Oleh: Apendi
Ssstt... aku akan menceritakan sebuah
rahasia padamu....
Ayahku adalah seorang Ksatria Baja Hitam! Tapi tidak seperti
Kotaro Minami, ia hanya mempunyai sebelah tangan untuk berubah wujud. Dan
karena itu, ibu marah besar sewaktu ayah memutuskan mencicil belalang tempur agar dapat memudahkannya
menyelamatkan dunia.
“Untuk makan saja sudah susah!” tegur ibu.
“Mana sanggup kau bayar motor itu?”
Akan tetapi, ayah tetap ngotot membeli belalang tempur karena sudah terlanjur
jatuh cinta pada motor itu.
“Semua laki-laki apalagi seorang pahlawan
membutuhkan sebuah motor!” tegas ayah pada ibu, meskipun aku tahu ia menitipkan
pesan padaku untuk aku ingat.
“Kau cuma punya sebelah tangan! Kau pikir
siapa yang mau jadi penumpangmu?” bentak ibu.
“Lihat saja nanti! Pasti ada orang yang
membutuhkan pertolonganku!”
Ibu mendengus kesal dan tidak mau berbicara
pada ayah selama tiga hari. Setiap pagi, ayah mangkal di lampu merah untuk
mencari penumpang. Tukang ojek di sana biasanya tidak begitu bersahabat
terhadap pesaing baru, tapi karena ayah hanya mempunyai sebelah lengan, mereka
menaruh simpati padanya -- walaupun ada juga yang mengejeknya dan menganggap ayah
sudah gila.
Sedikit banyak, ada saja orang-orang yang
bosan hidup dan memilih ayah untuk mengantarkan mereka ke tempat tujuan. Ayah
mengerjakan tugasnya dengan baik dan hati-hati. Rasa cemas para penumpang ayah
mulai berkurang dan mereka pun menjadi langganan tetap.
Tentu saja ayah pernah diberhentikan
beberapa kali untuk diperiksa kelayakan SIM dan STNK-nya. Pak polisi yang
menghentikan ayah merasa takjub, ngeri, dan khawatir. Namun mereka tak tega untuk
meminta “uang rokok” bahkan seandainya ayah melanggar salah satu dari peraturan
lalu lintas.
Ayah bercerita bahwa ia dan penumpangnya
sering menjadi pusat perhatian di setiap lampu merah maupun di jalanan.
Mata-mata menyelidik, tatapan kagum, dan debar jantung pengendara motor lainnya
telah menjadi santapan ayah sehari-hari.
Ayah menjadi sumber inspirasi bagi
orang-orang yang ditemuinya. Para pengendara motor lainnya menjadi lebih tertib
dan sabar ketika berpapasan dengan ayah. Mereka tidak berani mengklakson,
apalagi menyalib ayah. Seandainya terjadi tabrakan, para pengguna jalan akan
menyalahkan siapa saja selain ayah. Bahkan mobil polisi dan ambulans pun
memberikan jalan pada ayah dan belalang
tempur.
***
Aku ingin sekali menaiki belalang tempur dan ayah telah berjanji
bahwa suatu hari ia akan memboncengku. Mendengar janji itu, ibu marah-marah
pada ayah.
“Aku tidak mengizinkan kau membawa anakku! Kau sudah gila? Bagaimana kalau terjadi
apa-apa?”
“Tidak akan terjadi apa-apa, Bu. Hidup mati
di tangan Tuhan! Lha, orang sehat
saja bisa jantungan dan mati,” bujuk ayah.
“Tidak, tidak, tidak. Pokoknya tidak!” kata
ibu bersikeras.
Ayah tidak berkata apa-apa lagi karena telah
memahami sifat ibu. Aku ngambek pada ibu dan bolos sekolah keesokan harinya.
Ibu memukulku. Malamnya, ayah pulang dan dalam keadaan lelah ia berjanji akan
membelikanku sepeda.
“Aku tidak mau sepeda. Aku mau belalang tempur!”
“Iya, tapi kau harus belajar mengendarai
sepeda dulu baru bisa mengendarai belalang
tempur.”
Aku mendongak dan menatap ayah. “Kapan ayah
mengajakku naik belalang tempur?”
Ayah menghela napas. “Kau harus tanyakan pada
ibumu.”
***
Pendapatan ayah setelah mempunyai belalang tempur jauh lebih baik daripada
ketika memulung botol-botol plastik. Kami sekeluarga dapat makan daging
seminggu sekali dengan teratur dan ibu dapat mencicil utangnya di warung. Sikap
ibu terhadap ayah pun mulai berubah. Dengan enggan, ibu terpaksa menyetujui
pekerjaan baru ayah walaupun masih merasa cemas dengan kondisi ayah.
Kecemasan ibu beralasan. Suatu hari, seorang
penumpang merampok ayah! Ayah telah melawan sekuat tenaga namun tetap kalah. Ia
pulang dalam keadaan sedih, kecewa, dan terluka. Ibu mengelus dada.
Kecemasannya menguncup menjadi perasaan lega. Ibu bersyukur kalau ayah hanya
mendapati lecet-lecet kecil. Tidak terluka parah apalagi sampai meninggal.
Ayah menggebrak meja dan membentak ibu.
Musibah baru saja terjadi kenapa malah bersyukur! Ibu menjawab: Kau masih dapat teriak? Baguslah!
Ibu lalu pergi meninggalkan ayah ke dapur
untuk menghindari perdebatan lebih lanjut. Aku berdiri di pintu kamarku dan
mengawasi ayah takut-takut. Belum pernah aku melihat ayah seperti ini. Ia
sedang dalam keadaan kacau, terpuruk, dan menderita kekalahan hebat.
Sedikit-banyak aku rasa aku mengerti perasaan ayah. Jika ayah membelikanku
sepeda dan anak yang lebih besar menginginkan dan berusaha mencurinya dariku, dan
lalu aku tak bisa mencegahnya, kukira perasaanku akan sama seperti perasaan
ayah. Sedih — bukan karena kehilangan sepeda itu — melainkan karena aku tidak
mampu melindunginya. Dan sepedaku
tahu hal itu. Begitu pun dengan belalang
tempur. Ia tahu kalau ayah tidak mampu melindunginya.
Ayah melihatku dan memanggilku ke dalam
pangkuannya.
“Nak, kamu tahu kan, kalau ayah sudah
berusaha mencegahnya?” ayah berusaha membela diri. Mungkin ada sesuatu di dalam
tatapanku yang membuatnya berkata seperti itu.
Aku mengangguk. “Tidak apa-apa, Yah! Nanti belalang tempur pasti bisa mencari jalan
pulang sendiri.”
Ayah tersenyum kecut. “Mungkin. Tapi mungkin
juga ia menunggu diselamatkan ayah!”
Aku mendongak dan menatap ayah dengan
ternganga. Kalau begitu kejadiannya, aku tidak akan pernah bisa melihat belalang tempur lagi.
“Monster yang dikirimkan Kapten Jack sungguh
kuat. Ayah telah memakai tendangan maut
tapi monster itu tidak bisa mati.”
“Ayah juga memakai pukulan maut?” tanyaku spontan.
“Ya.”
“Bagaimana dengan pedang matahari?”
Ayah ternganga dan sorot matanya tampak
seperti baru teringat akan sesuatu. Ah, ayah pasti lupa memakainya lagi!
***
0 comments:
Posting Komentar