai lima hampir 10 tahun lalu, kamu sadar bahwa cara seperti itu terlalu sakit dan yang terpenting jasadmu akan terlihat sangat tidak cantik. Oh, it’s a big no no!

Segera setelah kau tandaskan lesapan terakhir minumanmu, kau menatap butir-butir putih yang tepat berada di samping cangkir tehmu. Kau mulai menghitung. 1, 2, 3, 4. Ah, kalau hanya segitu pasti kurang... apa sebaiknya 10 atau 20 butir ya? Akhirnya, kamu memilih menghabiskan semua yang ada di dalam botol, biar tidak perlu bangun lagi sesuai keinginanmu. Obat tidur sebanyak itu, akupun lupa bagaimana cara kamu mendapatkannya. Apakah dari apotik dekat rumah atau dari salah satu mantan pacarmu si dokter berwajah malaikat tapi sesungguhnya brengsek itu ya? Entahlah...
Tepat pukul 12 malam tanggal 31 Januari 2012, kau sudah terbaring di atas tempat tidurmu yang sudah dirapihkan dan ditata apik plus wangi segar seprai yang baru keluar dari laundry. Ingatan terakhirku tentang malam itu hanyalah cahaya lampu kamar yang perlahan-lahan tampak gelap, tarikan panjang nafas “terakhirku” dan perasaan bahagia karena akhirnya semua penderitaan ini akan berakhir. Kamu juga mengingatnya kan?

My lovely Veronika,
Tapi setelah kejadian malam itu, aku tidak memiliki memori sedikitpun mengapa aku bisa kembali hidup? Ingatanku terhenti di malam terakhir itu dan mulai tersambung lagi saat aku duduk kursi empuk warna biru dongker sambil menatap wajah keriput dan berjas putih yang persis duduk di hadapanku, dan ternyata juga ada Ibu yang duduk di sebelahku. Mereka pun tidak kalah terkejutnya saat aku akhirnya mulai bertanya, “Ibu, dia siapa ya? Kita lagi di mana sih?”
Ibu langsung menangis setelah mendengar ucapanku, Vero. Beliau menangis sampai tubuhnya bergetar kencang.
“Vero sayang, kamu akhirnya ingat Ibu ya, nak?” ujarnya dengan kalimat terbata-bata.
“Iya lah, Bu. Ini kita lagi ada di......?” kalimatku menggantung karena aku kembali teringat kejadian malam itu. Berbagai pertanyaan pun menggelayut di kepalaku.

Apakah ini sudah di surga? Hmm, sepertinya bukan. Orang mati karena bunuh diri dosanya tidak akan terampuni, konon kabarnya begitu.
Apakah ini di neraka? Astagfirullah, kenapa ada Ibuku neraka?!
Apakah ini rumah sakit jiwa karena ruangannya yang mirip dengan ruangan dokter penyakit jiwa yang ada di film-film? Tapi harusnya kan aku sudah “lewat”, menenggak banyak sekali pil tidur mungkinkah masih bisa selamat?

Aku sungguh tidak ingat apapun soal bagaimana kau bisa selamat, Vero. Namun kenyataannya sampai saat ini aku masih bernapas meski kisah hidup Veronika Ramadhani setelah 31 Januari 2012 hanyalah berupa potongan cerita dari sudut pandang Ibu, Ayah, Kak Mario, Kak Ivan, Bik Sumi atau Prof Ndaru psikiater yang merawatku setelah percobaan bunuh diri yang berhasil diselamatkan. Menurutnya, aku sempat mengalami dissociative-amnesia. Ya, seperti cerita di drama Korea, sinetron kepanjangan, atau roman picisan, kau mengalami amnesia alias lupa ingatan selama tiga bulan setelah kejadian itu.

Sebenarnya hampir saja setelah siuman kau berada di rumah sakit jiwa, seperti nasib Veronika Deklava dalam novel Paolo Coelho. Namun, kau terselamatkan oleh amnesia langkamu itu. Amnesia jenis ini bukan disebabkan oleh kerusakan otak akibat dari penyakit, obat, kecelakaan ataupun operasi tapi oleh tekanan psikologis karena kejadian yang sangat traumatis sampai akhirnya tidak mampu mengingat sebagaian peristiwa penting dalam hidupnya. Malah kau sampai lupa sesaat dengan identitasmu, makanya Prof Ndaru memutuskan cara terbaik untuk mengobati amnesia ini dengan berada di tengah keluarga bukan di rumah sakit jiwa.

Sampai saat ini, aku masih rutin mengunjungi Prof Ndaru, yang sebelumnya seminggu sekali lalu berubah menjadi dua minggu sekali dan sekarang hanya jika perasaan sedih, tidak berguna, tidak bersemangat, merasa helpless dan hopeless muncul kembali selama hampir seminggu maka aku harus segera mengunjungi Prof Ndaru. Perasaan “bad and dark mood” semacam itu kusebut Black Dog, meminjam istilah yang sering digunakan Winston Churchill untuk menyebut penyakit kejiwaannya: bipolar atau manic disorder. Terkadang sungguh sulit mengendalikan Black Dog, Vero. Tapi, kalau sudah mulai muncul tanda-tanda ia akan mengonggong, maka aku harus segera menghentikan apapun kegiatanku saat itu dan pergi mencari suasana yang lebih menggembirakan. Kegiatan favoritku untuk mencegah Black Dog kabur adalah ke pasar becek atau stasiun kereta untuk mengintip kegiatan orang-orang normal! Gegara anjing hitam tanpa jenis dan tanpa wujud warisan darimu ini, aku tidak bisa lagi bekerja di kantor besar dengan sistem kerja bagus yang mengharuskan berpakaian rapih. Well, tapi dahulu waktu kita bekerja di kantor besar pun hanya jadi karyawan kontrak yang harus siap diputus kapan saja dan hanya jadi kacung yang lebih sering dikasih pekerjaan urusan pribadi mereka yang bertitel General Manager atau Vice President. Ya kan?

Prof Ndaru sangat berhati-hati saat memberiku obat anti-depresan, mengingat sejarahku yang pernah minum puluhan butir obat tidur guna mengakhiri hidupku. Beliau takut aku menyalahgunakan obat-obat seperti itu lagi. Tapi cara pengobatan untuk jenis depresiku, hmm...namanya Dysthymia atau depresi ringan kronis yang sifatnya jangka panjang, lebih efektif jika dikombinasikan dengan obat dan terapi konseling secara rutin.

 gambar berasal dari sini

My younger self, Veronika
Ingatkah kamu kesulitan adaptasi di sekolah saat baru pindah dari sebuah kabupaten kecil di Pulau Buton ke Ibukota sebesar ini? Keruwetan perasaan yang sulit kau ekspresikan ini membuatmu tumbuh dengan jiwa yang tertutup. Ditambah lagi kedua kakak lelakimu sangat pandai di sekolah, muncullah tuntutan yang sama dari kedua orang tuamu. Mereka pemegang rekor nilai tertinggi nilai ujian nasional selama sekolah, kau pun harus bersusah payah untuk meneruskan rekor itu. Namun sialnya saat SMP kamu mulai gagal. Ditambah lagi menstruasi pertama yang muncul terlalu dini namun Ibumu terlalu sibuk mengejar karir dan tidak sempat menjelaskan perubahan-perubahan besar yang akan terjadi dalam tubuhmu. Hal itu akhirnya menambah keruwetan perasaanmu. Batinmu terasa makin sesak ketika kau gagal kuliah di ITB mengikuti jejak kedua kakakmu, kau hanya berhasil lulus tes ujian masuk di Fakultas Sastra UI.
“Yaa gitulah, Vero kuliahnya cuma di Sastra...” begitu jawaban datar ayah atau ibumu saat orang-orang bertanya, jauh berbeda ketika bercerita tentang Kak Mario atau Kak Ivan.

Kamu pun berjuang keras membuktikan bahwa orang yang kuliah di jurusan sastra tetap bisa sukses kaya raya, tapi kenyataan hidup tidak begitu. Kamu hanya bisa lulus dengan nilai pas-pasan dan akhirnya hanya mampu mendapatkan pekerjaan klerikal yang sesungguhnya bisa dikerjakan oleh anak lulusan SMK. Tadinya kamu merasa ada harapan, hanya harus bersabar. Namun, kegagalan demi kegagalan terus kamu alami. Obsesimu untuk menjadi karyawan tetap dengan menjalani tes masuk super panjang dan melelahkan untuk jadi PNS atau karyawan BUMN berkali-kali gagal.
Hidupmu terasa hancur berantakan ketika kedua kakakmu, lagi-lagi, sukses meraih semua mimpi mereka. Tidak hanya bekerja sebagai karyawan tetap di kantor dengan gaji besar, mereka dengan mudah memperoleh pasangan yang cantik, pandai nan salihah. Kamu semakin rendah diri ketika semua teman kuliahmu mulai naik jabatan, melanjutkan sekolah keluar negeri, dan akhirnya satu per satu menikah. Topik umum di sekitarmu mulai bergeser menjadi urusan persiapan pernikahan, parenting, atau kerja di luar negeri.

Usiamu yang terus merambat naik, kulitmu yang makin keriput dan kendor... menambah lagi keruwetan perasaanmu yang makin tidak bisa dijelaskan. Crème de la crème dari segala kehidupanmu saat itu adalah ketika kamu berpacaran dengan seorang dokter lulusan UI yang sedang spesialis. Serpihan kecil harapan menyenangkan muncul di hatimu, “baiklah, setidaknya aku masih bisa jadi ibu rumah tangga yang baik bagi lelaki ini...”

However, it seems God loves to tease you.

Di suatu hari, kamu tidak sengaja menemukan tag foto dirinya di Facebook dengan perempuan lain. Darahmu mendidih ketika membaca komentar bahagia dari teman-teman sesama dokternya. Tentu saja tak lama setelah itu, dia meninggalkanmu begitu saja melalui dua baris pesan sms. Dan tanpa menuliskan kata maaf. Catat itu!

Semua mimpi dan cinta habis terhempaskan. Tidak bisa membanggakan orang tua, ditinggal kekasih, dan akhirnya selepas Lebaran kamu di-PHK begitu saja karena katanya kondisi kantor yang hampir pailit. Tragis. Jangankan hidup sebagai manusia yang memberi dampak positif bagi masyarakat atau Indonesia apalagi dunia, menolong dirimu saja sulit! Kau berdoa tiada henti siang dan malam, berharap Tuhan berbaik hati memberikan sesuatu yang bisa dipercaya bahwa itu adalah takdirmu, alasanmu hidup di bumi. Namun nihil. Kamu pun berhenti berharap.

Tapi Vero sayang, saat ini aku telah putuskan untuk tetap hidup meskipun dengan Dysthymia yang kadang bisa kambuh, kadang bisa mengendap lama.
Sejauh ini, aku selalu patuh dengan anjuran psikiaterku. Setiap pagi, aku pasti keluar rumah untuk berolahraga, jalan kaki sambil berjemur matahari pagi. Kamu tahu, kutemukan lagi kedasyatan sinar matahari: pencegah depresi! Bahkan penduduk di negara yang jarang terkena paparan sinar matahari akan cenderung terkena Seasonal Affective Depression (SAD). Untung sekali ya Indonesia disinari matahari selama 365 hari penuh.
Aku juga menjaga nutrisi yang masuk ke tubuhku, salah satunya dengan menjadi pescatarian alias semi-vegetarian karena masih menambahkan boga bahari dalam menu makanan. Botol-botol besar suplemen bertuliskan Omega-3, Magnesium, Vitamin C dan B Kompleks selalu berada di meja makan agar aku tidak absen meminumnya. Itu semua membantu agar mood-ku tetap baik. Selain makanan, Prof Ndaru menganjurkan untuk meditasi. Tapi aku kurang suka meditasi karena lama-lama terasa bosan dan mengantuk. Akhirnya Prof Ndaru mencoba pendekatan melalui seni. Aku pun rajin mewarnai gambar-gambar yang berasal dari ilustrasi karya Johanna Basford. Saat mewarnai, rasanya keruwetan pikiranku perlahan-lahan terasa bisa terurai meski masih kusut. Efek mewarnai sama seperti meditasi menurutku.

Aku sekarang kembali bekerja, tapi ini perusahaan event organizer super mini milik adik Ibu, Tante Ani. Gajinya pun super mini di bawah UMR (belum termasuk bonus dan komisi sih) dengan beban kerja yang super mini juga tentunya. Tapi di sini aku berkesempatan mengunjungi banyak kota di berbagai daerah, ternyata ini cukup efektif menghalau Black Dog muncul kembali. Untuk pertama kalinya, aku sedikit menyukai pekerjaanku, Vero. Aku merasa senang ketika mengunjungi tempat baru, memahami keunikan bandara di berbagai kota, bertemu orang dengan logat bahasa Indonesia yang berbeda, mencicipi beragam masakan sayuran dan ikan yang lebih lezat dari yang dijual di restoran Jakarta, dan membanding-bandingkan pelayanan hotel yang ada di kota satu dan lainnya. Bahkan sekarang aku menjadi aktivis di komunitas Google Maps karena sering memberi review atau foto tentang suatu tempat loh... Hahaha!

Sebenarnya dari dulu, aku selalu suka traveling, kamu tahu itu kan, Vero? Tapi Ayah selalu melarangku berkeliaran bebas karena khawatir berlebihan akan keselamatan anak perempuan satu-satunya ini. Tapi sekarang, aku tidak peduli lagi dengan larangan Ayah ini, toh ia pun kini tidak berani mengekangku karena takut aku kembali ditelan oleh Dysthymia.

Vero, aku memutuskan untuk tetap hidup karena cap imigrasi di passport-ku belum terlalu banyak, serta belum kutinggalkan jejak DNA-ku dari Sabang sampai Merauke. Hehehe.

Vero, aku akan berusaha menyuratimu setiap tahun. Agar engkau, diriku yang berusia 27 tahun, tidak sendirian seperti di malam itu.

Dan terakhir, selamat ulang tahun Veronika Ramadhani. Semoga sehat selalu ya! Itu saja harapanku.

Salam dan kecup hangat selalu,

Vero

0 comments:

Posting Komentar